Please Wait
38687
Jawaban atas pertanyaan di atas terdiri dari 4 bagian:
1. Hakikat dosa: Dosa dalam bahasa Arab disebut dengan itsm dan ‘ishyaan. Dosa dengan pengertian ini memiliki makna berpaling dari perintah tuan, melakukan kesalahan dan kelalaian. Seorang pendosa itu tidak mengikuti akalnya tapi justru mengekor kepada syahwat dan amarahnya dan ketika itu mungkin saja ia terjerambab ke dalam suatu perbuatan dosa dan ketika itu juga ia telah berkhianat kepada dirinya sendiri. Dosa merupakan perangkap setan dimana bagian dalamnya adalah api dan bagian luarnya itu disertai dengan rasa nikmat dan keinginan syahwat yang sifatnya spontanitas membuat orang lalai terlena dan tenggelam bahwa balasan siksa Ilahi tengah menantinya.
2. Efek dan pengaruh dosa: Dosa memiliki efek-efek negatif, baik yang sifatnya pribadi maupun sosial. Efek dan pengaruh negatif dosa yang sifatnya personal di antaranya adalah: Kebebalan dan kekerasan hati dan hilangnya peluang untuk menerima dan memperoleh ajaran dan rahasia-rahasia Tuhan, menjadikan hati sebagai sarang dan pusat bertengger para setan, menjadi hijab dan penghalang dari mengenal diri dan Allah Swt, menghilangkan rasa nikmat ketika bermunajat atau berdoa, tidak dikabulnya ibadah-ibadah, membuat manusia mengingkari akan adanya hari kiamat dan balasan atau imbalan berupa kenikmatan di akhirat.
Efek dan pengaruh negatif dosa yang sifat sosial di antaranya adalah: Menyebabkan kemunduran dan keterbelakangan masyarakat, meskipun secara lahiriah nampak mengalami kemajuan, namun dibelenggu oleh berbagai macam persoalan-persoalan seperti kerusakan akhlak dan etika, mengantarkan nilai-nilai kemanusiaan itu menuju sebuah kehancuran dan kepunahan.
3. Sumber dosa: Para tokoh-tokoh agama (ulama) menganggap bahwa kejahilan dan kelalaian merupakan dua sumber fundamental yang menyebabkan terjerumusnya seseorang ke dalam perbuatan dosa dan senjata ampuh dan cara paling pertama untuk menembus manusia adalah dengan membuat mereka (manusia) lalai. Kejahilan juga merupakan sumber kefasadan dan kerusakan, jahil terhadap nilai-nilai keberadaan manusia, jahil terhadap pengaruh positif kesucian dan kemuliaan, jahil terhadapat akibat dan dampak dosa dan lain sebagainya.
4. Solusi: Ada beberapa solusi yang dapat disodorkan di sini, di antaranya adalah:
a. Taubat dan istigfar: Taubat bermakna kembali keharibaan Allah Swt disertai dengan niat dan tekad untuk meninggalkan perbuatan dosa. Taubat ini sendiri beberapa tingkatan.
b. Mengingat-ingat dosa yang dilakukan.
c. Mengingat Allah Swt.
Keinginan dan kehendak manusia.Dosa dalam bahasa Arab disebut dengan itsm dan ‘ishyaan. Dosa dengan pengeritan ini bermakna berpaling atau membelok, salah dan lalai, menentang atau membangkang perintah atau pun larangan sang Maula (Allah Swt); yakni melakukan suatu perbuatan yang dalam kacamata Sang Maula dan dan Sang Pencipta tidaklah baik dan layak. Karena ia memiliki unsur merusak dan mafsadah maka ia dilarang. Atau tidak melakukan dan meninggalkan suatu pekerjaan yang sifatnya wajib (ditinggalkan) karena di balik pelarangan itu terkandung kemaslahatan. Dengan demikian, dosa itu bertentangan dan kontra dengan konsep ‘ubudiyah (ketaatan dan kebaktian).
