Please Wait
16931
Pertanyaan ini akan kami jawab dalam dua bagian:
1. Esensi dan meluasnya kematian tatkala kiamat
2. Orang-orang yang terkecualikan dari kematian
Bagian pertama:
Dalam pandangan al-Qur'an, kematian segala sesuatu terjadi tatkala "ajal" mereka tiba dan karena seluruh eksisten memiliki "ajal" sebagai kesimpulannya seluruhnya akan mengalami kematian, baik ia manusia atau bukan.
Ajal merupakan hal yang telah ditentukan di sisi Tuhan yang kekal dan tidak akan punah. Adapun kematian adalah perpindahan dari kehidupan sementara kepada kehidupan abadi dan selamanya di sisi Tuhan. Seluruh eksisten akan mengalami kematian tatkala kiamat tiba. Pada hakikatnya, kiamat merupakan gelanggang tempat hadirnya seluruh eksisten dan makhluk di hadapan Tuhan.
Al-Qur'an memandang sumber kejadian ini peniupan dan penghembusan pada "sangkakala" dimana pertama kali menjadi sebab kematian dan pada kali kedua, akan menjadi sebab kehidupan.
Berangkat dari sini, terdapat sebagian ayat dan riwayat yang menunjukkan pada terbelahnya tujuh petala langit dan bumi, dan sebagian lainnya menjelaskan tentang kepunahan seluruh eksisten yang tinggal di langit dan bumi, dan sebagian ayat dan riwayat menuturkan ihwal masuknya seluruh makhluk yang telah punah tersebut ke dalam kiamat yang merupakan manifestasi kehidupan abadi nan lestari.
Dengan menelaah ayat-ayat dan riwayat-riwayat ini akan dipahami bahwa tujuh petala langit dan bumi, alam barzakh dan juga seluruh orang-orang yang tinggal di dalamnya bahkan para pembawa arsy dan para malaikat muqarrab (yang didekatkan) seperti Jibrail, Mikail, Malaikat Maut, Israfil tidak terkecualikan dari peristiwa maha dahsyat ini. Artinya tiada satu pun eksisten yang terselamatkan dari kematian yang bersifat menyeluruh ini.
Bagian Kedua:
Ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang telah disebutkan dan semisalnya yang kesemuanya merupakan penjelas peristiwa mahabesar ini. Di samping topik bahasan di atas, juga merupakan penerang tipologi orang-orang yang terkecualikan dari ketakutan, penderitaan yang tak-terperikan dan terselamatkan dari kejadian ini. Dan mereka tetap melanjutkan kehidupannya. Sesuai dengan penjelasan al-Qur'an mereka memiliki dua tipologi universal. Dua tipologi ini sejatinya merupakan satu tipologi dengan redaksi yang berbeda:
1. Memiliki (hanya) kebaikan dan mutlak dan tersucikan dari segala kekotoran dan nista.
2. Murni dan hamba Tuhan yang mukhlis.
Mereka adalah orang-orang yang sewaktu hidup di dunia, berkat usaha, mujahadah, dan menempa diri di jalan Allah, dan melepaskan diri dari segala sangkut-paut dunia serta bentuk-bentuk imaginal dan format-format barzakhi dan semata mengurusi dirinya dan sekali jalan ke surga menjumpai Tuhannya. Sebagai hasilnya, orang-orang ini tidak singgah di alam barzakh dan juga tidak mengalami penderitaan hari kiamat yang menimpa seluruh eksisten. Pada hakikatnya, mereka adalah jelmaan hadis "matilah engkau sebelum kematian menjemputmu." (mutu qabla an tamutu)
Contoh sempurna dan hakiki orang-orang sedemikian adalah empat belas maksum As. Kendati para nabi dan wali Tuhan, para arif, para pecinta dan orang-orang yang melepaskan diri dari para musuh wilayah keempat belas maksum ini merupakan esensi yang bercahaya, sesuai dengan derajat mereka masing-masing, juga merupakan mishdaq orang-orang yang dikecualikan dari persinggahan di alam barzakh dan penderitaan di hari kiamat.
Untuk menjawab pertanyaan ini dengan baik, pertama-tama kami akan membahas dan menjelaskan tentang esensi kematian pada waktu kiamat digelar dan juga mengulas tentang keluasan dan menyeluruhnya hari kiamat, kemudian kami akan menjawab pertanyaan ini bahwa apakah ada orang-orang yang tidak tertimpa kematian yang serba meliputi dan menyeluruh ini? Dan apabila terdapat orang-orang sedemikian, apakah mereka memiliki ciri-ciri, tipologi dan karakter untuk dapat dikenali? Siapakah orang-orang ini, apakah mereka ada obyek luarannya (mishdaq)?
Bagian pertama:
Dalam menjelaskan bagian pertama harus dikatakan bahwa: Dalam pandangan al-Qur'an, kematian segala sesuatu tatkala ajal mereka tiba, dan seluruh eksisten – baik ia manusia atau bukan – memiliki ajalnya masing-masing.[1] Seluruh eksisten dan makhluk dalam setiap langkah dan gerakannya akan sampai pada satu titik pamungkas (ending point). Dan di tempat itu ia akan tinggal dan menetap untuk selamanya. Titik dimana seluruh makhluk akan menetap dan berdiam, sesuai dengan tuturan al-Qur'an, adalah di hadapan Tuhan. "ajalan musammah 'indahu"[2] dan apa yang ada di sisi Tuhan akan langgeng dan abadi selamanya. "Wama 'indaLlâh baqin. "[3]
Dengan demikian, tatkala seluruh eksisten dan makhluk sampai di hadapan Tuhan dan hadir di sisi-Nya mereka akan menjalan kehidupan abadi nan lestari. Seluruh eksisten – baik manusia atau bukan – akhir dari perjalanan mereka adalah menuju ke hadapan Tuhan dan akhir perjalanan menuju ke hadirat-Nya adalah kembali dan di hadirat-Nya mereka akan berkumpul dan berhimpun. Kembalinya seluruh makhluk ke hadapan Tuhan inilah yang disebut sebagai "kematian" dimana kematian ini adalah keluarnya makhluk dari gelanggang kehidupan dimana gerakan, kaun (penciptaan) dan fasad (penghancuran), perubahan, waktu, kesempitan, kegelapan, kejamakan, dan keterberaian terdapat di dalamnya.
Memasuki kehidupan di sisi Tuhan dimana di dalamnya, kehidupan dan keabadian mutlak, kelanggengan, keluasan, cahaya dan kesatuan, dan sebagainya. Serta jauh dari segala aib dan cela sebagaimana yang telah disebutkan. Karena itu dapat diambil kesimpulan bahwa seluruh eksisten semenjak manusia hingga para penghuni tujuh petala langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, mereka akan mengalami "kematian" seperti ini, kendati telah dijelaskan dengan redaksi yang berbeda. Misalnya kematian manusia, yaitu terlepasnya ruh dari badan, digunakan redaksi "maut" dan kematian eksisten selain manusia dengan redaksi yang lainnya.
Ajal dan kematian sedemikian yang dihadapai oleh seluruh eksisten dan makhluk. Tatkala terjadi kiamat kubra (besar) seluruh semesta akan mengalami kematian dan seluruh fenomena kecuali Allah akan menemui ajalnya. Pada hakikatnya tatkala terjadi kiamat, seluruh eksisten akan menjumpai ajalnya dan seluruh makhluk akan mengalami hal yang sama ketika hari kiamat digelar, hari dimana seluruh eksisten hadir di hadapan Tuhan.
Dengan kata lain, pada hari kebangkitan dan kiamat kubra demikian juga dunia beserta segala isinya, barzakh, tujuh petala langit dan bumi akan terliputi semuanya. Dan juga para penduduk dunia, penduduk barzakh dan para penghuni langit (para malaikat dan sebagainya) akan sirna dan setelah itu gelanggang kiamat akan digelar dimana seluruh makhluk akan berhimpun di hadapan Tuhan dan akan memperoleh kehidupan abadi nan sentosa. Menjelaskan dan mengenal pelbagai tipologi kondisi seperti ini (kehidupana di hari Kiamat dan kehidupan di hadapan Allah), dari sisi bahwa kiamat merupakan medan dan tempat penjelmaannya, dengan menelaah dan mengkaji pelbagai kondisi dan karakteristik serta tipologi, nama-nama kiamat yang termaktub dalam al-Qur'an dan riwayat, akan dapat dilakukan, namun hal ini memerlukan pembahasan dan tulisan lain.
Dalam al-Qur'an disebutkan bahwa sumber kejadian seperti ini disebut sebagai "yauma yunfakh fii surh"[4] dan tatkala sangkakala ditiup maka ia juga merupakan sumber kematian juga merupakan sumber kehidupan serta hari masyhar dan digelarnya kiamat. Kejadian ini juga disebut sebagai "shaiha"[5], "sajrah"[6], "sakhkhah"[7] dan "naqar fi al-naqur".[8] Keseluruhan redaksi ini menjelaskan sebuah fakta dan dapat disimpulkan bahwa "sangkakala" dan "dua peniupan" adalah mengisahkan "terompet" yang acapkali digunakan untuk berperang oleh pasukan di medan pertempuran.
Kali pertama terompet ditiupkan untuk diam dan bersiap untuk bergerak dan kemudian kali keduanya ditiupkan untuk bangkit dan seterusnya.[9]
Dalam mengurai dan menjelaskan fenomena akbar ini, ayat-ayat al-Qur'an dan riwayat-riwayat terbagi menjadi beberapa bagian:
1. Ayat-ayat yang menjelaskan ihwal ditiupnya sangkakala kematian serta terbelahnya langit dan bumi. Seperti, "Agar kami jadikan peristiwa itu peringatan bagi kamu dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar. Apabila sangkakala ditiup sekali tiup, dan bumi dan gunung-gunung diangkat, lalu keduanya dibenturkan sekali bentur (hingga hancur lebur), maka pada hari itu terjadilah suatu peristiwa yang besar (hari kiamat)," (Qs. Al-Haqqa [69]:12-15); “(Yaitu) pada hari Kami gulung langit seperti menggulung lembaran-lembaran kertas.” (Qs. Al-Anbiya [21]:104) dan "Dan mereka tidak mengenal Allah dengan pengenalan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya berada dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya." (Qs. Zumar [39]:67) dan juga ayat-ayat lainnya[10] yang semuanya mewartakan tentang sebuah peristiwa sebelum terjadinya kiamat. Mengingat peniupan sangkakala dan semisalnya akan meliputi dan terjadi di seantero semesta. Dengan menelaah dan menginternalisasi ayat-ayat ini dapat diambil kesimpulan ihwal kualitas dan bagaimana kematian tujuh petala langit dan bumi – yang antara lain adalah: tergulung, terbenturkan dan berubahnya tujuh petala langit dan bumi sesuai dengan kondisi kiamat.
2. Sebagian ayat menunjukkan bahwa setiap makhluk di tujuh petala langit dan bumi, dengan ditiupnya sangkakala kematian akan binasa. "Dan (ingatlah) hari (ketika) sangkakala ditiup, maka faza’a (gentarlah) segala yang ada di langit dan di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah. (Qs. Al-Naml [6]:87); “Dan ditiuplah sangkakala, maka shaqa (matilah) siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (hari perhitungan dan pembalasan)" (Qs. Al-Zumar [39]:68). "Faza'a” bermakna takut dan amat gentar. Dan "Sha’aqa"; artinya tidak sadar dan mati. Pada hakikatnya dua redaksi ini, menjelaskan tentang kondisi kematian yang telah dijelaskan pada awal-awal tulisan ini. Yaitu kematian disertai dengan ketakutan dan tidak sadarkan diri menuju kematian, dimana hal ini terjadi pada segala yang ada di langit dan di bumi. Dengan demikian, pertama, alam barzakh merupakan komplementer dan kelanjutan alam dunia dimana dari alam dunia menuju dunia yang disebut sebagai alam kubur[11] dan dari surganya menuju surga dunia. Kedua, seluruh penduduk dunia mau-tak-mau harus melintasi alam barzakh,[12] baik itu sebentar atau lama, yang dimaksud dengan "man fil ardh" (segala yang di bumi) adalah penduduk bumi yang memasuki alam barzakh, bukan mereka yang melanjutkan kehidupannya di dunia sebelum barzakh. Adapun "man fi al-samawat" adalah ruh-ruh para malaikat dan orang-orang bahagia.[13] Seluruh eksisten yang memiliki bentuk mitsali (imaginal) dan dalam format barzakhi dan menjalani hidupnya pada sebuah alam di atas alam barzakh (di langit-langit). Kematian dua kelompok ini (penduduk bumi dan tujuh petala langit), disebabkan tertiupnya sangkakala, bermakna bahwa mereka semua tidak hanya terlepas dari kerangka dunia dan badan buminya, namun juga terlepas dari pelbagai bentuk mitsali (imaginal) dan format-format barzakhi. Dan mereka melintasi tujuh petala langit dan menghadap di hadirat Ilahi lalu fana pada dzat Ahadi-Nya.
3. Sebagian lainnnya ayat adalah menjelaskan ditiupnya kehidupan[14] dan keabadian seluruh orang-orang yang mati akibat peniupan yang pertama. Di sini kami secara selintasan menyebut beberapa ayat saja dan menghindar untuk tidak menyebut secara keseluruhan mengingat ruang dan waktu yang terbatas.
Riwayat-riwayat juga menjelaskan tiga kelompok ayat yang disebutkan yang akan kami sebutkan beberapa dari riwayat tersebut:
Seorang malaikat bernama "Israfil" meniup sangkakala dengan izin Tuhan. Dan sebagai akibatnya, seluruh yang menghuni tujuh petala langit dan bumi, bahkan para pemikul arsy (Jibrail dan Mikail), juga akan mengalami kematian. Dan setelah itu, Israfil sesuai dengan perintah Allah Swt akan mati,[15] dan segala sesuatu akan batil.[16] dan setelah sirnanya dunia ini, tidak terdapat lagi ruang (makan) dan waktu (zaman). Seluruh ajal dan waktu akan tiada, tahun dan detik akan hilang,[17] dan tiada yang tersisa dan abadi kecuali Tuhan. Kembali sangkakala ditiup dan seluruh penduduk tujuh petala langit dan bumi akan hidup[18] dan seluruhnya akan kembali kepada wujudnya masing-masing sebagaimana para mudabbir (baca: malaikat) mereka yang menciptakanya.[19]
Dari sekumpulan ayat dan riwayat dapat disimpulkan bahwa tujuh petala langit, bumi, barzakh dan juga seluruh orang yang melaluinya, bahkan para malaikat-malaikat terdekat tidak terkecualikan dari peristiwa dahsyat ini. Dua tiupan, kematian yang melanda dimana-mana dan kebangkitan setelah kematian. Peristiwa ini akan melanda mereka seluruhnya.
Akan tetapi pada ayat dan riwayat sebelumnya dan juga ayat dan riwayat yang lainnya yang menjelaskan peristiwa besar ini, di samping pembahasan yang telah kami singgung hingga sekarang, merupakan penjelas karakteristik dan tipologi sebagian hamba dari peristiwa dan kejadian ditiupnya sangkakala dua kali, ketakutan, kengerian tidak termasuk dan jauh dari segala kejadian yang serba meliputi ini, berada dalam keadaan aman dan melanjutkan kehidupannya.
Bagian kedua:
Berikut ini adalah uraian dan pencirian orang-orang yang telah dibincang yang dapat dijumpai pada al-Qur'an dan riwayat:
A. Pada dua ayat (ayat 67 surah al-Zumar dan ayat 68 surah al-Naml) berkenaan dengan "tiupan pertama" (mematikan), setelah menjelaskan segala sesuatu yang terdapat di langit dan di bumi, berdasarkan ditiupkannya sangkakala, akan mengalami "faza’a'" dan "sha’aqa". Dengan redaksi (Illa man syaa Allah) – sebagian orang terkecualikan - dari peniupan ini dimana ayat-ayat 89-90 surah Naml menafsirkan hal itu dan menegaskan: Mereka adalah orang-orang yang memiliki "kebaikan".
B. Demikian juga ayat-ayat yang menjelaskan "nafakha hayat" (tiupan kehidupan), seperti ayat 68 surah al-Zumar dan 53 surah Yasin dapat dipahami bahwa orang-orang yang menjumpai kematian pada nafakha amatih (tiupan kematian), mereka pada nafakha kedua akan hidup dan akan hadir di sisi Tuhan, namun dengan begitu, Allah Swt pada ayat 127-128 surah Shafat mengecualikan para hamba yang mukhlis.
Dengan demikian, orang-orang yang memiliki "hasanah" (kebaikan) dan tergolong sebagai "hamba-hamba mukhlis" Tuhan berada dalam kondisi aman. Dengan jelasnya dua redaksi “hasanah” (kebaikan) dan "mukhlas" (orang-orang yang disucikan dari dosa) dengan jelas kita dapat mengenal orang-orang ini. Oleh karena itu, kita akan mengkaji beberapa ayat dan riwayat hingga dua redaksi ini dapat ditafsirkan:
1. Yang dimaksud dengan "hasanah" adalah kebaikan mutlak. Artinya sebuah kebaikan yang sekali-kali tidak ternodai dengan keburukan. Dan mereka yang memiliki kebaikan mutlak adalah orang-orang khusus dari kaum beriman dan esensi mereka suci dan bersih dari segala kekotoran. Jauh dari segala jenis kemunafikan, kekufuran dan syirik. Sekali-kali hati mereka tidak pernah tenggelam memikirkan selain Tuhan dan segal urusanya ia labuhkan kepada-Nya dan hinggap pada makam taslim (penyerahan diri) dan tawakkal, dan melintas tingkatan ini, tanpa ada benih keangkuhan dan ekspresi keberadaan dan sifat-sifat fira'un, lebur dalam dzat Tuhan. Tipologi ini merupakan penjelas makam "wilâyah". Dengan demikian, dalam riwayat-riwayat "hasana" dalam ayat ini bermakna wilâyah Amirul Mukminin[20] dan makrifat wilâyah serta kecintaan terhadap AHlulbait As. Dan keburukan "sayyiah" kebalikan dari kebaikan bermakna penginkaran terhadap wilayah dan kebencian terhadap Ahlulbait As.[21]
2. Yang dimaksud dengan mukhlasin adalah orang-orang yang unggul dari seluruh manusia sebagaimana ayat "Iblis menjawab, “Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya. kecuali hamba-hamba-Mu yang disucikan (dari dosa) di antara mereka.” (Qs. Shad [38]:82-83), mereka terjauhkan dari godaan dan bisikan setan dan karena bisikan dan godaan setan – sesuai dengan kandungan ayat 22 surah Ibrahim[22] – berisikan janji-janji palsu dan menerima perintah darinya dan dari satu sisi penerimaan tersebut bersumber dari kemusyrikan dan kesesatan. Mukhlas adalah para hamba yang suci dari segala jenis kemusyrikan dan ikhlas semata-mata karena Allah Swt.
Dengan memperhatikan secara seksama dalam makna dua redaksi ini dapat dikatakan bahwa keduanya adalah penjelas satu hakikat dan realitas dan memiliki satu makna. Karena itu, orang-orang yang terkecualikan peristiwa dua tiupan hidup dan mati dapat dicirikan sebagai berikut:
Mereka adalah orang-orang yang tidak melihat sesuatu selain Tuhan, tidak memandang tanda dan ayat selain-Nya. Tidak meyakini adanya kebebasan untuk keuntungan atau kerugian, mati atau hidupnya. Hakikat dan kesejatiannya karam dan tenggelam serta lebur dalam dzat Tuhan. Seluruh perkara ia sandarkan dan serahkan kepada Tuhan, dan tiada yang keluar dari-Nya kecuali keridhaan Tuhan pada hal-hal (nawafil) dan hanya mencari keridhaan Tuhan.
Dengan demikian Tuhan akan menjadi tangan, mata, telinga, lisan dan hatinya.[23] Dan jauh dari segala bisikan dan godaan, mereka adalah cermin sempurna Tuhan dan hanya paras Tuhan yang mereka tonjolkan. Sejatinya mereka adalah “wajhuLlah” (wajah Tuhan). Artinya wajah batin dan hakikat segala sesuatunya adalah “mengenal sempurna” sesuatu yang hanya dapat dicapai dengannya. WajhuLlah-nya para hamba ini bermakna bahwa mereka merupakan ayat Tuhan yang paling sempurna, dan manifestasi seluruh jelmaan Tuhan dimana Tuhan berfirman: “Kullu syain halik illa wajha.” (segala sesuatunya binasa kecuali wajah Tuhan) (Qs. Al-Rahman [55]:26)[24]
Dengan demikian selagi segala sesuatu dan mahkluk (tujuh petala langit dan bumi, penduduk bumi, penghuni barzakh dan penghuni langit); yaitu para malaikat dan sebagainya bahkan para malaikat muqarrab berdasarkan tiupan pertama sangkakala akan binasa, namun mereka abadi dan tidak ada kebinasaan pada hakikat mereka.
Karena wujud mereka lebur dan fana dalam (wujud) Tuhan dan eksistensi bagi mereka, selain wujud Tuhan dan wajah-Nya, tidak akan tersisa, tidak mengalami perhentian di barzakh juga tidak pada kiamat dihimpun untuk perhitungan, tanya-jawab; Karena sebelumnya di dunia berdasarkan mujahadah, muraqabah, riyadha untuk meraih keridhaan Tuhan, terlepas dari segala keterikatan materi dan bentuk-bentuk mitsali (imaginal), format-format barzakhi. Dan menghitung diri mereka sendiri dan langsung menuju ke surga dan bersua dengan Tuhan.
Kedudukan aman orang-orang yang mendapatkan kemenangan ini berada dalam keamanan dan ketenangan.[25]
Karena itu, mereka aman dari segala kejadian yang serba meliputi dan besar pada dua tiupan kematian dan kehidupan; karena apa yang menjadi hasil dari peristiwa besar ini adalah “menyampaikan seluruh eksisten kepada “hayat ‘indaLlah” (kehidupan di sisi Allah) dan membuat seluruh eksisten memanfaatkan” dengan mengaktualkan potensi dan hakikat wujud mereka masing-masing. Sementara hamba-hamba ini menjalani kehidupan lebih sempurna dan menjulang daripada apa yang menjadi sebab ditiupnya ruh, karena merka telah mendapatkannya di dunia.
Dengan memperhatikan secara seksama matlab ini dapat dipahami bahwa mereka ini merupakan instanta sempurna (mishdaq) “mutu qabla an tamutu” (matilah sebelum kematian menjemputmu). Dan dengan perantara “wajhullah-nya mereka berhimpun di hari masyhar dan kehadiran mereka di hadapan Tuhan di hari Kiamat juga berbeda dengan maujud-maujud yang lain. Sedemikian sehingga mereka meliputi seluruh maujud yang hadir di tempat itu.
Instanta sempurna (mishdaq) dan hakiki para hamba ini – dengan memperhatikan pada riwayat – “hasanah”,[26] “wajhaLlah”[27] “asma husna”[28] dan “ayat kubra”[29] dan contoh-contoh lainnya yang sesuai dengan Nabi Saw dan Ahlulbaitnya As – empat belas maksum.
Namun para nabi dan wali Allah serta manusia-manusia yang merupakan arif, pecinta dan jauh dari kebencian dan amarah terhadap kedudukan mereka juga memiliki kedudukan yang sepadan dengan derajat mereka. Dan pada tingkatan wadah wujudnya dan segala upayanya dalam meniti jalan menuju kepada wilayah mereka, berada pada tingkatan dan derajat lebih rendah, merupakan mishdaq “para hamba ini.”
Sebagai penutup, kami mengingatkan poin ini bahwa kejadian besar dan serba meliputi ini, dengan memperhatikan keagungan dan pentingnya, menuntut uraian lebih panjang daripada tulisan ini. Dengan demikian, kami anjurkan untuk menelaah pelbagai referensi terkait dengan masalah ini, sehingga, dengan kemurahan dan kasih nir-batas Tuhan, pelbagai hakikat dan rahasia ihwal peristiwa besar ini menjadi jelas bagi Anda.[]
Sumber rujukan dan telaah lebih jauh:
1. Muhammad Husain Tehrani, Ma’âd, jil. 4.
2. Abdullah Jawadi Amuli, Ma’âd dar Qur’ân (Tafsir-e Ma’dhui Qur’an), jil. 4, hal. 281-297.
3. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, Hayât pas az Marg, terjemahan Sayid Mahdi Nabawi dan Shadiq Larijani, hal. 48-62.
[1]. “Dan mengapa mereka tidak merenungkan dalam diri mereka bahwasanya Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan? Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhan mereka.” (Qs. Al-Rum [30]:8)
[2]. “Dia-lah Yang menciptakanmu dari tanah, sesudah itu Dia menentukan ajal (masa hidup tertentu supaya kamu dapat menggapai kesempurnaan ciptaanmu), dan ajal yang pasti hanya ada pada sisi-Nya (dan hanya Dia sendirilah yang mengetahuinya).“ (Qs. Al-An'am [6]:2)
[3]. “Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (Qs. Al-Nahl [16]:96)
[4]. “Dan (ingatlah) hari (ketika) sangkakala ditiup.”
[5]. “Tidak adalah teriakan itu selain sekali teriakan (shaihah) saja, maka tiba-tiba mereka semua dikumpulkan kepada Kami.” (Qs. Yasin [36]:53)
[6]. “(Ketahuilah) sesungguhnya pengembalian itu hanyalah dengan satu kali tiupan (sajrah) saja.” (Qs. Al-Naziat [79]:13)
[7]. “Dan apabila datang suara yang memekakkan (sakkhah, tiupan sangkakala yang kedua), (orang-orang kafir ditimpa kesedihan yang dalam),” (Qs. Abasa [80]:33)
[8]. “Apabila sangkakala ditiup. Maka hari itu adalah hari yang sulit.” (Qs. Al-Mudattsir [74]:8-9)
[9]. Hayat-e pas az Marg, hal. 49-50.
[10]. Qs. Al-Naziat [79]:6-7; Qs. Al-Muzammil [73]:14; Qs. Al-Hajj [22]:1-2; Qs. Al-Takwir [81]:3,4 & 6; Qs. Al-Qariah [101]:5; Qs. Al-Qiyamah [75]:7-9; Qs. Al-Takwir [81]:1; Qs. Al-Infithar [82]:2 dan sebagainya.
[11]. Nur al-Tsaqalain, jil. 3, hal. 254.
[12]. “Dan di hadapan mereka terdapat alam Barzakh sampai hari mereka dibangkitkan.” (Qs. Al-Mukminun [23]:100)
[13]. Hayat pas az Marg, hal. 51.
[14]. Qs. Zumar [39]:68; Yasin [36]:51; Qs. Al-Kahf [18]:99; Qs Thaha [20]:102; Qs. Al-Naba [78]:18; Qs. Al-Qaf [50]:20 & 42.
[15]. Kâfi, jil. 3, hal. 256.
[16]. Ihtijâj, jil. 3, no. 223, hal. 245.
[17]. Nahj al-Balâghah, khutbah 186.
[18]. Kâfi, jil. 3, hal. 256
[19]. Ihtijâj, jil. 3, no. 223, hal. 245
[20]. Tafsir Qummi; Bihâr, jil. 7, hal. 117 & 175; jil. 24, hal. 45.
[21]. Syawâhid al-Tanzil, Hakim Huskani, jil. 1, hal. 426; al-Kafi, jil. 1, hal. 185, hadis ke 14.
[22]. “Dan setan berkata tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan, “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu, tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekadar) aku menyerumu, lalu kamu mematuhi seruanku. Oleh sebab itu janganlah kamu mencercaku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamu pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu.” Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih.”
[23]. Al-Kâfi, jil. 2, hal. 352 (hadis qurb nawafil).
[24]. Lihat, indeks, binasanya segala sesuatu di muka bumi (tafsir ayat 26 surah al-Rahman)
[25]. “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhan-mu dengan hati yang puas lagi diridai. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Qs. Al-Fajr [89]:27-30)
[26]. Bihâr al-Anwâr, jil. 7, hal. 117 & 175 dan jil. 24, hal. 45.
[27]. Ibid, jil. 5, hal. 5-7 dan jil. 24, hal. 114-116.
[28]. Ibid, jil. 25, hal. 4.
[29]. Ibid, jil. 23, 206.