Please Wait
12079
Menjadi penghuni surga tidak bersandar pada titel atau klaim, melainkan berpijak pada standar "iman" dan "amal saleh". Seorang Syiah juga akan menjadi penghuni surga sepanjang ia tidak sekedar mengklaim diri sebagai Syiah namun ia harus menunaikan segala tuntutan ketika seseorang menjadi Syiah kemudian mengumpulkan sangu dan bekal sebanyak mungkin sehingga memiliki kelayakan untuk menerima syafaat.
Apabila pemeluk setiap agama samawi mengamalkan seluruh ajaran agama, selama agama tersebut tidak dianulir oleh nabi dan agama selepasnya, maka ia akan menjadi penghuni surga. Akan tetapi, setelah pengutusan Nabi Muhammad saw satu-satunya agama yang diterima di sisi Allah adalah Islam yang mengkristal dalam mazhab Ahlulbait. Adapun yang dapat disimpulkan dari al-Qur'an dan riwayat bahwa mustadhafin; yaitu orang-orang yang tidak memiliki akses untuk mendapatkan bimbingan dan tidak memungkinkan bagi mereka untuk berhijrah dan sebagainya, namun hidup sesuai dengan tuntutan fitrah "kemanusiaannya" maka ia akan mendapatkan rahmat Ilahi yang mahaluas.[i] Mustad'afhin,di samping orang jahil qashir (terma ini akan dijelaskan kemudian), adalah orang-orang yang meninggal sebelum mencapai usia baligh, demikian juga orang-orang gila dan sebagainya juga termasuk dalam curahan rahmat Ilahi yang maha menjuntai ini.
Karena itu, hanya orang-orang yang menentang dan bersikap keras kepala setelah mengenal kebenaran, kemudian menampiknya dan demikian juga memandang enteng untuk mengenal kebenaran yang kemudian dikenal sebagai muqasshir. Orang yang memiliki karakter seperti ini bukanlah termasuk orang yang selamat. Adapun kebanyakan manusia yang qashir dan tidak menentang kebenaran maka ia tergolong sebagai orang selamat dengan kemurahan dan rahmat Ilahi.
Menjadi penghuni surga tidak bersandar pada titel atau klaim, melainkan berpijak pada standar "iman" dan "amal saleh".[1] Karena itu, barangsiapa yang mempersiapkan dua bekal ini di dunia maka di akhirat kelak akan terbuka baginya jalan menuju surga. Kalau tidak demikian, maka langkahnya akan bermuara pada neraka. Kecuali kalau ia termasuk orang-orang lemah (mustad'afhin) yang akan memperoleh rahmat Ilahi yang luas atau syafaat Nabi saw atau para imam maksum dan orang-orang beriman. Maka ia akan terbebas dari api neraka.
Al-Qur'an terkait dengan hal ini menegaskan, "Sesungguhnya orang-orang mukmin, para pemeluk (agama) Yahudi, para pemeluk (agama) Nasrani dan orang-orang Shabi`in (para pengikut Nabi Yahya as), jika mereka benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhan mereka; tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. " (Qs. Al-Baqarah [2]:62)[2]
Ayat-ayat ini di samping menegaskan bahwa menjadi Yahudi atau Kristen dan sebagainya tidak memadai untuk mendapatkan tiket memasuki surga; artinya bahwa ayat-ayat ini menyoroti masalah iman dan amal saleh sebagai syarat untuk memasuki surga. Bukan sekedar memeluk suatu agama tertentu.
Memeluk suatu agama bersyarat bahwa agama tersebut tidak dianulir oleh nabi dan agama selepasnya. Menjadi pengikut Musa as adalah legal dan absah selama Isa belum lagi diutus. Demikian juga, mengikut Nabi Isa as adalah lebal dan absah sepanjang Nabi Muhammad saw belum lagi diutus yang menganulir dan memakzulkan agama-agama sebelumnya.
Di samping itu, semata-mata mengklaim sebagai pengikut tentu tidak memadai, melainkan diperlukan iman. Adapun iman yang tanpa disertai dengan kemestian-kemestian ideologis, praktis, dan etisnya, bukanlah iman sejati. Karena itu, konsekuensi logis iman kepada Musa as adalah mengikut nabi atau nabi-nabi selepasnya. Dan kemestian iman kepada Isa as adalah menerima kenabian nabi yang dijanjikan dan pamungkas, Muhammad saw. Demikian seterusnya, konsekuensi logis iman kepada Nabi Muhammad saw adalah ketundukan total di hadapan perintah dan anjurannya. Di antara perintah dan anjurannya kepada umat adalah penerimaan wilâyah (imâmah dan khilâfah) Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as dan sebelas putranya. Sepanjang penerimaan totalitas ini tidak terpenuhi, maka ia bukanlah tergolong seorang muslim (totalitas) dan pengikut sejati agama Ilahi dan sebagai hasilnya, ia tidak memperoleh izin untuk memasuki surga.[3]
Dengan kata lain, setelah pengutusan Rasulullah saw satu-satunya agama yang sah, legal dan diterima adalah "Islam".[4] Sedemikian sehingga Islam minus wilayah bukanlah termasuk sebagai Islam sejati dan iman sempurna kepada Allah Swt, Rasul-Nya dan hari Kiamat sehingga ia dapat memiliki tiket untuk masuk ke dalam surga. Karena itu, satu-satunya jalan (mazhab) yang menyampaikan manusia kepada surga adalah Syiah. Dengan penegasan bahwa sekedar mengklaim diri sebagai seorang Syiah juga tidak memadai. Ia harus menjadi Mukmin (Syiah) sejati dan melakukan amal kebajikan sehingga ia tergolong sebagai penghuni surga atau memiliki kapabilitas untuk mendapatkan syafaat.
Akan tetapi orang-orang mustad'afhin (orang-orang qashir, orang gila, anak-anak dan lain sebagianya) yang tidak memiliki kemampuan untuk menemukan jalan kebenaran, menantikan hukum Ilahi untuk mendapatkan rahmat-Nya yang mahaluas dan tidak termasuk dalam aturan ini.[5]
Akan tetapi kiranya kami perlu mengungkapkan beberapa poin penting berikut ini:
1. Jahil qashir adalah orang yang tidak sampai kepadanya kebenaran dan juga getol dalam mencari kebenaran (tidak memandang enteng dan ringan pencarian kebenaran). Atas alasan ini, perbuatannya tidak termasuk sebagai perbuatan dosa. Karena dalam asumsi ini, hujjah Ilahi belum lagi tuntas dan sempurna baginya. Dan sepanjang hujjah Ilahi belum tuntas dan sempurna maka mustahil Tuhan akan menindaknya.[6]
Dengan demikian, jahil qashir ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok:
- Orang-orang yang karena faktor lingkungan dan sebagainya sedemikian sehingga pesan kebenaran tidak sampai kepadanya.
- Mustad'afhin pemikiran adalah orang-orang yang tidak mampu memahami kebenaran dan lemah kadar intelektualnya.
- Orang-orang yang hidup dalam kejahilan ganda yaitu orang yang tidak tahu bahwa ia tidak tahu.
Adapun jahil muqasshir yang mendapatkan azab Ilahi adalah orang yang ditunjukkan kepadanya kebenaran dan ia dengan sengaja, meski mengetahui kebenaran, berpaling darinya. Atau memandang enteng kebenaran meski ia memiliki kemampuan untuk mengaksesnya.
2. Harus diperhatikan bahwa iman dan kufur bukan semata-mata proses dari usaha berpikir dan inteleksi, namun dipengaruhi oleh sekumpulan pemikiran dan tindakan. Atas alasan ini, al-Qur'an menyebutkan: "Kemudian pendustaan terhadap ayat-ayat Allah dan memperolok-olokkannya adalah akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan." (QS Al-Rum [30]:10)
Karena itu harus dikatakan: Apabila seseorang tanpa memiliki jejak rekam (track-record) berupa keburukan atau tidak terpengaruh masalah-masalah politik, kepartaian, kelompok; artinya ia menghindar dari perbuatan-perbuatan yang berseberangan dengan rasionalitas dan akal sehat, dan pada saat yang sama berusaha berpikir untuk menemukan kebenaran di alam, namun ia tidak sampai pada keyakinan tentang keberadaan Tuhan, atau tidak menemukan agama dan mazhab yang benar, atau benar-benar ia sampai kepada keyakinan yang muaranya adalah kekafiran, maka orang seperti ini tidak akan mendapatkan siksa Ilahi kelak di hari Kiamat. Akan tetapi, hal ini ditinjau dari sudut pandang akal. Namun al-Qur'an menjanjikan bahwa apabila ada orang-orang yang berusaha serius dan semaksimal mungkin maka Kami akan tunjukkan jalan kepadanya dan mereka akan memperoleh petunjuk.[7]
3. Dalam riwayat disebutkan tentang anak-anak yang meninggal dunia:
- Apabila anak-anak itu adalah anak-anak orang beriman:
1. Di alam barzakh ia akan berada di hadapan Nabi Ibrahim dan Sarah as atau Sayidah Fatimah Zahra as. Di sana mereka akan mendapatkan pelajaran seperlunya dan mendapatkan jalan untuk menyempurnakan ruhnya dan mencapai kesempurnaan.
2. Disebutkan pada penafsiran ayat 21, surah al-Thur[8] bahwa: "Mereka bergabung dengan ayah dan bunda mukminnya sehingga keduanya merasa bahagia di surga."[9]
- Apabila anak-anak itu adalah anak-anak orang kafir dan munafik:
1. Dalam tafsir ayat "Yathufu 'alaihim wildan mukhladun."[10] Disebutkan bahwa anak-anak kaum musyrik, orang-orang kafir akan menjadi pelayan para penghuni surga. Akan tetapi, hal ini tidak termasuk sebagai hukuman bagi mereka. Pelayanan yang mereka berikan tidak seperti dengan pelayanan di dunia yang menyebabkan kehinaan atau kecapaian dan semisalnya. Melainkan akan menyebabkan kegembiraan, pesona dan keindahan mereka.
2. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa masalah ini dikembalikan kepada Tuhan: "Allah Swt mengetahui tentang apa yang mereka lakukan atau apa yang akan mereka lakukan."[11]
3. Allah Swt, melalui perantara seorang malaikat, menyalakan api dan memerintahkan mereka untuk mendekat kepada api. Sekelompok orang datang mendekat kepada api dan api menjadi dingin bagi mereka dan memberikan keselamatan kepada mereka sebagaimana yang terjadi pada Nabi Ibrahim as. Sebagian lainnya tidak mendekat kepada api. Hanya kelompok yang pertama yang mendapatkan keselamatan. Akan tetapi orang-orang gila dan berada pada fatrat (tiadanya hujjah dan nabi yang datang kepada mereka) dan hujjah bagi mereka tidak tuntas dan sempurna, mereka dihukumi yang sama.[12]
4. Sebagian teolog berpandangan bahwa anak-anak orang kafir dan musyrik ini tidak berada di surga juga tidak berada di neraka. Mereka berada pada satu tempat yang bernama A'raf[13] dimana mereka tidak akan diazab juga tidak akan diberikan nikmat.[14]
Allamah Thabathabai khususnya terkait dengan anak kecil dan orang gila dan sebagainya berkata: Apa yang dinyatakan al-Qur'an terkait dengan anak kecil dan orang gila dan sebagainya adalah redaksi-redaksi yang tidak dapat dihukumi secara detil. Bahwa apakah mereka mencapai kebahagiaan dan kecelakaan di akhirat atau tidak, tidak diketahui secara rinci. Mengingat bahwa hal-hal rinci tentang kondisi seseorang di akhirat bukanlah sebuah perkara yang dapat dicerap oleh akal manusia. Kecuali kita berkata bahwa dosa dan ampunan tidak terbatas pada penentangan terhadap taklif, melainkan bahwa sebagian tingkatan ampunan mengikut pada penyakit-penyakit hati dan kondisi-kondisi buruk yang menimpa hati, dan terbentangnya hijab antara hati dan Tuhan. Benar bahwa orang-orang ini lantaran kelemahan akal mereka tidak memiliki taklif. Namun apa pun yang mereka lakukan akan menyisakan efek pada diri mereka tatkala mereka melakukan perbuatan buruk dan membuat hati mereka ternoda dan terhijab di hadapan Tuhan. Melainkan mereka sama dengan orang lain dalam hal ini. Dan kesimpulannya pada merasakan kenikmatan melimpah di sisi Allah Swt dan kehadiran di haribaan Tuhan memerlukan dihilangkannya pelbagai penyakit tersebut dan tersingkapnya pelbagai tirai yang tiada satu pun yang dapat menghilangkan dan menyingkap semua ini kecuali ampunan Ilahi. Boleh jadi demikianlah apa yang dimaksud dalam riwayat, "Allah Swt akan mengumpulkan manusia di Padang Mahsyar dan menyalakan api neraka. Kemudian Allah Swt memerintahkan manusia untuk masuk ke dalam api. Maka barangsiapa yang memasuki api tersebut, maka ia akan masuk ke dalam surga. Barangsiapa yang membangkang, maka ia akan masuk ke dalam neraka." Artinya bahwa yang dimaksud dengan api di sini adalah tersingkapnya pelbagai hijab dan tersembuhkannya segala penyakit tersebut.[15] []
[1] Sesungguhnya bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; itulah keberuntungan yang besar. (QS Al-Buruj [85]: 11)
[2] Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan, dan memakan harta haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. (QS Al-Maidah [5]: 62); "Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shâbi’în (para penyembah bintang), orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi, dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu." (QS Al-Hajj [22]:17); Silahkan lihat al-Mîzân, hal. 192-196.
[3] Indeks terkait; Syiah dan Surga, pertanyaan 248.
[4] Lihat, QS Ali Imran (3): 81-91.
[5] Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata, “Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?” Tempat orang-orang itu adalah neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. . kecuali mereka yang tertindas, baik laki-laki atau wanita maupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkan mereka. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS Al-Nisa [4]:97-99)
[6] Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS Al-Isra [17]:15) Tentu saja hal ini tidak semata-mata bermakna pengutusan nabi namun juga berarti sampainya pesan (risalah). Artinya apabila seorang rasul diutus namun pesannya tidak sampai kepada manusia, maka hujjah belum lagi sempurna dan sebab hukum akan senantiasa tetap.
[7] Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. (QS Al-Ankabut [29]:69)
[8] Orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami gabungkan anak cucu mereka dengan mereka (di surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang telah dikerjakannya." (Qs. Al-Thur [51]:21)
[9] Bihar al-Anwar, jil. 5, bab 13, hal. 290; jil. 6, hal. 229; Amali Shaduq, hal. 269-271.
[10] Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda (QS Al-Waqiah [56]:17)
[11] Bihar al-Anwar, jil. 5, hal. 288-295, bab 13..
[12] Bihar al-Anwar, jil. 6, hal. 292, hadis ke-14; jil. 5, hal. 295, hadis ke-22.
[13] Allamah Thabathabai dengan selaksa dalil berpandangan bahwa yang dimaksud dengan orang A'raf pada ayat 48 surah al-A'raf, Dan orang-orang yang berada di atas al-A‘raf memanggil beberapa orang (dari penghuni neraka) yang mereka mengenalnya dengan tanda-tandanya seraya mengatakan, “Harta yang kamu kumpulkan dan apa yang selalu kamu sombongkan itu tidaklah memberi manfaat kepadamu,” bukanlah orang-orang mustad'afhin. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Terjemahan Persia Tafsir al-Mizan, jil. 8, hal. 154-156.
[14] Bihar al-Anwar, jil. 5, bab 13, hal. 298.
[15] Terjemahan Persia, Tafsir al-Mizan, jil. 6, hal. 535-536.