Advanced Search
Hits
10962
Tanggal Dimuat: 2011/04/07
Ringkasan Pertanyaan
Apakah derajat kredibilitas ayat-ayat al-Qur’an lebih tinggi atau riwayat-riwayat muktabar?
Pertanyaan
Pertama, bagaimana tingkatan dan derajat teks lugas ayat-ayat al-Qur’an di hadapan riwayat-riwayat muktabar? Apakah keduanya sederajat? Kedua, Apabila kita dapat memberi nilai misalnya seratus (100) untuk al-Qur’an lantas berapa nilai kita berikan untuk riwayat-riwayat? Ketiga, apa perbedaan antara apa yang difirmankan Allah Swt dalam al-Qur’an secara lugas dan yang kelugasannya berada pada tingkat minimal? Apakah hal tersebut menunjukkan derajat signifikansinya atau tidak?
Jawaban Global

Al-Qur’an dan riwayat-riwayat muktabar keduanya merupakan literatur utama agama dan memiliki tingkat kredibilitas dan otoritas (hujjiyah) utama (dapat dijadikan sebagai sandaran argumentasi).

Sekaitan dengan al-Qur’an tidak lagi mengemuka pembahasan tentang sanad dan periwayatannya. Karena ayat-ayat al-Qur’an bersifat eksak (madhbuth) dan jelas serta diturunkan dari sisi Allah Swt. Oleh itu tidak lagi diperlukan pembahasan. Yang dibahas dari ayat-ayat al-Qur’an ini adalah dari sisi petunjuk (dalâlat) dan pemahaman benar atas makna-maknanya.

Adapun sehubungan dengan hadis, di samping memerlukan pembahasan sanad juga membutuhkan pembahasan petunjuk (dalâlat). Artinya di samping sandarannya kepada maksum harus dikaji dan ditelusuri, makna dan kandungannya juga harus jelas.

Apabila sebuah riwayat atau hadis secara langsung diidengarkan dari maksum atau terdapat kepastian terkait dengan sumber keluarannya (qathi’ al-shudûr) diperoleh dari maksum tidak terdapat keraguan maka nilai dan kredibilitasnya sepadan dengan al-Qur’an dan keduanya memiliki dasar untuk dijadikan sebagai sanad (sandaran) dan hujjah (argumen). Dan berdasarkan kandungan keduanya, hukum harus dikeluarkan dan diamalkan.

Apabila terdapat keraguan dalam menilai validitas sebuah hadis maka sudah barang tentu derajat al-Qur’an lebih tinggi dan menjadi kriteria untuk menilai valid atau tidak validnya riwayat-riwayat.   

Jawaban Detil

Al-Qur’an dan riwayat-riwayat muktabar keduanya merupakan literatur utama agama dan memiliki tingkat kredibilitas dan otoritas (hujjiyah) utama (dapat dijadikan sebagai sandaran argumentasi) .

Sekaitan dengan al-Qur’an tidak lagi mengemuka pembahasan tentang sanad   dan periwayatannya . Karena ayat-ayat al-Qur’an bersifat eksak (madhbuth) dan jelas serta diturunkan dari sisi Allah Swt. Oleh itu tidak lagi memerlukan pembahasan. Yang dibahas dari ayat-ayat al-Qur’an ini adalah dari sisi petunjuk (dalâlat) dan pemahaman benar atas makna-maknanya.

Adapun sehubungan dengan hadis, di samping memerlukan pembahasan sanad juga membutuhkan pembahasan petunjuk (dal â lat ). Artinya di samping sandarannya kepada maksum harus dikaji dan ditelusuri, makna dan kandungannya juga harus jelas.

Apabila sebuah riwayat ata u hadis secara langsung diidengarkan dari maksum atau terdapat kepastian terkait dengan sumber keluarannya (qathi’ al-shud û r ) diperoleh dari maksum tidak terdapat keraguan maka nilai dan kredibilitasnya sepadan dengan al-Qur’an dan keduanya memiliki dasar untuk dijadikan sebagai sanad (sandaran) dan hujjah   (argumen) . Berasas pada kandungan keduanya, hukum harus dikeluarkan dan diamalkan .  

