Advanced Search
Hits
28060
Tanggal Dimuat: 2009/03/16
Ringkasan Pertanyaan
Dimanakah letak kebahagiaan dan kesempurnaan manusia?
Pertanyaan
Dimanakah letak kebahagiaan dan kesempurnaan manusia?
Jawaban Global

Jawaban lengkap untuk pertanyaan ini berada dalam lingkup jawaban terhadap dua pertanyaan asasi berikut ini:

1.       Apa arti kebahagiaan manusia? Apakah kebahagiaan tersebut terpisah dari kesempurnaan atau tidak?

2.       Eksistensi semacam apakah manusia itu? Materi murnikah dia atau …?

Sepertinya kebahagiaan tidak terlepas dari kesempurnaan, seberapapun manusia memperoleh kesempurnaan, hal ini akan mengantarkannya kepada kebahagiaan. Perlu diketahui bahwa manusia adalah sebuah eksistensi yang terkomposisi dari ruh dan badan, dimana ruhnya di sini merupakan substansi wujudnya.

Kebahagiaan ruh dan badan bergantung pada perolehan keduanya terhadap kesempurnaan wujud mereka. Kebahagiaan ruh berada dalam kedekatan dan sampainya ke Tuhan, dalam keadaan inilah dia akan sampai pada kesempurnaan akhirnya. Tentunya kesehatan, keselamatan badan serta persoalan-persoalan materi dalam riwayat-riwayat Islam dikategorikan pula sebagai bagian dari kebahagiaan manusia.

Namun dalam kaitannya dengan hal ini, sebagian kalangan menganggap bahwa kebahagiaan itu terpisah dari kesempurnaan, atau terdapat kelompok yang memiliki pandangan lain dalam masalah pengenalan manusia, dimana keseluruhan dari wacana-wacana tersebut telah dianalisa dan dikritik pada tempatnya tersendiri. Misalnya sebagian menganggap karena manusia adalah sebuah eksistensi materi maka kebahagiaannya terletak dalam perolehan-perolehan kenikmatan materi.

Kelompok lainnya seperti sebagian dari para filosof menganggap bahwa akal merupakan substansi manusia, sementara sebagian lainnya seperti para urafa meletakkan cinta sebagai tolok ukur kemanusiaan, dan sebagainya. Dan keseluruhannya, karena tidak melihat hakikat, telah menyebabkan mereka berjalan di atas khayalannya masing-masing.

Jawaban Detil

Jawaban detil dan lengkap terhadap pertanyaan ini berada dalam lingkup penjelasan yang benar dan jelas terhadap mafhum kebahagiaan dan pengenalan yang benar terhadap manusia dan tujuan-tujuannya.

Sebagian seperti Kant, sepakat terhadap keterpisahan antara kesempurnaan dan kebahagiaan, dia mengatakan bahwa di seluruh dunia hanya terdapat sebuah kesempurnaan dan kebaikan yang tak lain adalah 'kehendak baik', dan kehendak baik ini bermakna ketaatan pada perintah-perintah hati, baik kemudian ia mencarinya ataupun tidak, akan tetapi kebahagiaan adalah kenikmatan yang tidak dibarengi dengan sedikitpun rasa sakit dan penderitaan, sementara moral, etika dan akhlak berkaitan dengan kesempurnaan, bukan kebahagiaan.[1]

Akan tetapi, para ulama dan filosof Islam mengatakan, seberapapun manusia mencapai kesempurnaan dan mendekati tujuannya maka berarti dia telah sampai pada kebahagiaan.[2] Tidak sebagaimana halnya Kant, mereka menganggap kesempurnaan tidak terpisah dari kebahagiaan, tentunya mereka sepakat jika yang dimaksud dengan kebahagiaan adalah kebahagiaan inderawi (kesenangan materi dunia) maka kebahagiaan yang semacam ini ini akan terpisah dari kesempurnaan.[3]

Dari sisi lain, bentuk pandangan dan perspektif yang dimiliki oleh berbagai isme-isme terhadap manusia telah menyebabkan terjadinya perbedaan dalam menyimpulkan kebahagiaan.

Pandangan dan isme yang menganggap manusia sebagai sebuah eksistensi materi, meletakkan kebahagiaan manusia dalam lingkup terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan materinya, dan sebagian lainnya menganggap kesempurnaan manusia terletak pada semakin dimilikinya kenikmatan-kenikmatan materi (sebagai kepemilikan pribadi maupun bersama), sedangkan mereka yang menempatkan akal sebagai parameter kemanusiaan sepakat bahwa kebahagiaan manusia terletak pada kemajuan dan perkembangan akal terhadap maarif dan pengenalan hakikat-hakikat Ilahi.

Mereka seperti para urafa memberikan perhatiannya pada masalah-masalah internal dan penderitaan, dan menganggap manusia sebagai sebuah eksistensi yang terjebak dalam sangkar dan terasing dari watan aslinya, sehingga mereka meletakkan kebahagiaannya seukuran dengan perolehan cinta. Sementara itu kelompok yang meletakkan kekuatan sebagai asas menganggap kebahagiaan manusia terletak pada kodrat dan kemampuannya. Akan tetapi perspektif Islam (dengan penerimaannya terhadap keberadaan akal dan cinta) mendefinisikan manusia sebagai berikut: manusia adalah sebuah eksistensi yang memiliki potensi-potensi yang berbeda, mereka tergabung dari jiwa dan raga (ruh dan badan), bukan sebuah eksistensi materi murni,[4] kehidupan hakikinya berada di dunia lain, diciptakan untuk keabadian, dan pikiran, perbuatan, perilaku dan moralnya akan membentuk badan ukhrawinya dan …

Dengan pandangan yang seperti ini, kebahagiaan manusia hanya akan terwujud dengan adanya pertumbuhan yang harmoni antara potensi-potensi yang dimilikinya dan jawaban yang sesuai terhadap kebutuhan-kebutuhan ruhani dan jasmaninya. Allamah Thabathabai dalam kaitannya dengan masalah ini mengatakan,[5]"Kebahagiaan segala sesuatu adalah sampai sesuatu tersebut kepada kebaikan wujudnya, dan kebahagiaan manusia karena ia merupakan sebuah eksistensi yang terkomposisi dari ruh dan badan adalah sampainya mereka pada kebaikan jasmani dan ruhaninya."

Ruh yang berasal dari Tuhan, "… Aku telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku …" (Qs. Al-Hijr [15]: 29) kebahagiaannya berada dalam lingkup kedekatannya kepada Tuhan, yaitu kembali ke tempat dari mana dia berasal. Dengan ibarat lain, ruh sebagai substansi manusia yang berasal dari Tuhan (innalillah), dengan melintasi tahapan-tahapan di tempat tinggal sementaranya di alam tabiat, akan memperoleh kebahagiaannya ketika keluar dari alam tabiat dengan mengendarai cinta dan kematian ikhtiari[6] lalu sampai pada tempat dari mana dia berasal (wa inna ilaihi raji'un). Manusia semacam ini meskipun tubuhnya berada di dunia, akan tetapi ruhnya terlah terikat dengan dunia lain.[7]

Tentunya hal ini tidaklah dengan makna ketiadaan perhatian terhadap persoalan-persoalan materi, karena memperoleh kesehatan, keselamatan dan kenikmatan-kenikmatan materi, dan … termasuk dari kebahagiaan manusia dan telah dianjurkan kepada manusia untuk memperhatikan prinsip-prinsip kesehatan untuk memperkuat jasmani. Hal ini dikarenakan tubuh yang sehat merupakan sarana dan syarat untuk mendapatkan ruh yang sehat.[8]

Akan tetapi, maksudnya adalah bahwa ruh akan membentuk substansi dan identitas manusia, dan tujuan dari penciptaan eksistensi semacam ini adalah kedekatan dan taqarrub kepada-Nya, berfirman, "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhan-mu dengan hati yang puas lagi diridai. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." (Qs. Al-Fajr [89]: 27-30); "Hai manusia, sesungguhnya kamu menuju kepada Tuhan-mu dengan kerja dan usaha yang sungguh-sungguh, maka kamu pasti akan menjumpai-Nya." (Qs. Insyiqaq [84]: 6); "… di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa" (Qs. Al-Qamar [54]: 55).

Atau pada tempat lain  berfirman, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (Qs. Adz-Dzariyat: 56). Ibadah merupakan sarana untuk mendekati dan taqarrub kepada-Nya, "Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat." (Qs. Al-Baqarah [2]: 45) … dengan demikian dapat dikatakan bahwa segala hal yang bisa membantu manusia untuk mendekati-Nya akan mengantarkan kepada kebahagiaannya dan di sini bukan hanya shalat yang akan menjadi sarana untuk mendekati-Nya, mengabdi dan berkhidmat kepada para hamba-Nya dikategorikan pula dalam jajaran ibadah dan sarana untuk memperoleh kedekatan kepada Tuhan.

Allamah Thabathabai mengatakan,[9] "Segala sesuatu yang dikategorikan sebagai kenikmatan, hanya akan merupakan sebuah kenikmatan ketika bersesuaian dengan tujuan yang ditetapkan oleh Tuhan dalam penciptaan mereka untuk manusia, karena segala sesuatu tersebut diciptakan dengan maksud supaya digunakan oleh manusia sebagai bantuan dari Tuhan dalam meraih jalan kebahagiaan hakikinya yang tak lain adalah kedekatan kepada-Nya dengan melalui penghambaan dan kepasrahan di hadapan-Nya,s ebagaimana firman-Nya, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." []



[1] . Muthahhari, Murtadha, Falsafeye Akhlâq, hal. 70-71.

[2] . Mafhum kebahagiaan dalam kitab-kitab akhlak ditempatkan sebagai rukun akhlak, rujuklah kitab: Beh Mi'raj-e Sa'âdat, hal. 18 dan 23.

[3] . Muthahhari, Murtadha, Falsafe-ye Akhlâq, hal. 72.

[4] . "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan dia air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain." (Qs. Al-Mukminun12-14) dan "Maka apabila Aku telah menyempurnakan penciptaannya, dan telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku …" (Qs. Hijr [15]: 24).

[5] . Allamah Thabathabai, Muhammad Husain, Tafsir al-Mizân, jil. 11, hal. 28.

[6] . Kematian ikhtiyari tak lain adalah melawan nafsu dan membunuhnya dimana dalam ungkapan Imam Ali As dikatakan "Hanya menghidupkan akalnya dan mematikan nafsunya", Nahjul Balaghah, khutbah ke 220.

[7] . Nahjul Balaghah, surat ke 147.

[8] . Ushul Kâfi, jil. 2, hal. 550.

[9]. Allamah Thabathabai, Muhammad Husain, Tafsir Al-Mizan, jil. 5, hal. 281.  

Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar
Jumlah Komentar 0
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
contoh : Yourname@YourDomane.ext
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
<< Libatkan Saya.
Silakan masukkan jumlah yang benar dari Kode Keamanan

Klasifikasi Topik

Pertanyaan-pertanyaan Acak

Populer Hits

  • Ayat-ayat mana saja dalam al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya?
    261144 Tafsir 2013/02/03
    Untuk mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran, pertama-tama, kita harus melihat secara global makna “akal” yang disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan dengan pendekatan ini kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran terkait dengan berpikir dan menggunakan akal dalam al-Quran. Akal dan pikiran ...
  • Apakah Nabi Adam merupakan orang kedelapan yang hidup di muka bumi?
    246265 Teologi Lama 2012/09/10
    Berdasarkan ajaran-ajaran agama, baik al-Quran dan riwayat-riwayat, tidak terdapat keraguan bahwa pertama, seluruh manusia yang ada pada masa sekarang ini adalah berasal dari Nabi Adam dan dialah manusia pertama dari generasi ini. Kedua: Sebelum Nabi Adam, terdapat generasi atau beberapa generasi yang serupa dengan manusia ...
  • Apa hukumnya berzina dengan wanita bersuami? Apakah ada jalan untuk bertaubat baginya?
    230053 Hukum dan Yurisprudensi 2011/01/04
    Berzina khususnya dengan wanita yang telah bersuami (muhshana) merupakan salah satu perbuatan dosa besar dan sangat keji. Namun dengan kebesaran Tuhan dan keluasan rahmat-Nya sedemikian luas sehingga apabila seorang pendosa yang melakukan perbuatan keji dan tercela kemudian menyesali atas apa yang telah ia lakukan dan memutuskan untuk meninggalkan dosa dan ...
  • Ruh manusia setelah kematian akan berbentuk hewan atau berada pada alam barzakh?
    214919 Teologi Lama 2012/07/16
    Perpindahan ruh manusia pasca kematian yang berada dalam kondisi manusia lainnya atau hewan dan lain sebagainya adalah kepercayaan terhadap reinkarnasi. Reinkarnasi adalah sebuah kepercayaan yang batil dan tertolak dalam Islam. Ruh manusia setelah terpisah dari badan di dunia, akan mendiami badan mitsali di alam barzakh dan hingga ...
  • Dalam kondisi bagaimana doa itu pasti dikabulkan dan diijabah?
    176243 Akhlak Teoritis 2009/09/22
    Kata doa bermakna membaca dan meminta hajat serta pertolongan.Dan terkadang yang dimaksud adalah ‘membaca’ secara mutlak. Doa menurut istilah adalah: “memohon hajat atau keperluan kepada Allah Swt”. Kata doa dan kata-kata jadiannya ...
  • Apa hukum melihat gambar-gambar porno non-Muslim di internet?
    171560 Hukum dan Yurisprudensi 2010/01/03
    Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban global. Silahkan Anda pilih jawaban detil ...
  • Apakah praktik onani merupakan dosa besar? Bagaimana jalan keluar darinya?
    168044 Hukum dan Yurisprudensi 2009/11/15
    Memuaskan hawa nafsu dengan cara yang umum disebut sebagai onani (istimna) adalah termasuk sebagai dosa besar, haram[1] dan diancam dengan hukuman berat.Jalan terbaik agar selamat dari pemuasan hawa nafsu dengan cara onani ini adalah menikah secara syar'i, baik ...
  • Siapakah Salahudin al-Ayyubi itu? Bagaimana kisahnya ia menjadi seorang pahlawan? Silsilah nasabnya merunut kemana? Mengapa dia menghancurkan pemerintahan Bani Fatimiyah?
    158079 Sejarah Para Pembesar 2012/03/14
    Salahuddin Yusuf bin Ayyub (Saladin) yang kemudian terkenal sebagai Salahuddin al-Ayyubi adalah salah seorang panglima perang dan penguasa Islam selama beberapa abad di tengah kaum Muslimin. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam dalam menghadapi agresi orang-orang Kristen Eropa.
  • Kenapa Nabi Saw pertama kali berdakwah secara sembunyi-sembunyi?
    140884 Sejarah 2014/09/07
    Rasulullah melakukan dakwah diam-diam dan sembunyi-sembunyi hanya kepada kerabat, keluarga dan beberapa orang-orang pilihan dari kalangan sahabat. Adapun terkait dengan alasan mengapa melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi pada tiga tahun pertama dakwahnya, tidak disebutkan analisa tajam dan terang pada literatur-literatur standar sejarah dan riwayat. Namun apa yang segera ...
  • Kira-kira berapa usia Nabi Khidir hingga saat ini?
    133997 Sejarah Para Pembesar 2011/09/21
    Perlu ditandaskan di sini bahwa dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara tegas nama Nabi Khidir melainkan dengan redaksi, “Seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Qs. Al-Kahfi [18]:65) Ayat ini menjelaskan ...