Please Wait
Hits
13710
13710
Tanggal Dimuat:
2013/03/17
Kode Site
id22014
Kode Pernyataan Privasi
32095
- Share
Ringkasan Pertanyaan
Kenapa Syiah menerima sebagian hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari yang nota bene tidak sesuai dengan keyakinan mereka dan menolak sebagian lainnya?
Pertanyaan
Kenapa Syiah menerima beberapa hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari tetapi menolak sebagian lainnya? Sekiranya benar Syiah mnolak keIslaman Bukhari sebagai perawi Adakah Syiah sekadar mengambil sesuatu Ilmu Islam yang bersesuaian dengan ajaran Syiah saja dan menolak sebagian yang lain walau pun diriwayatkan oleh perawi yang sama?
Jawaban Global
Salah satu kumpulan hadis kaum Muslimin adalah al-Jâmi' al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umur Rasulillâh Shallallahu 'alaihi Wasallam wa Sunanihi wa Ayyamihi yang lebih dikenal sebagai "Shahih Bukhâri" yang berasal dari mazhab Ahlusunnah.
Meski ada pembelaan Bukhari terkait dengan keabsahan riwayat-riwayat dalam kitabnya dan juga penegasan banyak ulama Ahlusunnah yang memandang Shahih Bukhari sebagai kitab paling shahih Bukhari setelah al-Quran, terdapat kritikan yang patut mendapat perhatian dari sebagian ulama Sunni dan ulama Syiah atas kitab hadis ini; seperti kritikan banyaknya nukilan secara makna dalam kitab ini, di samping itu kelemahan rijalinya dan kandungannya.
Orang-orang Syiah memilliki satu prinsip dan kriteria rasional dalam menerima atau menolak satu riwayat dan bagi Syiah dalam prinsip dan kriteria-kriteria ini; tidak bersandar pada status mazhab "Syiah" atau Sunni seorang perawi dalam menerima atau menolak sebuah riwayat.
Karena itu, ulama Rijal dan hadis Syiah; seluruh kitab – bahkan kitab-kitab empat (kutub al-Arba'ah) – tetap dikaji dan dianalisa serta tidak memberikan label sahih pada empat kitab induk ini. Kitab Bukhari juga tidak terkecualikan dalam hal ini. Di samping itu, terdapat banyak riwayat dari kitab ini yang dinukil dan diterima dalam karya-karya ulama terdahulu dan terkemudian Syiah.
Meski ada pembelaan Bukhari terkait dengan keabsahan riwayat-riwayat dalam kitabnya dan juga penegasan banyak ulama Ahlusunnah yang memandang Shahih Bukhari sebagai kitab paling shahih Bukhari setelah al-Quran, terdapat kritikan yang patut mendapat perhatian dari sebagian ulama Sunni dan ulama Syiah atas kitab hadis ini; seperti kritikan banyaknya nukilan secara makna dalam kitab ini, di samping itu kelemahan rijalinya dan kandungannya.
Orang-orang Syiah memilliki satu prinsip dan kriteria rasional dalam menerima atau menolak satu riwayat dan bagi Syiah dalam prinsip dan kriteria-kriteria ini; tidak bersandar pada status mazhab "Syiah" atau Sunni seorang perawi dalam menerima atau menolak sebuah riwayat.
Karena itu, ulama Rijal dan hadis Syiah; seluruh kitab – bahkan kitab-kitab empat (kutub al-Arba'ah) – tetap dikaji dan dianalisa serta tidak memberikan label sahih pada empat kitab induk ini. Kitab Bukhari juga tidak terkecualikan dalam hal ini. Di samping itu, terdapat banyak riwayat dari kitab ini yang dinukil dan diterima dalam karya-karya ulama terdahulu dan terkemudian Syiah.
Jawaban Detil
Mengenal dan memperkenalkan kumpulan-kumpulan hadis (jawâmi' hadis)[1] Syiah dan Sunni sebagai cabang dari sejarah hadis, secara umum kitab-kitab dan karya-karya yang merekonstruksi studi-studi tentang hadis, sebagai satu kepentingan mendesak y ang tidak dapat dihindari.
Salah satu dari kumpulan hadis kaum Muslimin dari kalangan Ahlusunnah adalah al- al-Jâmi' al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umur Rasulillâh Shallallahu 'alaihi Wasallam wa Sunanihi wa Ayyamihi yang lebih dikenal sebagai "Shahih Bukhâri." Pada kesempatan ini, kita akan meninjau secara ringkas terhadap biografi penulisnya yaitu Bukhari dan kitab hadisnya sehingga menjadi jelas dimana dan mengapa ulama Syiah terkadang tidak menerima sebuah riwayat dari kitab Shahih Bukhari. Hanya bersandar pada dalil-dalil hadis dan semata-mata status sebagai Muslim tidak akan menjadi dalil bagi kita untuk menerima seluruh pemikiran dan tulisannya.
Memperkenalkan Muhammad bin Ismail Bukhari
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Bukhari lahir pada tahun 194 H di kota Bukhara.[2] Ia melewati sebagian dari usianya dengan belajar di kotanya sendiri dan untuk melanjutkan pelajarannya dan belajar dari guru-guru (masyaikh) hadis ia melakukan perjalanan ke beberapa kota terkenal seperti Khurasan (Iran), Irak (Bashrah), Hijaz (Mekah dan Madinah) dan Syam (Suriah).[3]
Ia juga sering pergi ke kota Baghdad dan disebabkan ia banyak memiliki hadis dan mahir dalam bidang ilmu hadis, ia mendapatkan penghormatan ulama semasanya.[4] Bukhari belajar hadis dari ulama masyhur seperti Makki bin Ibrahim Balkhi, Ali bin Al Madini, Yahya bin Ma'in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Abu Ashim al-Syaibani,[5] Ishaq bin Rahwahi,[6] dan Ahmad bin Hanbal.[7]
Bukhari wafat pada tahun 256 H[8] di desa Khartand salah satu desa di Samarkand.[9]
Motivasi Bukhari dalam menulis kitab Shahih
Bukhari sendiri ketika berbicara tentang alasannya menulis Shahih berkata, "Suatu hari saya berada di sisi guru saya Ishak bin Rahwahi yang berkata, "Alangkah baiknya sekiranya kita menyediakan kitab ringkasan tentang sunnah Nabi!" Hal ini menarik hatiku dan mulai menghimpun kumpulan riwayat sahih dan kitab sahih saya kumpulkan dari enam ratus riwayat."[10]
Ia berkata, "Saya menghapal seratus ribu hadis sahih dan dua ratus ribu hadis non-sahih."[11] dan hal ini menunjukkan banyaknya riwayat dan juga lemah dan palsunya kebanyakan hadis lainnya dari riwayat-riwayat pada masa Bukhari.[12]
Bukhari memilih riwayat-riwayat berdasarkan syarat-syarat periwayatannya yang antara lain, "Bersambungnya sanad hingga level sahabat, keadilan ('adâlah), kredibilitas para perawi (baca:dhabit).[13] Meski Bukhari tidak menyatakan metode periwayatannya ini secara lugas, namun syarat-syarat ini sebagai metode periwayatannya dapat disimpulkan dari kitabnya.[14]
Kedudukan Shahih Bukhari di kalangan Ahlusunnah
Shahih Bukhâri memiliki kedudukan sangat istimewa di kalangan ulama Ahlusunnah, sedemikian sehingga Shahih Bukhâri dipandang laksana al-Quran dan kitab paling sahih setelah Kitabullah.
Syafi'i berkata, "Kitab hadis pertama adalah Shahih Bukhâri dan setelah itu adalah Shahih Muslim dan kedua kitab ini merupakan kitab paling sahih setelah a-Quran."[15]
Nawawi berkata, "Ulama dengan suara bulat meyakini bahwa kitab paling sahih setelah al-Quran adalah Shahih Bukhâri dan Shahih Muslim. Umat seluruhnya menerima dua kitab ini. Kitab Bukhari dibandingkan dengan Shahih Muslim lebih sahih dan lebih banyak manfaatnya."[16]
Dua pernyataan yang disampaikan oleh ulama dan ahli hadis paling terkenal Ahlusunnah sehingga dapat disimpulkan bahwa semuanya memandang Shahih Bukhâri merupakan kitab paling standar setelah al-Quran dan menyebut Shahih Muslim pada level ketiga."[17]
Akan tetapi terdapat beberapa faktor yang membuat Shahih Bukhâri menyandang kedudukan tinggi di kalangan ulama Ahlusunah; faktor-faktor seperti kepribadian penyusun, sebagai kitab senior, ketelitian dan kehati-hatian dalam penulisan kitab ini.[18]
Shahih Bukhâri dan beberapa kritikan
Meski ada pembelaan Bukhari terkait dengan keabsahan riwayat-riwayat dalam kitabnya dan juga penegasan banyak ulama Ahlusunnah yang memandang Shahih Bukhâri sebagai kitab paling sahih setelah al-Quran, namun terdapat kritikan yang patut mendapat perhatian dari sebagian ulama Sunni dan ulama Syiah atas kitab hadis ini. Berikut ini kami akan sampaikan beberapa kritikan yang dilontarkan oleh sebagian ulama Sunni dan Syiah sebagai contoh:
Salah satu dari kumpulan hadis kaum Muslimin dari kalangan Ahlusunnah adalah al- al-Jâmi' al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umur Rasulillâh Shallallahu 'alaihi Wasallam wa Sunanihi wa Ayyamihi yang lebih dikenal sebagai "Shahih Bukhâri." Pada kesempatan ini, kita akan meninjau secara ringkas terhadap biografi penulisnya yaitu Bukhari dan kitab hadisnya sehingga menjadi jelas dimana dan mengapa ulama Syiah terkadang tidak menerima sebuah riwayat dari kitab Shahih Bukhari. Hanya bersandar pada dalil-dalil hadis dan semata-mata status sebagai Muslim tidak akan menjadi dalil bagi kita untuk menerima seluruh pemikiran dan tulisannya.
Memperkenalkan Muhammad bin Ismail Bukhari
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Bukhari lahir pada tahun 194 H di kota Bukhara.[2] Ia melewati sebagian dari usianya dengan belajar di kotanya sendiri dan untuk melanjutkan pelajarannya dan belajar dari guru-guru (masyaikh) hadis ia melakukan perjalanan ke beberapa kota terkenal seperti Khurasan (Iran), Irak (Bashrah), Hijaz (Mekah dan Madinah) dan Syam (Suriah).[3]
Ia juga sering pergi ke kota Baghdad dan disebabkan ia banyak memiliki hadis dan mahir dalam bidang ilmu hadis, ia mendapatkan penghormatan ulama semasanya.[4] Bukhari belajar hadis dari ulama masyhur seperti Makki bin Ibrahim Balkhi, Ali bin Al Madini, Yahya bin Ma'in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Abu Ashim al-Syaibani,[5] Ishaq bin Rahwahi,[6] dan Ahmad bin Hanbal.[7]
Bukhari wafat pada tahun 256 H[8] di desa Khartand salah satu desa di Samarkand.[9]
Motivasi Bukhari dalam menulis kitab Shahih
Bukhari sendiri ketika berbicara tentang alasannya menulis Shahih berkata, "Suatu hari saya berada di sisi guru saya Ishak bin Rahwahi yang berkata, "Alangkah baiknya sekiranya kita menyediakan kitab ringkasan tentang sunnah Nabi!" Hal ini menarik hatiku dan mulai menghimpun kumpulan riwayat sahih dan kitab sahih saya kumpulkan dari enam ratus riwayat."[10]
Ia berkata, "Saya menghapal seratus ribu hadis sahih dan dua ratus ribu hadis non-sahih."[11] dan hal ini menunjukkan banyaknya riwayat dan juga lemah dan palsunya kebanyakan hadis lainnya dari riwayat-riwayat pada masa Bukhari.[12]
Bukhari memilih riwayat-riwayat berdasarkan syarat-syarat periwayatannya yang antara lain, "Bersambungnya sanad hingga level sahabat, keadilan ('adâlah), kredibilitas para perawi (baca:dhabit).[13] Meski Bukhari tidak menyatakan metode periwayatannya ini secara lugas, namun syarat-syarat ini sebagai metode periwayatannya dapat disimpulkan dari kitabnya.[14]
Kedudukan Shahih Bukhari di kalangan Ahlusunnah
Shahih Bukhâri memiliki kedudukan sangat istimewa di kalangan ulama Ahlusunnah, sedemikian sehingga Shahih Bukhâri dipandang laksana al-Quran dan kitab paling sahih setelah Kitabullah.
