Please Wait
24761
Munculnya penyimpangan, seperti bid’ah dan kemurtadan, di kalangan sebagian sahabat setelah wafatnya Rasulullah, pertama; dalam perspektif sumber-sumber pertama umat Islam, merupakan perkara yang disepakati secara umum (musallam) dan tidak diragukan lagi serta tidak terkhusus pada sumber-sumber mazhab Syiah saja.
Riwayat-riwayat mutawatir yang datang dari Rasulullah Saw di dalam Shihah Sittah Ahlusunnah, dan sumber-sumber lain pada mazhab Ahlusunnah, dengan bilangan sanad sahih yang banyak, merupakan penjelas bahwa sebagian besar sahabat, pasca wafatnya Rasulullah Saw, telah meninggalkan jalan dan sunnah Rasulullah Saw dan kembali kepada model kehidupan jahiliyah. Dan penyimpangan seperti ini menjadi penyebab sehingga pada hari Kiamat nanti mereka tidak mendapatkan izin untuk meminum air dari telaga Kautsar, terusir dari telaga Kautsar, dan para malaikat azab menggiring mereka ke arah neraka jahannam.
Kedua, kemurtadan yang mengemuka pada riwayat-riwayat seperti ini, tidak bermakna kemurtadan secara teknis teologis yang menyebabkan kekufuran melainkan bermakna kembalinya mereka kepada model kehidupan, nilai-nilai jahiliyyah dan berpaling dari jalan dan sunnah Rasulullah Saw.
Oleh itu, kemurtadan ini tidak bermakna bahwa mereka dulunya adalah Syiah dan setelah wafatnya Rasulullah beralih menjadi Sunni. Atau pada masa Rasulullah Saw mereka dulunya adalah Sunni dan kemudian menjadi Syiah. Meski menurut sejarah dan riwayat-riwayat Islam, bahwa masalah Syiah adalah masalah yang telah mengemuka pada masa Rasulullah Saw. Hal ini terbukti bahwa nama pertama yang tercatat pada masa Rasulullah Saw adalah nama Syiah. Dan orang pertama kali yang menyematkan nama pengikut Ali sebagai Syiah Ali adalah Rasulullah Saw sendiri. Serta orang-orang yang pertama kali disebut sebagai Syiah Ali As adalah sebagian sahabat Rasulullah Saw.
Untuk memperoleh jawaban yang sesuai dari pertanyaan yang dikemukakan, ada baiknya kita menyimak ulang hadis-hadis ihwal telaga Kautsar.
Keyakinan terhadap telaga Kautsar di kalangan Muslimin, merupakan keyakinan seluruh pengikut mazhab Islam, dan termasuk keyakinan bersama yang dianut kaum Muslimin. Terdapat beberapa riwayat mutawatir[1] yang dinukil dari Rasulullah Saw yang tercatat pada literatur-literatur derajat pertama (manâbi’ al-awwaliyah) pada dua mazhab yang menjelaskan bahwa sahabat Rasulullah Saw pada hari Kiamat kelak mendatangi telaga Kautsar untuk menjumpai Rasulullah Saw dan ingin melepaskan dahaga mereka dengan meminum air dari telaga Kautsar tersebut. Akan tetapi hanya sebagian kecil dari mereka yang diterima untuk bersua dengan Rasulullah Saw. Sementara sebagian besar dari mereka diusir dari telaga Kautsar dan malaikat-malaikat azab menggiring mereka ke neraka. Menyaksikan kondisi seperti ini, mereka memohon bantuan kepada Rasulullah Saw. Dan Nabi yang penuh kasih ini -dengan tujuan untuk menolong mereka- mencari tahu gerangan apa sebabnya mereka tidak diperkenankan untuk memasuki telaga Kautsar. Allah Swt berfirman kepada Rasulullah Saw: “Mereka banyak membuat bid’ah setelah engkau tiada, dan tindakan mereka ini berujung pada kemurtadan mereka.” Pesan Ilahi ini menjadi sebab sehingga Nabi Saw juga mencela mereka dan mengusir mereka dari telaga Kautsar.
Beberapa contoh hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Sahl bin Sa’ad menukil dari Rasulullah Saw yang bersabda: “Aku akan memasuki telaga (Kautsar) sebelum kalian… (setelah itu), sekelompok orang yang aku kenal dan mereka juga mengenalku, masuk (mendekat ke telaga Kautsar). Kemudian terbentang jarak antara aku dan mereka. (dan mereka dihalangi untuk masuk ke dalam telaga Kautsar). Aku berkata: “Mereka dariku.” Dikatakan kepada Rasulullah Saw: “Engkau tidak tahu bahwa mereka banyak membuat bid’ah selepasmu.” Aku berkata, “Menjauhlah. Menjauhlah orang yang menciptakan bid’ah selepasku.”[2]
2. Abu Hurairah menukil dari Rasulullah Saw yang bersabda: “Pada hari Kiamat, sekelompok sahabatku mendatangiku. Namun mereka ditolak untuk mendekat ke telaga. Aku berkata, “Tuhanku! Mereka ini adalah sahabat-sahabatku? Dijawab: “Engkau tidak tahu banyak bid’ah yang mereka munculkan. Mereka meninggalkan jalan kebenaran dan petunjuk[3] dan kembali kepada pikiran-pikiran mereka sebelumnya (jahiliyyah).”[4]
3. Abu Hurairah menukil dari Rasulullah Saw yang bersabda: “Aku berdiri di atas telaga Kautsar. Pada saat itu, sekelompok orang yang aku kenal datang. (salah seorang petugas dari petugas-petugas Allah yang menjagai mereka) keluar dan berkata kepada mereka: Marilah! Aku bertanya, “Kemana?” Jawabnya, “Demi Allah! Ke neraka. Aku bertanya, “Apa dosa mereka?” Jawabnya, “Mereka kembali kepada pikiran dan keyakinan mereka sebelumnya (jahiliyah). Kemudian ia membawa sekelompok orang lainnya yang aku kenal. (salah seorang petugas dari petugas-petugas Allah yang menjagai mereka) keluar dan berkata kepada mereka, “Marilah kita pergi!” Aku bertanya, “Kemana?” Jawabnya, “Ke neraka.” Aku bertanya, “Apa dosa mereka?” Jawabnya, “Mereka kembali kepada pikiran dan keyakinan mereka sebelumnya (jahiliyah). Aku pikir tidak ada yang dapat menyelamatkan mereka kecuali bilangan kecil unta yang terpisah dari kelompoknya lantaran tiadanya penggembala, hilang dan tak-terurus.[5] (kiasan bahwa orang-orang yang selamat jumlahnya sangat sedikit). [6]
4. Ummu Salamah menukil dari Rasulullah Saw yang bersabda, “Aku akan memasuki telaga (Kautsar) sebelum kalian. Setelah itu, menjauhlah dariku! Tiada seorang pun dari kalian yang mendekat kecuali dihalau menjauh sebagaimana unta asing yang hilang dihalau menjauh dari bak. Aku bertanya: Apa gerangan sebabnya? Dijawab, “Engkau tidak mengetahui bahwa mereka banyak menciptakan bid’ah. Kemudian aku berkata, “Menjauhlah![7]
5. Abu Sa’id al-Khudri menukil dari Rasulullah Saw yang bersabda, “Ayyuhannas! Aku akan memasuki telaga Kautsar sebelum kalian pada hari Kiamat. Sebagian dari sahabatku diperlihatkan kepadaku dan digiring ke neraka jahannam. Seseorang dari mereka berseru, Wahai Muhammad! Aku adalah fulan putra fulan. Dan yang lain berkata, “Wahai Muhammad! Aku fulan bin fulan. Aku menjawab: Akan tetapi aku mengenal dengan baik garis keturunanmu (nasab) namun banyak memunculkan bid’ah selepasku dan kembali ke pikiran dan keyakinan mereka sebelumnya (jahiliyyah).”[8]
6. Umar bin Khattab menukil dari Rasulullah Saw yang bersabda, “Aku berusaha menghalangi supaya kalian tidak masuk ke dalam neraka, akan tetapi kalian menguasaiku dan dengan santai kalian menuju ke neraka jahannam sebagaimana kupu-kupu dan serangga-serangga. Dan hampir aku melepaskan kalian (sehingga kalian memasuki neraka), aku akan masuk ke telaga Kautsar sebelum kalian, dan kalian bersama-sama dan terpisah-pisah akan datang kepadaku. Aku mengenal nama dan wajah kalian, sebagaimana pemilik unta mengenal untanya dan unta asing. Kalian akan digiring ke neraka. Dan aku bersumpah demi kalian di hadapan Tuhan! Tuhanku sahabatku? Tuhanku umatku? Dijawab: Engkau tidak tahu bahwa mereka banyak menciptakan bid’ah selepasmu. Mereka kembali kepada pikiran jahiliyyah.”[9]
Pada sebagian literatur Syiah Imamiyah yang dinukil dari para imam Ahlulbait As riwayat-riwayat semacam ini juga dapat dijumpai. Di antaranya dalam kitab Bihar al-Anwar yang dinukil dari Abu Bashir. Abu Bashir berkata, “Aku berkata kepada Imam Shadiq As: Apakah orang-orang setelah Rasulullah Saw, selain tiga orang, Abu Dzar, Salman dan Miqdad, telah murtad? Imam Shadiq As bersabda, “Lantas Abu Sasan dan Abu Umrah Anshari dimana?”[10]
Sebagaimana yang Anda lihat, Imam Shadiq menolak perkiraan Abu Bashir yang mengira hanya tiga orang dan selebihnya orang-orang yang lain telah murtad semuanya. Imam Shadiq As menyebut nama orang lain yang tetap berada pada jalan petunjuk dan kebenaran.
Terkait dengan hadis di atas harus diperhatikan bahwa:
Pertama: Hadis tersebut tidak disebutkan pada sumber-sumber riwayat standar Syiah.
Kedua: Redaksi kalimat “nas” (orang-orang) pada hadis yang disebutkan di atas bermakna sahabat bukan seluruh kaum Muslimin yang hidup pada abad yang berbeda pasca Rasulullah Saw. Dalil atas klaim ini adalah bahwa orang-orang yang disebutkan pada hadis di atas dan berada pada jalan petunjuk, seluruhnya adalah para sahabat Rasulullah Saw. Dengan demikian, orang-orang yang tidak berada pada jalan petunjuk juga adalah para sahabat Rasulullah Saw.
Ketiga: Secara lahir, riwayat di atas dan riwayat-riwayat lainya yang menyebutkan jumlah orang-orang yang mendapatkan petunjuk, lebih banyak. Karena itu, dengan jelas dapat disimpulkan bahwa para imam maksum As pada riwayat ini, tidak berada pada tataran menyebutkan jumlah bilangan tertentu, melainkan ingin menjelaskan bahwa orang-orang yang tetap loyal dan setia pada nilai-nilai Islam pasca Rasulullah adalah sedikit jumlahnya. Dan mayoritas telah berpaling dari nilai-nilai Islam dan kembali kepada nilai-nilai jahiliyah. Dan sebagaimana yang telah disinggung bahwa makna kemurtadan (irtidâd) pada hadis di atas adalah kembalinya kepada nilai-nilai jahiliyah bukan kemurtadan dalam artian teknis teologis.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan dari beberapa riwayat di atas dapat dikatakan bahwa Pertama: Redaksi kalimat “ihdats” yang digunakan pada riwayat-riwayat di atas bermakna “bid’ah.” Bid’ah bermakna pikiran dan keyakinan yang baru yang tidak memiliki akar pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw.[11] Bid’ah, termasuk perbuatan dosa sesuai dengan penegasan hadis-hadis sahih Rasulullah Saw, dapat menghapus seluruh perbuatan baik pembuat bid’ah dan mengeluarkannya dari nilai-nilai Islam.[12]
Kedua: Sesuai dengan penegasan hadis-hadis di atas, sekelompok sahabat Rasulullah Saw membuat bid’ah. “Annaka la tadri ma ahdatsu ba’dak.”[13] Dan dosa pembuat bid’ah sedemikian besarnya sehingga mereka terusir dari telaga Kautsar dan jauh dari rahmat Allah Swt dan syafaat Rasulullah Saw.
Ketiga: Hadis-hadis di atas tidak dapat diterapkan atas ahli riddah, yaitu orang-orang yang baru memeluk Islam pada akhir-akhir usia Rasulullah Saw, atau tidak lama setelah Rasulullah Saw wafat yang tinggal di daerah-daerah jauh dalam negeri Islam. Ahli riddah ini adalah orang-orang yang telah keluar dari Islam. Dan sesuai dengan definisi yang paling sahih tentang sahabat, ahli riddah tidak termasuk dalam golongan sahabat.
