Please Wait
Hits
36194
36194
Tanggal Dimuat:
2013/03/17
Kode Site
fa12079
Kode Pernyataan Privasi
34632
- Share
Ringkasan Pertanyaan
Bagaimana cara menguatkan keberanian dan mengurangi amarah yang selain untuk Allah dalam menjalankan tugas amar makruf nahi munkar?
Pertanyaan
Sepertinya kendala pertama ditinggalkannya amar ma’ruf nahi munkar adalah tidak adanya keberanian yang cukup untuk melakukan hal ini. Saya melihat banyak hadis yang berkaitan dengan masalah ini, yang menjelaskan bahwa ajal tidak ada kaitannya dengan menjalankan tugas amar makruf. Apakah ada cara untuk menambah keberanian dan mengurangi emosi? (Ada kemungkinan sifat penakut atau emosi tinggi adalah pengaruh genetik yang kuat bagi sebagian orang)
Jawaban Global
Sebagian riwayat menjelaskan wajibnya amar makruf dan nahi munkar secara mutlak dan sebagian riwayat lainnya mensyaratkan “tiadanya ketakutan akan nyawa dan harta.” Jika kita perhatikan kedua macam riwayat tersebut sebenarnya tidak saling bertentangan satu sama lain.
Riwayat-riwayat yang mengatakan bahwa tugas amar makruf dan nahi munkar tidak bakal mempengaruhi ajal dan rizki manusia, memiliki unsur keumuman. Makna dari riwayat ini adalah bahwa kebanyakan orang takut menunaikan tugas tersebut karena bakal membahayakan nyawa mereka dan juga harta dunia mereka karena itu mereka meninggalkan tugas amar makruf dan nahi munkar. Untuk mengusir rasa takut itu, Imam Maksum menegaskan bahwa bukan begitu kenyataannya, lantaran para imam seperti Imam Husain As dan imam-imam lainnya melawan kerisauan yang dikhawatirkan banyak orang ini sehingga mereka rela terbunuh di jalan demi menghidupkan kewajiban amar makruf dan nahi munkar ini.
Dalam sebagian riwayat banyak dijelaskan cara mengurangi amarah, seperti fadhilah-fadhilah menahan marah, mengingat azab Ilahi, berlindung dari kejahatan setan dan bisikannya dengan membaca doa dan zikir, berwudhu atau mandi dengan air dingin, mengganti posisi dari berdiri ke duduk atau sebaliknya dan seterusnya... dan tentang sifat keberanian juga dijelaskan banyak hal mulai dari bertawakal, zikir, menguasai diri dan seterusnya.
Riwayat-riwayat yang mengatakan bahwa tugas amar makruf dan nahi munkar tidak bakal mempengaruhi ajal dan rizki manusia, memiliki unsur keumuman. Makna dari riwayat ini adalah bahwa kebanyakan orang takut menunaikan tugas tersebut karena bakal membahayakan nyawa mereka dan juga harta dunia mereka karena itu mereka meninggalkan tugas amar makruf dan nahi munkar. Untuk mengusir rasa takut itu, Imam Maksum menegaskan bahwa bukan begitu kenyataannya, lantaran para imam seperti Imam Husain As dan imam-imam lainnya melawan kerisauan yang dikhawatirkan banyak orang ini sehingga mereka rela terbunuh di jalan demi menghidupkan kewajiban amar makruf dan nahi munkar ini.
Dalam sebagian riwayat banyak dijelaskan cara mengurangi amarah, seperti fadhilah-fadhilah menahan marah, mengingat azab Ilahi, berlindung dari kejahatan setan dan bisikannya dengan membaca doa dan zikir, berwudhu atau mandi dengan air dingin, mengganti posisi dari berdiri ke duduk atau sebaliknya dan seterusnya... dan tentang sifat keberanian juga dijelaskan banyak hal mulai dari bertawakal, zikir, menguasai diri dan seterusnya.
Jawaban Detil
Para ulama dalam kitab-kitab mereka menjelaskan fase dan tingkatan amar makruf dan nahi munkar dan juga berbagai jenisnya.
Salah satu ketentuan dalam pelaksanaan amar makruf dijelaskan begini: Jika disangka atau diperkirakan ada bahaya, atau rasa takut akan keamanan nyawa dan harta, maka amar makruf tidak wajib dilakukan. Namun jika makruf (kebaikan yang ditinggalkan) atau munkar (keburukan yang dilakukan) adalah hal-hal yang berkaitan langsung dengan perkara-perkara penting agama seperti ushuluddin, Quran, akidah umat Islam, hukum syariat yang sangat penting, maka terdapat pengecualian khusus dalam hal ini, yakni tugas tersebut wajib dilakukan.[1]
Oleh itu, rasa takut ini tidak disyaratkan dalam melakukan amar makruf (bagi sebagian orang), karena kalau tidak untuk apa para wali-wali Allah Swt berjuang mati-matian demi menegakkan kewajiban ini. Masalah menjaga agama sedemikian pentingnya sehingga Imam Husain As rela mengorbankan nyawanya dan sahabat-sahabat tercintanya. Dalam menjawab pertanyaan saudaranya, Muhammad Hanafiah, yang bertanya untuk apa beliau pergi ke Karbala, beliau menjawab: “Aku melihat kakekku Rasulullah Saw berkata kepadaku: Sesunggunya Allah Swt ingin melihatmu terbunuh.”[2]
Adapun sekaitan dengan cara-cara meningkatkan keberanian dan mengkontrol amarah, kiranya perlu dijelaskan satu hal penting terkait pertanyaan di atas. Untuk diketahui bahwa pengaruh genetik dalam sifat dan perilaku makhluk hidup adalah sesuatu yang diterima dan dibenarkan oleh para maksum As. Meskipun pegaruh genetik ini tak bisa dipungkiri, namun anjuran-anjuran dalam Islam untuk mengkontrol amarah dan menguatkan keberanian tetap perlu dijalankan.
A. Cara-cara mengkontrol amarah
Dalam sebagian riwayat, marah seringkali disebut sebagai api.[3] Kiasan yang baik ini menyadarkan kita tentang perlunya amarah dalam hidup ini, dan juga bahayanya jika tidak kita kontrol dengan benar.
Menyadari efek-efek buruk marah tak terkontrol dapat membantu kita untuk dapat berusaha mengkontrolnya. Beberapa di antara efek buruk tersebut seperti: marah dapat mematikan akal dan menyelewengkan manusia dari jalan yang benar,[4] luapan marah dapat merusak cara berpikir dan mengacaukan logika.[5]
Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Jauhilah amarah, karena mulanya adalah kegilaan dan akhirnya adalah penyesalan.”[6] Dan untuk mengurangi emosi dan amarah, banyak sekali anjuran seperti: mengingat keagungan Ilahi,[7] merubah posisi (dari duduk menjadi berdiri, dan sebaliknya),[8] wudhu dengan air dingin, mandi, diam dan lain sebagainya.[9]
B. Cara-cara menambah keberanian
Untuk mendapat keberanian, disebutkan beberapa anjuran dari Al-Qur’an dan riwayat, seperti:
1. Bertawakal: Imam Kadzim As berkata: “Barang siapa yang ingin menjadi orang paling kuat, maka hendaknya bertawakal.” Perawi bertanya seberapakah batasan tawakal? Beliau menjawab: “Tidak takut selain kepada Tuhan.”[10] Imam Ali As berkata: “Tawakal dan berserah diri kepada Allah Swt adalah tumpuan yang paling baik.”[11] Dalam riwayat lain Rasulullah Saw bertanya kepada Jibril tentang tawakal. Jibril berkata: “Tawakal adalah: yakin bahwa makhluk tidak memberikan keuntungan dan tidak membawakan kerugian, tidak memberi dan tidak mengambil, yakni menyadari bahwa makhluk tak memiliki kuasa apapun.”
2. Takut pada Allah Swt: Imam Shadiq As berkata: “Orang yang takut pada Allah Swt maka Allah Swt akan membuat segalanya takut padanya. Adapun orang yang tak takut pada Allah Swt, maka Ia akan membuatnya takut segalanya.”
Seorang manusia harus takut pada Tuhannya, namun yang dimaksud takut bukan berarti kita takut karena Allah Swt (naudzubillah) menakutkan rupanya. Takut pada Allah Swt memiliki tingkatan beragam.Salah satu bentuk takut pada Allah Swt, adalah takut akan azab dan siksa-Nya di dunia dan di akhirat, dimana azab murka-Nya timbul dikarenakan penentangan terhadap aturan-aturan-Nya. Jika seorang manusia takut pada Allah Swt, maka ia tidak akan melakukan dosa dan menentang-Nya.
Bentuk takut yang lain adalah takut tunduk di hadapan keagungan Allah Swt. Rasa takut seperti ini yang disebut dalam ayat Al-Quran: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (orang-orang yang alim).” (Qs. Al-Fathir [35] :28)
3. Mengingat Tuhan: Allah Swt dalam Al-Quran berfirman: “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Qs. Al-Ra’ad [13] : 28).
Yang membuat kita takut adalah kekhawatiran kita akan masa depan yang masih misteri, masa lalu yang suram, kelemahan dalam menghadapi musuh, takut mati dan seterusnya. Namun saat kita ingat bahwa kita memiliki Tuhan pemilik semua ciptaan dengan segala keagungannya ini, maka kita akan merasa aman dan tentram, rasa takut kita pun akan sirna. [iQuest]
Salah satu ketentuan dalam pelaksanaan amar makruf dijelaskan begini: Jika disangka atau diperkirakan ada bahaya, atau rasa takut akan keamanan nyawa dan harta, maka amar makruf tidak wajib dilakukan. Namun jika makruf (kebaikan yang ditinggalkan) atau munkar (keburukan yang dilakukan) adalah hal-hal yang berkaitan langsung dengan perkara-perkara penting agama seperti ushuluddin, Quran, akidah umat Islam, hukum syariat yang sangat penting, maka terdapat pengecualian khusus dalam hal ini, yakni tugas tersebut wajib dilakukan.[1]
Oleh itu, rasa takut ini tidak disyaratkan dalam melakukan amar makruf (bagi sebagian orang), karena kalau tidak untuk apa para wali-wali Allah Swt berjuang mati-matian demi menegakkan kewajiban ini. Masalah menjaga agama sedemikian pentingnya sehingga Imam Husain As rela mengorbankan nyawanya dan sahabat-sahabat tercintanya. Dalam menjawab pertanyaan saudaranya, Muhammad Hanafiah, yang bertanya untuk apa beliau pergi ke Karbala, beliau menjawab: “Aku melihat kakekku Rasulullah Saw berkata kepadaku: Sesunggunya Allah Swt ingin melihatmu terbunuh.”[2]
Adapun sekaitan dengan cara-cara meningkatkan keberanian dan mengkontrol amarah, kiranya perlu dijelaskan satu hal penting terkait pertanyaan di atas. Untuk diketahui bahwa pengaruh genetik dalam sifat dan perilaku makhluk hidup adalah sesuatu yang diterima dan dibenarkan oleh para maksum As. Meskipun pegaruh genetik ini tak bisa dipungkiri, namun anjuran-anjuran dalam Islam untuk mengkontrol amarah dan menguatkan keberanian tetap perlu dijalankan.
A. Cara-cara mengkontrol amarah
Dalam sebagian riwayat, marah seringkali disebut sebagai api.[3] Kiasan yang baik ini menyadarkan kita tentang perlunya amarah dalam hidup ini, dan juga bahayanya jika tidak kita kontrol dengan benar.
Menyadari efek-efek buruk marah tak terkontrol dapat membantu kita untuk dapat berusaha mengkontrolnya. Beberapa di antara efek buruk tersebut seperti: marah dapat mematikan akal dan menyelewengkan manusia dari jalan yang benar,[4] luapan marah dapat merusak cara berpikir dan mengacaukan logika.[5]
Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Jauhilah amarah, karena mulanya adalah kegilaan dan akhirnya adalah penyesalan.”[6] Dan untuk mengurangi emosi dan amarah, banyak sekali anjuran seperti: mengingat keagungan Ilahi,[7] merubah posisi (dari duduk menjadi berdiri, dan sebaliknya),[8] wudhu dengan air dingin, mandi, diam dan lain sebagainya.[9]
B. Cara-cara menambah keberanian
Untuk mendapat keberanian, disebutkan beberapa anjuran dari Al-Qur’an dan riwayat, seperti:
1. Bertawakal: Imam Kadzim As berkata: “Barang siapa yang ingin menjadi orang paling kuat, maka hendaknya bertawakal.” Perawi bertanya seberapakah batasan tawakal? Beliau menjawab: “Tidak takut selain kepada Tuhan.”[10] Imam Ali As berkata: “Tawakal dan berserah diri kepada Allah Swt adalah tumpuan yang paling baik.”[11] Dalam riwayat lain Rasulullah Saw bertanya kepada Jibril tentang tawakal. Jibril berkata: “Tawakal adalah: yakin bahwa makhluk tidak memberikan keuntungan dan tidak membawakan kerugian, tidak memberi dan tidak mengambil, yakni menyadari bahwa makhluk tak memiliki kuasa apapun.”
2. Takut pada Allah Swt: Imam Shadiq As berkata: “Orang yang takut pada Allah Swt maka Allah Swt akan membuat segalanya takut padanya. Adapun orang yang tak takut pada Allah Swt, maka Ia akan membuatnya takut segalanya.”
Seorang manusia harus takut pada Tuhannya, namun yang dimaksud takut bukan berarti kita takut karena Allah Swt (naudzubillah) menakutkan rupanya. Takut pada Allah Swt memiliki tingkatan beragam.Salah satu bentuk takut pada Allah Swt, adalah takut akan azab dan siksa-Nya di dunia dan di akhirat, dimana azab murka-Nya timbul dikarenakan penentangan terhadap aturan-aturan-Nya. Jika seorang manusia takut pada Allah Swt, maka ia tidak akan melakukan dosa dan menentang-Nya.
Bentuk takut yang lain adalah takut tunduk di hadapan keagungan Allah Swt. Rasa takut seperti ini yang disebut dalam ayat Al-Quran: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (orang-orang yang alim).” (Qs. Al-Fathir [35] :28)
3. Mengingat Tuhan: Allah Swt dalam Al-Quran berfirman: “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Qs. Al-Ra’ad [13] : 28).
Yang membuat kita takut adalah kekhawatiran kita akan masa depan yang masih misteri, masa lalu yang suram, kelemahan dalam menghadapi musuh, takut mati dan seterusnya. Namun saat kita ingat bahwa kita memiliki Tuhan pemilik semua ciptaan dengan segala keagungannya ini, maka kita akan merasa aman dan tentram, rasa takut kita pun akan sirna. [iQuest]
[1]. Sayid Ruhullah Khomeini, Taudhih al-Masâil, hal. 596, Masalah 2659 dan 2660, 1426 H.
[2]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 4, hal. 364, Muasasah al-Wafa’, Beirut, 1404 H.
[3]. Ibid, jil. 14, hal. 467.
[4]. Abdul Wahid Amadi, Ghurar al-Hikam, jil. 1, hal. 65, Intesyarat Daftar Tablighat, Qum, 1366 S.
[5]. Bihâr al-Anwâr, jil. 68, hal. 428.
[6]. Ghurar al-Hikam, hal. 303.
[7]. Bihâr al-Anwâr, jil. 13, hal. 358.
[8]. Ibid, jil. 70, hal. 264.
[9]. Ibid, jld. 70, hal. 272.
[10]. Ibid, jld. 68, hal. 143.
[11]. Ghurar Al-Hikam, hal. 196.
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar