Please Wait
Hits
10362
10362
Tanggal Dimuat:
2013/08/12
Ringkasan Pertanyaan
Apa dan bagaimana pandangan Syiah Imamiyah dan Ahlusunnah terkait dengan Ibnu Taimiyah?
Pertanyaan
Apa dan bagaimana pandangan Syiah Imamiyah dan Ahlusunnah terkait dengan Ibnu Taimiyah?
Jawaban Global
Ibnu Taimiyah lahir pada tahun 661 H di kota Harran yang terletak pada pulau Syam (Turki). Ia hidup selama 67 tahun dan bertepatan dengan tahun 728 H, Ibnu Taimiyah tutup usia di sebuah penjara di kota Damaskus.
Ibnu Taimiyah memiliki keyakinan khusus terkait dengan sifat-sifat Allah dan tawassul kepada para nabi dan wali Allah. Dalam hidupnya, ia berupaya semaksimal mungkin untuk membela musuh-musuh Ahlulbait Rasulullah Saw dan mengajukan pelbagai dalih guna menutup kesalahan-kesalahan mereka. Pemikiran-pemikiran menyimpang Ibnu Taimiyah banyak berpengaruh pada terciptanya friksi dan perpecahan di kalangan umat Muslim dan menjadi cikal-bakal berdirinya sekte Wahabi.
Ulama Syiah dan kebanyakan ulama Ahlusunnah semenjak masa Ibnu Taimiyah hingga kini banyak menyusun buku dalam menolak pemikiran-pemikirannya atau berdebat dengannya.
Ungkapan terpendek dan paling mewakili terkait dengan Ibnu Taimiyah adalah apa yang disampaikan oleh Ibnu Hajar, “Ibnu Taimiyah adalah seseorang yang disesatkan oleh Allah Swt dan memperoleh anugerah (dari Allah) untuk menuding dan berkata-kata dusta.”
Ibnu Taimiyah memiliki keyakinan khusus terkait dengan sifat-sifat Allah dan tawassul kepada para nabi dan wali Allah. Dalam hidupnya, ia berupaya semaksimal mungkin untuk membela musuh-musuh Ahlulbait Rasulullah Saw dan mengajukan pelbagai dalih guna menutup kesalahan-kesalahan mereka. Pemikiran-pemikiran menyimpang Ibnu Taimiyah banyak berpengaruh pada terciptanya friksi dan perpecahan di kalangan umat Muslim dan menjadi cikal-bakal berdirinya sekte Wahabi.
Ulama Syiah dan kebanyakan ulama Ahlusunnah semenjak masa Ibnu Taimiyah hingga kini banyak menyusun buku dalam menolak pemikiran-pemikirannya atau berdebat dengannya.
Ungkapan terpendek dan paling mewakili terkait dengan Ibnu Taimiyah adalah apa yang disampaikan oleh Ibnu Hajar, “Ibnu Taimiyah adalah seseorang yang disesatkan oleh Allah Swt dan memperoleh anugerah (dari Allah) untuk menuding dan berkata-kata dusta.”
Jawaban Detil
Nama asli Ibnu Taimiyah adalah Ahmad bin Halim bin Abdussalam bin Abdullah bin Khidr bin Taimiyah yang ringkasnya disebut dengan Ibnu Taimiyah.
Ibnu Taimiyah lahir pada tahun 661 H di kota Harran yang terletak pada pulau Syam (Turki). Ia hidup selama 67 tahun dan bertepatan dengan tahun 728 H, Ibnu Taimiyah tutup usia di salah satu penjara di kota Damaskus.
Selama hidupnya ia tidak pernah menikah. Disebabkan oleh keyakinan-keyakinan dan sebagian fatwanya, Ibnu Taimiyah dijebloskan dalam penjara sebanyak tiga kali. Pemikiran-pemikiran dan keyakinan-keyakinannya yang menjadi dasar terbentuknya sekte Wahabi. Sekte ini menyandarkan dirinya pada Ibnu Taimiyah dan setelah beberapa abad pasca kematiannya, sekte Wahabi ini menjadi penyebar pemikiran-pemikirannya.[1] Sekte Wahabi ini menyebutkan bahwa Ibnu Taimiyah banyak menyusun buku.[2] Sebagian menilai bahwa buku yang disusun oleh Ibnu Taimiyah mencapai lima ratus buku.[3] Salah satu bukunya yang menjadi magnum opus karya Ibnu Taimiyah adalah Minhâj al-Sunnah al-Nabawiya.
Ibnu Taimiyah memiliki keyakinan khusus terkait dengan sifat-sifat Allah dan tawassul kepada para nabi dan wali Allah. Demikian juga permusuhan sengitnya kepada Imam Ali As yang akan kita sebutkan pada kelanjutan pembahasan dari artikel ini.
Guru-guru dan Murid-murid
Guru Ibnu Taimiyah yang paling terkemuka adalah Ahmad bin Abdudaim al-Maqdasi. Ia sebagaimana guru-guru lainnya berguru pada orang-orang seperti Ibnu Qudama al-Maqdasi dan Syarafuddin Ahmad bin Ni’mah al-Maqdasi.[4] Di antara murid Ibnu Taimiyah yang paling menonjol adalah Ibnu Qayyim al-Jauzi.
Penyimpangan dalam Tauhid
Ibnu Hajar Askalani salah seorang ulama besar Ahlusunnah terkait dengan Ibnu Taimiyah berkata, “Disebabkan oleh ucapan-ucapannya tentang sifat-sifat Allah yang memiliki tangan, kaki dan wajah sebagai sifat hakiki sehingga sekelompok orang menilainya sebagai ahlu tajsim (aliran yang memandang Tuhan itu memiliki bentuk jasmani). Dan sebagian lainnya memandangnya sebagai zindik; lantaran menentang istighâtsa kepada Nabi Muhammad Saw.[5] Ia menentang adanya takwil terhadap ayat-ayat dan hadis-hadis tentang sifat-sifat Ilahi. Karena itu, ia meyakini bahwa Tuhan berada di sisi atas dan di langit yang terkadang turun ke langit dunia dan kemudian kembali lagi ke atas. Tuhan memiliki anggota badan namun tidak seperti makhluk.”[6]
Ibnu Taimiyah memandang bahwa Tuhan itu dapat dilihat dengan mata dan berkata, “Ucapan yang menyokong bahwa Tuhan itu dapat dilihat (dengan mata fisik) adalah lebih rasional ketimbang ucapan yang menolaknya.”[7]
Menentang Tawassul dan Ziarah Nabi Saw
Ibnu Taimiyah dalam buku al-Tawassul, setelah menyebutkan hadis-hadis yang menetapkan tawassul namun dengan menutup mata atas riwayat-riwayat ini, ia berkata, “Tiada satupun sahabat dan tabi’in serta Muslim lainnya yang memohon syafaat atau sesuatu yang lain kepada Nabi Saw setelah wafatnya, tiada seorang pun dari ulama besar yang menulis hal ini dalam buku-buku mereka.”[8]
Terkait dengan ziarah Ibnu Taimmiyah berkata, “Dalam bab ziarah kubur Rasulullah Saw dan Nabi Ibrahim kita tidak memiliki hadis yang kuat dan seluruh riwayat yang disebutkan dalam bab ini semuanya lemah bahkan buatan. Tidak satu pun dari penulis Sunan yang menyebutkan hadis-hadis tersebut dalam kitab-kitab mereka.” Padahal Ibnu Taimiyah sendiri mengutipnya dari Ibnu Majah dan Daruquthni bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa yang berziarah kepadaku selepas kematianku maka seolah-olah ia berziarah kepadaku pada masa hidupku.”[9]
Ibnu Taimiyah menghimbuhkan, “Mengerjakan salat di samping kuburan Rasulullah Saw itu bertentangan dengan syariat. Demikian juga pergi ke samping kuburan Rasulullah Saw untuk salat dan beriktikaf atau untuk melakukan istighatsah dan berdoa itu melanggar syariat.”[10] Ibnu Taimiyah menilai perbuatan ini sebagai perbuatan yang mengikuti orang-orang musyrik dan bertentangan dengan orang-orang beriman.”[11]
Demikian juga membangun bangunan di atas kuburan adalah tanda kemusyrikan dan bid’ah. Perbuatan membangun kuburan ini memiliki akar pada penyembahan berhala.[12] Penegasan Ibnu Taimiyah supaya kuburan-kuburan ini dihancurkan telah menyebabkan penjarahan dan pembunuhan yang dilakukan oleh antek-antek Wahabi dan pengikut Muhammad bin Abdul Wahab dimana salah satu darinya adalah penyerangan terhadap Imam Husain As dan Karbala pada tahun 1216 H dimana pada waktu penyerangan itu dalam tiga hari menelan seribu kaum Muslimin sebagai korbannya.[13]
Permusuhan dan Tuduhan kepada Imam Ali As
Ibnu Hajar Askalani berkata, “Sebagian ulama memandang Ibnu Taimiyah sebagai orang munafik. Karena permusuhannya terhadap Imam Ali As dan dalam riwayat disebutkan, “Musuhilah orang yang memusuhi Ali atau pandanglah ia sebagai orang kafir atau munafik; karena Ibnu Taimiyah melontarkan ucapan-ucapan yang tidak realistis dan faktual terkait dengan Imam Ali As. Ibnu Taimiyah berkata, “Ali bin Abi Thalib melakukan kesalahan dalam 17 masalah dan beramal bertentangan dengan nash al-Quran.”[14] Demikian juga Ibnu Taimiyah berkata, “Ali bin Abi Thalib selalu kalah dalam medan perang. Ia mengobarkan api peperangan pada masa pemerintahannya bukan demi Allah melainkan demi untuk merebut kekuasan dan cinta dunia.” Ibnu Taimiyah bahkan menyerang terkait dengan keimanan Imam Ali bin Abi Thalib dan lebih memilih keimanan Abu Bakar. “Abu Bakar beriman pada usia yang ia tahu apa yang ia katakan sementara Ali beriman pada usia masih belia (ingusan) dan tidak tahu apa-apa. Bahkan keislamannya tidak diterima pada masa itu.” Ungkap Ibnu Taimiyah.
Disebabkan tentang ucapan-ucapan seputar rumor lamaran Imam Ali atas putri Abu Jahal Ibnu Taimiyah dinilai sebagai orang yang membenci Imam Ali As.[15]
Ibnu Taimiyah tidak cukup sampai di situ saja, ia bahkan berkata, “Ali bin Abi Thalib As pada masa kecilnya adalah penyembah berhala. Kaum Rafidhi (orang-orang Syiah) tidak mampu menetapkan dan membuktikan keimanan dan keadilannya.” Ibnu Taimiyah mengemukakan dalilnya seperti ini, “Apabila kaum Rafidhi ingin bersandar pada kemutawatiran riwayat-riwayat hijrah dan jihad Ali, maka harus dikatakan bahwa keislaman, salat, puasa, jihad Muawiyah, Yazid dan para khalifah Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah lebih mutawatir.[16]
Seluruh riwayat yang berisikan pujian kepada Ali bin Abli Thalib melalui lisan suci Rasulullah Saw dipandang lemah oleh Ibnu Taimiyah dan menilainya sebagai hadis palsu. Sehubungan dengan hadis, “Ana madinatul ‘ilm wa Aliyyun Babuha” (Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya), Ibnu Taimiyah berkata, “Hadis ini adalah hadis lemah dan matannya tidak dapat diterima. Karena itu harus kita katakana bahwa hadis ini adalah hadis buatan.” Terkait dengan hadis “aqdhakum ‘Ali” juga ia berkata, “Sanadnya lemah dan tidak disebutkan pada kitab-kitab sunan yang masyhur dan musnad yang terkenal bahkan yang dinukil dengan sanad lemah. Hanya orang-orang yang terkenal sebagai pendusta yang menukil hadis ini. Sementara riwayat ini disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Musnad Hanbal serta kitab-kitab masyhur Ahlusunnah lainnya.[17]
Ibnu Taimiyah sehubungan dengan ayat wilayah berkata, “Sebagian pendusta hadis membuat riwayat semacam ini dan memandang ayat ini sebagai ayat yang berhubungan dengan Ali padahal terdapat konsensus (ijma) yang menyatakan bahwa riwayat ini adalah riwayat palsu. Tentu saja dari pelbagai sisi kedustaaan ayat ini tampak jelas.[18] Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, hadis “Ali ma’al Haq wa al-Haq ma’a Ali “ (Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali) merupakan salah satu ucapan yang paling mengandung dusta. Ia juga menolak secara tegas akad ukhuwah (persaudaraan) antara Ali dan Rasulullah Saw.[19] Seluruh keutamaan (fadhail) Amirul Mukminin dengan cara seperti ini diingkari oleh Ibnu Taimiyah sedemikian sehingga ia berkata, “Ali hingga akhir usianya banyak sunnah Rasulullah Saw yang tidak ia pelajari.”[20] Dan bahkan ia tidak menerima Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah Keempat dan sebabnya ia jelaskan adanya perbedaan pendapat di kalangan umat terkait dengan khilafahnya.[21]
Terkait dengan pembunuh Imam Ali, Ibnu Muljam, Ibnu Taimiyah berkata, “Meski ia melakukan perbuatan menyimpang dan bid’ah namun harap diketahui bahwa ia adalah orang yang salat dan puasa, membaca al-Quran dan beranggapan bahwa Allah dan Rasul-Nya suka atas terbunuhnya Ali, sehingga ia membunuh Ali dan menurutnya perbuatan ini dilakukan atas dasar cinta kepada Allah dan Rasul-Nya!”[22]
Kebencian terhadap Ahlulbait Nabi Saw
Salah satu ciri utama Ibnu Taimiyah adalah kebencian dan permusuhan terhadap Ahlulbait. Kebalikannya ia sangat mencintai musuh-musuh Ahlulbait sedemikian sehingga erupaya semaksimal mungkin untuk membela musuh-musuh Ahlulbait Rasulullah Saw dan mengajukan pelbagai dalih guna menutup kesalahan-kesalahan mereka. Ia mengingkari hadis-hadis Rasulullah Saw dan menyusun buku untuk membela Muawiyah dan Yazid.[23]
Ibnu Taimiyah menilai bahwa mendahulukan Ahlulbait As atas yang lainnya merupakan perbuatan jahiliyah dan mereka tidak memiliki keunggulan apa pun atas yang lain.[24] Ia memandang lemah dan mengandung sanad terputus riwayat-riwayat yang menyebutkan keutamaan Ahlulbait As sebagaimana riwayat-riwayat keutamaan Ali bin Abi Thalib.[25]
Kecintaan terhadap Bani Umayah dan Pembelaan terhadap Yazid
Ibnu Taimiyah berusaha semaksimal mungkin untuk melemahkan hadis-hadis yang menyebutkan keutamaan Imam Ali dan sebagai kebalikannya membela mati-matian Bani Umayah khususnya Yazid bin Muawiyah.[26] Dalam memuji Bani Umayah, ia berkata, “Meski Bani Umayah bermusuhan dengan Ali dan sebagian dari mereka melaknatnya, namun ia berkuasa atas seluruh negeri Islam yang terbentang dari Timur dan Barat serta menjalankan Islam di negeri-negeri yang ditaklukkan ini. Islam pada masa pemerintahan mereka hidup lebih mulia dan dihormati ketimbang masa-masa sebelumnya.[27]
Ibnu Taimiyah memiliki akar kecintaan kepada Bani Umayyah dalam hatinya. Ia rela membela orang yang paling keji dan dibenci seperti Yazid dan berusaha menyucikan wajahnya legam dari perbuatan-perbuatan dosanya. Ia berkata, “Yazid tidak ridha dengan terbunuhnya Husain bin Ali. Ia mengungkapkan kesedihan dan penyesalannya atas tragedi ini.” Terkait dengan tragedi pembakaran Ka’bah, Ibnu Taimiyah melemparkan tanggung jawab dan dosa pembakaran Ka’bah kepada Ibnu Zubair. Ia berkata, “Yazid dan anak buahnya tidak ada maksud membakar Ka’bah. Ibnu Zubairlah yang bertanggung jawab telah merusak Ka’bah! Sementara dalam sejarah, Ka’bah dibakar oleh tentara-tentara utusan Yazid.[28]
Sehubungan dengan tragedy Harra Ibnu Taimiyah juga berkata, “Ia (Yazid) tidak membunuh seluruh pembesar dan tokoh. Jumlah korban tidak sampai puluhan ribu. Berita yang menyatakan bahwa darah sampai pada kuburan Rasulullah Saw itu adalah dusta dan tentara Yazid tidak membunuh seorang pun di masjid.”[29]
Pandangan Ulama Syiah dan Sunni ihwal Ibnu Taimiyah
Pemikiran-pemikiran menyimpang Ibnu Taimiyah banyak berpengaruh pada terciptanya friksi dan perpecahan di kalangan umat Muslim dan menjadi cikal-bakal berdirinya sekte Wahabi.
Sebagaimana sebagian pandangan Ibnu Taimiyah telah dijelaskan, ia termasuk ulama langka yang mengemukakan pikiran-pikiran dan pandangan-pandangannya tanpa berdasar pada fondasi-fondasi kuat agama dan al-Quran. Karena itu, pada masanya, ia berhadapan dengan penentangan terang-terangan dan tegas mayoritas ulama dan bahkan sebagian ulama mengeluarkan hukum pengkafiran dan murtadnya ia dari agama sedemikian sehingga ia dijebloskan dalam penjara oleh pemerintah yang berkuasa pada waktu itu untuk beberapa lama disebabkan oleh pikiran-pikirannya. Satu-satunya orang yang membelanya pada waktu itu adalah muridnya Ibnu Qayyim dimana pada masa setelah wafatnya gurunya, ia banyak berusaha untuk mengumpulkan karya-karya gurunya.[30]
Ulama Syiah dan kebanyakan ulama Ahlusunnah semenjak masa Ibnu Taimiyah hingga kini banyak menyusun buku dalam menolak pemikiran-pemikirannya atau berdebat dengannya. Mereka mengritik satu demi satu pandangan Ibnu Taimiyah yang mengharuskan kita untuk merujuk pada buku-buku dan artikel-artikel yang ditulis dalam ha ini.
Untuk menolah sebagian pemikiran Ibnu Taimiyah kami persilahkan Anda untuk menelaah beberapa indeks, “Titik Mula Kemunculan dan Pandangan Wahabi, Pertanyaan 1537 dan Keyakinan Ahlusunnah terhadap Tawassul sebelum Ibnu Taimiyah, Pertanyaan 2143. Ucapan terpendek dan paling mewakili terkait dengan Ibnu Taimiyah adalah apa yang disampaikan oleh Ibnu Hajar, “Ibnu Taimiyah adalah seseorang yang disesatkan oleh Allah Swt dan memperoleh anugerah untuk menuding dan berkata-kata dusta.”[31]
Dzahabi salah seorang ulama besar Ahlusunnah dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Ibnu Taimiyah menulis ucapan-ucapan kasar, “Bukankah para kebanyakan pengikutmu adalah orang-orang yang tidak berdaya, ringan akal, tidak berilmu, pendusta, dan penipu? Sementara sebagian dari musuh-musuhmu itu adalah orang-orang saleh, fadhil dan berakal.[32] Demikian juga Ibnu Rajab Hanbali menilainya sebagai seorang kafir.[33]
Subki salah seorang ulama Sunni juga memandangnya sebagai peletak bid’ah dan setelah menghitung-hitung keyakinan-keyakinan batil yang diyakininya, ia berkata, “Ia bertentangan dengan ijma umat Muslim dan melakukan hal-hal kontradiktif dimana tidak satu pun orang dapat menerimanya. Subki menilai bahwa Ibnu Taimiyah tidak termasuk dari bagian 73 firkah yang terdapat dalam Islam dan keyakinan-keyakinannya sama dengan kekufuran.”[34] [iQuest]
Ibnu Taimiyah lahir pada tahun 661 H di kota Harran yang terletak pada pulau Syam (Turki). Ia hidup selama 67 tahun dan bertepatan dengan tahun 728 H, Ibnu Taimiyah tutup usia di salah satu penjara di kota Damaskus.
Selama hidupnya ia tidak pernah menikah. Disebabkan oleh keyakinan-keyakinan dan sebagian fatwanya, Ibnu Taimiyah dijebloskan dalam penjara sebanyak tiga kali. Pemikiran-pemikiran dan keyakinan-keyakinannya yang menjadi dasar terbentuknya sekte Wahabi. Sekte ini menyandarkan dirinya pada Ibnu Taimiyah dan setelah beberapa abad pasca kematiannya, sekte Wahabi ini menjadi penyebar pemikiran-pemikirannya.[1] Sekte Wahabi ini menyebutkan bahwa Ibnu Taimiyah banyak menyusun buku.[2] Sebagian menilai bahwa buku yang disusun oleh Ibnu Taimiyah mencapai lima ratus buku.[3] Salah satu bukunya yang menjadi magnum opus karya Ibnu Taimiyah adalah Minhâj al-Sunnah al-Nabawiya.
