Please Wait
14822
Salah satu sebab banyaknya jatah warisan pria dibanding dengan saham wanita adalah bahwa nafkah wanita berada di pundak pria. Artinya pria di samping harus menyiapkan uang belanja untuk dirinya ia juga memiliki tugas untuk menyiapkan biaya hidup bagi wanita (istri) dan anak-anaknya. Di sisi lain, pria adalah pihak yang memberikan mahar dan pihak wanita yang menerimanya.
Sejatinya dapat diklaim bahwa apa yang didapatkan oleh wanita melalui warisan dan mahar merupakan tabungan baginya. Sementara pada saham warisan pria, semata digunakan untuk biaya hidupnya, istri dan anak-anaknya.
Di samping itu, dalam syariat Islam, tugas-tugas diletakkan di pundak pria yang mengaharuskan baginya untuk menggunakan harta. Seperti biaya-biaya yang harus diserahkan oleh pria di
Kendati secara lahir, saham pria dua kali lipat saham wanita namun pada tataran praktik dan amal, manfaat yang diperoleh dari harta-harta masyarakat sejatinya lebih kurang dari wanita. Mengingat pria lebih banyak mengambil warisan, maka tanggung jawab yang dipikulnya lebih besar. Dalam satu kalimat dapat dikatakan bahwa sebab perbedaan warisan pria dan wanita adalah untuk menciptakan keseimbangan antara hak-hak dan kewajiban masing-masing dari mereka.
Sebelum menjawab pertanyaan di atas kiranya perlu diingatkan di sini bahwa kaidah dua kali lipatnya saham pria atas saham wanita bukan merupakan kaidah universal. Lantaran dalam syara’ dan qanun terdapat beberapa perkara dimana dalam urusan pewarisan tidak terdapat perbedaan antara pria dan wanita. Seperti ayah dan ibu mayat dimana keduanya menerima warisan seukuran dan tidak terdapat perbedaan di antara keduanya.
Semenjak lampau, pertanyaan ini mengemuka terkait mengapa warisan wanita setengah dari warisan pria. Apakah perlakuan ini tergolong sebagai jenis diskriminasi yang menguntungkan pria? Dalam sebuah riwayat yang dinukil dari Imam Shadiq, beliau ditanya tentang mengapa wanita yang, nota-bene, lebih lemah dan lebih membutuhkan dukungan, harus menerima satu saham warisan dan pria yang dari sisi kekuatan badan dan fisik lebih kuat daripada wanita, harus memperoleh dua saham warisan?
Imam As dalam menjawab pertanyaan ini bersabda, “Karena pria lebih banyak taklifnya dan tanggung jawab yang dibebankan dipundaknya lebih besar. Pria harus berjihad dan harus menanggung biaya yang dikeluarkan untuk keperluan ini, pria di samping biaya-biaya hidupnya sendiri, ia juga harus menanggung biaya hidup istrinya. Pria tergolong sesepuh atau yang dituakan (‘âqilah) dan ia harus menyerahkan sejumlah uang akibat tindakan kriminal yang dilakukan secara tidak sengaja oleh kerabatnya. Sementara wanita tidak memikul tugas sedemikian.”[1]
Dari riwayat yang lain dinukil dari Imam Shadiq As menegaskan bahwa penyerahan mahar dari pihak pria kepada wanita adalah untuk menebus kekurangan warisan yang diterima wanita.[2]
Apa yang dijelaskan dalam Islam pada bab warisan sejatinya merupakan sebuah revolusi yang menguntungkan pihak wanita. Pada masa jahiliyyah, wanita dan putri-putri mayat tidak mendapatkan warisan. Seluruh warisan mayat beralih kepada putra-putra mayat. Namun Islam datang dan menganulir aturan-aturan jahiliyah ini[3] dan kaum wanita ditempatkan pada jejeran penerima warisan mayat. Dan semenjak awal kemunculannya, Islam menganugerahkan kemandirian dalam kepemilikan dan pengelolaan harta kepada wanita. Sebuah perkara yang akhir-akhir ini dan dua kurun terakhir secara perlahan dicantumkan dalam aturan-aturan negara-negara Eropa.
Kendati secara lahir warisan pria dua kali lipat warisan wanita, namun dengan ketelitian lebih akan menjadi jelas bahwa dari satu sisi, warisan kaum wanita adalah dua kali lebih banyak dari warisan kaum pria dan hal ini dikarenakan sokongan Islam terhadap hak-hak wanita.