Seorang manusia pendosa memposisikan syahwat dan amarah itu, yang menjadi bagian dari diri manusia itu dan seharusnya mentaati akalnya, sebagai pemimpin dari semuanya; yakni menundukkan akal dan ketika syahwat dan amarah telah menguasai dirinya maka hal itu akan menjadi kesayangan dan kekasihnya dan pada masa itu, setiap ia melakukan suatu pekerjaan maka pekerjaan tersebut harus disenangi oleh syahwat atau disenangi oleh rasa amarah. Dengan alasan ini, ia pun terjerumus untuk melakukan dosa. Sebagaimana halnya seorang manusia punya kewajiban untuk tidak mengkhianati orang lain, maka ia juga berkewajiban untuk tidak mengkhianati dirinya.
Sekiranya ada seseorang yang memposisikan syahwat dan amarah (gadhab) tersebut di tempat akal praktis, dan menempatkan khayalan dan wahm (delusi) itu pada posisi akal teoritis, maka sesungguhnya ia adalah seorang perampas dan telah berkhianat kepada dirinya sendiri. Ketika seseorang berkhianat pada makrifat dan pengetahuannya maka otomatis dalam beramal pun ia pasti melakukan perbuatan khianat dan tidak akan mengindahkan hak-hak asasinya sendiri.[1]
Dosa merupakan perangkap setan
Dalam banyak riwayat dari Ahlulbait As disebutkan bahwa ketergantungan pada materi itu merupakan perangkap dan media untuk berburu dan dosa-dosa itu menjadi tali-tali dan tempat berburu setan; yakni dosa-dosa itu merupakan perangkap-perangkap yang dengannya setan memburu manusia-manusia dan tali-tali yang ada padanya itu digunakan setan untuk mengikat setiap manusia dan tentunya tali-tali tersebut itu bermacam-macam bentuknya, ada yang tebal dan ada juga yang kurang tebal (kecil) dan setan memperdaya setiap orang itu sesuai dengan kondisi orang yang akan dirayu dan diperdayakannya itu, sebagian orang diperdaya dengan kekayaan, sebagiannya lagi dengan kedudukan dan pangkat serta sebagiannya lagi dengan nafsu birahi dan semisalnya.
Api jahannam itu diaduk dengan kelezatan dan kenikmatan dan keduanya menyatu atau tercampur. Dalam artian bahwa bagian dalam perangkap tersebut adalah api dan bagian luarnya adalah berupa gelas syahwat dan manusia dengan ketamakan dan kerakusannya pada gelas syahwat, terjerumus ke dalam perangkap api yang berkobar.[2]
Efek dan pengaruh dosa
Efek ataupun dampak negatif dosa itu dibagi menjadi dua bagian, yaitu dampak negatif pada pribadi dan pada sosial masyarakat.
Dampak dan efek negatif dosa yang sifatnya pribadi
1. Sejatinya dosa itu merupakan kotoran dan bercak yang menodai ruh dan jiwa. Akibat dosa, manusia tidak lagi merasakan nikmatnya tidur yang diselingi dengan mimpi-mimpi indah berupa makrifat dan pengetahuan dan juga tidak memiliki kondisi baik ketika terjaga sehingga ia bisa menemukan dan menyerap ilmu-ilmu hakikat dan mengajarkannya secara benar kepada orang lain. Oleh karena itu, kalau ruh dan jiwa telah dijejali noda dan menjadi gelap maka betapa banyak rahasia-rahasia yang tidak bisa diraih dan dicapainya. Allah Swt menjadikan ruh dan jiwa sebagai sumber ilham dan bersumpah dengan menyebutnya. Seorang yang dikatakan pesuluk adalah sedikit berbicara dan menjaga makanannya, dengan inilah ia dapat mendengar suara ilham-ilham Ilahi, karena kalau seseorang hendak mendengar suara dari dalam dirinya maka ia harus diam dan tidak berbicara.[3]
2. Ketika seseorang berada di bawah wilayah atau pengawasan setan dan menerima bisikan-bisikannya lalu beramal sesuai dengan bisikan-bisikan tersebut, maka secara bertahap hatinya akan menjadi pusat berdiam dan hunian setan, sedemikian sehingga setan menjadi pelayannya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an.[4] Hati manusia pendusta dan pembohong menjadi sarang kediaman para setan. Namun seseorang yang dalam masalah-masalah ilmiah sangat amanah dan menepati janji dan juga dalam masalah-masalah harta dan ilmiah, amanah dan terpercaya, maka hatinya terjaga dan terpelilhara dari sasaran tembak setan.[5]
3. Dosa, merupakan hijab dan penghalang untuk mengenal diri dan jiwa. Akibat dosa, manusia dapat melupakan Allah Swt dan kelalaian ini adalah hijab yang dapat menjadi penghalang dari mengenal diri dan jiwa dan tidak membiarkan orang tersebut mengenal dirinya.[6]
Kalau ada seseorang yang menjerumuskan dirinya dalam kerusakan dan maksiat, maka ia telah menjatuhkan wujud dirinya itu untuk selamanya. Ia mengikat dirinya sendiri dan tidak ada satu pun yang bisa melepaskan ikatan tersebut, meski harus dibakar dengan api neraka, karena meskipun api itu punya kekuatan untuk melelehkan besi, namun kalau besi itu adalah api itu sendiri, yaitu api yang berbentuk besi, maka tak ada satupun yang bisa melelehkannya (api melelehkan api yang berbentuk besi adalah sesuatu yang mustahil).[7]
4. Dampak dan efek lain dosa adalah bahwa seorang pendosa itu akan kehilangan kenikmatan dan lezatnya bermunajat dan berdoa. Ia senantiasa mengungkapkan bahwa seandainya ia bisa merasakan dan mencicipi kelezatan dan nikmatnya ibadah, namun karena dosa dan kekerasan hati, rasa itu pun hilang atau lari dari dirinya. Syaikh Shaduq dalam kitabnya al-Tauhid, menukil dari Imam Ridha As bahwa; “Ada seseorang bertanya: Mengapa Allah Swt itu tidak bisa disaksikan (mahjûb)? Beliau bersabda: Allah Swt itu bisa disaksikan (tidak mahjûb), bahwa kamu tidak dapat menyaksikannya, itu akibat bertumpuknya dosa-dosa yang dilakukan manusia dan dosa-dosa itu menjadi sebuah tirai yang menghalangi penyaksian fitrawi dan tidak membiarkan manusia menyaksikan Allah Swt dengan penyaksian fitrawi”.[8]
Dalam riwayat-riwayat lain juga yang menjadi perhatian besar bahwa dosa itu merupakan sebuah tirai penghalang. Misalnya sabda Rasulullah Saw yang mengatakan bahwa:”Ketika seorang manusia melakukan dosa maka akan nampak dalam hatinya itu sebuah titik hitam dan kalau ia menghindarinya serta bertaubat, maka hatinya akan mengkilap. Namun kalau ia mengulang dosa tersebut maka titik hitam itu akan bertambah banyak hingga memenuhi hatinya”.[9] Dan juga Rasulullah Saw bersabda:”Dosa yang telah menumpuk dapat merusak dan menghancurkan hati manusia”. Atau dinukil dari Imam Shadiq As, beliau bersabda:”Tiada yang lebih jelek yang dapat merusak hati melebihi dosa. Hati akan berada di bawah kendalinya dan secara bertahap dosa berpengaruh dalam dirinya hingga ia menguasai diri manusia.” Demikian juga Imam Shadiq As bersabda: ”Saya wasiatkan (kepadamu) untuk bertakwa dan wara’ dari segala yang diharamkan. Berusaha dan seriuslah dalam beribadah, ketahuilah bahwa beribadah tanpa menjauhi hal-hal yang diharamkan sama saja dengan perbuatan sia-sia dan tidak punya manfaat”.
Dalam hadis Nabi Saw yang ditujukan kepada Abu Dzar disebutkan bahwa: ”Wahai Abu Dzar, dasar agama adalah meninggalkan dosa dan rahasia agama adalah taat kepada Allah Swt. Ketahuilah bahwa kalau pada dampak shalat, karena badan pun menunduk (ruku’) dan karena puasa badan pun menjadi kurus, semua tak ada guna dan manfaatnya kecuali dengan wara’ dan meninggalkan dosa-dosa. Wahai Abu Dzar, mereka yang meninggalkan hal yang diharamkan di dunia ini dan memilih jalan kezuhudan, berhak menjadi wali-wali dan sahabat-sahabat Allah Swt”.[10]
5. Mengingkari hari kiamat: Dosa dapat menjadi penghalang untuk mengenal hari kiamat; yakni mungkin saja seseorang itu tahu tentang hari kiamat, namun ilmunya tertanam di bawah bayangan hawa nafsu. Tentu bahwa ilmu semacam ini tidaklah memberikan manfaat.[11] Dalam surat al-Muthaffifiin ayat 11-14, Al-Qur’an menyinggung orang-orang yang secara keseluruhan mengingkari hari kiamat, lalu mengatakan: Dalil-dalil akan adanya kiamat sangatlah jelas dan orang-orang yang mengingkarinya itu hanyalah para pendosa dan orang yang melampaui batas, mereka tidak akan pernah tunduk terhadap ayat-ayat Ilahi, oleh karena itu ketika ayat-ayat Ilahi dibacakan kepada, mereka menolaknya dan berkata: "Itu semua adalah mitos dan cerita khayalan para pendahulu.” Al-Qur’an dengan jelas menyatakan bahwa: "Tidak demikian seperti apa yang disangka mereka, ucapan-ucapan ini (terlontar dari mulut mereka) adalah akibat dari perbuatan-perbuatan buruk dan dosa-dosa mereka yang mana tirai hijab telah menongkrongi hati dan jiwanya." Dari ayat-ayat ini dapat ditarik konklusi bahwa dosa itu dapat menghilangkan kelembutan hati, sedemikian sehingga hakikat-hakikat yang ada pada cermin Ilahi ini (baca: hati) tidak lagi memantulkan cahaya. Dan kalau tidak, ayat-ayat hak ini khusus berkenaan dengan masalah mabda dan ma’ad yang sudah cukup jelas dan terang (bagi mereka).[12]
Efek dan dampak negatif dosa yang sifatnya sosial kemasyarakatan
Dosa menyebabkan kejumudan dan keterbelakangan masyarakat. Tingkat kriminalitas dan kejahatan semakin bertambah dan juga dengan melihat reaksi yang dimilikinya, dosa dapat mengacaukan seluruh aktifitas orang-orang aktif di masyarakat dan menjadi tembok penghalang kemajuan. Bahkan di kalangan masyarakat Barat, orang-orang pendosa dan kriminalis umumnya berasal dari kalangan menengah ke bawah masyarakat dan mereka kehilangan posisi sebagai makhluk sosial.
Sumber dosa adalah kelalaian dan kejahilan (kebodohan)
Senjata terampuh dan cara paling pertama untuk menembus manusia adalah dengan membuat mereka (manusia) lalai. Kalau setan mampu membuat seseorang itu lalai, maka ia tidak akan lagi merasa kesulitan dalam mewujudkan kejahilan yang sifatnya berlipat ganda. Kalau dengan bisikan setan, gambaran kebajikan hilang dari benak manusia maka setan pun merasa lebih santai dan nyaman. Kejahilan merupakan sumber kejahatan dan kerusakan.
Ayat-ayat yang berkenaan dengan kisah Nabi Yusuf As menunjukkan bahwa rasa cinta yang dibarengi dengan dosa dan penyelewengan instink itu semua bersumber dari kebodohan dan kejahilan, jahil terhadap nilai-nilai eksistensial manusia, jahil terhadap efek dan dampak positif dari kesucian dan kebersihan diri dan jiwa, jahil terhadap akibat naas dari dosa dan terakhir jahil terhadap seluruh perintah dan larangan Allah Swt.[13]
Solusi dan jalan selamat:
Ada beberapa solusi dan jalan selamat yang bisa disebutkan di sini:
1. Taubat dari dosa[14] dan beristigfar[15]: Taubat dalam bahasa Arab diartikan sebagai rujuu’ (kembali), ketika hamba kembali kepada tuannya, maka itu dikatakan ia telah bertaubat. Allah Swt dalam Al-Qur’an menyeru kepada seluruh kaum mukminin untuk bertaubat.
2. Mengingat (akibat buruk) dosa.[16]
3. Mengingat Allah Swt.[17]
4. Adanya keinginan dan tekad manusia (untuk tidak melakukan dosa).[18][]
[1] .Abdullah Jawadi Amuli, Marâhil-e Akhlâq dar Qur’ân, hal 332-334.
[2] .Nahjul Balâghah, khutbah ke 176; Abdullah Jawadi Amuli, Mabâdi Akhlâq dar Qur’ân, hal 318; Mulla Mahdi Naraqi, Jâmi’u al-Sa’âdah, hal 194; Abdullah Jawadi Amuli, Tasnîm, hal. 400.
[3] . Abdullah Jawadi Amuli, Marâhil-e Akhlâq dar Qur’ân, hal 155-159.
[4] . "Apakah Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa." (Qs. Syu’ara [26]: 221-222).
[5] . Abdullah Jawadi Amuli, Mabâdi Akhlâq dar Qur’ân, hal 112.
[6] . "Setan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah. Mereka itulah golongan setan. Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan setan itulah golongan yang merugi." (Qs. Al-Mujadalah [58]:19)
[7] . Abdullah Jawadi Amuli, Mabâdi Akhlâq dar Qur’ân, hal 235-236.
[8] .Syekh Shaduq, al-Tauhid, hal 252; Abdullah Jawadi Amuli, Fitrat dar Qur’ân, hal 103.
[9] . Tafsir Qurthubi, jil. 10, hal 705; Rûh al-Ma’âni, jil. 30, hal 73.
[10] .Kulaini, Ushûl al-Kâfi, jil. 2, bab dosa-dosa, riwayat 1 dan 13; Makarim Syirazi, Payâm-e Qur’ân, jil. 1, hal 360-367; Durr al-Mantsûr, jil. 6, hal 326; Allamah Majlisi, Hilyat al-Muttaqîn, hal. 98.
[11] . "Pernahkah kamu pernah melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (bahwa ia tidak layak lagi memperoleh petunjuk), serta Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan di atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)? Mengapa kamu tidak mau ingat?" (Qs. Al-Jatsiyah [45]:23); Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir Tasnîm, jil. 2, hal 203.
[12] .Makarim Syirazi, Payâm Qur’ân, jil. 1, hal 361; Tafsir Fakhrurrazi, jil. 31, hal 94.
[13] .Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir Tasnîm, jil. 3, hal 397; Nasir Makarim Syirazi, Payâm Qur’ân, jil. 1, hal 88.
[14] . "Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." (Qs. Al-Nur [24]:31).
[15] .Nahjul Balaghah, hikmah 409; Mulla Ahmad Naraqi, Mi’raj al-Sa'âdah, hal 669; Syahid Muthahari, Falsafe-ye Akhlâq, hal 164.
[16] .Abdullah Jawadi Amuli, Mabâdi Akhlâq dar Qur’ân, hal 55-56.
[17] .ibid.
[18] . "Hai orang-orang yang beriman, ingatlah Allah sebanyak-banyaknya." (Qs. al Ahzab [33]:41).