Please Wait
38717
Terdapat beberapa pandangan sehubungan dengan nasakh al-Qur’an oleh sunnah mutawatir dan konsensus definitif (ijma’ qath’i). Sebagian berpendapat bahwa apabila terjadi kondisi seperti ini maka al-Qur’an dapat dinasakh oleh sunnah mutawatir. Namun yang masyhur di kalangan ulama, mereka menolak pendapat bahwa al-Qur’an dapat dinaskah oleh kabar tunggal (khabar wâhid).
Terdapat beberapa jenis nasakh pada ayat-ayat al-Qur’an yang dapat digambarkan. Sebagian dari jenis nasakh tersebut diterima dan sebagian lainnya ditolak. Salah satu jenis nasakh yang kebetulan juga menjadi obyek pertanyaan adalah nasakh al-Qur’an oleh sunnah yang merupakan bagian dari nasakh hukum dan bukan pada ayat. Terkait dengan jenis nasakh ini juga telah dibahas oleh ulama; hal ini bermakna bahwa dalam al-Qur’an terdapat sebuah ayat dan kandungannya yang merupakan satu hukum syariat telah dinasakh oleh sunnah.
Nasakh seperti ini dapat digambarkan dalam beberapa bentuk:[1]
- Nasakh al-Qur’an oleh sunnah mutawatir.[2]
- Nasakh al-Qur’an oleh ijma qath’i yang menyingkap adanya nasakh dari para maksum As.
- Nasakh al-Qur’an oleh khabar wahid;
Sehubungan dengan nasakh bentuk pertama dan kedua terdapat tiga pendapat:
Pertama: Sama sekali ayat-ayat al-Qur’an tidak dapat dinasakh oleh Sunnah;[3] orang-orang seperti Syaikh Mufid Ra, ulama mazhab Syafi’i dan ulama lainnya menerima pendapat ini.[4]
Kedua: al-Qur’an tidak dapat dinasakh oleh sunnah mutawatir dan ijma’ qath’i.[5] Apabila demikian nasakh seperti ini terjadi dan telah ditetapkan, maka akan diterima kalau tidak tidak akan diterima.[6] Sebagian berkata namun nasakh seperti ini sama sekali tidak pernah terjadi.[7]
Ketiga: Pendapat ketiga adalah pendapat yang memerlukan penjalasan detil. Mereka berkata bahwa nasakh al-Qur’an oleh riwayat-riwayat yang dinukil dari para Imam Maksum As tidak dibenarkan dan nasakh seperti ini sama sekali tidak bermakna;[8] namun nasakh al-Qur’an oleh sunnah nabawi dikarenakan pesan ayat, “Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah.” (Qs. Al-Hasyr [59]:7) adalah nasakh yang dapat diterima dan dibenarkan. (Namun demikian) pendapat ini tidak dapat diterima; karena banyak riwayat yang dinukil dari Rasulullah Saw yang menyatakan, “Penafian keluaran riwayat yang bertentangan dengan Kitabullah (nafi shudur ma yukhâlif al-kitâb ‘anhu)[9] artinya bahwa tatkala Rasulullah Saw menyatakan bahwa kriteria untuk mengidentifikasi apakah ucapan-ucapan beliau itu benar atau tidak adalah ketika sejalan dengan al-Qur’an, sehingga kita tidak dapat menerima sebuah hadis yang bertentangan dengan al-Qur’an.
Ulama Syiah dan Sunni bersepakat atas nukilan riwayat-riwayat ini. Karena itu, riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa al-Qur’an juga tidak dapat dinasakh oleh sunnah nabawi.[10]
Namun nasakh dalam bentuk ketiga (nasakh oleh khabar wahid) sesuai dengan pendapat masyhur Syiah dan Sunni atas bentuk ketiga ini bahwa nasakh seperti ini tidak mungkin dapat terjadi.[11]
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat beberapa indeks berikut ini:
- Nasakh dalam al-Qur’an, Pertanyaan 22583 (Site: fa597)
- Nasakh, Tabdil dan Tahwil, Pertanyaan 22585 (Site: fa13460).
[1]. Sayid Abu al-Qasim Khui, al-Bayân fi Tafsir al-Qur’ân, hal. 285, Tanpa Tempat, Tanpa Tahun.
[2]. Untuk telaah lebih jauh silahkan telaah indeks, “Kriteria Hadis Mutawatir Lafzi, Maknawi dan Ijmali,” Pertanyaan 2412 (Site: 2529).
[3]. Muhammad Jawadi Najafi Khomeini, Tafsir Âsân, jil. 1, hal. 241, Intisyarat-e Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1398 H; Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 15, hal. 14, Daftar Intisyarat-e Islami, Qum, Cetakan Kelima, 1417 H.
[4]. Tafsir Âsân, jil. 1, hal. 241; Sayid Murtadha, al-Dzari’ah, jil. 1, hal. 460, Danesygah Teheran, 1376 S; Syaikh Thusi, al-Uddah, jil. 2, hal. 487, Capkhane Setareh, Qum, 1417 H.
[5]. Al-Dzari’ah, jil. 1, hal. 460 & 462; al-Bayân fi Tafsir al-Qur’ân, hal. 285; Hasyim Zadeh Harisi, Bayan dar ‘Ulum-e Qur’an wa Masaail Kulli Qur’an, hal. 260, Tanpa Tempat, Tanpa Tahun.
[6]. Al-Dzari’ah, jil. 1, hal. 460; al-Bayân fi Tafsir al-Qur’ân, hal. 285; Bayân dar ‘Ulûm-e Qur’ân wa Masâil Kulli Qur’ân, hal. 260.
[7]. Bayân dar ‘Ulûm-e Qur’ân wa Masâil Kulli Qur’ân, hal. 260.
[8]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, Hâsyiyah al-Kifâyah, jil. 2, hal. 296, Bunyad ‘Ilmi, Fikri Allamah Thabathabai, Tanpa Tahun.
[9]. Tidak akan keluar dari Rasulullah Saw sesuatu yang bertentangan dalam al-Qur’an.
[10]. Hâsyiyah al-Kifâyah, jil. 2, hal. 296 dan 297.
[11]. Al-Bayân fi Tafsir al-Qur’ân, hal. 284 & 285; Bayân dar ‘Ulûm-e Qur’ân wa Masâil Kulli Qur’ân, hal. 260; Al-Dzari’ah, jil. 1, hal. 460 & 461; al-‘Uddah, jil. 1, hal. 121. Meski sebagian kecil orang – seperti Ibnu Hazm Andalusi yang merupakan salah seorang ulama dari kelompok Zhahirisme Sunni – meyakini kebolehan dan terjadinya masalah ini. Silahkan lihat, al-Dzari’ah, jil. 1, hal. 460 & 461; al-‘Uddah, jil. 1, hal. 121.