Please Wait
7343
- Share
Wudhu memiliki syarat-syarat yang apabila tidak dijalankan maka wudhu menjadi batal.[1] Salah satu syarat wudhu adalah bahwa mukallaf sendiri yang membasuh wajah dan kedua tangan kemudian mengusap kepala dan kakinya.
Apabila terdapat seseorang yang mewudhukannya atau menolong supaya air sampai pada wajah dan kedua tangannya, mengusapkan kepala dan kedua kakinya maka wudhunya batal.
Disebutkan bahwa ungkapan-ungkapan para fakih berbeda-beda dalam masalah ini:
- Sebagian menyebutkan amalan-amalan langsung wudhu orang yang berwudhu dan mengatakan seseorang lain yang mengambilkan wudhu sedemikian sehingga orang-orang berkata (urf) amalan-amalan wudhu tidak disandarkan kepada orang yang berwudhu maka (dalam kondisi seperti ini) wudhunya batal.[2]
- Sebagian berkata, makruh hukumnya menolong dalam melakukan persiapan-persiapan wudhu. Apabila seseorang menyiramkan air ke tangan seseorang yang berwudhu dan ia berwudhu dengan air tersebut maka wudhunya tidak batal.[3]
- Sebagian fakih memandang niat orang yang berwudhu sebagai kriteria; Dalam menjawab persoalan seperti ini disebutkan bahwa:
Pertanyaan: Apabila seseorang menyiramkan air dari sebuah bejana atau cerek sehingga ia berwudhu, apakah wudhu orang tersebut sahih?
Jawaban: Tidak ada masalah apabila orang yang menyiramkan tidak berniat mewudhukan orang yang berwudhu.[4]
Di antara sekumpulan fatwa yang telah dijelaskan dapat ditarik kesimpulan bahwa apa yang tidak dibenarkan dalam wudhu adalah bahwa sedemikian orang lain membantu sehingga amalan-amalan wudhu disandarkan kepadanya. Namun tidak ada masalah apabila ia sekedar membantu mempersiapkan meski dengan menyiramkan air ke tangannya, dan orang yang berwudhu sendiri yang menyiramkan air itu ke wajahnya. [iQuest]
[1]. Sayid Ruhullah Musawi Khomeini, Taudhih al-Masâil (al-Muhassyâ), jil. 1, hal. 174, Daftar Intisyarat-e Islami, Qum, 1424 H.
[2]. Sayid Abul Qasim Khui, Minhâj al-Shâlihin, jil. 1, hal. 38, Nasyr Madinat al-‘Ilm, Qum, 1410 H.
[3]. Taudhih al-Masâil (al-Muhassyâ), jil. 1, hal. 174; Jawad Tabrizi, Istifta’at Jadid, jil. 1, hal. 45, Tanpa Tahun, Qum.
[4]. Muhammad Fadhil Langkarani, Jâmi’ al-Masâil, jil. 1, hal. 52, Intisyarat-e Amir Qalam, Tanpa Tahun, Qum.