Syafi'i berkata, "Kitab hadis pertama adalah Shahih Bukhâri dan setelah itu adalah Shahih Muslim dan kedua kitab ini merupakan kitab paling sahih setelah a-Quran."[15]
Nawawi berkata, "Ulama dengan suara bulat meyakini bahwa kitab paling sahih setelah al-Quran adalah Shahih Bukhâri dan Shahih Muslim. Umat seluruhnya menerima dua kitab ini. Kitab Bukhari dibandingkan dengan Shahih Muslim lebih sahih dan lebih banyak manfaatnya."[16]
Dua pernyataan yang disampaikan oleh ulama dan ahli hadis paling terkenal Ahlusunnah sehingga dapat disimpulkan bahwa semuanya memandang Shahih Bukhâri merupakan kitab paling standar setelah al-Quran dan menyebut Shahih Muslim pada level ketiga."[17]
Akan tetapi terdapat beberapa faktor yang membuat Shahih Bukhâri menyandang kedudukan tinggi di kalangan ulama Ahlusunah; faktor-faktor seperti kepribadian penyusun, sebagai kitab senior, ketelitian dan kehati-hatian dalam penulisan kitab ini.[18]
Shahih Bukhâri dan beberapa kritikan
Meski ada pembelaan Bukhari terkait dengan keabsahan riwayat-riwayat dalam kitabnya dan juga penegasan banyak ulama Ahlusunnah yang memandang Shahih Bukhâri sebagai kitab paling sahih setelah al-Quran, namun terdapat kritikan yang patut mendapat perhatian dari sebagian ulama Sunni dan ulama Syiah atas kitab hadis ini. Berikut ini kami akan sampaikan beberapa kritikan yang dilontarkan oleh sebagian ulama Sunni dan Syiah sebagai contoh:
- Tidak sempurnanya kitab ini ditulis pada masa hidup Bukhari: Abu al-Walid Baji dalam mukadimmah kitabnya "Fi Asma Rijâl al-Bukhâri" menulis, "Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad Mustamili berkata, "Saya mengopi kitab Bukhari dari naskah asli yang berada di tangan Muhammad bin Yusuf Faryabi dan menjumpai beberapa hal yang belum tuntas, masih belum memiliki halaman, sebagian nama perawi yang tidak memiliki riwayat hidup atau hadis-hadis yang kondisinya tidak jelas."[19]
- Banyaknya nukilan secara makna dalam kitab ini: Meski menukil secara makna dengan menjaga seluruh pakem dipandang boleh oleh para pemimpin agama namun hal ini tidak bermakna keungulan riwayat-riwayat yang mengandung nukilan secara makna atas riwayat-riwayat yang didalamnya menyebutkan nash redaksi-redaksi maksum; karena boleh jadi dalam nukilan secara makna telah menghilangkan pelbagai indikasi-indikasi lafzi atau secara dasar disebabkan kesalahapahaman periwayat menukil riwayat secara keliru. Karena itulah mengapa nukilan secara makna dinilai sebagai sebuah kekurangan dan memiliki cela.[20] Apa yang dikatakan tentang Bukhari menunjukkan klaim ini bahwa ia menulis riwayat-riwayat tanpa bersandar pada tulisan-tulisan dan semata-mata bersandar pada hafalannya serta mengandalkan metode nukilan secara makna.[21]
Khatib Baghdad dalam hal ini mengutip sendiri dari Bukhari, "Boleh jadi saya mendengar sebuah riwayat di Bashrah dan saya menulisnya di Syam. Dan boleh jadi saya mendengar sebuah riwayat di Syam kemudian menulisnya di Bashrah! Dikatakan kepadanya, "Apakah engkau menulisnya secara utuh? Ia tidak menjawab dan hanya diam."[22]
Muhammad bin Azhar Sajistani berkata, "Saya hadir di majelis pelajaran Sulaiman bin Harb dan Bukhari bersama kami mendengarkan pelajarannya namun ia tidak menulis (pelajaran itu). Sebagian hadirin bertanya, "Mengapa Bukhari tidak menulis?" "Tatkala saya pulang ke Bukhara saya akan menulisnya berdasarkan hafalanku."[23] Jawab Bukhari.
Diamnya Bukhari bermakna ia sendiri menerima bahwa meski ia memiliki hafalan kuat namun tidak mampu merefleksikan seluruh lafaz riwayat yang ia dengarkan dan terkadang sebagian besar riwayat itu ia tulis berdasarkan nukilan secara makna. Metode seperti ini tentu saja akan mengurangi bobot pekerjaan, bahkan hal ini tidak dapat diterima bagi orang-orang yang menyertai Bukhari.
Muhammad bin Azhar Sajistani berkata, "Saya hadir di majelis pelajaran Sulaiman bin Harb dan Bukhari bersama kami mendengarkan pelajarannya namun ia tidak menulis (pelajaran itu). Sebagian hadirin bertanya, "Mengapa Bukhari tidak menulis?" "Tatkala saya pulang ke Bukhara saya akan menulisnya berdasarkan hafalanku."[23] Jawab Bukhari.
Diamnya Bukhari bermakna ia sendiri menerima bahwa meski ia memiliki hafalan kuat namun tidak mampu merefleksikan seluruh lafaz riwayat yang ia dengarkan dan terkadang sebagian besar riwayat itu ia tulis berdasarkan nukilan secara makna. Metode seperti ini tentu saja akan mengurangi bobot pekerjaan, bahkan hal ini tidak dapat diterima bagi orang-orang yang menyertai Bukhari.
- Riwayat-riwayat yang bersanad lemah: Meski terkait dengan riwayat yang yang dikumpulkan Bukhari dalam Shahih disebutkan, "Kullu man ruwiya 'anhu al-Bukhari faqad jawaza al-qanthara;[24] (Siapa saja yang dinukil oleh Bukhari maka ia telah melewati jembatan (jarh dan ta'dil ahli Rijal)."[25] Namun fakta menunjukkan bahwa ia banyak meriwayatkan hadis-hadis dari orang-orang fasik, fajir, khawârij dan nashibi, dan dari orang-orang yang menjual agama untuk dunianya; orang-orang seperti Amru bin Ash, Marwan bin Hakam, Abu Sufyan, Muawiyah, Mughirah bin Syu'bah dan lain sebagainya. Namun Bukhari sama sekali tidak menukil hadis dari orang-orang lurus dan merupakan sumber mata air pengetahuan Islam serta guru-guru budaya Islam dan hadis, atau apabila ia menukilnya maka hadis-hadis tersebut berjumlah sangat minim dibanding dengan yang lain.[26]
Salah satu kritikan utama Syiah terhadap Shahih Bukhâri adalah bahwa nukilan riwayat melalui jalur para Imam Syiah dan anak-anak mereka sangat kurang. Meski Bukhari semasa dengan minimal dua orang dari Imam Syiah yaitu Imam Hadi As dan Imam Askari As namun ia hanya meriwayatkan beberapa gelintir hadis dari Amirul Mukminin Ali As, Imam Hasan Mujtaba As dan Imam Baqir As. Sebagai bandingannya, riwayat-riwayat dari orang-orang Khawarij dan Nashibi seperti Ikrimah dan Imran bin Hatthan yang bahkan kebanyakan ahli hadis Sunni melemahkan mereka, disebutkan dalam sanad-sanad hadis-hadis Bukhari.
Terlepas dari ulama Syiah, Shahih Bukhâri juga mendapatkan kritikan dari pembesar Ahlusunnah karena lemah dalam menyebutkan perawi-perawi. Dalam hal ini kami hanya akan mencukupkan diri dengan menyebutkan dua contoh sebagai berikut:
Ibnu Hajar Askalani berkata, "Para penghafal meragukan 110 hadis Bukhari dan memandangnya tidak sahih serta delapan puluh orang dari empat ratus periwayat yang secara eksklusif disebutkan dalam Bukhari telah dilemahkan."[27]
Ibnu Shalah berkata, "Bukhari berargumentasi dengan bersandar pada orang-orang seperti Ikrimah, Musa bin Abbas, Ismail bin Abi Uwais, Ashim bin Ali, Amru bin Marzuq dan lainnya dimana orang lain sebelum Bukhari telah mencela (jarh) mereka."[28]
Terlepas dari ulama Syiah, Shahih Bukhâri juga mendapatkan kritikan dari pembesar Ahlusunnah karena lemah dalam menyebutkan perawi-perawi. Dalam hal ini kami hanya akan mencukupkan diri dengan menyebutkan dua contoh sebagai berikut:
Ibnu Hajar Askalani berkata, "Para penghafal meragukan 110 hadis Bukhari dan memandangnya tidak sahih serta delapan puluh orang dari empat ratus periwayat yang secara eksklusif disebutkan dalam Bukhari telah dilemahkan."[27]
Ibnu Shalah berkata, "Bukhari berargumentasi dengan bersandar pada orang-orang seperti Ikrimah, Musa bin Abbas, Ismail bin Abi Uwais, Ashim bin Ali, Amru bin Marzuq dan lainnya dimana orang lain sebelum Bukhari telah mencela (jarh) mereka."[28]
- Lemahnya kandungan riwayat Bukhari: Terlepas dari beberapa kritikan yang telah disebutkan di atas kritikan terpenting yang dapat dilontarkan atas Shahih Bukhari adalah nukilan riwayat-riwayat yang dari sisi mana pun bertentangan dengan budaya dan ajaran al-Quran, Rasulullah Saw dan Ahlulbait As bahkan pandangan sebagian ulama besar Ahlusunnah. Tanpa ragu apabila kita mengklaim bahwa Shahih Bukhâri sangat memainkan peran penting dalam proses pembentukan pemikiran-pemikiran keliru teologis, fikih dan menjauhkan umat Islam dari budaya murni Islam dan al-Quran sebagai literatur riwayat terpenting maka klaim ini bukanlah pepesan kosong.[29] Sebagai contoh, Shahih Bukhâri pada sisi tauhid, menyebut sosok Tuhan yang memiliki jasad, anggota badan, dapat dilihat dan seperti makhluk-makhluk biasa, memiliki tempat dan mempunyai sifat-sifat yang dapat binasa."[30]
Kriteria Syiah dalam menerima dan menolak riwayat
Orang-orang Syiah memilliki satu prinsip dan kriteria rasional (aqli) dan referensial (naqli)[31] dalam menerima atau menolak satu riwayat dan bagi Syiah dalam prinsip dan kriteria-kriteria ini; tidak bersandar hanya pada status mazhab "Syiah" atau Sunni seorang perawi dalam menerima atau menolak sebuah riwayat.
Setiap orang harus bersikap fair, jujur dan harus diketahui bahwa dari pandangan ahli Rijal Sunni, kecendrungan kepada Syiah dan wilayah Ahlulbait As sebagai penghalang serius periwayat untuk dikutip riwayatnya dan riwayat perawi seperti ini tidak dapat dijadikan sandaran; namun dalam Syiah tidaklah demikian. Pakar Rijal Syiah memandang riwayat Sunni apabila memiliki witsâqat (dapat diandalkan dan dipercaya), pada derajat setelah shahih, hasan, sebagai hadis muattsaq dan dapat dijadikan sebagai sandaran.[32]
Karena itu, ulama Rijal dan hadis Syiah; seluruh kitab – bahkan kitab-kitab empat (Kutub al-Arba'ah)[33] – tetap dikaji dan dianalisa serta tidak memberikan label sahih pada empat kitab induk ini. Kitab Bukhari juga tidak terkecualikan dalam hal ini. Di samping itu, terdapat banyak riwayat dari kitab ini dinukil dan diterima dalam karya-karya ulama terdahulu dan terkemudian Syiah.
Namun demikian, sudah merupakan suatu hal yang natural dalam tataran pembahasan dan dialog, manusia harus bersandar pada sumber-sumber yang boleh jadi bukan merupakan hujjah bagi dirinya namun menjadi hujjah bagi pihak lainnya dan demikianlah salah satu contoh jadâl ahsan. Karena itu, pihak Syiah semenjak dulu hingga kini sama sekali tidak bermaksud mencari keuntungan dalam masalah keyakinan. Apabila Syiah tidak menerima sebuah riwayat maka hal itu berdasarkan dalil-dalil rasional dan referensial tidak menerima riwayat tersebut. [iQuest]
Orang-orang Syiah memilliki satu prinsip dan kriteria rasional (aqli) dan referensial (naqli)[31] dalam menerima atau menolak satu riwayat dan bagi Syiah dalam prinsip dan kriteria-kriteria ini; tidak bersandar hanya pada status mazhab "Syiah" atau Sunni seorang perawi dalam menerima atau menolak sebuah riwayat.
Setiap orang harus bersikap fair, jujur dan harus diketahui bahwa dari pandangan ahli Rijal Sunni, kecendrungan kepada Syiah dan wilayah Ahlulbait As sebagai penghalang serius periwayat untuk dikutip riwayatnya dan riwayat perawi seperti ini tidak dapat dijadikan sandaran; namun dalam Syiah tidaklah demikian. Pakar Rijal Syiah memandang riwayat Sunni apabila memiliki witsâqat (dapat diandalkan dan dipercaya), pada derajat setelah shahih, hasan, sebagai hadis muattsaq dan dapat dijadikan sebagai sandaran.[32]
Karena itu, ulama Rijal dan hadis Syiah; seluruh kitab – bahkan kitab-kitab empat (Kutub al-Arba'ah)[33] – tetap dikaji dan dianalisa serta tidak memberikan label sahih pada empat kitab induk ini. Kitab Bukhari juga tidak terkecualikan dalam hal ini. Di samping itu, terdapat banyak riwayat dari kitab ini dinukil dan diterima dalam karya-karya ulama terdahulu dan terkemudian Syiah.
Namun demikian, sudah merupakan suatu hal yang natural dalam tataran pembahasan dan dialog, manusia harus bersandar pada sumber-sumber yang boleh jadi bukan merupakan hujjah bagi dirinya namun menjadi hujjah bagi pihak lainnya dan demikianlah salah satu contoh jadâl ahsan. Karena itu, pihak Syiah semenjak dulu hingga kini sama sekali tidak bermaksud mencari keuntungan dalam masalah keyakinan. Apabila Syiah tidak menerima sebuah riwayat maka hal itu berdasarkan dalil-dalil rasional dan referensial tidak menerima riwayat tersebut. [iQuest]
[1]. Jawâmi' Hadits adalah kumpulan kitab hadis yang tidak terbatas pada satu bidang dan domain riwayat tertentu serta mencakup seluruh atau bagian pokok bab-bab hadis. Ali Nashiri, Âsynâi bâ Jawâmi' Haditsi Syi'ah wa Ahlusunnah, hal. 17, Intisyarat Jami'at al-Mustafa Saw al-'Alamiyah, Qum, Cetakan Kedua, 1388 S.
[2]. Abu al-Fida Islami bin Umar Ibnu Katsir Dimasyqi, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jil. 11, hal.25, Dar al-Fikr, Beirut, 1407 H; Ibnu Jauzi, Abu al-Faraj Abdurrahman bin Ali, al-Muntazham fi Târikh al-Umam wa al-Mulûk, Riset oleh Muhammmad Abdul Qadir 'Atha, Mustafa Abdul Qadir, jil. 12, ha. 113, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, Cetakan Pertama, 1412 H.
[3]. Abdul Hayyi bin Ahmad Ibnu Imad Hanbali, Syadzarât al-Dzahab fi Akhbâr min Dzahab, Riset oleh al-Arnauut, jil. 1, hal. 24, Dar Ibnu Katsir, Damaskus, Beirut, Cetakan Pertama, 1406 H; Ibnu Asakir Abu al-Qasim bin Hasan, Târikh Madinat Dimasyq, jil. 52, hal. 54, Dar al-Fikr, Beirut, 1415 H.
