Please Wait
13801
Wilâyah berasal dari kata “waliya”, secara leksikal kata ini memiliki bermacam-macam makna. Namun maknanya yang sesuai di sini antara lain ialah pemerintahan dan kepemilikan wewenang dalam suatu urusan yang diserahkan kepada seorang pemimpin (maula), dan “maula” sendiri mempunyai strategi dan potensi dalam hal ini. Secara teknis, kepemimpinan dan pemerintahan manusia yang sempurna atas seluruh manusia dalam pelbagai aspek baik individual maupun sosial, keagamaan, duniawi, lahiriah dan batiniah, masalah niat hati, juga atas undang-undang dan alam semesta. Untuk mengantarkan mereka pada kebahagiaan dunia-akhirat, dan ia sendiri menjadi perantara karunia yang melimpah bagi mereka.
Untuk mencapai jabatan ini, syaratnya adalah maksum (terpelihara dari dosa dan nista), batin yang suci dan berhubungan dengan alam la dunni (alam gaib) dan kelapangan dada, sehingga menjadi sempurna hujjah bagi semua manusia dan kesaksian atas amal perbuatan lahir dan batin semua manusia di dunia, dan memberikan kesaksiannya di akhirat. Menurut keyakinan Syiah seseorang bisa menjadi “Imam” (pemimpin) bagi umat Islam jika memiliki pemerintahan Tuhan yang universal ini atau orang yang ditunjuk olehnya, jika tidak maka itu adalah pemimpin perampas (ghasab); sebab selama yang paling baik dan yang paling sempurna itu ada maka tidak tersisa kesempatan bagi yang lain.
Secara leksikal (lughawi), kata “wilâyah” dan “maula” berasal dari kata “waliya”. Pakar bahasa telah menyebutkan makna dan arti yang beraneka macam untuk kata ini; seperti mâlik (raja), ‘abd (hamba), mu’tiq (orang yang membebaskan), mu’taq (orang yang dibebaskan), shâhib (pemilik), qarîb (kerabat; seperti keponakan), jâr (tetangga), halîf (rekan sumpah), ibn (putra), ‘am (paman), rabb (pendidik), nâshir (penolong), mun’im (pemberi nikmat), nâzil (orang yang tinggal di suatu tempat), syarik (rekan), ibnul ukht (anak saudara perempuan), muhib (pecinta), tâbi’ (pengikut), shihr (suami anak/saudara perempuan), aula bi at tasrrauf (orang yang lebih layak melakukan daya upaya dalam urusan-urusan ketimbang dirinya sendiri).[1]
Secara teknikal (istilahi), yang dimaksud dengan “wilâyah” adalah kemampuan dan kekuasaan untuk ikut campur dan melakukan daya upaya dalam urusan semua manusia di dalam pelbagai aspek, tanpa menafikan hak ikhtiar dan memilih atau kepemilikan orang lain.
“Imâmah” (kepemimpinan) Imam Ali As atas umat Islam sangat nampak jelas dan pemerintahannya berlaku atas uruan-urusan sosial. politik masyarakat, memberi petunjuk kepada manusia menuju masyarakat Islam dan menjawab segala kebutuhan-kebutuhan agama dan hukum mereka. Apabila umat manusia tunduk di bawah pemerintahan dan menerima kepemimpinannya serta mengambil pelajaran dari cara, metode, karakter dan perjalannya maka mereka akan mendapatkan kebahagiaan, kesejahteraan dan kemudahan materi dan maknawi di dunia dan akhirat. Dan apabila mereka berpaling dari kepemimpinannya dan menerima kepemimpinan orang lain, tidak ada yang menjadi nasib mereka selain kerugian bagi mereka. Padahal, baik mereka tahu atau tidak tahu, mengikutinya atau berpaling darinya, mereka menjadikan beliau sebagai tempat merujuk dalam hal politik, hukum, agama dan akhlak. Dan baik mereka merujuk atau tidak merujuk, Imam Ali adalah saksi yang meliputi semua manusia baik Syiah atau selain Syiah, muslim atau non muslim. Imam Ali mengetahui segala sesuatu baik yang lahir maupun yang batin dan memiliki kemampuan dalam mengurusi urusan-urusan mereka. Bahkan dalam hukum takwiniyah beliau mampu merubah batu-bata menjadi emas, menghidupkan gambar yang ada di tabir, menyembuhkan penyakit yang tidak ada obatnya dan memudahkan segala kesulitan dan membebaskan orang yang bertawasul kepadanya dari jalan buntu, akan tetapi dari kemampuannya ini tidaklah ia lakukan karena sia-sia, tidak ada hikmahnya dan bertentangan dengan kebiasaan. Jadi, tidak seharusnya “wilâyah” di dalam bahasa para periset (muhaqqiq) Syiah disetarakan dengan Imâmah. Akan tetapi yang harus dikatakan adalah: “wilâyah” adalah hal yang paling penting yang diperlukan untuk “imâmah”; yakni salah satu syarat pentingnya imamah. Selama wali ada, orang lain tidak bisa menjadi pemimpin kaum muslimin dan memegang kendali urusan agama dan dunia mereka dan menuntun mereka untuk mengikuti maksud dan niatnya!; sebab ini adalah hal yang rasional dan jelas; selama yang paling utama dan yang paling sempurna ada, tidak tersisa kesempatan untuk yang lainnya, kecuali “wali mutlak” memberikan izin wewenang kepadanya, -seperti wali faqih di zaman gaibnya Imam Keduabelas Imam Mahdi Ajf, dan di bawah pengawasannya wali faqih ini mengatur urusan-urusan kaum muslimin di ruang lingkup terbatas yang telah diberikan dan tidak melampaui di atasnya. Oleh karena itu kedudukan “wilâyah ilahi” yang dinisbatkan kepada para Imam Maksum As dan Nabi Saw adalah kedudukan “khalifatullâh” yang merupakan tujuan penciptaan manusia dan karena derajat dan kedudukan inilah para malaikat bersujud. Dan apabila wali tersebut tidak ada maka bumi akan menelan penghuninya.[2]
Adapun kepemimpinan yang dinisbatkan kepada orang lain, hanya memiliki hak mengurusi urusan-urusan yang dibebankan kepadanya dalam wewenang dan kekuasaan yang diperbolehkan oleh pemberi syariat untuk mereka, misalkan kekuasaan seorang ayah atas anak-anaknya tidak bisa dibandingkan dengan kekuasaan Hâkim Syari’ atas urusan-uruasan sosial dan agama kaum muslimin, karena kapasitas kebebasan dan syarat-syarat kepemimpinan keduanya saling berbeda.
Dengan kata lain, kepemimpinan Tuhan dan Rasul Saw serta Imam As atas seluruh manusia adalah kekuasaan hakiki dan muncul dari potensi-potensi dan tuntutan-tuntutan esensial mereka, akan tetapi kepemimpinan selain kepemimpinan Tuhan adalah kepemimpinan buatan dan peletakan saja yang bergantung pada pensyariatan Tuhan. Sebagaimana terwujud dan terlaksananya kepemimpinan Nabi Saw dan Imam As di dalam masyarakat butuh kepada sikap, ketaatan dan kepatuhan masyarakat terhadap pelaksanaan, perintah dan larangan mereka, kedatangan mereka merujuk dan kerelaan masyarakat dengan hukum dan kebijakan-kebijakan mereka, jika tidak demikian maka pemerintahan Tuhan tersebut tidak dapat nampak dan berjalan di masyarakat.
Menurut pandangan Syiah mengenal “Wali Allah” dan hak yang diberikan kepada mereka berupa perintah, larangan, hukum dan keputusan itu wajib bagi semua manusia dan barangsiapa yang menolaknya pada hakikatnya ia telah menolak tauhid dan kenabian. Dengan kata lain: keniscayaan menerima keberadaan Tuhan, tauhid dan sifat adil-Nya, adalah menerima kenabian dan keniscayaan menerima dua hal ini adalah menerima kepemimpinan seorang wali. Materi pelajaran tersebut dapat didapatkan dengan jelas di dalam Al Qur’an ayat 3 surat al-Maidah yang menyebutkan bahwa penyampaian dan pengumuman seorang wali (pengganti, khalifah) itu sama hal dengan menyampaikan risalah dan tauhid dan pada ayat 59 surat al-Nisa’ (4) yang menyebutkan bahwa ketaatan kepada ulil amr itu berlaku setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul Saw, begitu juga dikuatkan dengan hadis Tsaqalain yang menyebutkan bahwa Itrah selalu bersama al-Qur’an.[3] Dan diperkuat dengan hadits Nabi Saw yang mengatakan “barangsiapa yang mati dalam keadaan ia tidak mengenal Imam Zamannya maka ia mati dalam keadaan jahiliyah”.[4]
Namun menerima kepemimpinan lainnya (orang tua atau pemerintah yang adil) bisa membuahkan adanya keteraturan, keemanan di dalam keluarga dan masyarakat, motivasi keagamaan, kebudayaan dan ekonomi. Dan apabila dilakukan demi untuk ketaatan kepada syariat dan ridha Tuhan maka akan mendapatkan pahala, bahkan seperti yang ada di banyak riwayat bahwa amal dan ibadah tanpa menerima kepemimpinan wali Allah tidak akan diterima. Sebagai contoh, Imam Ridha As dalam hadis Silsilah ad-Dzahab yang diriwayatkan dari datuk-datuknya berupa hadis Qudsi, beliau bersabda: “kalimat Laa ilaha illallah adalah bentengKu (Allah), dan barangsiapa yang masuk di dalamnya ia akan terjaga dari azab” beberapa saat setelah itu beliau berkata: “dengan mengamalkan syarat-syarat laa ilaha illallah dan Aku (penerimaan terhadap wilayah-ku) adalah salah satu dari syarat-syarat itu”.[5]
Hadis lain: Imam Baqir As berkata “agama Islam berdiri tegak di atas
Perlu diingatkan bahwa, perjalanan manusia menuju Tuhan dan mencapai tingkat kedudukan khalifah Allah adalah perjalan yang tiada hentinya yang memiliki derajat-derajat yang berbeda-beda dan luas, akan tetapi di setiap zaman hanya satu orang yang bisa berada di puncak klimaks ini dan tidak ada perbedaan di antara sesama manusia sezamannya dan dialah yang akan memiliki wilayah atas manusia lainnya (walaupun dekat dengan derajatnya). Misalkan pada zaman Rasulullah Saw tidak ada seorang pun (bahkan Imam Ali As dan Sayyidah Fatimah) yang mampu menyamai kedudukan Nabi Saw dan semua manusia (bahkan dua manusia mulia ini) berada di bawah wilayah Rasulullah Saw. Sebagaimana pada zaman Imam Ali As –setelah wafatnya Nabi Saw- Imam Hasan As dan Imam Husain As berada di bawah wilâyah ayahanda mereka dan begitu juga para Imam lainnya di zaman hidupnya ayah atau datuk mereka dan juga di zaman Imam Hasan As, Imam Husain As berada di bawah wilâyah kekuasaan dan kepemimpinan saudara mulia beliau dan tunduk patuh kepadanya, bahkan hingga di saat setelah Imam Hasan As syahid, Imam Husain As masih menghormati perjanjian kakaknya dengan Muawiyah selama ia hidup dan menjauhi pertikaian darinya. Pada zaman itu juga hanya satu orang yang berada di atas puncak insani dan hanya dia yang memiliki kekuasaan wilayah ilahi yang universal atas seluruh manusia, baik orang lain mengetahuinya atau tidak mengetahuinya, pandangan-pandangannya diyakini atau tidak, dia adalah satu-satunya pembawa panji medan khilafah ilahi –menurut keyakinan Syiah Dua Belas Imam - tidak ada lagi kecuali al-Hujjah ibn al-Hasan al ‘Askari As (Imam Mahdi Ajf).
Di sisi lain –dikarenakan roda perjalanan ini tiada hentinya dan tujuan penciptaan seluruh manusia pasti melintasi perjalan ini, sebagaimana Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya kita datang dariNya dan juga kepadaNya-lah kita kembali”.[8] -Seluruh manusia apabila ingin mendapatkan kedudukan derajat ini tidak ada jalan lain kecuali menerima wilayahnya wali Allah yang Maha Agung, mengikutinya dan menapaki jalannya hingga dengan teliti dan cepat mampu mencapai derajat itu dan dengan melewati fase-fase kesempurnaan insani, manusia bisa sampai pada kesempurnaan yang dimaksud.[9]
Orang-orang yang masuk Islam dengan memiliki pengetahuan tentang pemerintahan, berusaha keras dalil ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang menetapkan kepemimpinan Imam Ali As atas umat dari sisi Tuhan dan Rasul saw, sedemikian rupa mereka takwil sehingga kesimpulannya bertentangan dengan maksud Allah dan Rasul-Nya yang mulia.
Oleh karena itu “wilâyah” di dalam ayat wilâyah “انما ولیکم الله...”[10] dan ayat ‘itha’a muthlaqah “اطیعوا الله و اطیعوا الزسول واولی الامر منکم”[11] serta hadis ghadir yang masyhur “من کنت مولی فهذا علی مولاه” mereka artikan “kawan” atau “penolong”. Padahal arti tersebut tidak memiliki keselarasan dengan bentuk ayat-ayatnya (adanya makna hashr pada kata “innama” (kata bantu pembatasan) dan kebersamaannya ketaatan kepada Allah dan Rasul dengan ketaatan kepada Ulil Amr serta tidak sesuai dengan kondisi turunnya ayat-ayat dan hadits-hadits yang menafsirkannya. dan juga tidak ada keselarasan dengan berhentinya para jamaah haji di Ghadir Khum, berikrarnya umat kepada tauhid dan risalah, baiatnya kaum muslimin kepada Imam Ali As dan persaudaraan di antara kaum muslimin. Sebagaimana Imam Ali As dan para Imam lainnya dan sekelompok banyak dari para penyair di kalangan sahabat berkaitan dengan wilâyah Imam Ali As, sering membacakan ayat-ayat dan kondisi turunnya ayat-ayat tersebut, berpegangan dengan riwayat Ghadir Khum dan bangkit melawan permusuhan.
Atas dasar ini, walaupun arti-arti yang menyimpang ini memiliki kesesuaian dengan makna-makna bahasa kata “wali”, akan tetapi bentuk ayat-ayat dan riwayat-riwayat dan akal sehat tidak menerimanya dan ayat-ayat ini dianggap sebagai nash-nash yang kuat dan tidak bercela, berkenaan tentang pengangkatan dan diproklamirkannya Imam Ali As sebagai khalifah dan pengganti langsung (belâ fashl, segera setelah) Rasulullah Saw.
Perlu diingatkan bahwa imâmah dan wilâyah semua para Imam As juga ditentukan dan ditetapkan melalui hadis-hadis Nabi Saw dan rekomendasi setiap Imam bagi Imam setelahnya. Dan tanda-tanda kepemimpinannya (mukjizat dan kemampuan atas alam dan pengetahuan isi batini manusia, mengetahui alam gaib dan kema’shuman, bisa digunakan sebagai argumen dihadapan musuh.
Referensi dan sumber:
1. Jam’e az Nevisandeghan, Ma’arif Islami, jilid 1 dan 2, bab Imamah.
2. Abdullah Jawadi Amuli, ‘Eid-e Wilâyat, hal 61-70.
3. Abdullah Jawadi Amuli, Wilâyat dar Qur’ân.
4. Abdullah Jawadi Amuli, Wilâyat-e ‘Alawi, hal 28-55, 117.
5. Taqiyuddin Abu al-Shalah Halabi, hal 127-133.
6. Muhammad Sa’idi Mehr, Kalâm-e Islâmi, jilid 2, hal 130-200.
7. Murtadha Muthahhari, Imâmat va Rahbari, hal 43-95, 161-169.
8. Murtadha Muthahhari, Insân-e Kâmil.
9. Mahdi Hadawi Tehrani, Wilâyat va Diyânat, hal 64-66.
[1]. Firuz Abadi, al-Qâmus al-Muhith. Sa'idi Mehr, Kalâm Islâmi, jil. 2, hal. 168.
[2]. Murtadha Muthahhari, Imâmat wa Rahbari, hal. 46-74.
[3]. Ibid.
[4]. Ibid.
[5]. Bihâr al-Anwâr, jil. 3, hal. 8
[6]. Ibid, jil. 65, hal. 329-333.
[7]. Abdullah Jawadi Amuli, 'Eid-e Wilâyat, hal. 62-64.
[8]. "(Yaitu), orang-orang yang apabila tertimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kami akan kembali kepada-Nya).” (Qs. Al-Baqarah [2]:156). "Hai manusia, sesungguhnya kamu menuju kepada Tuhan-mu dengan kerja dan usaha yang sungguh-sungguh, maka kamu pasti akan menjumpai-Nya." (Qs. Al-Insyiqaq [84]:6.
[9]. Silahkan Anda lihat, pertanyaan 314 dan 315. Muthahhari, Insan-e Kamil (Manusia Sempurna).
[10]. "Sesungguhnya pemimpinmu hanyalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, sedang mereka dalam kondisi rukuk." (Qs. Al-Maidah [5]:55).
[11]. "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi Rasulullah) di antara kamu.: (Qs. Al-Nisa [4]:59).