Advanced Search
Hits
11137
Tanggal Dimuat: 2012/02/06
Ringkasan Pertanyaan
Apakah ayat, “Famastamta’tum bih minhunna fa’tuhunna ujurahunna faridhatun” dapat dijadikan dalil atas nikah mut’ah? Mengapa pada ayat ini tidak digunakan kata kerja perintah?
Pertanyaan
Apakah ayat, “Famastamta’tum bih minhunna fa’tuhunna ujurahunna faridhatun” dapat dijadikan dalil atas nikah mut’ah? Mengapa Allah Swt tidak memerintahkan nikah mut’ah kepada Rasulullah Saw pada ayat ini? Dan mengapa ayat ini tatkala menjelaskan hukum istimtâ’ (mut’ah) tidak menggunakan kata kerja perintah (fi’il amr)?
Jawaban Global

Yang dimaksud dengan istimtâ’ pada ayat, “famastamta’tum bihi minhunna fa’tuhunna ujurahunna faridhatun” (Maka istri-istri yang telah kamu nikahi secara mut‘ah di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban) adalah bahwa bahwa kapan saja engkau mendapatkan kenikmatan dari istri-istri maka hendaklah engkau menyerahkan mahar kepada mereka.

Ulama Imamiyah, sebagian sahabat dan thabi’in berkata bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah nikah mut’ah.

Muslim bin Hajjaj dalam riwayat sahih bahwa Atha berkata, “Jabir bin Abdullah kembali dari umrah dan kami datang mengunjunginya. Orang-orang bertanya tentang beberapa hal dan di antaranya adalah mut’ah. Jabir berkata, “Benar, kami pada masa Rasulullah Saw, Abu Bakar, Umar, kami melakukan mut’ah.” Kemudian kami melihat para sahabat besar dan thabi’in serta sekelompok besar ahli tafsir (mufassir) Ahlusunnah dan seluruh mufassir Syiah, seluruhnya memahami ayat di atas sebagai hukum tentang nikah mut’ah. Ayat ini berada pada tataran menghitung para wanita yang dapat dinikahi dan tidak pada tataran memerintahkan misalnya seseorang harus menikah, temporal atau permanen, pada prinsipnya pernikahan, baik temporal atau permanen, merupakan hal yang dianjurkan bukan hal yang diwajibkan.[i] Karena itu, tidak terdapat dalil untuk memahami ayat ini sebagai perintah dalam masalah pernikahan.

Oleh karena itu, dalam menjawab pertanyaan bagian kedua kami katakan bahwa petunjuk pertama atas kalimat perintah adalah kewajiban dan tiada seorang pun yang mengklaim bahwa mut’ah itu wajib sehingga memerlukan kata kerja perintah.



[i]. Muhammad al-Fadhil al-Langkarani, Tafshil al-Syari’ah fi Syarh Tahrir al-Wasilah, Riset dan Penerbitan, Markaz Fiqh Al-Aimmah al-Athar As, Kitab al-Nikah, hal. 7.  

Jawaban Detil

Para pakar bahasa berkata bahwa yang dimaksud dengan istimtâ’ adalah bercampur dan memperoleh kenikmatan. Dengan demikian, makna ayat ini adalah bahwa kapan saja engkau memperoleh kenikmatan dari para wanita maka engkau harus membayar maharnya.

Ibnu Abbas, Sadi, Ibnu Sa’id, sekelompok thabihin dan ulama Imamiyah berkata bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah nikah mut’ah. Hal ini adalah merupakan suatu hal yang jelas. Karena istimtâ’ dan tamattu’ meski aslinya bermakna mendapatkan manfaat dan memperoleh kelezatan, namun dalam urf syara terkhusus pada sebuah akad tatkala dirangkaikan dengan para wanita (nisa).

Karena itu, makna redaksi ayat di atas adalah, “Kapan saja engkau menikah mut’ah dengan mereka maka hendaknya kalian harus membayar mahar mereka.”

Sekelompok orang dari sahabat di antaranya Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud sebagaimana disebutkan dalam riwayat bahwa mereka membaca ayat “famastamta’tum bihi minhunna ila ajalin musamma fa’tuhunna ujurahunna; artinya bilamana “untuk waktu tertentu” engkau ingin memperoleh kenikmatan (tamattu’), maka hendaklah engkau membayar mahar mereka dan hal ini secara lugas menyatakan nikah mut’ah.

Dengan demikian, kita saksikan para sahabat dan thabi’in seperti Ibnu Abbas, alim dan mufassir terkenal Islam dan Ubay bin Ka’ab, Jabir bin Abdullah, ‘Umran bin Hushain, Sa’id bin Jubair, Mujahid, Qatadah, Sadi dan sekelompok besar mufassir Ahlusunnah serta seluruh mufassir Syiah seluruhnya memahami hukum nikah mut’ah dari ayat di atas sedemikian sehingga Fakhrurazi dengan segala ketenarannya dalam melontarkan kritikan dalam masalah-masalah yang bertautan dengan Syiah, setelah membahas secara detil tentang ayat di atas, berkata, “Kami tidak mempersoalkan ayat di atas dapat dipahami sebagai hukum kebolehan nikah mut’ah, namun kami katakan bahwa hukum di atas dianulir (nasakh) setelah beberapa lama.”[1]

Adapun bagian kedua pertanyaan terkait mengapa dalam masalah nikah mut’ah Allah Swt tidak memerintahkan kepada Nabi-Nya melakukan nikah mut’ah dan pada ayat tersebut tatakala menjelaskan hukum istimtâ tidak menggunakan kata kerja perintah (fi’il amar)? Harus dikatakan bahwa:

Petunjuk pertama kata kerja perintah adalah adanya kewajiban yang harus dijalankan dan tiada seorang pun yang mengklaim bahwa nikah mut’ah itu wajib hukumnya.[2]

Karena itu, ayat mut’ah berada pada tataran menghitung para wanita yang dapat dinikahi dan tidak berada pada tataran memerintah misalnya seseorang harus menikah, temporal atau permanen, pada prinsipnya pernikahan, baik temporal atau permanen, merupakan hal yang dianjurkan bukan hal yang diwajibkan.[3] Karena itu, tidak terdapat dalil untuk memahami ayat ini sebagai perintah dalam masalah pernikahan.

Oleh karena itu, tidak terdapat dalil untuk memanfaatkan kata kerja perintah dalam masalah ini. Dari sisi lain, hukum diperuntukkan bagi semua manusia, bukan hanya Rasulullah Saw. Dengan demikian, pada ayat yang berada pada tataran menjelaskan hukum Ilahi, bahkan sekiranya yang menjadi obyek seruan itu Rasulullah Saw, maka masyarakat umum tetap tercakup di dalamnya bukan untuk beliau secara khusus. [iQuest]

 

 



[1]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 3, hal. 336, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1374 S, Cetakan Pertama.

[2]. Perlu untuk diingat bahwa kita memiliki banyak hukum yang tidak seorang pun ragu tentang kewajibannya, namun tidak dijelaskan dengan kata kerja perintah; misalnya kewajiban puasa. Allah Swt berfirman, “Wahai orang-orang beriman! Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu.” (Qs. Al-Baqarah [2]:183)Dan kewajiban haji dimana Allah Swt berfirman, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (Qs. Ali Imran [3]: 97)

[3]. Muhammad al-Fadhil al-Langkarani, Tafshil al-Syari’ah fi Syarh Tahrir al-Wasilah, Riset dan Penerbitan, Markaz Fiqh Al-Aimmah al-Athar As, Kitab al-Nikah, hal. 7.

Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar
Jumlah Komentar 0
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
contoh : Yourname@YourDomane.ext
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
<< Libatkan Saya.
Silakan masukkan jumlah yang benar dari Kode Keamanan

Pertanyaan-pertanyaan Acak

Populer Hits

  • Ayat-ayat mana saja dalam al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya?
    259832 Tafsir 2013/02/03
    Untuk mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran, pertama-tama, kita harus melihat secara global makna “akal” yang disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan dengan pendekatan ini kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran terkait dengan berpikir dan menggunakan akal dalam al-Quran. Akal dan pikiran ...
  • Apakah Nabi Adam merupakan orang kedelapan yang hidup di muka bumi?
    245600 Teologi Lama 2012/09/10
    Berdasarkan ajaran-ajaran agama, baik al-Quran dan riwayat-riwayat, tidak terdapat keraguan bahwa pertama, seluruh manusia yang ada pada masa sekarang ini adalah berasal dari Nabi Adam dan dialah manusia pertama dari generasi ini. Kedua: Sebelum Nabi Adam, terdapat generasi atau beberapa generasi yang serupa dengan manusia ...
  • Apa hukumnya berzina dengan wanita bersuami? Apakah ada jalan untuk bertaubat baginya?
    229506 Hukum dan Yurisprudensi 2011/01/04
    Berzina khususnya dengan wanita yang telah bersuami (muhshana) merupakan salah satu perbuatan dosa besar dan sangat keji. Namun dengan kebesaran Tuhan dan keluasan rahmat-Nya sedemikian luas sehingga apabila seorang pendosa yang melakukan perbuatan keji dan tercela kemudian menyesali atas apa yang telah ia lakukan dan memutuskan untuk meninggalkan dosa dan ...
  • Ruh manusia setelah kematian akan berbentuk hewan atau berada pada alam barzakh?
    214292 Teologi Lama 2012/07/16
    Perpindahan ruh manusia pasca kematian yang berada dalam kondisi manusia lainnya atau hewan dan lain sebagainya adalah kepercayaan terhadap reinkarnasi. Reinkarnasi adalah sebuah kepercayaan yang batil dan tertolak dalam Islam. Ruh manusia setelah terpisah dari badan di dunia, akan mendiami badan mitsali di alam barzakh dan hingga ...
  • Dalam kondisi bagaimana doa itu pasti dikabulkan dan diijabah?
    175602 Akhlak Teoritis 2009/09/22
    Kata doa bermakna membaca dan meminta hajat serta pertolongan.Dan terkadang yang dimaksud adalah ‘membaca’ secara mutlak. Doa menurut istilah adalah: “memohon hajat atau keperluan kepada Allah Swt”. Kata doa dan kata-kata jadiannya ...
  • Apa hukum melihat gambar-gambar porno non-Muslim di internet?
    170982 Hukum dan Yurisprudensi 2010/01/03
    Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban global. Silahkan Anda pilih jawaban detil ...
  • Apakah praktik onani merupakan dosa besar? Bagaimana jalan keluar darinya?
    167400 Hukum dan Yurisprudensi 2009/11/15
    Memuaskan hawa nafsu dengan cara yang umum disebut sebagai onani (istimna) adalah termasuk sebagai dosa besar, haram[1] dan diancam dengan hukuman berat.Jalan terbaik agar selamat dari pemuasan hawa nafsu dengan cara onani ini adalah menikah secara syar'i, baik ...
  • Siapakah Salahudin al-Ayyubi itu? Bagaimana kisahnya ia menjadi seorang pahlawan? Silsilah nasabnya merunut kemana? Mengapa dia menghancurkan pemerintahan Bani Fatimiyah?
    157460 Sejarah Para Pembesar 2012/03/14
    Salahuddin Yusuf bin Ayyub (Saladin) yang kemudian terkenal sebagai Salahuddin al-Ayyubi adalah salah seorang panglima perang dan penguasa Islam selama beberapa abad di tengah kaum Muslimin. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam dalam menghadapi agresi orang-orang Kristen Eropa.
  • Kenapa Nabi Saw pertama kali berdakwah secara sembunyi-sembunyi?
    140312 Sejarah 2014/09/07
    Rasulullah melakukan dakwah diam-diam dan sembunyi-sembunyi hanya kepada kerabat, keluarga dan beberapa orang-orang pilihan dari kalangan sahabat. Adapun terkait dengan alasan mengapa melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi pada tiga tahun pertama dakwahnya, tidak disebutkan analisa tajam dan terang pada literatur-literatur standar sejarah dan riwayat. Namun apa yang segera ...
  • Kira-kira berapa usia Nabi Khidir hingga saat ini?
    133540 Sejarah Para Pembesar 2011/09/21
    Perlu ditandaskan di sini bahwa dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara tegas nama Nabi Khidir melainkan dengan redaksi, “Seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Qs. Al-Kahfi [18]:65) Ayat ini menjelaskan ...