[4]. Al-Muntazham fi Târikh al-Umam wa al-Muluk, jil. 12, ha. 117; , Syadzarât al-Dzahab fi Akhbâr min Dzahab, jil. 1, hal. 24.
[5]. , Syadzarât al-Dzahab fi Akhbâr min Dzahab, jil. 1, hal. 24.
[6]. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jil. 11, hal. 26.
[7]. Al-Muntazham fi Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jil. 12, hal. 113.
[8]. Syadzarât al-Dzahab fi Akhbâr min Dzahab, jil. 1, hal. 25.
[9]. Al-Muntazham fi Târikh al-Umam wa al-Muluk, jil. 12, ha. 119.
[10]. Syamsuddin Dzahabi Dimasyqi, Siyar A'lâm al-Nubalâ, jil. 12, hal. 401-402, Muassasah al-Risalah, Beirut, Cetakan Kesembilan, 1413 H.
[11]. Syamsuddin Dzahabi Dimasyqi, Tadzkirat al-Huffâzh, jil. 2, hal. 556, Dar Ihya al-Turats al-'Arabi, Beirut, Tanpa Tahun.
[12]. Ali Nashiri, Hadits Syinâsi, jil. 1, hal 137, Intisyarat Sanabil, Qum, Cetakan Pertama, 1383 S.
[13]. Dhabit adalah mempunyai kesempurnaan berpikir, tidak pelupa dan cerdas serta tangkas. Hafalannya kuat dan mudah mengerti apa yang diterima.
[14]. Ibid.
[15]. Sesuai nukilan dari Abu Abdillah Hakim Naisaburi, Ma'rifat 'Ulûm al-Hadits, hal. 20, Dar al-Afaq al-Jadidah, Beirut, 1400 H.
[16]. Sesuai nukilan dari Siyar A'lâm al-Nubalâ, jil. 12, hal. 567.
[17]. Hadits Syinâsi, jil. 1, ha. 138.
[18]. Silahkan lihat, ibid, hal. 138 dan 139.
[19]. Sesuai nukilan dari Siyar A'lâm al-Nubalâ, jil. 14, hal. 488, Catatan Kaki
[20]. Silahkan lihat, Muhammad Ridha Husaini Jalali, Tadwin al-Sunnah al-Syarifah, hal. 508-516, Maktab al-I'lam al-Islami, Qum, 1413 H.
[21]. Hadits Syinâsi, jil. 1, hal. 140.
[22]. Sesuai nukilan dari Mahmud Abu Rayyah, Adhwâ 'ala Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 315, Ansariyan, Qum, 1416 H.
[23]. Ibid.
[24]. Burhanuddin Halabi, al-Kasy al-Hatsits, hal. 112, Maktabat al-Nahdha al-'Arabiyah, Cetakan Pertama, 1407 H.
[25]. Jarh wa al-ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang cacat dan adilnya rawi dengan lafaz-lafaz khusus dan tingkatan-tingkatan lafaz tertentu. Ilmu ini termasuk bagian cabang ilmu rijalil hadis.
[26]. Silahkan lihat Hadits Syinâsi, jil. 1, hal. 141-143.
[27]. Sesuai nukilan dari Adhwâ 'ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 318; sesuai nukilan dari Fath al-Bâri, jil. 1, hal. 81.
[28]. Untuk keterangan lebih jauh silahkan lihat, Adhwâ 'ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 324-326.
[29]. Hadits Syinâsi, jil. 1, hal. 144.
[30]. Dalam hal ini silahkan lihat Kitab al-Tauhid Shahih Bukhâri.
[31]. Silahkan lihat, Identifikasi dan Seleksi Hadis-hadis Shahih, Pertanyan 1937.
[32]. Âsynâi bâ Jawâmi' Haditsi Syiah wa Sunni, hal. 239.
[33]. Silahkan lihat, Indeks: Hadis-hadis Standar dalam Pandangan Kulaini, Pertanyaan 1933; Hadis-hadis Kitab al-Kafi, Pertanyaan 1528.
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar