Please Wait
14077
Untuk menjawab pertanyaan ini kita akan membagi sahabat menjadi dua bagian. Sahabat dari kalangan Ahlulbait dan sahabat dari kalangan non-Ahlulbait. Pembagian ini kami lakukan dengan alasan bahwa Rasulullah Saw sangat menganjurkan dan mewasiatkan Ahlulbaitnya.
Bagian pertama contoh perlakuan terhadap sahabat dari kalangan Ahlulbait Nabi Saw:
1. Tragedi memilukan pasca wafatnya Rasulullah Saw untuk memberikan baiat kepada Baginda Ali As dan sahabat lainnya, yang berkumpul di kediaman beliau.
2. Perlakuan tidak senonoh yang dilakukan terhadap Fatimah Zahra Sa dalam mengabaikan haknya terkait dengan tanah Fadak.
Bagian kedua, contoh perlakuan terhadap para sahabat dari non-Ahlulbait Nabi Saw:
1. Peristiwa pengambilan baiat dari sahabat yang menentang khilafah Abu Bakar yang berujung pada pembakaran kediaman Ali bin Abi Thalib As.
2. Konfrontasi dengan Ubai bin Ka’ab.
3. Pemukulan dan penghajaran Abdullah bin Mas’ud serta pemberian julukan-julukan buruk kepadanya buah dari kritika-kritikannya.
4. Pengasingan Abu Dzar ke Rabadzah karena kritikan-kritikan yang dilontarkannya.
Sahabat adalah orang-orang yang hidup di masa Rasulullah Saw dan memeluk Islam serta melihat Rasulullah Saw. [1] Mengingat bahwa selain Ahlulbait Nabi Saw tiada seorang pun sahabat yang maksum dan terjaga dari dosa karena itu terdapat banyak nukilan yang mengisahkan kesalahan-kesalahan kebanyakan sahabat yang sebagian darinya sedemikian masyhur sehingga sampai pada derajat tawatur (baca: hadis-hadis mutawatir).
Perlakuan Khalifah Pertama, Khalifah Kedua dan Ketiga terhadap para sahabat dapat kita bagi menjadi dua bagian: Perlakuan-perlakuan yang dilakukan terhadap Ahlulbait As dan perlakuan-perlakuan terhadap sahabat lainnya. Pembagian ini kami lakukan didasari dengan dua alasan karena anjuran dan tekanan berulang kali yang disampaikan Rasulullah Saw terkait dengan Ahlulbait As.
Berikut ini kami sebutkan sebagian hal yang terdapat dalam literatur-literatur sejarah dan hadis Ahlusunnah tentang bagian pertama:
1. Boleh jadi perlakuan tidak senonoh yang dilakukan terhadap Ahlulbait Nabi As pasca wafatnya Rasulullah Saw seperti peristiwa-peristiwa pengambilan baiat dari Ali bin Abi Thalib As. Dainawari salah seorang ulama Ahlusunnah mengutip, “Tatkala Abu Bakar mengetahui bahwa sebagian kaum Muslimin menolak untuk memberikan baiat kepadanya dan berkumpul di rumah Ali bin Abi Thalib, ia mengutus Umar bin Khattab kepada mereka. Umar bin Khattab menyeru mereka untuk berbaiat dan karena mereka menolak seruan ini, Umar bin Khattab meminta supaya kayu bakar dikumpulkan. Katanya, “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya! (Hanya ada dua pilihan) Apakah kalian keluar dari rumah atau aku membakar rumah ini beserta seluruh apa yang ada di dalamnya. Seseorang berkata, “Di dalam rumah ada Fatimah!” Umar menjawab perkataan ini dengan berseru lantang, “Bahkan sekiranya Fatimah berada di dalam rumah ini.” [2]
2. Peristiwa lainnya yang terjadi atas tanah Fadak yang menghadap-hadapkan Fatimah Sa dengan para khalifah. Pada peristiwa ini, terjadi perlakuan-perlakuan yang tidak senonoh terhadap putri Nabi Saw; seorang yang murkanya sama dengan murka Rasulullah Saw dan Allah Swt sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Katsir dari Aisyah bahwa Fatimah murka hingga akhir hayatnya. [3]
Adapun bagian kedua yaitu perlakuan-perlakuan yang dilakukan terhadap sebagian sahabat non-maksum. Perlakuan-perlakuan tersebut akan kami singgung sebagiannya sebagai berikut:
1. Perlakuan-perlakuan yang terjadi pada hari-hari pertama pasca wafatnya Rasulullah Saw dalam rangka mengambil baiat dari para penentang. Karena para sahabat lainnya selain Ahlulbait As telah dilecehkan dan direndahkan dalam peristiwa ini. [4]
2. Ibnu Abi al-Hadid menukil bahwa suatu hari Umar bin Khattab melihat orang-orang berjalan di belakang Ubay bin Ka’ab. Ia mengangkat cambuknya dan mengarahkannya ke atas kepala Ubay bin Ka’ab. Tiba-tiba Ubay bin Ka’ab berkata, “Takutlah kepada Allah wahai Amirul Mukminin!” Umar berkata, “Siapa orang-orang yang berjalan di belakangmu ini?” Tidakkah engkau tahu bahwa hal ini akan menjadi fitnah orang yang diikuti dan terhinalah orang-orang yang mengikuti.” [5] Namun harus diketahui bahwa sesuai dengan penjelasan Muhamamd Taqi Susytari dalam Qadhâwat-hâ-ye Amirul Mukminin (Putusan-putusan Peradilan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As) bahwa Ubay bin Ka’ab adalah salah seorang penentang khilafah Umar bin Khattab. [6]
3. Ibnu Atsir dalam kitab Usd al-Ghâbah berkata, “Umar meyambuk putranya Ubaidillah karena memberikan julukan Abu Isa [7] bagi dirinya. [8] Ibnu Abi al-Hadid memberikan ulasan atas peristiwa ini, “Terdengar oleh Umar bahwa putranya Ubaidillah memberikan julukan Abu Isa untuk dirinya. Atas dasar itu, Umar memanggilnya dan berkata kepadanya, “Apakah engkau memberikan julukan Abu Isa untuk dirimu?” Ubaidillah merasa takut dan gentar namun Umar mengambil tangannya sedemikian kuat sehingga Ubaidillah berteriak. Kemudian Umar menghajarnya dan berkata, “Apakah engkau telah menjadikan seseorang sebagai ayah untuk Isa?” [9]
4. B a ladzuri dalam kitabnya Ansâb al-Asyrâf menukil bahwa suatu masa Usman mengangkat Walid bin Uqbah sebagai gubernur Kufah. Abdullah bin Mas’ud angkat bicara dan mengecam tindakan Usman ini. “Barang siapa yang membuat perubahan ini semoga Allah Swt mengubahnya dalam (urusan pemerintahan dan khilafah) dan tidak rela kepadanya...” Pungkas Abdullah bin Mas’ud. Walid menyampaikan kecaman Ibnu Mas’ud kepada Usman dan Usman memerintahkan Walid untuk mengirim Ibnu Mas’ud ke Madinah. Abdullah bin Mas’ud dengan dikawal oleh masyarakat Kufah menyampaikan ucapan selamat tinggal kepada mereka dan bertolak menuju Madinah. Tatkala Abdullah bin Mas’ud memasuki kota Madinah, Usman sedang menyampaikan pidato di atas mimbar Rasulullah Saw dan saat itu ia melihat Abdullah bin Mas’ud. Pada saat itu juga Usman berkata, “Ayyuhannas! Telah datang kepada kalian seseorang laksana serangga penganggu yang menghinggapi makanan setiap orang. Orang yang menyantap makanan entah ia menghabisinya atau akan terjangkiti penyakit diare.” Ibnu Mas’ud menimpali bahwa aku tidaklah demikian adanya. Aku adalah orang yang bersama Rasulullah Saw pada perang Badar dan pada hari baiat ridwan. Pada saat itu, Aisyah berseru, “Wahai Usman! Apakah engkau berkata-kata hal ini pada sahabat Rasulullah Saw?” Usman kemudian menitahkan supaya ia dikeluarkan dari masjid dengan paksa dan Abdullah bin Za’mah membantingnya. Juga disebutkan bahwa Yahmum, budak Usman, mengeluarkannya secara paksa dari masjid dan Abdullah bin Mas’ud dalam kondisi yang mengenaskan terjatuh dan giginya copot. Baginda Ali bin Abi Thalib As juga di tempat itu menyampaikan protes kepada Usman dan berkata, “Apakah karena ucapan Walid engkau memperlakukan sahabat Rasulullah Saw seperti ini?” Baginda Ali merawat Abdullah bin Mas’ud dan membawanya ke rumahnya. Hingga akhir hayatnya, Usman tidak memberikan izin bagi Abdullah bin Mas’ud untuk meninggalkan Madinah bahkan ia tidak boleh pergi berperang melawan Syam. [10] Ibnu Abi al-Hadid juga menukil peristiwa ini dari Waqidi dalam Syarh Nahj al-Balaghah-nya. [11] Harap diperhatikan bahwa perlakuan ini menyisakan pengaruh buruk dalam benak setiap kaum Muslimin terhadap Usman sedemikian sehingga sebagian sejarawan memandang hal tersebut sebagai cikal-bakal pemberontakan rakyat melawan Usman.
5. Lagi B a ladzuri meriwayatkan, “Tatkala Usman memberikan sejumlah besar uang kepada sebagian orang seperti Marwan bin Hakam, Abu Dzar mulai melancarkan protes dengan melontarkan singgungan dan berkata bergembiralah dengan azab jahanam bagi orang yang menyimpan harta benda. Ucapan ini sampai ke telinga Usman dan ia melarangnya. Usman berkata di hadapan Abu Dzar, adapun bahwa Allah Swt ridha dan Usman murka adalah lebih baik daripada Usman ridha dan Allah Swt murka. Karena kediaman Abu Dzar dipindahkan ke Syam (Suriah) Muawiyah juga tidak lolos dari lontaran kritikannya; hingga Muawiyah menulis surat kepada Usman yang isinya menyatakan bahwa Abu Dzar telah merusak Syam dan harus segara diatasi. Usman menjawab, “Kirimlah ia kepadaku dengan paksa!” Tatkala Abu Dzar tiba di Madinah, ia tetap mengkritisi Usman. Usman berkata kepadanya, pilihlah satu negeri yang engkau sukai dan pergilah ke sana! Abu Dzar menimpali, “Mekkah.” Usman menolak pilihan itu. Abu Dzar kembali berkata, “Baitul Muqaddas” Kembali Usman menentang pilihan Abu Dzar. Abu Dzar berkata, “Kufah atau Basrah.” Lagi-lagi Usman menolak dan menukas, “Engkau akan aku kirim ke Rabadzah.” [12]
Diasingkannya Abu Dzar oleh Usman dan meninggalnya Abu Dzar di tempat itu yang hanya ditemani oleh istri dan putranya merupakan hal-hal yang pasti dalam sejarah. [13] [IQuest]
[1] . Untuk telaah lebih jauh kami persilahkan Anda untuk merujuk ke al-Ishâbah, jil. 1, hal. 8 karya Ibnu Hajar Asqalani, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, Cetakan Pertama, 1415 H, ihwal makna sahabat dan pelbagai perbedaan tentangnya.
[2] . Ibnu Qutaibah Dainawari, al-Imâmah wa al-Siyâsah, jil. 1, hal. 30, Dar al-Adhwa, Beirut, Cetakan Pertama, 1410 H.
[3] . Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jil. 5, hal. 285, Dar al-Fikr Beirut, 1407 H. Sesuai nukilan Ibnu Katsir, Bukhari juga menyebutkan riwayat ini dalalm kitab al-Maghâzi dengan sanad sahih.
[4] . Ibnu Qutaibah Dainawari, al-Imâmah wa al-Siyâsah, jil. 1, hal. 30
[5] . Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balâghah, jil. 12, hal. 68.
[6] . Muhammad Taqi Syustari, Qadhâwat-hâ-ye Amir al-Mu’minin Ali As, terjemahan Musawi, hal. 244, Daftar Intisyarat-e Islami, Tanpa Tahun, Site Tebyan.
[7] . Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Rasulullah Saw melarang orang menggunakan julukan Abu Isa.
[8] . Ibnu Atsir, Usd al-Ghâbah, jil. 3, hal. 423, Dar al-Fikr, Beirut, 1409 H.
[9] . Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balâghah, jil. 12, hal. 44.
[10] . Al-Baladzuri, Ansâb al-Asyrâf, jil. 5, hal. 524, Beirut, Dar al-Fikr, Cetakan Pertama, 1417 H.
[11] . Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balâghah, jil. 12, hal. 42, Kitabkhane Ayatullah Mar’asyi, Qum, 1404 H.
[12] . Al-Baladzuri, Ansâb al-Asyrâf, jil. 5, hal. 541.
[13] . Silahkan lihat, al-Sam’ani, Al-Ansâb, jil. 10, hal. 65, Majlis Dairat al-Ma’arif al-‘Utsmaniyah, Haidar Abad, Cetakan Pertama, 1382. Baladzuri, Ansâb al-Asyrâf, jil. 5, hal. 541-545. Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, jil. 2, hal. 165, Dar al-Fikr, Beirut, 1407 H. Demikian juga lihat, Pertanyaan 9487 (Site: 9479) dan 5276 (Site: 5505)