Please Wait
8122
Meyakini sebuah realitas atau mengingkarinya tidak akan dapat merubah realitas yang ada. Sehubungan dengan Allah Swt juga harus dikatakan bahwa keyakinan (belief) terhadap adanya Allah Swt (baik bagi orang yang meyakini, mengingkari atau meragukan-Nya) bukanlah terkait dengan wujud Tuhan pada kenyataannya.
Dengan kata lain, keyakinan-keyakinan (beliefs) manusia tidak akan merubah realitas dan kenyataan yang ada.
Keyakinan kita tentang keberadaan Tuhan (apakah itu berupa keyakinan atau pengingkaran atau keraguan) bukanlah berkaitan dengan keberadaan Tuhan dalam realitas. Dengan kata lain, keyakinan-keyakinan kita tidak akan merubah realitas yang ada.
Sumber keyakinan kepada Tuhan merupakan perkara yang lebih tinggi dari sekedar mengikut pendapat-pendapat manusia tentang Tuhan dan bahkan sesuai dengan ungkapan al-Quran kebanyakan manusia tidak mengikuti akalnya dalam masalah ini.[1]
Dalam pembahasan keyakinan kepada keberadaan Tuhan hal itu bergantung kepada jenis keyakinan manusia (rasional atau empirik) yang berubah-ubah. Pembahasan perubahan keyakinan yang paling umum adalah pembahasan kriteria benar (true) dan salah (false) dan ungkapan kita terhadap keduanya.
Jelas bahwa dari sudut pandang logika, perbedaan pendapat terkait dengan benar (true, shidq) atau salah (false, kidzb) setiap proposisi berita – dalam hal ini meyakini atau mengingkari keberadaan Tuhan – dengan sendirinya tidak dapat digunakan untuk menetapkan sesuatu. Hal ini berlaku sebagaimana kuantitas banyaknya manusia tidak akan berujung pada benar atau tidaknya sebuah proposisi sebuah berita sehingga kita menghukumi benar atau tidaknya proposisi tersebut pada tataran realitas.
Sebagai contoh, hingga beberapa lama sebelum Galileo, seluruh ulama, ilmuan dan filosof dunia, beranggapan bumi sebagai pusat tata surya. Namun dengan penemuan pertama teleskop oleh Galileo dan pengamatan ilmiah terhadap alam semesta, teori Ptolemaeus di samping logika Aristoteles dan sabda-sabda Nabi Isa termasuk keyakinan utama Gereja, dalam waktu sekejap, seluruh nilai-nilainya runtuh begitu saja. Karena itu, mayoritas dan adanya perbedaan pendapat masing-masing tidak dapat dijadikan sebagai benar atau tidaknya sebuah proposisi.
Patut untuk disebutkan bahwa bahkan di antara filosof Barat yang kebanyakan menganut metode skeptis dalam menghadapi pembahasan-pembahasan seperti ini sebagian mereka seperti Heidegger memandang bahwa pembahasan dan dialektika di antara sesama filosof terkait dengan pembahasan penetapan dan pengingkaran Tuhan tidak hanya menjadi dalil atas pengingkaran Tuhan bahkan sebaliknya menjadi dalil nyata atas keberadaan wujud Tuhan karena apabila tidak ada Tuhan seluruh usaha ilmiah dan pemikiran umat manusia selama beberapa abad dalam rangka menetapkan atau mengingkari-Nya akan menjadi sia-sia.
Sejatinya tatkala kita kita mengingkari keberadaan sesuatu pertama-tama kita mengasumsikan keberadaannya sehingga kita dapat berbicara tentang pengingkarannya. Karena itu, pra-asumsi masing-masing setiap kelompok baik bagi kelompok yang mengingkari Tuhan dan kelompok yang meyakini keberadaan Tuhan adalah keberadaan Tuhan.
Pada dasarnya pokok pertanyaan mungkin terkait dengan apakah yang menjadi kriteria benar dan tidaknya sebuah proposisi? Dengan kata lain apa yang dimaksud dengan benar itu?
Dalam masalah benar (true) terdapat banyak pendapat yang telah dilontarkan. Yang paling terkenal adalah yang disebut dengan “sesuai dengan kenyataan.” Terdapat sebagian pendapat juga menyatakann bahwa karena pengenalan sesuatu pada dasarnya bersifat mustahil maka benar dan tidaknya sesuatu merupakan sebuah perkara nisbi dan relatif. Bahkan mereka yang memandang bahwa manusia mampu mengenal sesuatu pada dasarnya, tidak memahami apa yang disebut sebagai “sesuai dengan kenyataan” dalam satu makna.
Sebagian orang memandang bahwa “sesuai dengan kenyataan” itu hanya dapat dipahami dengan hadirnya sesuatu itu sendiri pada orang yang memahami dan kesatuan keduanya serta setiap pengenalan selain hal ini mereka pandang sebagai pikiran semata. Padahal sebagian orang menjadikan hal ini yaitu cukup sesuai dengan pikiran sebagai kriteria (bukan sesuai dengan kenyataan). Memilih salah satu dari paradigma pemikiran di atas akan menjadi landasan pemahaman kita terhadap pelbagai hal. [iQuest]
[1]. “Bahkan sebagian besar dari mereka tidak beriman.” (Qs. Al-Baqarah [2]:100); “Dan kebanyakan mereka tidak mengerti.” (Qs. Al-Maidah [5]:103); “Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Qs. Al-An’am [6]:111)