Namun mengingat rentang waktu lebih dari 1200 tahun telah berlalu semenjak masa para maksum dan selama ini banyak hadis telah hilang dan demikian juga telah banyak direkayasa, maka para maksum sendiri menyebutkan salah satu cara yang menghasilkan ketenangan untuk mengidentifikasi validitas satu riwayat adalah keselarasannya dan kesesuainnya dengan al-Qur’an dan tiadanya penentangan al-Qur’an terhadap riwayat tersebut. [1] Karena itu, apabila terdapat keraguan terkait dengan validitas nukilan sebuah hadis maka sudah barang tentu tingkatan al-Qur’an lebih tinggi dan menjadi kriteria untuk menentukan valid dan tidak validnya riwayat-riwayat yang ada.

Di kalangan kaum Muslimin senantiasa terdapat kelompok ifrath dan kelompok tafrith terkait dengan nilai dan kredibilitas hadis. Pada masa-masa awal kemunculan Islam, sebagian meneriakkan slogan “hasbuna kitabaLlah’ (cukup bagi kami Kitabullah) dan beranggapan bahwa dengan adanya al-Qur’an maka kami tidak lagi memerlukan riwayat dan hadis. K onsekuensinya mereka kemudian menyingkirkan sabda-sabda Rasulullah Saw, para Imam Maksum As dan para sahabatnya.

Setelah beberapa lama kemudian muncul kelompok ifrath di kalangan Ahlusunnah yang menyuarakan slogan “hasbuna al-riwayat” (cukup bagi kami riwayat-riwayat). Mereka mengira bahwa dengan adanya hadis-hadis maka kita tidak lagi memerlukan al-Qur’an sedemikian sehingga mereka berkata, “Hadis tidak akan mengalami nasakh (anulir) melalui perantara al-Qur’an namun ia dapat menjadi pe-nasakh al-Qur’an.” [2]

DI kalangan Syiah, terdapat k elompok Akhbariyun yang mempertanyakan otoritas lahir al-Qur’an dan meyakini bahwa sepanjang persoalan yang terdapat dalam al-Qur’an belum lagi mendapat sokongan riwayat maka tidak mungkin bagi kita untuk memahaminya. Bahkan mereka memandang haram melakukan penafsiran atas al-Qur’an dan menyebut penafsiran ini sebagai tafsir birray.

Padahal Rasulullah Saw bersabda, “Inni t â rikun fiikum al-tsaqala î n kit â baLl â h wa itrati..” (Kutinggalkan dua pusaka berharga bagi kalian Kitabullah dan Itrah Ahlulbaitku selama kalian berpegang teguh kepada keduanya kalian tidak akan tersesat selamanya). [3]   Artinya al-Qur’an dan sabda-sabda para maksum adalah hujjah (sandaran argumen) bagi seluruh kaum Muslimin. Dua narasumber ini adalah media untuk mengenal agama dan jalan untuk meraih kebahagiaan. U ntuk mencapai keduanya kita harus bersandar kepada al-Qur’an dan sabda-sabda para maksum As.

Namun boleh jadi terdapat beberapa hal yang disebutkan secara global dalam al-Qur’an dan dijelaskan ulasan dan rinciannya oleh Rasulullah Saw atau para Imam Maksum As, atau terdapat hal-hal yang dikemukakan secara global dan riwayat-riwayat mengkhususkan (takshish) dan mengecualikan hal-hal tersebut. Hal ini merupakan tugas yang dibebankan al-Qur’an di pundak Rasulullah Saw, Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka merenungkan. (Qs. Al-Nahl [16]:44) Tugas ini, berdasarkan beberapa riwayat yang dinukil dari Rasulullah Saw, [4] diletakkan di pundak para Imam Maksum As sehingga mereka menjawab dan mengatasi pelbagai persoalan yang di hadapi masayarakat dengan menyuguhkan penafsiran benar terhadap al-Qur’an pasca Rasulullah Saw. [5]

Masalah penting dalam menafsirkan al-Qur’an dan riwayat-riwayat adalah memahami kandungan dan pesannya yang tentu saja memerlukan spesialisasi yang tinggi. Spesialisasi tersebut di antaranya adalah mengenal n â sikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, â m dan kh â s , mutlak dan muqayyad dan seterusnya. Demikian juga tinjauan dalam terhadap riwayat bahwa apakah Imam Maksum berada pada tataran menjelaskan (bayan) atau tidak? Apakah mereka tengah menjelaskan pandangan Islam dalam masalah ini atau tidak? Apakah dapat digeneralisir (ta’mim) pada hal-hal yang serupa pada setiap ruang dan waktu atau tidak? Dan hal-hal lainnya yang berkenaan dengan disiplin Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an (‘Ulum al-Qur’an) , Fikih, Ushul Fikih dan Filsafat Fikih. Kesemua ini memiliki peran tertentu dalam menggunakan al-Qur’an dan riwayat yang harus dipertimbangkan dan diperhatikan.

Adapun pertanyaan lainnya terkait dengan apakah hal-hal lugas al-Qur’an lebih signifikan daripada masalah-masalah yang tidak dijelaskan secara lugas atau tidak?

Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan: Tidak. Kelugasan ayat-ayat terhadap beberapa masalah tertentu tidak bermakna signifikansinya masalah tersebut. Atau minimal tidak selamanya demikian. Benar dapat diklaim bahwa segala sesuatu yang terkait dengan tugas dan taklif masyarakat yang harus mereka lakukan atau tinggalkan. Seperti ayat-ayat ahkam yang telah dijelaskan secara lugas. Demikian juga hal-hal yang terkait dengan hak-hak masyarakat terhadap yang lain dan segala sesuatu yang bertautan dengan keseharian mereka. Hal-hal ini memiliki penjelasan yang jelas dan lugas.

Adapun hal-hal lainnya yang memiliki nilai signifikansi yang tinggi; seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan Tuhan sendiri, sifat-sifat (ausâf) dan perbuatan-perbuatanya (af’âl) atau masalah akhirat; seperti surga dan neraka, kondisi dan situasinya. Atau hal-hal yang berkaitan dengan entitas-entitas meta fisika seperti malaikat, jin tidak dijelaskan secara jelas, tegas dan lugas. Karena itu, Imam Shadiq As bersabda, “Kitab Allah terdiri dari empat jenis. Ib â rat, isy â rat, lath â if dan haq â iq . Ib â rat untuk orang-orang umum. Isy â rat untuk orang-orang khusus. Lath â if bagi para wali dan haq â iq untuk para nabi.” [6]

Imam Shadiq pada kesempatan lain bersabda, “Al-Qur’ a n memiliki lahir dan batin. Lahirnya adalah hukum dan batinnya adalah ilmu. Lahirnya indah dan menawan. Batinnya dalam dan jeluk.” [7]

Karena itu, dapat diklaim bahwa hal-hal murni al-Qur’an, laksana gerbang-gerbang yang terpendam dan tertimbun dalam tiram (mutiara), pada lapisan-lapisan bawah dan batin ayat-ayat dan kita harus berupaya maksimal untuk dapat sampai kepada lapisan-lapisan bawah dan dalamnya.

Poin penutup yang harus disampaikan di ini adalah bahwa terkadang terdapat kemaslahatan sehingga sebagian persoalan tidak dijelaskan secara lugas dalam al-Qur’an seperti tiadanya nama Imam Ali As secara tegas dan lugas dalam al-Qur’an atau terlampirnya ayat-ayat yang berkaitan dengan beliau di antara ayat-ayat yang tidak saling berhubungan secara lahir. [IQuest]

 

 

Untu k telaah lebih jauh silahkan lihat indeks terkait:

1.     Nama Para Imam Maksum dalam al-Qur’an, Pertanyaan 6104 (Site: 6304)

2.     Penetapan Imamah Baginda Ali As dalam al-Qur’an, Pertanyaan 6701 (Site: 6843)


[1] . Was â il al-Syiah , Hurr ‘Amili, jil. 11, hal. 330, Kitab Qadha wa Syahadat, Bab Ikhtilaf Riwayat, Hadis Pertama, Maqbulah Umar bin Hanzalah.

[2] . Maq â l â t al-Isl â miyyin , Abu al-Hasan Asy’ari, jil. 2, hal. 251.   

[3] . Kanz al-‘Umm â l , Muttaqi Hindi, jil. 1, hal. 44.   

[4] . Seperti hadis tsaqalain dan hadis safinah.

[5] . Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Ta’ammul â t dar ‘Ilm Ush û l Fiqh , Mahdi

adawi Tehrani, Kit â b Aww â l, Daftar Syisyum, hal. 75-80.   

[6] . Al-Sh â fi fi Tafsir al-Qur’ â n , Faidh Kasyani, Muqaddimah.

[7] . Bih â r al-Anw â r , Muhammad Baqir Majlisi, jil. 92, hal. 17.

Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar
Jumlah Komentar 0
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
contoh : Yourname@YourDomane.ext
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
<< Libatkan Saya.
Silakan masukkan jumlah yang benar dari Kode Keamanan

Klasifikasi Topik

Pertanyaan-pertanyaan Acak

Populer Hits

  • Ayat-ayat mana saja dalam al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya?
    261177 Tafsir 2013/02/03
    Untuk mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran, pertama-tama, kita harus melihat secara global makna “akal” yang disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan dengan pendekatan ini kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran terkait dengan berpikir dan menggunakan akal dalam al-Quran. Akal dan pikiran ...
  • Apakah Nabi Adam merupakan orang kedelapan yang hidup di muka bumi?
    246303 Teologi Lama 2012/09/10
    Berdasarkan ajaran-ajaran agama, baik al-Quran dan riwayat-riwayat, tidak terdapat keraguan bahwa pertama, seluruh manusia yang ada pada masa sekarang ini adalah berasal dari Nabi Adam dan dialah manusia pertama dari generasi ini. Kedua: Sebelum Nabi Adam, terdapat generasi atau beberapa generasi yang serupa dengan manusia ...
  • Apa hukumnya berzina dengan wanita bersuami? Apakah ada jalan untuk bertaubat baginya?
    230086 Hukum dan Yurisprudensi 2011/01/04
    Berzina khususnya dengan wanita yang telah bersuami (muhshana) merupakan salah satu perbuatan dosa besar dan sangat keji. Namun dengan kebesaran Tuhan dan keluasan rahmat-Nya sedemikian luas sehingga apabila seorang pendosa yang melakukan perbuatan keji dan tercela kemudian menyesali atas apa yang telah ia lakukan dan memutuskan untuk meninggalkan dosa dan ...
  • Ruh manusia setelah kematian akan berbentuk hewan atau berada pada alam barzakh?
    214952 Teologi Lama 2012/07/16
    Perpindahan ruh manusia pasca kematian yang berada dalam kondisi manusia lainnya atau hewan dan lain sebagainya adalah kepercayaan terhadap reinkarnasi. Reinkarnasi adalah sebuah kepercayaan yang batil dan tertolak dalam Islam. Ruh manusia setelah terpisah dari badan di dunia, akan mendiami badan mitsali di alam barzakh dan hingga ...
  • Dalam kondisi bagaimana doa itu pasti dikabulkan dan diijabah?
    176281 Akhlak Teoritis 2009/09/22
    Kata doa bermakna membaca dan meminta hajat serta pertolongan.Dan terkadang yang dimaksud adalah ‘membaca’ secara mutlak. Doa menurut istilah adalah: “memohon hajat atau keperluan kepada Allah Swt”. Kata doa dan kata-kata jadiannya ...
  • Apa hukum melihat gambar-gambar porno non-Muslim di internet?
    171592 Hukum dan Yurisprudensi 2010/01/03
    Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban global. Silahkan Anda pilih jawaban detil ...
  • Apakah praktik onani merupakan dosa besar? Bagaimana jalan keluar darinya?
    168080 Hukum dan Yurisprudensi 2009/11/15
    Memuaskan hawa nafsu dengan cara yang umum disebut sebagai onani (istimna) adalah termasuk sebagai dosa besar, haram[1] dan diancam dengan hukuman berat.Jalan terbaik agar selamat dari pemuasan hawa nafsu dengan cara onani ini adalah menikah secara syar'i, baik ...
  • Siapakah Salahudin al-Ayyubi itu? Bagaimana kisahnya ia menjadi seorang pahlawan? Silsilah nasabnya merunut kemana? Mengapa dia menghancurkan pemerintahan Bani Fatimiyah?
    158120 Sejarah Para Pembesar 2012/03/14
    Salahuddin Yusuf bin Ayyub (Saladin) yang kemudian terkenal sebagai Salahuddin al-Ayyubi adalah salah seorang panglima perang dan penguasa Islam selama beberapa abad di tengah kaum Muslimin. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam dalam menghadapi agresi orang-orang Kristen Eropa.
  • Kenapa Nabi Saw pertama kali berdakwah secara sembunyi-sembunyi?
    140918 Sejarah 2014/09/07
    Rasulullah melakukan dakwah diam-diam dan sembunyi-sembunyi hanya kepada kerabat, keluarga dan beberapa orang-orang pilihan dari kalangan sahabat. Adapun terkait dengan alasan mengapa melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi pada tiga tahun pertama dakwahnya, tidak disebutkan analisa tajam dan terang pada literatur-literatur standar sejarah dan riwayat. Namun apa yang segera ...
  • Kira-kira berapa usia Nabi Khidir hingga saat ini?
    134022 Sejarah Para Pembesar 2011/09/21
    Perlu ditandaskan di sini bahwa dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara tegas nama Nabi Khidir melainkan dengan redaksi, “Seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Qs. Al-Kahfi [18]:65) Ayat ini menjelaskan ...