Tugas-tugas yang dibebankan di pundak kaum pria menjadi sebab dalam praktik, setengah dari penghasilannya diserahkan kepada kaum wanita.
Pria harus menyediakan biaya hidup istrinya sesuai dengan keperluannya terhadap papan, pangan, pakaian dan pelbagai keperluan lainnya. Demikian juga biaya hidupnya sendiri dan anak-anaknya. Bahkan apabila kedudukan wanita dan posisinya menuntut menggunakan pelayan dan ia juga mampu menyerahkan upah pelayan tersebut, maka upah pelayan tersebut kembali dalam tanggungan pria.[4]
Dengan penjelasan ini, menjadi terang bahwa banyaknya warisan wanita, adalah keniscayaan keseimbangan dan kesepadanan antara kekayaan pria dan wanita. Dan apabila terdapat kritikan dan protes maka hal itu harus berasal dari pihak pria bukan pihak wanita.[5]
Di hadapan tugas-tugas yang dipikul oleh pria, wanita terbebas untuk tidak membayar biaya apa pun. Dan bahkan pemenuhan biaya-biaya hidupnya seperti makanan, pakaian, papan dan sebagainya wanita tidak menanggung tanggung jawab apa pun. Karena itu, dalam tataran praktik, sebenarnya wanitalah yang lebih banyak mendapatkan harta. Dalam Tafsir Nemune sebuah contoh dijelaskan yang bermanfaat untuk menerangkan masalah ini. Misalnya apabila total harta yang terdapat di dunia sejumlah Rp. 30 Miliar yang didapatkan melalui warisan, secara perlahan dibagikan kepada seluruh kaum pria dan wanita di dunia (putra dan putri), dari harta ini Rp. 20 Miliar diperuntukkan bagi pria dan Rp. 10 Miliar bagi wanita. Wanita sebagaimana normalnya menikah dan biaya hidupnya akan ditanggung oleh kaum pria. Dan atas alasan ini, kaum wanita dapat menabung Rp. 10 Miliar hartanya dan ia berserikat dengan kaum pria secara praktis dalam Rp. 20 Miliar. Karena jatah pria, biaya hidup untuk wanita dan anak-anak. Karena itu sejatinya setengah dari jatah pria yang berjumlah Rp. 10 Miliar diperuntukkan bagi wanita. Dengan menambah sejumlah uang ini dengan uang tabungan wanita sebanyak Rp. 10 Miliar, maka total yang diperoleh wanita adalah Rp. 20 Miliar.[6]
Dengan memperhatikan beberapa matlab yang telah disebutkan di atas beberapa sebab atas setengahnya warisan wanita dapat diringkas dalam tiga bagian:
1. Mahar: Tatkala dibacakan akad nikah, pria bertugas menyiapkan mahar yang pantas untuk wanita sehingga kapan saja wanita calon istrinya menuntut mahar tersebut maka mahar tersebut harus diserahkan kepadanya. Kalau tidak demikian, maka wanita sama sekali tidak memiliki tugas untuk memenuhi kewajibannya (hubungan seksual) di hadapan suami. Karena itu, semenjak awal dimulainya kehidupan, pria secara syari’i bertugas menyiapkan mahar untuk wanita dan hal ini merupakan salah satu sebab yang disinggung dalam sebagian sabda para maksum As.[7]
2. Nafkah: Dalam kehidupan suami-istri, pria bertugas di samping menyiapkan biaya hidupnya, ia juga menanggung biaya hidup anak dan istrinya. Menyiapkan makanan, pakaian dan papan yang pantas dan sesuai dengan kedudukan wanita tersebut adalah salah satu tugas pria. Sekiranya wanita memiliki sejumlah besar harta, ia sama sekali tidak memiliki tanggung jawab untuk menyediakan biaya hidupnya dan anak-anaknya. Wanita tidak hanya terlepas dari beban harta dalam kehidupan suami-istri, namun juga apabila ia ingin, ia memiliki hak untuk menerima bayaran dari suaminya atas pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan di rumah seperti menyusui anak, memasak, mencuci dan sebagainya.
3. Tugas-tugas khusus pria: Pelbagai tanggung jawab yang diletakkan di pundak pria dimana wanita terbebas dalam hal ini misalnya: jihad di jalan Allah dan sebagainya, pria harus dengan jiwa dan hartanya turun di
Anda perhatikan bahwa Islam tidak ingin menetapkan aturan untuk kepentingan wanita dan merugikan pria atau untuk kepentingan pria dan merugikan wanita. Islam tidak berpihak kepada pria dan juga tidak berpihak pada wanita. Islam dalam aturan-aturannya memperhatikan kebahagiaan pria, wanita dan anak-anaknya yang dididik dalam pangkuan mereka dan juga kebahagiaan masyarakat manusia.[9]
Bagaimanapun, Islam berdasarkan tugas dan kewajiban ekonomi dan finansial yang diletakkan di pundak pria, membagi kekayaan dalam kondisi yang beragama dan di antaranya adalah masalah warisan dan tidak satu pun dari masalah ini terdapat diskriminasi.
Dari satu sisi, seperangkat kaidah dan aturan tentang wanita dan pria terdapat dalam Islam, menyebabkan aturan-aturannya dalam masalah warisan dan sebagainya berada dalam bentuk khusus dan hal ini tidak dapat menjadi obyek kritikan terhadap aturan-aturan sipil Islam.
Minimal dapat dikatakan bahwa apabila demikian bahwa biaya hidup wanita berada di pundak pria, lalu untuk apa lagi memiliki harta dan kekayaan?
Dalam menjawab pertanyaan ini dapat dikatakan bahwa mahar dan warisan wanita sebagai tabungan masa depannya dimana apabila ia berpisah dari suaminya atau suaminya meninggal, ia memiliki tabungan untuk mengatur hidupnya.[10] Dan dengan tenang dan penuh kemuliaan dapat melanjutkan hidupnya.
Namun terkait nafkah wanita ditanggung pria adalah supaya wanita tidak merasa risau dan kuatir membina dan mendidik anak-anaknya sehingga menjadi tunas masyarakat serta mempersiapkan kehangatan rumah tangga yang merupakan mutiara terpendam dalam masayarakat.
Sebagai penutup kami mengajak pembaca menyimak poin yang satu ini bahwa kapan saja nampak perlu menolong wanita atau putri, berdasarkan kondisi khusus, dalam kondisi seperti ini pemilik harta dengan memenej yang diatur dalam syariat, dapat digunakan untuk menyokong orang yang dimaksud. Artinya apabila seorang ayah memandang perlu menolong lebih banyak kepada putrinya, pada masa hidupnya ia dapat menghibahkan hartanya kepada putrinya atau sepertiga dari hartanya. Sejumlah harta yang lebih banyak dari saham warisan ia wasiatkan kepada putrinya.[]
[1]. Hurr ‘Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 26, hal. 93, Ali al-Bait. Syaikh Thusi, Tahdzib al-Ahkam, jil. 9, hal. 174 & 254, Dar al-Kitab al-Islamiyah. Al-Kâfi, jil. 7, hal. 85.
[2]. Syaikh Shaduq, ‘Ilal al-Syarâ’i, jil. 2, hal. 57, Dar al-Kitab al-Islamiyah, 1365.
[3]. Abu al-Fath Razi, Tafsir Raudh al-Jinân, jil. 10, hal. 268, Bunyad Pazuhesy Islami Ustan-e Radhawi.
[4]. Maryam Sawiji, Huquq Zan dar Islâm wa Khânewâdeh, hal. 113, cap-e Duwwum, Mujarrad, 1371.
[5]. Muhammad Husain Fadhlullah, Naqsy-e wa Jâigah-e Zan dar Huquq-e Islâmi, terjemahan ‘Abdulhadi Faqihi Zade, Nasyr-e Dadgastar, hal. 23.
[6]. Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 3, hal. 288, Dar al-Kitab al-Islamiyah.
[7]. Muhammad bin Ridha al-Qumi al-Masyhadi, Kanz al-Daqâ’iq, jil. 3, hal. 343, Cap-e Wizarat-e Irsyad.
[8]. Qadhi Thaba-thabai, Tahqiq dar Irts Zan az Dârâi Syuhar, Mihan, 1353, hal. 143.
[9]. Murtadha Muthahhari, Nizhâm Huquq Zan dar Islâm, hal. 253, Nasyr-e Farhangg-e Islami, Cap-e Awwal, 1353.
[10]. Sayid Mahmud Thaleqani, Partui az Qur’ân, jil. 6, hal. 90, Nasyr-e