Ibnu Hajar ‘Asqalani menulis, “Definisi yang paling benar yang aku temukan ihwal sahabat, bahwa sahabat adalah orang yang bertemu dengan Rasulullah Saw dan beriman kepadanya dan meninggal dunia dalam keadaan beriman kepada Islam.”[14]
Ahli riddah tidak memiliki tipologi ini, lantaran mereka meninggal dunia dalam keadaan tidak beriman kepada Islam. Karena itu, mereka tidak termasuk dalam definisi sahabat. Sementara sabda Rasulullah Saw terkait dengan sahabat,
Ahli riddah juga tidak termasuk dalam definisi “urfi” sahabat. Karena ulama Ahlusunnah berkata, “Dalam pandangan urf, “Orang-orang yang termasuk dalam kategori sahabat adalah yang banyak menghabiskan waktunya bersama Rasulullah Saw, dan berjumpa dengan Rasulullah Saw.”[15] Sa’id bin Musayyab memandang jangka waktu yang dihabiskan bersama Rasulullah Saw adalah satu sampai dua tahun.[16] Dan ahli riddah sekali-kali tidak pernah bersama Rasulullah Saw dalam jangka waktu ini. Mereka tidak pernah berinteraksi dengan Rasulullah Saw. Ibnu Atsir juga menegaskan bahwa ahli riddah tidak termasuk dalam kategori sahabat Rasulullah Saw.[17]
Demikian juga dalam riwayat disebutkan, “Rijâlun minkum… orang-orang dari kalangan kalian”[18] dan “A’rifuhum wa ya’rifûni.. Aku mengenal mereka dan mereka mengenalku..”[19] dan “rijâlun min ashâbi..(orang-orang dari sahabatku)[20] dan “aku mengetahui nama kalian dan aku mengenal wajah kalian…dan..”[21]
Ahli riddah sama sekali tidak termasuk dalam redaksi-redaksi hadis di atas, lantaran mereka bukan berasal dari kalangan sahabat. Rasulullah Saw juga tidak mengenal nama dan wajah mereka, juga tidak mengenal nama dan nasab (garis keturunan) mereka. Khususnya sebagian sahabat besar Rasulullah Saw mengakui bahwa setelah wafatnya beliau mereka menciptakan bid’ah.[22] Pengakuan-pengakuan ini dengan jelas menunjukkan bahwa bid’ah dan kemurtadan (irtidâd) yang disebutkan pada hadis-hadis telaga (haudh), bukan kemurtadan sejumlah orang yang baru memeluk Islam seperti ahli riddah.
Keempat: Poin lain yang menegaskan pendapat di atas adalah sabda Rasulullah Saw kepada Zaid bin Arqam. Ia merupakan salah seorang yang menukil hadis-hadis telagah (haudh) dari Rasulullah Saw. Tatkala ia meriwayatkan hadis dari Rasulullah Saw untuk orang-orang. Orang-orang bertanya kepadanya: Tatkala Rasulullah Saw menjelaskan hadis ini, berapa orang bersama Anda? Zaid bin Arqam menjawab, “Kira-kira 800 sampai 900 orang.”[23]
Kelima: Di samping pembahasan di atas, apabila peristiwa murtadnya sekelompok orang yang baru memeluk Islam setelah Rasulullah Saw itu diangap benar, (lantaran mereka tidak bersedia menyerahkan zakat kepada pemerintahan khalifah pertama lantas mereka dituding sebagai kafir dan murtad); maka dalam hal ini, orang-orang yang baru memeluk Islam yang berpaling dari Islam dan kembali kepada kekufuran (kafir), sekali-kali tidak dapat menjadi obyek (mishdâq) hadis telaga (haudh) di atas. Karena pada hadis-hadis telaga (haudh) dalam awal pembahasan, yang mengemuka adalah “bid’ah” sementara ahli riddah tidak melakukan bid’ah melainkan mereka meninggalkan Islam dan telah murtad. Tentu terdapat perbedaan yang menganga antara bid’ah dan kemurtadan (irtidâd). Bid’ah bermakna memasukkan sesuatu dalam agama yang bukan bagian dari agama.[24] Dan ahli riddah tidak memasukkan sesuatu ke dalam agama, melainkan mereka meninggalkan jalan dan sunnah Rasulullah Saw serta kembali kepada pikiran dan keyakinan jahiliyahnya. Dan tentu saja apa yang mereka lakukan ini adalah kemurtadan (irtidâd) bukan bid’ah.
Terkait dengan kemurtadan (irtidâd), seseorang meninggalkan agama secara keseluruhan dan kembali kepada keyakinan dan pikiran mereka sebelumnya. Sementara bid’ah, seseorang tidak meninggalkan agama melainkan ia tetap menjaga agama. Namun karena hawa nafsu, segala sesuatu yang bukan bagian dari agama ia jadikan sebagai bagian dari agama. Dan kemurtadan yang juga disinggung dalam hadis-hadis telaga adalah kemurtadan yang bersumber dari bid’ah. Artinya mereka pertama-tama memunculkan bid’ah dan bid’ah ini berujung pada kemurtadan mereka. Dan yang dimaksud dengan kemurtadan di sini adalah kembali kepada nilai-nilai jahiliyah, bukan kemurtadan dalam artian teknis teologis. Kemurtadan dalam riwayat ini terjadi dengan tetap menjaga Islam dan orang yang melakukan ini tidak tergolong sebagai kafir dalam artian teknis.
Keenam: Di dalam hadis-hadis telaga (haudh) terdapat redaksi “merubah” (tagyiir) dan mengganti” (tabdil) . “Suhqân suhqân liman gayyara ba’di.”[25] “Suhqan suhqân liman baddala ba’di.”[26]
Redaksi hadis di atas dengan tegas menunjukkan bahwa kelompok-kelompok dari kalangan sahabat setelah wafatnya Rasulullah Saw mengganti dan merubah hakikat-hakikat penting Islam. Tindakan mereka ini telah mengundang kemurkaan Allah Swt dan Rasul-Nya. Sedemikian sehingga Rasulullah Saw mencela dan mengusir mereka dengan menggunakan kalimat “suhqân.”
Banyak ulama Ahlusunnah memandang redaksi kalimat “suhqan”, “baddala”, dan “ghayyara” bermakna perubahan dalam agama dan keluar dari nilai-nilai Islam. Al-Qasthalani yang merupakan salah satu komentator Shahîh Bukhâri menulis, “Kalimat-kalimat yang disebutkan menunjukkan bahwa orang-orang yang dimaksud dalam hadis-hadis telaga adalah orang-orang yang telah merubah agamanya; karena apabila dosa mereka selain merubah nilai-nilai agama, maka Rasulullah Saw tidak akan menggunakan kalimat “suhqan” untuk mereka, melainkan berusaha memecahkan persoalan mereka dan memberikan syafaat kepada mereka.”[27]
Ketujuh: Di dalam hadis-hadis telaga disebutkan: Mereka bergerak secara qahqari (mundur ke belakang, set-back) kembali ke masa lalunya.[28] Dan juga disebutkan, “Demi Allah (mereka) berpaling dari kebenaran dan kembali ke masa lalunya.”[29] Redaksi-redaksi kalimat hadis ini juga secara lahir menunjukkan keluarnya mereka dari nilai-nilai Islam, karena masa lalu para sahabat adalah masa jahiliyah. Dan kembali ke masa seperti ini adalah keluar dari nilai-nilai Islam dan kembali kepada nilai-nilai jahiliyah.
Ibnu Hajar Asqalani dalam mengulas hadis Rasulullah Saw ini menulis, “Qauluhu: Ma barihu yarji’una ‘ala a’qabihim” ay yartaddun.[30] (Mereka kembali kepada masa lalunya artinya mereka telah murtad).
Kedelapan: Sebagaimana yang telah disebutkan, di dalam sebuah hadis telaga (haudh) disebutkan sabda Rasulullah Saw: “Aku mengira mereka tidak akan mendapatkan keselamatan, kecuali bilangan sedikit unta yang hilang dari kelompoknya.”[31]
Hadis ini, secara lugas menjelaskan bahwa sahabat yang datang menemui Rasulullah Saw di telaga Kautsar, hanya sebagian kecil, yang mendapatkan keselamatan dan kejayaan.[32] Sebagaimana yang kita saksikan, masalah kemurtadan sebagian sahabat pasca wafatnya Rasulullah Saw, tidak hanya disebutkan pada literatur-literatur Syiah saja; melainkan juga disebutkan dalam literatur-literatu paling standar Ahlusunnah.
Demikian juga sebagaimana yang telah dibahas, masalah kemurtadan para sahabat tidak bermakna bahwa mereka dulunya Syiah dan setelah Rasulullah Saw wafat, mereka beralih menjadi Sunni. Atau pada masa Rasulullah Saw mereka dulunya adalah Sunni, kemudian menjadi Syiah. Kemurtadan mereka bermakna berpalingnya mereka dari jalan dan sunnah Rasulullah Saw dan kembalinya mereka kepada pikiran dan keyakinan jahiliyah. Kendati menurut sejarah dan riwayat-riwayat Islam, hal ini merupakan perkara yang telah ditetapkan bahwa Syiah merupakan nama pertama yang muncul pada masa awal kemunculan Islam dan masa Rasululllah Saw. Dan orang yang pertama kali menyematkan nama Syiah kepada para pengikut Ali As dan menyebut mereka sebagai Syiah Ali As adalah pribadi Rasulullah Saw sendiri.[33] Orang-orang yang pertama kali disebut sebagai Syiah Ali adalah sebagian sahabat Rasulullah Saw. Abu Hatim Razi menulis, “Nama pertama yang muncul dalam Islam pada masa Rasulullah Saw adalah Syiah. Nama ini merupakan gelar bagi empat orang sahabat, yaitu Abu Dzar, Salman, Ammar dan Miqdad.”[34] [IQuest]
[1]. Syarh Shahîh Muslim, Nawawi, jil. 15-16, hal. 5 & 59; ‘Umdat al-Qâri, jil. 23, hal. 135; Syarh Shahîh Bukhâri, Kermani, jil. 23, hal. 63; Al-Tamhid, Ibnu Abdilbar, jil. 2, hal. 291.
[2]. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53, hadis 6212; Shahîh Muslim, Kitâb Fadhâil, bab 9; Mashabih al-Sunnah, Baghawi, jil. 3, hal. 537.
«انی فرطکم علی الحوض،... لیردن علی أقوام أعرفهم و یعرفوننی، ثم یحال بینی و بینهم. فأقول: انهم منی، فیقال: انک لاتدری ما أحدتوا بعدک، فأقول: سحقاً سحقاً لمن غیّر بعدی»
[3]. Ulasan hadis-hadis Bukhâri oleh Mustafa Dib al-Bugha, Shahîh Bukhâri, jil. 5, hadis 2407.
[4]. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53, hadis 6213
«یرد علی یوم القیامة رهط من أصحابی، فیجلون عن الحوض، فأقول: یا رب اصحابی؟ فیقول: انک لاعلم لک بما أحدثوا بعدک، انهم ارتدوا علی ادبارهم القهقری»
[5]. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53, hadis 2115; Lisan al-Arab, Ibnu Manzhur, jil. 15, hal. 135; Al-Targhib wa al-Tarhib, Mindzari, jil. 4, hal. 422; Al-Nihayat fi Gharib al-Hadits, Ibnu Atsir, jil. 5, hal. 274; Fath al-Bari, Ibnu Hajar, jil. 11, hal. 475; ‘Umdat al-Qari, ‘Aini, jil. 23, hal. 142; Irsyad al-Sari, Qasthalani, jil. 9, hal. 342.
«بینا أنا قائم إذا زمرة، حتی إذا عرفتهم خرج رجل من بینی و بینهم، فقال: هلم، فقلت: أین؟ قال: الی النار والله، قلت: و ماشأنهم؟ قال: إنهم ارتدوا بعدک علی أدبارهم القهقری. ثم إذا زمرة، حتی إذا عرفتهم خرج رجل من بینی و بینهم، فقال: هلم، قلت: أین؟ قال: إلی النار والله. قلت: ماشأنهم؟ قال: أنهم ارتدوا بعدک علی أدبارهم القهقری، فلا أراه یخلص منهم الا مثل همل النعم».
[6]. Diadaptasi dari Pertanyaan 1589 (Site:1980), Indeks: Makna Kemurtadan Sahabat dan Dalil-dalilnya.
[7]. Shahîh Muslim, Kitâb Fadhâil, bab 9, hadis 2295.
«انی لکم فرط علی الحوض، فایای! لایأتین أحدکم فیذب عنی کما یذب البعیر الضال، فاقول: فیهم هذا؟ فیقال: انک لاتدری ما أحدثوا بعدک، فأقول: سحقاً».
[8]. Musnad Ahmad bin Hanbal, jil. 4, hal. 79; Al-Tamhid, Ibnu Abdilbar, jil. 2, hal. 299.
«... ایها الناس أنا فرطکم علی الحوض یوم القیامة ولیرفعن الی قوم ممن صحبنی و لیمرن بهم ذات السیار فینادی الرجل یامحمد أنا فلان بن فلان و یقول آخر یا محمد أنا فلان بن فلان، فأقول: اما النسب فقد عرفته و لکنکم أحدثتم بعدی و ارتددتم علی اعقابکم القهقری».
[9]. Al-Tamhid, Ibnu Abdilbar, jil. 2, hal. 301.
«انی فنمسک بحجزکم هلم عن النار و تغلبوننی تقاحمون فیه تقاحم الفراش و الجنادب، و اوشک أن أرسل حجزکم و أفرط لکم علی الحوض و تردون علی معا و أشتاتاً، فأعرفکم بأسمائکم و سیماکم، کما یعرف الرجل، الغریبة فی ابلة، فیؤخذ بکم ذات الشمال، و أناشد فیکم رب العالمین، أی رب رهطی، أی رب امتی، فیقال انک لاتدری ما أحدثوا بعدک، انهم کانوا یمشون القهقری».
[10]. Bihâr al-Anwâr, jil. 23, hal. 352.
«قلت لأبی عبدالله (ع): ارتد الناس الاّ ثلاثة: ابوذر و سلمان و المقداد؟ قال ابوعبدالله: فأین أبو ساسان و ابوعمرة الأنصاری».
[11]. Al-Nihâyat fî Gharib al-Hadits, Ibnu Atsir, jil. 1, hal. 351.
[12]. Sunan Ibnu Majah, Muqaddamah, bab 7, hadis 49.
[13]. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53; Shahîh Muslim, Kitâb Fadhâil, bab 9.
[14]. Al-Ishâbat fii Tamyizz al-Shahâba, Ibnu Hajar, jil. 1, hal. 4.
[15]. Mu’jam Alfâz al-Qur’ân, hal. 382; Usud al-Ghabah, Ibnu Atsir, jil. 1, hal. 26.
[16]. Usud al-Ghabah fii Ma’rifat al-Shahabah, jil. 1, hal. 25; Fath al-Bâri, jil. 7, hal. 4.
[17]. Al-Nihâyat fî Gharib al-Hadits, Ibnu Atsir, jil. 1, hal. 351.
[18]. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53; Shahîh Muslim, Kitâb Fadhâil, bab 9
[19]. Ibid.
[20]. Ibid.
[21]. Al-Tamhid, Ibnu ‘Abdilbarr, jil. 2, hal. 301.
«... فاعرفکم باسمائکم و سیماکم...»
[22]. Al-Ma’ârif, Ibnu Qutaibah, hal. 134; Shahîh Bukhâri, Kitab Maghazi, bab 33
[23]. Mustadrak, Hakim Naisyaburi, jil. 1, hal. 76 dan 77; Talkhish al-Mustadrak, Dzahabi, jil. 1, hal. 76 dan 77; Mashâbih al-Sunnah, Baghawi, jil. 3, hal. 551; Mu’jam Kabir, Thabarani, jil. 5, hal. 175 & 176.
[24]. Mu’jam Mufrâdat Alfâz Al-Qur’ân, Raghib Isfahani, hal. 198. .
[25]. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53 & Kitab Fitan, bab 1; Shahîh Muslim, Kitâb Fadhâil, bab 9.
[26]. Ibid.
[27]. Irsyâd al-Sâri, jil. 9, hal. 240; Syarh Shahih Muslim, Nawawi, jil. 15, hal. 60.
[28]. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53.
[29] . Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53 dan Kitâb Fitan, bab 1; Shahîh Muslim, Kitâb Fadhâil, bab 9.
«... هل شعرت ماعملوا بعدک؟ والله مابرحوا یرجعون علی أعقابهم».
[30]. Fath al-Bâri, jil. 11, hal. 476; Al-Nihâyat fî Gharib al-Hadits, jil. 4, hal. 129.
[31]. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53, hadis 2115.
«... فلا اراه یخلص منهم الا مثل همل النعم»
[32]. Irsyâd al-Sâri, jil. 9, hal. 342; ‘Umdat al-Qâri, jil. 23, hal. 142.
[33]. Durr al-Mantsur, Suyuthi, jil. 8, hal. 589, Dar al-Fikr; Tadzkirat al-Khawwâs, Sibth ibn Jauzi, hal. 56; Hilyat al-Awliyâ, Abu Nu’aim, jil. 4, hal. 329; Târikh Baghdâdi, jil. 12, hal. 289.
[34]. Khuthath al-Syâm, Muhammad Kerd ‘Ali, jil. 6, hal. 245.