Please Wait
Hits
9119
9119
Tanggal Dimuat:
2014/05/08
Ringkasan Pertanyaan
Apakah dilarang menyembelih hewan yang sedang naik syahwatnya?
Pertanyaan
Apakah sesuai dengan hadis berikut ini menyembelih hewan betina yang baru menikah diharamkan? Apa pandangan para fakih terkait dengan hadis berikut ini? Syaikh Kulaini berkata: “Rasulullah melarang menyembelih yang sedang naik syahwatnya”. Al Kafi jilid 6 hal 261. Syarat menyembelih hewan ditambah satu : Tidak sedang naik syahwatnya.”
Jawaban Global
Dalam Fikih Syiah terkait dengan masalah sembelih hewan tidak disebutkan adanya syarat bahwa syahwat hewan itu dapat dikendalikan atau tidak sedang naik syahwatnya. Syarat ini tidak termasuk sebagai salah satu syarat untuk menyembelih hewan.[1]
Karena itu, apabila seekor hewan yang sedang naik syahwatnya disembelih maka daginnya tentunya tidak haram meski sebagian pendapat menyebutkan makruhnya hewan daging hewan tersebut.
Namun demikian, terdapat dua riwayat yang disebutkan bahwa pada masa-masa pertama boleh jadi secara lahir berseberangan dengan hukum ini; karena itu kita akan mengkaji dua riwayat ini secara terpisah:
Karena itu, apabila seekor hewan yang sedang naik syahwatnya disembelih maka daginnya tentunya tidak haram meski sebagian pendapat menyebutkan makruhnya hewan daging hewan tersebut.
Namun demikian, terdapat dua riwayat yang disebutkan bahwa pada masa-masa pertama boleh jadi secara lahir berseberangan dengan hukum ini; karena itu kita akan mengkaji dua riwayat ini secara terpisah:
- Riwayat pertama: Imam Shadiq As bersabda, “Rasulullah Saw melarang memakan daging hewan betina yang sedang naik syahwatnya.”[2]
Ightilâm bermakna memuncaknya syahwat dan siap untuk menyalurkannya kepada pasangannya.[3] Sesuai penjelasan Allamah Majlisi, yang masyhur di kalangan fukaha riwayat ini dipandang lemah[4] dan mengingat kandungan lahir matan riwayat ini lemah dan masyhur di kalangan ulama tidak beramal atas riwayat ini; karena itu sebagian dari ulama menilai larangan pada riwayat ini adalah larangan tanzihi dan memandangnya makruh (memakan daging hewan itu).[5] Dengan demikian, paling tidak yang dapat disimpulkan dari riwayat ini adalah kemakruhan menyembelih hewan yang sedang naik syahwatnya dan siap meyalurkan syahwatnya kepada pasangan betinanya.
Terkait dengan kemakruhan hukum ini kita dapat mempertimbangkan beberapa hikmah di balik hukum kemakruhan itu sebagai berikut:
Terkait dengan kemakruhan hukum ini kita dapat mempertimbangkan beberapa hikmah di balik hukum kemakruhan itu sebagai berikut:
- Dalam Islam dianjurkan supaya menyembelih hewan dalam kondisi hewan yang disembelih tidak terlalu tersiksa dan menderita. Dengan demikian, tidak sepatutnya menyembelih hewan dalam kondisi ingin menyalurkan syahwatnya dan tentu saja ia tidak berada dalam keadaan normal.
- Tatkala syahwat mendominasi hewan tersebut maka seluruh anggota tubuhnya tidak berfungsi secara normal dan boleh jadi cairan-cairan khusus akan tersebar pada badannya yang mengakibatkan dagingnya tidak lagi nyaman dan pantas untuk disantap.
- Ada kemungkinan bahwa anjuran ini disampaikan untuk mengantisipasi berkurangnya populasi hewan halal.
Bagaimanapun anjuran ini diperuntukkan untuk hewan-hewan betina saja.
- Riwayat kedua: Imam Shadiq As bersabda, “Amirul Mukminin Ali As ditanya tentang (penyembelihan) hewan yang sedang naik syahwatnya. Beliau menjawab, “Daging dan susunya haram.”[6]
Para fakih dan ahli hadis sepakat bahwa riwayat ini berbicara tentang hewan yang digauli manusia. Hewan ini dengan asumsi yang disebutkan di atas bahkan apabila pada awalnya halal dan dapat disembelih, namun setelah digauli manusia berubah menjadi haram dan daging serta susunya tidak lagi dapat dikonsumsi.[7] Hewan ini harus disembelih dan setelah itu tubuhnya harus dibakar.[8] [iQuest]
[1]. Sebagai contoh silahkan lihat, Muhammad Taqi Bahjat, Jâmi’ al-Masâil, jil. 4, hal. 363, Kantor Ayatullah Agung Bahjat, Qum, 1426 H.
«نَهَى رَسُولُ اللَّهِ عَنْ أَکْلِ لَحْمِ الْفَحْلِ وَقْتَ اغْتِلَامِهِ»
«نَهَى رَسُولُ اللَّهِ عَنْ أَکْلِ لَحْمِ الْفَحْلِ وَقْتَ اغْتِلَامِهِ»
[2]. Muhammad Yakub Kulaini, al-Kâfi, Riset dan edit oleh Ali Akbar Ghaffari dan Muhammad Akhundi, jil. 6, hal. 260, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, Cetakan Keempat, 1407 H; Syaikh Hurr Amili, Hidâyat al-Ummah ila Ahkam al-Aimmah (Muntakhab al-Masâil), jil. 8, hal. 88, Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Masyhad, Cetakan Pertama, 1412 H.
[3]. Muhammad Muhsin Faidh Kasyani, al-Wâfi, jil. 19, hal. 88, Kitabkhaneh Imam Amir al-Mu’minin Ali As, Isfahan, Cetakan Pertama; Mahmud bin Umar Zamakhsyari, al-Fâiq fi Gharib al-Hadits, Riset dan edit oleh Ibrahim Syamsuddin, jil. 2, hal. 443, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, Cetakan Pertama, 1417 H.
[4]. Muhammad Baqir Majlisi, Mir’at al-‘Uqul fi Syarh Akhbâr Âli al-Rasul, Riset dan edit oleh Sayid Hasyim Rasuli, jil. 22, hal. 55, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, Cetakan Kedua, 1404 H.
[5]. Ahmad bin Muhammad Ardabili, Majma’ al-Faidh wa al-Burhân fi Syarh Irsyâd al-Idzhân, Riset dan edit oleh Agha Mujtaba Iraqi, Ali Panah Isytihardi, Agha Husain Isfahani, jil. 11, hal. 265, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Cetakan Pertama, 1403 H.
[6]. Muhammad Baqir Majlisi, Malâdz al-Akhyâr fi Fahm Tahdzib al-Akhbâr, Riset dan edit oleh Mahdi Rajai, jil. 14, hal. 212, Kitabkhaneh Ayatullah Mar’asyi Najafi, Qum, Cetakan Pertama, 1406 H; Al-Kafi, jil. 6, hal. 259:
«أَنَّ أَمِیرَ الْمُؤْمِنِینَ سُئِلَ عَنِ الْبَهِیمَةِ الَّتِی تُنْکَحُ قَالَ حَرَامٌ لَحْمُهَا وَ لَبَنُهَا»
«أَنَّ أَمِیرَ الْمُؤْمِنِینَ سُئِلَ عَنِ الْبَهِیمَةِ الَّتِی تُنْکَحُ قَالَ حَرَامٌ لَحْمُهَا وَ لَبَنُهَا»
[7]. Zainuddin bin Ali Syahid Tsani, al-Raudhah al-Bahiyyah fi Syarh al-Lum’ah al-Damisyqiyyah, komentator Sayid Muhammad Kalantar, jil. 7, hal. 295, Kitabpurusyi Dawari, Qum, Cetakan Pertama, 1410 H; Muhammad bin Hasan Fadhil Hindi, Kasyf al-Litsam wa al-Ibham ‘an Qawaid al-Ahkam, jil. 9, hal. 269, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Cetakan Pertama, 1416 H; Muhammad Hasan Najafi, Jawahir al-Kalam fi Syarh Syara’I al-Islam, Riset dan edit oleh Abbas Qucani dan Ali Akhundi, jil. 36, hal. 284, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cetakan Ketujuh, 1404 H.
[8]. Imam Khomeini, Taudhih al-Masâil (Muhassyâ), Penyusun Sayid Muhammad Husain Bani Hasyim Khomeini, jil. 2, hal. 568, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Cetakan Kedelapan, 1424 H; Muhammad Baqir Muhaqqiq Sabzewari, jil. 2, hal. 606, Intisyarat Mahdi, Isfahan, Cetakan Pertama, Tanpa Tahun.
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar