Please Wait
12319
Akal adalah sebuah fakultas dalam jiwa manusia yang mengidentifikasi kebaikan (husn) dan keburukan (qubh). Kesempurnaan (kamal) dan kecacatan (naqsh). Dalam Islam akal memiliki kedudukan yang tinggi dan menjulang.
Sebagian dari cara untuk membina akal dan pikiran serta memperoleh kemandirian berpikir adalah sebagai berikut:
Memanfaatkan ustad dan guru yang simpatik, berhubungan dengan buku dan telaah, menapak tilas kitab-kitab sejarah masa lalu, berpikir dan kontemplasi terhadap ayat-ayat Ilahi, menjauhi taklid buta, mengikuti pikiran dan gagasan, menjalin hubungan dengan orang-orang berakal, cerdik cendikia dan ilmuan, tidak membiarkan perasaan mendominasi akal, dan sebagainya.
Mutiara akal merupakan anugerah Ilahi yang paling bernilai bagi manusia. Karena akal manusia disebut sebagai semulia-mulia makhluk di dunia. Melalui perantara anugerah besar ini manusia dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan, antara petunjuk dan kesesatan, antara kawan dan lawan, antara cahaya dan kegelapan. Di samping itu, akal juga mampu menjaga manusia dari segala kejelekan dan mara-bahaya.
Dalam firman Ilahi terdapat banyak penegasan terkait dengan berpikir dan melakukan pereungan. Demikian juga berita gembira kepada orang-orang yang berpikir dan merenung. Imam Shadiq As bertutur ihwal akal, “Dengan perantara akal, Allah Swt disembah dan surga firdaus direngkuh.”[1]
Allamah Thabathabai Ra dalam mendeskripsikan akal berkata, “Akal merupakan fakultas yang paling mulia dalam diri manusia.”[2] Meski akal tidak dapat dengan sendirinya mampu mencerap dan menyentuh seluruh kedalaman realitas karena itu kita memerlukan wahyu untuk pemahaman dan pencerapan yang jeluk dan dalam. Namun membina akal dan memperoleh kemandirian berpikir akan menggerakkan manusia dalam lintasan petunjuk dan menanjak menuju kesempurnaan serta dengan ketajaman visi akan melesakkan manusia ke tingkatan tertinggi.
Terdapat banyak jalan untuk membina akal dan pikiran serta memperoleh kemandirian berpikir yang akan kita singgung sebagian darinya di sini:
1. Memanfaatkan guru dan ustad yang simpatik; Imam Ali As menandaskan bahwa salah satu kelompok yang meraih kebahagiaan adalah orang-orang yang menuntut ilmu yang menemukan jalan melalui proses pembelajaran dan memanfaatkan guru-guru dan ustad-ustad yang simpatik.[3]
2. Menjalin hubungan dengan buku dan menggemarkan telaah sebagaimana yang disabdakan Imam Shadiq As, “Banyak menelaah dalam masalah-masalah ilmiah akan membuka dan menyemai akal.”[4]
3. Melakukan pelancongan dan perjalanan pada tempat-tempat bersejarah dan melakukan telaah sejarah orang-orang masa lalu; al-Qur’an dalam banyak hal menginstruksikan manusia untuk melakukan perjalanan riset dan menyatakan, “Katakanlah, “Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.”[5] Katakanlah, “Berjalanlah kamu (di muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berdosa.”[6] “Katakanlah, “Berjalanlah di (muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana Allah memulai penciptaan, kemudian Dia mewujudkan dunia akhirat? Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”[7] “Katakanlah, “Berjalanlah di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).”[8]
4. Berpikir dan melakukan renungan atas ayat-ayat al-Qur’an; “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”[9]
5. Menjauhi sikap taklid secara membabi-buta: “Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, “Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.” Katakanlah, “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji. Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.”[10]
6. Menjalin hubungan dengan para cerdik-cendikia dan para ilmuan. Amirul Mukminin Ali As bersabda, “Memutuskan hubungan dengan seorang cendekia bermakna menjalin hubungan dengan orang-orang bodoh.”[11] Atau dalam sebagian hadis dari Rasulullah Saw disebutkan, “Alangkah baiknya apabila seorang berakal membagi waktunya siang dan malam menjadi empat bagian:.. mengalokasikan sebagian waktunya untuk duduk bersama seorang cendikia yang menolongnya dalam urusan agama.”[12]
7. Mengikut pada pikiran dan perenungan; sebagaimana para nabi dan rasul Ilahi yang juga senantiasa menyeru masyarakat untuk berpikir dan merenung tentang instruksi dan ajaran-ajaran agama mereka. Dalam hal ini, al-Qur’an berkata, “Katakanlah, “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.”[13] Demikian juga Rasulullah Saw bersabda, “Berserah dirilah terhadap bimbingan akal sehingga kalian mencapai kesempurnaan. Dan janganlah mengingkarinya karena kalian akan menyesal.”[14]
8. Tidak membiarkan perasaan tidak mendominasi akal. Cara ini merupakan salah satu cara supaya akal dapat mencapai kematangan dan memperoleh kemandirian berpikir. Imam Sajjad As dalam hal ini bersabda, “Barang siapa yang tidak menjadikan akal sebagai khazanahnya yang paling sempurna maka kecelakaan akan sangat mudah baginya.”[15]
Sebagai kesimpulannya, membina pikiran dan memperoleh kemandirian berpikir, dengan memperhatikan ayat dan riwayat, manusia akan mengalami kemajuan di jalan untuk sampai pada kesempurnaan dan ketinggian yang menonjol serta pada akhirnya makrifat dan pengenalannya terhadap Allah Swt. Al-Qur’an dalam hal ini menyatakan, “Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian. dan orang-orang yang menghubungkan apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridaan Tuhan mereka, mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi atau terang-terangan, serta menolak keburukan dengan kebaikan, orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).”[16]
Hasil dari kematangan dan ketinggian pemikiran dan akal adalah pengenalan terhadap Allah Swt dan bergerak menuju keridhaan-Nya.[17] [IQuest]
[1]. Al-Kâfi, jil. 1, hal. 11, Hadis 3:
"...أَبِی عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ قُلْتُ لَهُ مَا الْعَقْلُ قَالَ مَا عُبِدَ بِهِ الرَّحْمَنُ وَ اکْتُسِبَ بِهِ الْجِنَانُ".
[2]. Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân, jil. 3, hal. 57.
[3]. Nahj al-Balâghah, hal. 496:
النَّاسُ ثَلَاثَةٌ فَعَالِمٌ رَبَّانِیٌّ وَ مُتَعَلِّمٌ عَلَى سَبِیلِ نَجَاةٍ وَ هَمَجٌ رَعَاع.
[4]. Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân, jil. 5, hal. 413.
[5]. (Qs. Al-An’am [6]:11)
"قُلْ سیرُوا فِی الْأَرْضِ ثُمَّ انْظُرُوا کَیْفَ کانَ عاقِبَةُ الْمُکَذِّبینَ".
[6]. (Qs. Al-Naml [27]:69)
"قُلْ سیرُوا فِی الْأَرْضِ فَانْظُرُوا کَیْفَ کانَ عاقِبَةُ الْمُجْرِمینَ" .
[7]. (Qs. Al-Ankabut [29]:20);
"قُلْ سیرُوا فِی الْأَرْضِ فَانْظُرُوا کَیْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ یُنْشِئُ النَّشْأَةَ الْآخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلى کُلِّ شَیْءٍ قَدیرٌ".
[8]. (Qs. Al-Rum [30]:42)
"قُلْ سیرُوا فِی الْأَرْضِ فَانْظُرُوا کَیْفَ کانَ عاقِبَةُ الَّذینَ مِنْ قَبْلُ کانَ أَکْثَرُهُمْ مُشْرِکینَ".
[9]. (Qs. Ali Imran [3]:190-191)
"لّأِوْلىِ الْأَلْبَابِالَّذِینَ یَذْکُرُونَ اللَّهَ قِیَمًا وَ قُعُودًا وَ عَلىَ جُنُوبِهِمْ وَ یَتَفَکَّرُونَ فىِ خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَاذَا بَاطِلًا سُبْحَانَکَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ".
[10]. (Qs. Al-A’raf [7]:28)
"وَ إِذا فَعَلُوا فاحِشَةً قالُوا وَجَدْنا عَلَیْها آباءَنا وَ اللَّهُ أَمَرَنا بِها قُلْ إِنَّ اللَّهَ لا یَأْمُرُ بِالْفَحْشاءِ أَ تَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ ما لا تَعْلَمُون".
[11]. Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizan, jil. 5, hal. 114.
[12]. Ibid, hal. 113.
[13]. (Qs. Yusuf [12]:108)
"قُلْ هذِهِ سَبیلی أَدْعُوا إِلَى اللهِ عَلى بَصیرَةٍ أَنَا وَ مَنِ اتَّبَعَنی وَ سُبْحانَ اللهِ وَما أَنَا مِنَ الْمُشْرِکینَ
أَفَلَمْ یَسیرُوا فِی الْأَرْضِ فَیَنْظُرُوا کَیْفَ کانَ عاقِبَةُ الَّذینَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَ لَدارُ الْآخِرَةِ خَیْرٌ لِلَّذینَ اتَّقَوْا أَفَلا تَعْقِلُونَ".
[14]. Mustafa Husaini Dasyti, Ma’arif wa Ma’arif (Dairat al-Ma’arif Jami’ al-Islami), jil. 5, hal. 412.
[15]. Ibid.
[16]. (Qs. Al-Ra’ad [13]:19-22)
"إِنمَّا یَتَذَکَّرُ أُوْلُواْ الْأَلْبَابِالَّذِینَ یُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَ لَا یَنقُضُونَ الْمِیثَاقَوَ الَّذِینَ یَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن یُوصَلَ وَ یخَشَوْنَ رَبهَّمْ وَ یخَافُونَ سُوءَ الحْسَابِوَ الَّذِینَ صَبرَواْ ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبهِّمْ وَ أَقَامُواْ الصَّلَوةَ وَ أَنفَقُواْ مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَ عَلَانِیَة".
[17]. Silahkan lihat, Pertanyaan No. 899 (Site: 987), Indeks: Islam dan Rasionalitas.