Please Wait
12019
Riwayat yang telah disebutkan, pertama dari sisi sanad dan kandungannya merupakan riwayat lemah (dhaif) dan tergolong sebagai riwayat mursal yang tidak dapat dijadikan hujjah; karena sanad dan perantaranya antara Ayyasyi hingga Abu Bashir tidak jelas. Dan apabila juga disebutkan bahwa sebagian mursalatnya itu dapat diterima, maka Ayyasyi bukan termasuk orang yang menukil hadis dengan teliti, sehingga mursalât-nya dapat menjadi hujjah. Ketiga, pada riwayat tersebut secara tegas tidak disebutkan kekufuran Umar bin Khattab.
Akan tetapi tidak standarnya riwayat ini, tidak menjadi dalil bahwa orang-orang Syiah menerima seluruh perbuatan yang dilakukan Khalifah Kedua. Melainkan pada banyak persoalan -sesuai dengan dalil-dalil pasti dari kitab-kitab Syiah dan Sunni- ia banyak melakukan kesalahan dan kekeliruan dan perilakunya tidak sejalan dengan anjuran Rasulullah Saw dalam banyak hal, terkait dengan Baginda Ali dan Hadrat Fatimah.
Dalam pada itu, kiranya perlu disebutkan bahwa semata-mata melihat sebagian riwayat dalam kitab-kitab hadis sebuah mazhab, tidak dapat menjadi dalil atas keyakinan dan iman mazhab terhadap kandungan riwayat tersebut.
Riwayat ini dinukil dalam bentuk pertanyaan (tidak secara jelas).[1]
Akan tetapi riwayat yang disebutkan dalam Tafsir Ayyâsyi, terkait dengan hal ini, harus diteliti dan dikaji dari sisi sanad, matan dan kandungannya sehingga menjadi jelas bahwa apakah hal seperti ini merupakan bagian dari keyakinan pasti dan definitif mazhab Syiah atau tidak?
Sanad Riwayat
Ayyasyi, tanpa perantara menukil riwayat ini dari Abu Bashir. Dan para perawi yang hidup antara Abu Bashir dan Ayyasyi tidak jelas bagi kita. Dengan demikian, riwayat ini merupakan riwayat mursal dan tidak menjadi hujjah bagi siapa pun. Bahkan terkenal pada mazhab Imamiyah (Syiah) terkait dengan marasil (hadis-hadis mursal), sekelompok pembesar tidak menukil hadis kecuali dari orang-orang yang dianggap tsiqah, dan meyakini mereka sebagai hujjah.[2] Dan Ayyasyi termasuk orang-orang yang kurang teliti dalam menyeleksi hadis; artinya ia tidak seperti Kulaini dan Syaikh Thusi. Misalnya Syaikh Kulaini, sangat teliti dalam mengumpulkan hadis-hadis. Dan dalam menyusun kitab al-Kafi, ia harus bersusah payah selama dua puluh tahun dan mengumpulkannya dengan menggunakan ushul (kaidah) yang dapat diandalkan. Dan untuk memperkenalkan sebuah riwayat yang dapat diandalkan kebenarannya (muatssaq), ia mengumpulkan hadis dari kitab pada ilmu Rijal.[3] Adapun tentang Ayyasyi tidak disebutkan demikian dan yang lainnya bahwa dalam literatur-literatur Rijal dan Hadis Syiah terdapat orang-orang yang dipanggil dengan nama Abu Bashir,[4] dan tidak jelas siapa yang dimaksud Abu Bashir di sini. Karena Abu Bashir merupakan julukan umum untuk beberapa orang yang sebagian darinya belum mendapat pengesahan sebagai tsiqah (tautsiq).
Matan riwayat:
Riwayat ini kabur dan membingungkan dari sisi matan dan teksnya. Riwayat ini tidak dapat dijadikan sandaran sebagaimana yang disebutkan dalam pertanyaan. Atas alasan itulah Allamah Majlisi berusaha menjelaskan riwayat ini.[5]
Di samping itu, riwayat ini tidak sejalan dengan keyakinan pasti orang-orang Syiah. Dan sebuah hadis itu dapat diandalkan tatkala ia memenuhi syarat-syarat dimana sebagian dari syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kandungan dan makna hadis tidak bertentangan dengan akal atau indra dan penyaksian,
2. Kandungan hadis tidak bersebrangan dengan nukilan-nukilan pasti sejarah,
3. Tidak termasuk sebagai hadis yang bertentangan dengan sirah, perbuatan dan ucapan orang-orang berakal,
4. Tidak berseberangan dengan Al-Qur'an atau kandungan hadis mutawatir,
5. Dan sejalan dengan sunnah qathi’iyyah.[6]
Dan masih banyak lagi syarat lainnya yang disebutkan di dalam kitab-kitab Ilmu Hadis. Riwayat yang disebutkan di atas tidak memiliki seluruh syarat sebagaimana yang telah disebutkan.
Poin lainnya terkait dengan riwayat semacam ini adalah bahwa pada riwayat tersebut tidak disebutkan secara lugas dan tegas tentang kekufuran Umar bin Khattab.
Adapun tidak standarnya riwayat ini, tidak bermakna bahwa orang-orang Syiah menerima seluruh perbuatan dan tindakan Umar bin Khatab. Karena dalam banyak hal, sesuai dengan dalil-dalil pasti dari kitab-kitab Syiah dan Sunni, ia melakukan kesalahan dan kekeliruan.[7] Dan hal ini telah menyebabkan tindakan Umar bin Khattab di mata Syiah, sesuai dengan dalil-dalil pasti, tidak diterima dan banyak perilakunya tidak sejalan dengan anjuran Rasulullah Saw dalam banyak hal, khususnya ihwal Baginda Ali dan Hadrat Fatimah.
Dalam pada itu, kiranya perlu disebutkan di sini bahwa semata-mata melihat sebagian riwayat dalam kitab-kitab hadis sebuah mazhab, tidak dapat menjadi dalil bahwa hal itu menjadi keyakinan dan iman bagi mazhab tersebut terhadap kandungan riwayat tersebut. [IQuest]
Indeks terkait:
Kekufuran dan Kemunafikan Sahabat dalam Pandangan Syiah, 2791 (Site: 3500)
[1]. Bihâr al-Anwâr, jil. 30, hal. 232 dan 233:
« إِذَا کَانَ یَوْمُ الْقِیَامَةِ یُؤْتَى بِإِبْلِیسَ فِی سَبْعِینَ غُلًّا وَ سَبْعِینَ کَبْلًا، فَیَنْظُرُ الْأَوَّلُ إِلَى زُفَرَ فِی عِشْرِینَ وَ مِائَةِ کَبْلٍ وَ عِشْرِینَ وَ مِائَةِ غُلٍّ، فَیَنْظُرُ إِبْلِیسُ فَیَقُولُ: مَنْ هَذَا الَّذِی أَضْعَفَهُ اللَّهُ الْعَذَابَ وَ أَنَا أَغْوَیْتُ هَذَا الْخَلْقَ جَمِیعاً. فَیُقَالُ: هَذَا زُفَرُ.فَیَقُولُ: بِمَا جُدِرَ لَهُ هَذَا الْعَذَابُ؟!. فَیُقَالُ: بِبَغْیِهِ عَلَى عَلِیٍّ عَلَیْهِ السَّلَامُ... ».
“Ketika telah terjadi hari Kiamat kelak, Iblis dihadirkan dengan 70 belenggu dan 70 rantai. Orang pertama melihat Zufar dengan 120 belenggu dan 120 rantai. Ketika Iblis melihatnya ia berkata: "Siapakah orang ini yang telah dipilatgandakan siksanya oleh Allah. Aku sendiri yang telah menyesatkan semua makhluk (azabku tidak sedahsyat azabnya)". Dijawab: "Ia adalah Zufar". Iblis bertanya lagi: "Kenapa ia diazab sedahsyat itu?" Dijawab: "Karena ia menentang Ali As."
[2]. Silahkan lihat, Ja’far Subhani, Kulliyât fii Ilm al-Rijâl, 203-232, Muassasah Nasyr-e Islami, cetakan kelima, 1423 H. Kazhim Mudir Syaneci, ‘Ilm al-Hadits, 187-191, Daftar-e Intisyarat-e Islami, cetakan keenambelas, 1381 S.
[3]. ‘Ilm al-Hadits, hal. 95.
[4]. Abu Bashir Abdullâh bin Muhammad Asadi Kûfi, Abu ‘Amru Muhammad bin Umar bin Abdul Aziz Kasysyi, Rijâl Kasysyi, hal. 174, peneliti dan korektor: Hasan Mustafawi, Muassasah Nasyr dar Daneshgah Masyhad; Abu Bashir Laits bin Bakhtâri Murâdi, Syaikh Thusi, al-Fehrest, hal. 130, al-Maktabat al-Radhawiyah, Najaf Irak; Abu Bashir Yahya bin Abi al-Qasim Asadi Kufi, sekelompok penulis, Tarikh al-Fuqaha wa al-Ruwat, Hâsyiye Khulâsah al-Aqwâl, hal. 1084; Ja’far Subhani, Mausu’ah Thabâqat al-Fuqahâ, jil. 2, hal. 632; Abu Bashir Yusuf bin Harits, Sayid Abul Qasim Khui, Mu’jam Rijal al-Hadits, jil. 21, hal. 177-178.
[5]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 30, hal. 234, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
[6]. ‘Ilm al-Hadits, hal. 146-149.
[7]. Apabila kita perhatikan secara seksama, maka akan kita dapatkan bahwa Umar telah melakukan dosa.