Ibnu Taimiyah memiliki keyakinan khusus terkait dengan sifat-sifat Allah dan tawassul kepada para nabi dan wali Allah. Demikian juga permusuhan sengitnya kepada Imam Ali As yang akan kita sebutkan pada kelanjutan pembahasan dari artikel ini.
Guru-guru dan Murid-murid
Guru Ibnu Taimiyah yang paling terkemuka adalah Ahmad bin Abdudaim al-Maqdasi. Ia sebagaimana guru-guru lainnya berguru pada orang-orang seperti Ibnu Qudama al-Maqdasi dan Syarafuddin Ahmad bin Ni’mah al-Maqdasi.[4] Di antara murid Ibnu Taimiyah yang paling menonjol adalah Ibnu Qayyim al-Jauzi.
Penyimpangan dalam Tauhid
Ibnu Hajar Askalani salah seorang ulama besar Ahlusunnah terkait dengan Ibnu Taimiyah berkata, “Disebabkan oleh ucapan-ucapannya tentang sifat-sifat Allah yang memiliki tangan, kaki dan wajah sebagai sifat hakiki sehingga sekelompok orang menilainya sebagai ahlu tajsim (aliran yang memandang Tuhan itu memiliki bentuk jasmani). Dan sebagian lainnya memandangnya sebagai zindik; lantaran menentang istighâtsa kepada Nabi Muhammad Saw.[5] Ia menentang adanya takwil terhadap ayat-ayat dan hadis-hadis tentang sifat-sifat Ilahi. Karena itu, ia meyakini bahwa Tuhan berada di sisi atas dan di langit yang terkadang turun ke langit dunia dan kemudian kembali lagi ke atas. Tuhan memiliki anggota badan namun tidak seperti makhluk.”[6]
Ibnu Taimiyah memandang bahwa Tuhan itu dapat dilihat dengan mata dan berkata, “Ucapan yang menyokong bahwa Tuhan itu dapat dilihat (dengan mata fisik) adalah lebih rasional ketimbang ucapan yang menolaknya.”[7]
Menentang Tawassul dan Ziarah Nabi Saw
Ibnu Taimiyah dalam buku al-Tawassul, setelah menyebutkan hadis-hadis yang menetapkan tawassul namun dengan menutup mata atas riwayat-riwayat ini, ia berkata, “Tiada satupun sahabat dan tabi’in serta Muslim lainnya yang memohon syafaat atau sesuatu yang lain kepada Nabi Saw setelah wafatnya, tiada seorang pun dari ulama besar yang menulis hal ini dalam buku-buku mereka.”[8]
Terkait dengan ziarah Ibnu Taimmiyah berkata, “Dalam bab ziarah kubur Rasulullah Saw dan Nabi Ibrahim kita tidak memiliki hadis yang kuat dan seluruh riwayat yang disebutkan dalam bab ini semuanya lemah bahkan buatan. Tidak satu pun dari penulis Sunan yang menyebutkan hadis-hadis tersebut dalam kitab-kitab mereka.” Padahal Ibnu Taimiyah sendiri mengutipnya dari Ibnu Majah dan Daruquthni bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa yang berziarah kepadaku selepas kematianku maka seolah-olah ia berziarah kepadaku pada masa hidupku.”[9]
Ibnu Taimiyah menghimbuhkan, “Mengerjakan salat di samping kuburan Rasulullah Saw itu bertentangan dengan syariat. Demikian juga pergi ke samping kuburan Rasulullah Saw untuk salat dan beriktikaf atau untuk melakukan istighatsah dan berdoa itu melanggar syariat.”[10] Ibnu Taimiyah menilai perbuatan ini sebagai perbuatan yang mengikuti orang-orang musyrik dan bertentangan dengan orang-orang beriman.”[11]
Demikian juga membangun bangunan di atas kuburan adalah tanda kemusyrikan dan bid’ah. Perbuatan membangun kuburan ini memiliki akar pada penyembahan berhala.[12] Penegasan Ibnu Taimiyah supaya kuburan-kuburan ini dihancurkan telah menyebabkan penjarahan dan pembunuhan yang dilakukan oleh antek-antek Wahabi dan pengikut Muhammad bin Abdul Wahab dimana salah satu darinya adalah penyerangan terhadap Imam Husain As dan Karbala pada tahun 1216 H dimana pada waktu penyerangan itu dalam tiga hari menelan seribu kaum Muslimin sebagai korbannya.[13]
Permusuhan dan Tuduhan kepada Imam Ali As
Ibnu Hajar Askalani berkata, “Sebagian ulama memandang Ibnu Taimiyah sebagai orang munafik. Karena permusuhannya terhadap Imam Ali As dan dalam riwayat disebutkan, “Musuhilah orang yang memusuhi Ali atau pandanglah ia sebagai orang kafir atau munafik; karena Ibnu Taimiyah melontarkan ucapan-ucapan yang tidak realistis dan faktual terkait dengan Imam Ali As. Ibnu Taimiyah berkata, “Ali bin Abi Thalib melakukan kesalahan dalam 17 masalah dan beramal bertentangan dengan nash al-Quran.”[14] Demikian juga Ibnu Taimiyah berkata, “Ali bin Abi Thalib selalu kalah dalam medan perang. Ia mengobarkan api peperangan pada masa pemerintahannya bukan demi Allah melainkan demi untuk merebut kekuasan dan cinta dunia.” Ibnu Taimiyah bahkan menyerang terkait dengan keimanan Imam Ali bin Abi Thalib dan lebih memilih keimanan Abu Bakar. “Abu Bakar beriman pada usia yang ia tahu apa yang ia katakan sementara Ali beriman pada usia masih belia (ingusan) dan tidak tahu apa-apa. Bahkan keislamannya tidak diterima pada masa itu.” Ungkap Ibnu Taimiyah.
Disebabkan tentang ucapan-ucapan seputar rumor lamaran Imam Ali atas putri Abu Jahal Ibnu Taimiyah dinilai sebagai orang yang membenci Imam Ali As.[15]
Ibnu Taimiyah tidak cukup sampai di situ saja, ia bahkan berkata, “Ali bin Abi Thalib As pada masa kecilnya adalah penyembah berhala. Kaum Rafidhi (orang-orang Syiah) tidak mampu menetapkan dan membuktikan keimanan dan keadilannya.” Ibnu Taimiyah mengemukakan dalilnya seperti ini, “Apabila kaum Rafidhi ingin bersandar pada kemutawatiran riwayat-riwayat hijrah dan jihad Ali, maka harus dikatakan bahwa keislaman, salat, puasa, jihad Muawiyah, Yazid dan para khalifah Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah lebih mutawatir.[16]
Seluruh riwayat yang berisikan pujian kepada Ali bin Abli Thalib melalui lisan suci Rasulullah Saw dipandang lemah oleh Ibnu Taimiyah dan menilainya sebagai hadis palsu. Sehubungan dengan hadis, “Ana madinatul ‘ilm wa Aliyyun Babuha” (Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya), Ibnu Taimiyah berkata, “Hadis ini adalah hadis lemah dan matannya tidak dapat diterima. Karena itu harus kita katakana bahwa hadis ini adalah hadis buatan.” Terkait dengan hadis “aqdhakum ‘Ali” juga ia berkata, “Sanadnya lemah dan tidak disebutkan pada kitab-kitab sunan yang masyhur dan musnad yang terkenal bahkan yang dinukil dengan sanad lemah. Hanya orang-orang yang terkenal sebagai pendusta yang menukil hadis ini. Sementara riwayat ini disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Musnad Hanbal serta kitab-kitab masyhur Ahlusunnah lainnya.[17]
Ibnu Taimiyah sehubungan dengan ayat wilayah berkata, “Sebagian pendusta hadis membuat riwayat semacam ini dan memandang ayat ini sebagai ayat yang berhubungan dengan Ali padahal terdapat konsensus (ijma) yang menyatakan bahwa riwayat ini adalah riwayat palsu. Tentu saja dari pelbagai sisi kedustaaan ayat ini tampak jelas.[18] Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, hadis “Ali ma’al Haq wa al-Haq ma’a Ali “ (Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali) merupakan salah satu ucapan yang paling mengandung dusta. Ia juga menolak secara tegas akad ukhuwah (persaudaraan) antara Ali dan Rasulullah Saw.[19] Seluruh keutamaan (fadhail) Amirul Mukminin dengan cara seperti ini diingkari oleh Ibnu Taimiyah sedemikian sehingga ia berkata, “Ali hingga akhir usianya banyak sunnah Rasulullah Saw yang tidak ia pelajari.”[20] Dan bahkan ia tidak menerima Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah Keempat dan sebabnya ia jelaskan adanya perbedaan pendapat di kalangan umat terkait dengan khilafahnya.[21]
Terkait dengan pembunuh Imam Ali, Ibnu Muljam, Ibnu Taimiyah berkata, “Meski ia melakukan perbuatan menyimpang dan bid’ah namun harap diketahui bahwa ia adalah orang yang salat dan puasa, membaca al-Quran dan beranggapan bahwa Allah dan Rasul-Nya suka atas terbunuhnya Ali, sehingga ia membunuh Ali dan menurutnya perbuatan ini dilakukan atas dasar cinta kepada Allah dan Rasul-Nya!”[22]
Kebencian terhadap Ahlulbait Nabi Saw
Salah satu ciri utama Ibnu Taimiyah adalah kebencian dan permusuhan terhadap Ahlulbait. Kebalikannya ia sangat mencintai musuh-musuh Ahlulbait sedemikian sehingga erupaya semaksimal mungkin untuk membela musuh-musuh Ahlulbait Rasulullah Saw dan mengajukan pelbagai dalih guna menutup kesalahan-kesalahan mereka. Ia mengingkari hadis-hadis Rasulullah Saw dan menyusun buku untuk membela Muawiyah dan Yazid.[23]
Ibnu Taimiyah menilai bahwa mendahulukan Ahlulbait As atas yang lainnya merupakan perbuatan jahiliyah dan mereka tidak memiliki keunggulan apa pun atas yang lain.[24] Ia memandang lemah dan mengandung sanad terputus riwayat-riwayat yang menyebutkan keutamaan Ahlulbait As sebagaimana riwayat-riwayat keutamaan Ali bin Abi Thalib.[25]
Kecintaan terhadap Bani Umayah dan Pembelaan terhadap Yazid
Ibnu Taimiyah berusaha semaksimal mungkin untuk melemahkan hadis-hadis yang menyebutkan keutamaan Imam Ali dan sebagai kebalikannya membela mati-matian Bani Umayah khususnya Yazid bin Muawiyah.[26] Dalam memuji Bani Umayah, ia berkata, “Meski Bani Umayah bermusuhan dengan Ali dan sebagian dari mereka melaknatnya, namun ia berkuasa atas seluruh negeri Islam yang terbentang dari Timur dan Barat serta menjalankan Islam di negeri-negeri yang ditaklukkan ini. Islam pada masa pemerintahan mereka hidup lebih mulia dan dihormati ketimbang masa-masa sebelumnya.[27]
Ibnu Taimiyah memiliki akar kecintaan kepada Bani Umayyah dalam hatinya. Ia rela membela orang yang paling keji dan dibenci seperti Yazid dan berusaha menyucikan wajahnya legam dari perbuatan-perbuatan dosanya. Ia berkata, “Yazid tidak ridha dengan terbunuhnya Husain bin Ali. Ia mengungkapkan kesedihan dan penyesalannya atas tragedi ini.” Terkait dengan tragedi pembakaran Ka’bah, Ibnu Taimiyah melemparkan tanggung jawab dan dosa pembakaran Ka’bah kepada Ibnu Zubair. Ia berkata, “Yazid dan anak buahnya tidak ada maksud membakar Ka’bah. Ibnu Zubairlah yang bertanggung jawab telah merusak Ka’bah! Sementara dalam sejarah, Ka’bah dibakar oleh tentara-tentara utusan Yazid.[28]
Sehubungan dengan tragedy Harra Ibnu Taimiyah juga berkata, “Ia (Yazid) tidak membunuh seluruh pembesar dan tokoh. Jumlah korban tidak sampai puluhan ribu. Berita yang menyatakan bahwa darah sampai pada kuburan Rasulullah Saw itu adalah dusta dan tentara Yazid tidak membunuh seorang pun di masjid.”[29]
Pandangan Ulama Syiah dan Sunni ihwal Ibnu Taimiyah
Pemikiran-pemikiran menyimpang Ibnu Taimiyah banyak berpengaruh pada terciptanya friksi dan perpecahan di kalangan umat Muslim dan menjadi cikal-bakal berdirinya sekte Wahabi.
Sebagaimana sebagian pandangan Ibnu Taimiyah telah dijelaskan, ia termasuk ulama langka yang mengemukakan pikiran-pikiran dan pandangan-pandangannya tanpa berdasar pada fondasi-fondasi kuat agama dan al-Quran. Karena itu, pada masanya, ia berhadapan dengan penentangan terang-terangan dan tegas mayoritas ulama dan bahkan sebagian ulama mengeluarkan hukum pengkafiran dan murtadnya ia dari agama sedemikian sehingga ia dijebloskan dalam penjara oleh pemerintah yang berkuasa pada waktu itu untuk beberapa lama disebabkan oleh pikiran-pikirannya. Satu-satunya orang yang membelanya pada waktu itu adalah muridnya Ibnu Qayyim dimana pada masa setelah wafatnya gurunya, ia banyak berusaha untuk mengumpulkan karya-karya gurunya.[30]
Ulama Syiah dan kebanyakan ulama Ahlusunnah semenjak masa Ibnu Taimiyah hingga kini banyak menyusun buku dalam menolak pemikiran-pemikirannya atau berdebat dengannya. Mereka mengritik satu demi satu pandangan Ibnu Taimiyah yang mengharuskan kita untuk merujuk pada buku-buku dan artikel-artikel yang ditulis dalam ha ini.
Untuk menolah sebagian pemikiran Ibnu Taimiyah kami persilahkan Anda untuk menelaah beberapa indeks, “Titik Mula Kemunculan dan Pandangan Wahabi, Pertanyaan 1537 dan Keyakinan Ahlusunnah terhadap Tawassul sebelum Ibnu Taimiyah, Pertanyaan 2143. Ucapan terpendek dan paling mewakili terkait dengan Ibnu Taimiyah adalah apa yang disampaikan oleh Ibnu Hajar, “Ibnu Taimiyah adalah seseorang yang disesatkan oleh Allah Swt dan memperoleh anugerah untuk menuding dan berkata-kata dusta.”[31]
Dzahabi salah seorang ulama besar Ahlusunnah dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Ibnu Taimiyah menulis ucapan-ucapan kasar, “Bukankah para kebanyakan pengikutmu adalah orang-orang yang tidak berdaya, ringan akal, tidak berilmu, pendusta, dan penipu? Sementara sebagian dari musuh-musuhmu itu adalah orang-orang saleh, fadhil dan berakal.[32] Demikian juga Ibnu Rajab Hanbali menilainya sebagai seorang kafir.[33]
Subki salah seorang ulama Sunni juga memandangnya sebagai peletak bid’ah dan setelah menghitung-hitung keyakinan-keyakinan batil yang diyakininya, ia berkata, “Ia bertentangan dengan ijma umat Muslim dan melakukan hal-hal kontradiktif dimana tidak satu pun orang dapat menerimanya. Subki menilai bahwa Ibnu Taimiyah tidak termasuk dari bagian 73 firkah yang terdapat dalam Islam dan keyakinan-keyakinannya sama dengan kekufuran.”[34] [iQuest]
[1]. Shaib Abdul Hamid, Ibnu Taimiyah fi Shuratihi al-Haqiqiyah, hal. 8, al-Ghadir li al-Dirasat wa al-Nasyr, Beirut, 1415 H.
[2]. Abu Hafsh Umar bin Ali Al-Bazzar, al-A’lâm al-Aliyah fi Manâqib Ibnu Taimiyah, Diriset oleh Zuhair al-Syawisy, hal. 23, al-Maktab al-Islamiyah, Beirut, Cetakan Ketiga, 1400 H.
[3]. Umar bin Sa’ud bin Fahd al-A’id, Syarh Lamiyyah Syaikh al-Islâm Ibnu Taimiyyah, jil. 1, hal. 8.
[4]. Shaib Abdul Hamid, Ibnu Taimiyah Hayâtuhu wa Aqâiduhu, hal. 12, Muassasah Dairat al-Ma’arif al-Fiqh al-Islami, Qum, Cetakan Kedua, 1384 S.
[5]. Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Durar al-Kâminah fi A’yân al-Miat al-Tsâminah, Muhammad Abdul Mu’id Dhan, jil. 1, hal. 180-181, Majlis Dairat al-Ma’arif al-‘Utsmaniyah, Shaidar Abad Hind, Cetakan Kedua, 1392 H.
[6]. Ibnu Taimiyah fi Shuratihi al-Haqiqiyah, hal. 15. Silahkan lihat, Anthropomorphisme Tuhan dalam Pandangan al-Quran, Pertanyaan 20147; Tafsir Limâ Khalaqtu Biyadayya, Pertanyaan 30654.
[7]. Untuk menolak pandangan ini, silahkan lihat, Melihat Tuhan, Pertanyaan 295; Syiah dan Sunni dan Melihat Tuhan, Pertanyaan 8408.
[8]. Ibnu Taimiyah, Minhâj al-Sunnah al-Nawabiyah, riset oleh Salim Muhammad Rusyad, jil. 3, hal. 348, Muassasah Qurthubah, Cetakan Pertama, 1406 H.
[9]. Ibnu Taimiyah fi Shuratihi al-Haqiqiyah, hal. 9-10.
[10]. Ibid, hal. 10-11.
[11]. Ja’far Subhani, Buhuts fi Milal al-Nihal, jil. 4, hal. 220, Lajnah Idarah al-Hauzat al-‘Ilmiyah, Qum, 1411 H.
[12]. Minhâj al-Sunnah al-Nabawiyah, jil. 1, hal. 478.
[13]. Ibid, jil. 2, hal. 437.
[14]. Buhuts fi al-Milal al-Nihal, jil. 4, hal. 369.
[15]. Al-Durar al-Kaminah fi A’yan al-Miat al-Tsâminah, jil. 1, hal. 179.
[16]. Ibid, hal. 181-182.
[17]. Ibid, hal. 230.
[18]. Minhâj al-Sunnah, jil. 2, hal. 20.
[19]. Sesuai nukilan dari Ali bin Nuruddin Husaini Milani, Dirasat fi Minhaj al-Sunnah, hal. 217, al-Haqaiq, Qum, 1384 S.
[20]. Ibid, hal. 5, hal. 71.
[21]. Dirâsat fi Minhâj al-Sunnah, hal. 240.
[22]. Ibid, hal. 322.
[23]. Minhâj al-Sunnah al-Nabawiyah, jil. 7, hal. 153.
[24] . Ibnu Taimiyah fi Shuratihi al-Haqiqiyah, hal. 22-23.
[25]. Ibid, hal. 31-32.
[26]. Ibid, hal. 312.
[27]. Minhâj al-Sunnah al-Nabawiyah, jil. 6, hal 419.
[28]. Ibid, jil. 4, hal. 577.
[29]. Ibid, 576.
[30]. Ali Jadid Benab, Afkâr Inhirâfi Ibnu Taimiyah, Zamine Saz Wahabiyat, link http://www.ido.ir/a.aspx?a=1389102005.
[31]. Sesuai nukilan dari Ali Husaini Milani, Nafahât al-Azhar, jil. 19, hal. 421, Muassasah Bi’tsat, Cetakan Pertama, 1404 H.
[32]. Ibnu Taimiyah Fi Shuratihi al-Haqiqiyah, jil. 3, hal. 22.
[33]. Abu Bakr Al-Hushni al-Dimasyqi, Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrada Wa Nasaba Dzalika Ila al Imam Ahmad, Muhammad Zahid bin al-Hasan al-Kautsari, hal. 123, al-Maktabat al-Azhariyah lit Turats, Kairo.
[34]. Ali bin Abdulkafi Subki, al-Durrah al-Mudhi’ah fi Radd Ibnu Taimiyah, hal. 2, hal. Damaskus, 1347 H.
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar