Please Wait
35088
Berperantara atau ber-tawassul kepada selain Tuhan dan memohon pertolongan kepada Rasulullah Saw dan para wali Allah yang merupakan suatu hal yang biasa dan mentradisi di kalangan kaum Muslimin semenjak dahulu kala, tidak bermakna menempatkan mereka sebagai mitra atau sekutu dalam perbuatan-perbuatan Tuhan. Yang dimaksud dengan tawassul adalah bahwa Tuhan memenuhi segala hajat dan permintaan manusia berkat perantara dan keberadaan mereka.
Sejatinya, manusia dengan perantara para wali ber-tawassul kepada Tuhan itu sendiri. Mereka memohon kepada Tuhan supaya segala hajat dan keinginan mereka terpenuhi. Pada saat yang sama mereka memohon kepada para wali Allah supaya para wali ini, mengingat kedekatan mereka kepada Tuhan, memohon kepada Allah Swt supaya mengabulkan permintaan dan hajat mereka.
Demikianlah makna tawassul yang diinginkan dari orang-orang beriman sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur’an, “Ya Ayyuhalladzina Amanu Ittaqullah wabtaghu ilaihi al-wasilah.” (Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, carilah perantara untuk mendekatkan diri kepada-Nya, Qs. Al-Maidah [5]:35)
Secara umum, tawassul kepada para wali Allah merupakan sebuah perkara yang diterima oleh akal dan syariat. Sirah Rasulullah Saw dan para Imam Ahlulbait As serta seluruh kaum Muslimin, semenjak dulu hingga sekarang, menunjukkan kebolehan tawassul kepada para wali Allah Swt.
Rasulullah Saw dan para Imam Ahlulbait As memotivasi masyakarat untuk ber-tawassul kepada al-Qur’an dan para wali Allah Swt.
Tawassul kepada Para Nabi dan Wali Allah
Salah satu prinsip penting agama Islam dan bagian dari rukun tauhid yang disepakati oleh seluruh pengikut Rasulullah Saw adalah bahwa pengaturan alam semesta hanyalah berada di tangan Allah Swt. Masalah-masalah seperti penciptaan, pemberian rezeki, menghidupkan, mematikan, melakukan perputaran siang dan malam, cahaya dan kegelapan, menurunkan hujan dan lain sebagainya hanya dapat dilakukan oleh Allah Swt. Al-Qur’an dalam beberapa ayat menekankan hal ini dan menolak secara tegas seluruh jenis kesyirikan (dalam uluhiyyah, rububiyyah, ubudiyyah dan lain sebagianya).
Namun harus diketahui bahwa ber-tawassul kepada selain Allah Swt dan meminta pertolongan kepada Rasulullah Saw dan para wali Allah yang telah mentradisi sepanjang sejarah kaum Muslimin tidak bermakna menjadikan mereka sebagai mitra dan sekutu dalam perbuatan-perbuatan Tuhan. Melainkan bermakna bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kedekatan, kedudukan tinggi dan kehormatan di sisi Allah Swt. Atas dasar itu, mereka menjadi media dan wahana manusia menerima emanasi Ilahi.
Untuk menjelaskan masalah ini kiranya kita perlu mengkaji redaksi tawassul secara leksikal dan teknikal.
Tawassul secara leksikal bermakna segala sesuatu yang dijadikan sebagai media dan perantara manusia untuk sampai kepada tujuannya.[1] Sebagaian lainnya berkata, “Tawassul adalah pemberian syafâ’at di hari Kiamat.”[2]
Secara teknikal terminologis keagamaan kaum Muslmin tawassul bermakna menjadikan para nabi, imam, orang-orang saleh sebagai media dan perantara di sisi Allah Swt untuk sampai ke makam qurb (kedekatan) Ilahi.
Keyakinan terhadap tawassul merupakan keyakinan yang bertitik-tolak dari al-Qur’an dan Sunnah Nabawi.
Al-Qur’an menyatakan, “Ya Ayyuhâlladzina Âmanû Ittaqullâh wabtaghu ilaihi al-wasilah.” (Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, carilah perantara untuk mendekatkan diri kepada-Nya, Qs. Al-Maidah [5]:35)
Hal yang dijadikan sebagai perantara dan media tawassul terkadang adalah amalan-amalan kebaikan yang mendekatkan kita kepada Allah Swt. Dan terkadang adalah manusia terhormat yang memiliki kedudukan dan kehormatan di sisi Allah Swt. Demikian juga, tawassul kepada orang-orang yang hidup, dan terkadang kepada orang-orang yang telah meninggalkan dunia ini yang sebagian dari tawassul seperti ini disebutkan dalam al-Qur’an dan sebagian riwayat.
1. Tawassul saudara-saudara Yusuf kepada ayahnya, Ya’qub yang berkata, “Mereka berkata, “Hai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa). Ya‘qub berkata, “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Yusuf [12]:97-98)[3]
Sebagaimana yang Anda cermati Ya’qub tidak menolak permohonan anak-anaknya dan tidak berkata kepada mereka mengapa kalian tidak langsung bermohon kepada Allah Swt dan berperantara kepadaku. Ya’qub malah menekankan masalah tawassul dan menjanjikan untuk memohonkan ampunan bagi mereka di sisi Allah Swt.
2. Tawassul kepada Rasulullah Saw: “Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Nisa [4]:64)[4]
Ayat ini menunjukkan bahwa untuk memohon ampunan kepada Allah Swt kita harus mencari media dan perantara yang berwibawa dan terhormat sehingga Tuhan mengabulkan segala hajat dan permohonan manusia.
3. Usman bin Hanif berkata, “Seorang buta datang kepada Rasulullah Saw dan berkata, “Pintalah kepada Tuhan supaya Dia menyembuhkanku.” Rasulullah Saw bersabda, “Apabila engkau bersabar maka hal itu akan lebih baik bagimu. Dan apabila engkau ingin aku akan memohonkan kesembuhan bagi penyakitmu kepada Allah Swt. Orang itu berkata, “Pintalah kepada Allah Swt supaya Dia menyembuhkanku.” Rasulullah Saw meminta kepadanya untuk berwudhu dan memohon kepada Allah Swt dengan doa ini, “Tuhanku! Aku bermohon kepadamu dengan perantara nabi-MU, nabi penuh kasih. Wahai Muhammad! Dengan perantaramu aku menghadap kepada Allah Swt sehingga segala hajatku terpenuhi.”[5]
Hadis sahih di atas menekankan atas legalitas perbuatan tawassul, karena Rasulullah Saw tidak hanya melarang orang itu untuk ber-tawassul, beliau juga mengajarkan model tawassul yang benar kepadanya bagaimana dengan menjadikan Rasulullah Saw perantara dan media antara ia dan Tuhan, memohon kepada Allah Swt supaya ia memperoleh kesembuhan dan hal ini bermakna sebagai tawassul kepada para wali Allah.
4. Anas bin Malik berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah Saw dan berkata, “Wahai Rasulullah! Hewan-hewan kami telah binasa karena tiadanya air. Pohonlah kepada Allah Swt (untuk menurunkan hujan). Rasulullah Saw berdoa. Dan tidak lama berselang hujan turun selama seminggu sehingga orang tersebut datang kembali kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah! Rumah-rumah telah rusak. Jalan-jalan terputus.” Rasulullah Saw berkata,”Tuhanku! (Hujan rahmat-Mu) turunkan (hujan rahmat-Mu) ke atas gunung-gunung, bukit-bukit, lembah-lembah dan sungai-sungai dan tempat-tempat tumbuhnya pohon.”[6] Setelah berdoa, hujan di kota Madinah terputus namun tetap tercurah di sekeliling kota Madinah.[7]
5. Diriwayatkan bahwa Nabi Adam karena telah melakukan kesalahan, berkata, “Wahai Tuhanku! Maafkanlah Aku demi Muhamad.” Allah Swt berkata, “Wahai Adam! Bagaimana engkau mengenal Muhammad meski Aku belum lagi menciptanya?” Adam menjawab, “Tatkala engkau menciptakanku aku melihat ke Arasy dan melhat di dalamnya tertulis: Lailaha illaLlâh Muhammad Rasulullâh.” Karena aku melihat namanya bersanding dengan nama-Mu, aku tahu bahwa ia adalah sosok yang paling dicintai di antara seluruh makhluk di dunia ini. Allah Swt berfirman, “Aku mengampunimu karena engkau telah meminta kepadaku demi Muhammad.”[8]
6. Dalam nukilan yang lain dari riwayat di atas yang dikutip oleh Suyuti melalui jalur Ibnu Abbas dari Rasulullah Saw, “Ibnu Abbas berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah Saw ihawl kalimat-kalimat yang diterima Nabi Adam dari Allah Swt dan menyebabkan Adam mendapatkan ampunan dari Allah Swt.” Rasulullah Saw bersabda, “Adam meminta kepada Allah Swt demi hak Muhammad, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain supaya taubatnya diterima. Allah Swt pun menerima taubatnya.”[9]
7. Dalam hadis lain yang dinukil dari Abu Hurairah dari Rasulullah Saw, “..Wahai Adam! Mereka ini (Ahlulbait As) adalah orang-orang pilihanku. Apabila engkau memiliki hajat maka jadikanlah mereka sebagai perantara dan ber-tawassul-lah kepada mereka. “ Rasulullah Saw mengimbuhkan, “Kami (Ahlulbait) adalah bahtera keselamatan. Barang siapa yang menaikinya akan selamat dan barang siapa yang meninggalkannya akan binasa. Karena itu barang siapa yang memiliki hajat dan membutuhkan Allah Swt maka ia harus menjadikan kami sebagai perantara.”[10]
8. Ibnu Abbas berkata, “Umar bin Khattab memohon hujan dengan berperantara kepada Abbas bin Abdul Mutthalib paman Rasulullah Saw dan berkata, “Tuhanku! Kami memohon hujan kepadamu dengan perantara paman rasul kami. Dengan perantara uban-ubannya aku memohon syafâ’at.” Kemudian hujan turun dan terpenuhi dahaganya.[11] Dalam nukilan lain dari hadis di atas tatkala Abbas memohon hujan dan hujan pun turun, Umar menghadap kepada masyarakat dan berkata, “Demi Allah! Abbas adalah media dan perantara kami kepada Allah Swt dan memiliki kedudukan (tinggi) di sisi Allah Swt.”[12]
Qastalani berkata, “Tatkala Umar meminta hujan dengan perantara Abbas, ia berkata, “Ayyuhannas! Rasulullah Saw memandang Abbas sebagai seorang ayah. Ikutilah ia dan jadikan ia sebagai perantara menuju Allah Swt.”[13]
Perbuatan ini telah menggugurkan pemikiran orang-orang yang mengharamkan tawassul secara mutlak atau tawassul kepada selain Rasulullah Saw. Demikian juga, menegaskan bahwa salah satu obyek perantara (wasilah) tawassul kepada orang-orang terhormat dan memiliki kedudukan yang mendekatkan manusia kepada Allah Swt. Ucapan Umar yang berkata, “Hadza Wallahi al-wasilah ilaLlah wa al-makan minhu” secara tegas menunjukkan kapabilitas tawassul dan taqarrub.
Ibnu Hajar Asqalani menulis, “Abbas paman Rasulullah Saw dalam doanya berkata, “Orang-orang menghadap kepadaku karena hubungan kekerabatan yang aku miliki dengan Rasulullah Saw.”[14]
Semua ini diungkap sehingga tidak tersisa secuil pun keraguan bahwa tujuannya adalah berperantara dan ber-tawassul kepada makam dan kedudukan Abbas. Karena itu, dapat dikatakan secara pasti bahwa kaum Muslimin semenjak kemunculan Islam telah ber-tawassul kepada orang-orang suci dan saleh untuk menunaikan hajat-hajat mereka.
Tawassul dalam Sirah Kaum Muslimin
Demikian juga dari hadis-hadis dapat disimpulkan bahwa sirah kaum Muslimin pasca kematian Rasulullah Saw juga terus berlanjut sebagaimana contoh yang diuraikan sebagai berikut:
1. Baihaiqi meriwayatkan, seseorang datang ke pusara Rasulullah Saw dan berkata, Wahai Muhammad! Pintalah hujan untuk umatmmu.” Tidak lama berselang turunlah hujan dan orang-orang terpenuhi dahaganya.[15]
2. Tatkala Mansur, Penguasa Dinasti Abbasiyah bertanya kepada Malik bin Anas, Imam Mazhab Maliki tentang bagaimana berziarah kepada Rasulullah Saw. Ia berkata, “Apakah aku harus menghadap kiblat dan berdoa atau menghadap Rasulullah Saw?” Malik bin Anas menjawab, “Mengapa Anda ingin berpaling darinya? Ia pada hari Kiamat menjadi perantara Anda dan perantara bapak Anda Adam. Menghadaplah kepadanya dan jadikanlah ia sebagai pemberi syafâ’at (syâfi’), Allah Swt menerima syafâ’atnya. Allah Swt berfirman, “Walau annahum idz dzhalamu..” (Qs. Al-Taubah [9]:)[16]
3. Dari Muhammad bin Idris Syafi’i, Imam Mazhab Syafi’i juga meninggalkan beberapa syair yang menunjukkan bahwa ia meyakini secara mendalam terhadap tawassul, khususnya tawassul terhadap Ahlulbait Rasulullah Saw.
Ia berkata, “
Keluarga Nabi adalah perantaraku kepada Tuhan
Kuberharap demi mereka seluruh catatan amal perbuatanku diberikan pada tanganku. [17]
Syafi’i di tempat lain dari Diwan-nya berkata dalam memuji Ahlulbait As, “Sekiranya dosaku adalah mencintai keluarga Muhammad maka aku tidak akan pernah taubat dari dosa ini. Keluarga Nabi Saw di hari Kiamat dan tatkala kedudukan dan derajat mereka tampak bagi para penyaksi maka mereka adalah para pemberi syafâ’at-ku.”[18]
Syafi’i dalam syair-syair di atas dengan jelas memperkenalkan seluruh Ahlulbait Rasulullah Saw sebagai para pemberi syafâ’at-nya.
4. Masalah tawassul kepada para wali Allah sedemikian berkembang di kalangan kaum Muslimin pada masa-masa awal kemunculan Islam sehingga mereka menyebutkan dalam syair-syair mereka dan memperkenalkan Rasulullah Saw sebagai media antara mereka dan Tuhan. Di antaranya adalah sebuah qasidah yang digubah oleh Sawad bin Qarib tentang Rasululah Saw:
Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan engkau adalah seorang Amin atas setiap yang tersembunyi.
Aku bersaksi bahwa engkau – wahai anak orang-orang mulia dan suci – sedekat-dekat perantara kepada Allah Swt di antara seluruh nabi.”[19]
Rasulullah Saw mendengar syair ini dan sekali-kali beliau tidak pernah melarang orang yang menggubah syair ini dan tidak menudingnya melakukan perbuatan syirik dan bid’ah.
5. Abu Ali Khalali salah seorang ulama besar Hanafi berkata, “Mâ hamani amran faqashadtu Qabra Musa bin Ja’far As fatawassaltu bihi illa SahhalaLlah ta’ala ila ma uhibb.” Kapan saja aku mendapatkan kesulitan, maka aku berziarah ke pusara Musa bin Ja’far As dan ber-tawassul kepadanya. (Dengan tawassul ini) Allah Swt segera menyelesaikan segala kesulitanku dan memenuhi hajatku.” [20]
Tawassul dalam Pandangan Ahlulbait Rasulullah Saw
Tawassul dalam pandangan para Imam Ahlulbait As juga merupakan sebuah perbuatan terpuji. Mereka memotivasi masyarakat untuk ber-tawassul kepada al-Qur’an dan para wali Allah Swt.
Di antara frase doa Imam Sajjad disebutkan tentang peran tawassul:
Tuhanku! Aku ber-taqarrub kepada-Mu dengan perantara makam menjulang Muhammad dan wilayah serta jalan lurus Ali. Dan dengan perantara keduanya Aku menghadap kepada-Mu supaya Engkau lindungi Aku dari kejahatan ini dan itu.”[21]
Diriwayatkan dari Hadhrat Fatimah Zahra Sa yang bersabda, “Aku memuji Allah Swt yang berkat keagungan dan cahaya-Nya, seluruh makhluk di tujuh petala langit dan bumi, mencari perantara untuk ber-taqarrub kepada Allah Swt. Dan kami (keluarga Rasulullah Saw) merupakan media dan perantara kepada Allah Swt di antara para hamba-Nya.”[22]
Aisyah menukil bahwa Rasulullah Saw bersabda ihwal Khawarij:
Khawarij adalah seburuk-buruk ciptaan Allah Swt dan Ali adalah sebaik-baik hamba Allah Swt yang merupakan perantara terdekat kepada Allah Swt. Mereka akan membunuh sebaik-baik hamba.”[23]
Demikian juga, Syaikh Shaduq dengan menyebutkan sanad dari Rasulullah Saw mengutip bahwa beliau bersabda, “(Kebanyakan) para Imam Maksum berasal dari generasi dan keturunan Imam Husain As. Barang siapa yang mengikuti salah satu dari mereka maka ia telah mengikuti Allah Swt. Dan barang siapa yang membantah perintah-perintah mereka maka ia telah membantah perintah-perintah Allah Swt. Mereka adalah hablu al-matin dan media taqarrub para hamba kepada Allah Swt.”[24]
Sebagaiman yang kita amati, masalah tawassul kepada para nabi dan wali Allah Swt, baik pada masa hidup mereka atau pada masa wafat mereka merupakan realitas yang berkembang dan dibolehkan pada masa nabi-nabi sebelumnya, pada masa Rasulullah Saw, dan pasca Rasulullah Saw, masa sahabat dan tabi’in dan pada pelbagai tingkatan masa dalam Islam. Kaum Muslimin, dari pelbagai mazhab Islam, senantiasa ber-tawassul kepada para nabi dan wali Allah untuk memenuhi pelbagai hajat dan kebutuhan mereka.
Dengan demikian masalah tawassul merupakan sebuah masalah yang legal dan islami. Dan apabila ada seseorang atau beberapa orang mengabaikan sunnah terpuji ini maka sesungguhnya mereka telah mengambil jarak dengan jalan lurus Islam. Saran kami supaya mereka memperbaiki kesalahan-kesalahan mereka lalu kembali ke jalan lurus Ilahi. [IQuest]
[1]. Raghib Isfahani, Mufradât Râghib, hal. 560; Fakhrurazi, Tafsir Kabir, 4/349; Ibnu Atsir, Al-Nihâyah fi Gharib al-Hadits, 185/5.
[2]. Ibnu Atsir, Al-Nihâyah fi Gharib al-Hadits, 185/5.
[3]. Qs. Yusuf (12):97-98
قَالُواْ یَأَبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا إِنَّا کُنَّا خَاطِینَ. قَالَ سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَکُمْ رَبىِّ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِیمُ.
[4]. Qs. Al-Nisa (4):64
وَ لَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جاؤُکَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَ اسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّاباً رَحیماً.
[5]. Tirmidzi, al-Jâmi’ al-Shahih, 35783569/5.
[6]. Muhammad bin Ismail bin Bukhari, Shahih Bukhâri, jil. 1, hal. 344-346, Hadis 968-976.
جاء رجل إلی رسول الله فقال: یا رسول الله، هلکت المواشی و تقطّعت السبل، فادع الله، فدعا الله، فمطرنا من الجمعة إلی الجمعة، فجاأ رجل إلی النبی فقال: یا رسول الله، تهدّمت البیوت، و تقطّعت السبل و هلکت المواشی. فقال رسول الله: «اللهم علی ظهور الجبال و الاکام و بطون الأودیة و منابت الشجر». فانجابت عن المدینة انجیاب الثوب.
[7]. Hakim al-Naisyaburi, al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, 517/3, Hadis 4286; Baihaqi, Dalâil al-Nubuwwah, 489/5; Wafâ al-Wafâ, 1371-1372/4; Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, 59/1.
[8].
و نقل أنّ آدم لما اقترف الخطئیة قال: یا ربّی، أسألک بحق محمد لما غفرت لی، فقال، یا آدم، کیف عرفته؟ قال: لأنک لما خلقتنی نظرت إلی العرش فوجدت مکتوباً فیه: لا اله الا الله، محمد رسول الله؛ فرأیت اسمه مقروناً مع اسمک، فعرفته أحب الخلق الیک».
[9]. Suyuti, Al-Durr al-Mantsur, jil. 1, hal. 60-61, Dar al-Kutub al-‘Iraqiyah, 1377 H.
عن ابن عباس قال سألت رسول الله عن الکلمات التی تلقاها آدم من ربّه فتاب علیه قال: سئل بحق محمد و علی و فاطمة و الحسن و الحسین إلا تبت علیّ فتاب علیه.
[10]. Ibrahim bin Juwaini, Farâid al-Simthain, jil. 1, hal. 36 dan 37, Beirut, Muassasah Mahmudi, Cetakan Pertama, 1398 H. Kharazmi, al-Manâqib, hal. 318, jil. 20, Intisyarat-e Islami, Qum, 1441 H.
یا آدم هؤلاء صفوتی ... فإذا کان لک الی حاجة فبهؤلاء توسل، فقال النبی: نحن سفینة النجاة من تعلق بها نجا و من حاد عنها هلک، فمن کان له إلی الله حاجة فلیسألنا أهل البیت.
[11]. Abu Nua’im Isfahani, Dalâil al-Nubuwwah, 752/2, Hadis 511; Shahih Bukhâri, Kitab al-Jum’ah, bab al-Istisyqa.
عن ابن عباس، أن عمر قال: اللهم إنا نستسقیک بعم نبیّنا، و نستشفع بشیبته، فسقوا.
[12]. Ibnu Atsir, Usd al-Ghâbah, 11/3.
فقال عمر: هذا و الله الوسیلة الی الله و المکان منه.
[13]. Al-Mawâhib al-Laduniyyah, 380/3; Fath al-Bâri, 413/2.
إن عمر لما استسقی بالعباس قال یا ایها الناس أن رسول الله کان یری للعباس ما یری الوالد للوالد فاقتدوا به فی عمه و اتخذوه وسیلة إلی الله تعالی. ففیه التصریح بالتوسل و بهذا یبطل قول من منع التوسل مطلقاً بالاحیاء و الأموات و قول من منع ذلک بغیر النبی.
[14]. Fath al-Bâri, 413/2, Dar al-Ma’rifah Libanon.
و قد توجه القوم بی الیک لمکانی من نبیک.
[15]. Wafâ al-Wafâ, 1374/4.
روی البیهقی، انه جاء رجل إلی قبر النبی فقال: یا محمد، استق لأمتک؛ فسقوا؛ وفاء.
[16]. Samhudi, Wafâ al-Wafâ, jil. 2, hal.1376.
منصور قال: یا اباعبدالله استقبل القبلة و أدعوا ام استقبل رسول الله (ص)؟ مالک در پاسخ وی گفت: لم تصرف وجهک عنه و هو و سیلتک و وسیلة أبیک آدم (ع) إلی الله یوم القیامة بل إسبقبله و استشفع به فیشفعک الله قال الله تعالی: «ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم».
[17]. Diwân Imâm Syâfi’î, dikompilasi oleh Muhammad Abdurahim, hal. 162; Shawâiq al-Muhriqah, Ibnu Hajar al-Haitsami al-Makki, hal. 178.
آل النبی ذریعنی و همو إلیه وسیلتی
ارجوا بهم أعطی غداً بیدی الیمین صحیفتی
[18]. Diwân Imâm Syâfi’i.
لئن کان ذنبی حب آل محمد فذلک ذنب لست عنه أتوب
هم شفعائی یوم حشری و موقفی إذا ما بدت للناظرین خطوب.
[19]. Al-Durar al-Siniyyah, Zaini Dahlan, hal. 29.
و أشهد أن لا رب غیره و أنک مأمون علی کل غائب
و أنک أدنی المرسلین وسیلة ألی الله یابن الاکرمین الاطائب.
[20]. Târikh Baghdad, Khatib Baghdadi, jil. 1, hal. 120.
ما همنی أمر فقصدت قبر موسی بن جعفر (ع) فتوسلت به الا سهل الله تعالی لی ما احب.
[21]. Shahifah Sajjâdiyah, Doa 49.
اللهم فإنی أتقرب الیک بالمحمدیة الرفعیة و العلویة البیضاء، و أتوجه الیک بهما أن تعیذنی من شر کذا و کذا...
[22]. Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balâghah, jil. 16, hal. 211.
واحمد الله الذی بعظمته و نوره یبتغی من فی السموات و الارض الیه الوسیلة و نحن وسیلة فی خلقه.
[23]. Syarh Nahj al-Balâghah, 267/2; Ibnu al-Maghazali, al-Manâqib, hal. 100, Hadis 79, Dar al-Adhwa, Beirut, 1412 H; Haitsami, Majma’ al-Zawâid, jil. 6, hal. 359, Dar al-Fikr, 1414 H.
هم شر الخلق و الخلیقة، یقتلهم خیر الخلق و الخلیقة، و أقربهم عندالله وسیلة.
[24]. Shaduq, ‘Uyûn Akhbâr al-Ridhâ As, jil. 1, hal. 63.
و باسناد قال قال رسول الله: الائمة من ولد الحسین (ه) من أطاعهم فقد أطاع الله و من عصاهم عصی الله عزوجل هم العروة الوثقی و هم الوسیلة الی الله عزوجل. عیون أخبار الرضا (ع) صدوق ج 1 ص 63.