Please Wait
22777
Sekaitan dengan hubungan antara ruh dan badan harus dikatakan bahwa badan merupakan salah satu tingkatan dari beberapa tingkatan nafs dan ruh. Atas dasar itu, pada hakikatnya, badan berada pada jiwa dan ruh bukan ruh yang terdapat pada badan; karena berdasarkan Filsafat Hikmah, dengan dalil universal dan kekuatan eksistensial yang bergradasi dan badan merupakan salah satu tingkatan rendah dari nafs, dan salah satu pancaran dari sinarnya. Sebagai kesimpulan harus dikatakan bahwa pada hakikatnya badan terletak pada nafs (jiwa) dan ruh bukan ruh yang terletak pada badan.
Mengurai hubungan antara nafs (jiwa) dan badan merupakan salah satu masalah penting dan termasuk pembahasan terumit pembahasan filosofis nafs (jiwa). Hal ini dapat dijelaskan bahwa dua hal yang jelas dan gamblang dalam pandangan seluruh pemikir dan ilmuan:
1. Pada diri manusia terdapat dua jenis tipologi yang kasat mata yang berbeda satu sama lain; jenis pertama tipologi kejiwaan seperti, mengetahui, menghendaki, identitas personal, perasaan riang, sedih, merasa pedih dan sebagainya yang tidak dapat diselaraskan dengan kriteria-kriteria fisikal dan tidak dapat diukur. Jenis kedua adalah pelbagai tipologi fisikal dan jasmani manusia.
2. Pelbagai tipologi kejiwaan dan jasmani di samping perbedaan yang ada, keduanya memiliki hubungan yang sangat kompleks dan rumit satu sama lain.
Namun terdapat perbedaan di antara para filosof dan hukama dalam hal ini terkait dengan bagaimana hubungan di antara keduanya dapat dijelaskan dan diuraikan secara filosofis.
Salah seorang peniliti dalam masalah ini menulis, “Masalah jiwa dan badan merupakan salah satu fokus utama pembahasan filosofis semenjak masa kuno hingga sekarang ini. Kendati uraian baru bermula semenjak masa Descartes. Sebagian filosof berpandangan bahwa aneka masalah seperti pengetahuan, identitas personal, lestarinya manusia pasca kematian jasmani, penyakit-penyakit psikis, kebebasan berkehendak, perbedaan kondisi kejiwaan manusia dengan hewan-hewan lainnya, dan lain sebagainya bersandar pada asas bahwa jawaban apa yang harus kita sodorkan terkait dengan masalah hubungan antara jiwa dan badan. Sebagian masalah ini menyeret kenyataan ini bahwa terdapat perbedaan mencolok antara tipologi-tipologi kejiwaan (nafsani) dan pelbagai tipologi jasmani. Namun bagaimana pun, pada saat yang sama, terjalin hubungan rumit dan kompleks di antara keduanya. Misalnya memasukkan jarum ke tangan akan menimbulkan rasa nyeri dan sakit; namun bagaimana perubahan fisikal ini berujung pada pengalaman sakit dan bagaimana proses sakit menyebabkan tergeraknya badan untuk menjauhkan faktor yang menyebabkan sakit? Apakah pengetahuan yang dimiliki dapat mengembalikan proses dekorasi atom-atom materi, atom-atom, molekul-molekul, sel-sel, pelbagai gelombang dan gerakan yang sangat rumit yang terdapat di dalamnya? Pekerjaan ini tidaklah mudah dan hingga kini meski telah diupayakan dengan pelbagai cara oleh para filosof, mereka tidak sampai pada kesimpulan yang optimal. Jarak di antara dua tipologi ini sedemikian menganga sehinga enigma hubungan keduanya masih misterius dan seluruh kemajuan ilmu pengetahuan dan filsafat tidak mampu menjawab model pertanyaan ini dengan jawaban memuaskan.[1]
Sehubungan dengan contoh yang telah disebutkan proses apa yang terjadi dalam silsilah syaraf adalah pekerjaan para spesialis syaraf (neurolog); namun apakah masalah ini merupakan beberapa kondisi kejiwaan? Atau pikiran semata-mata merupakan proses-proses neurosis atau tidak adalah sebuah riset filosofis.[2]
Bagaimanapun untuk menjelaskan hal ini pertama-tama kita harus mengkaji pendapat dan pandangan para filosof dalam masalah ini.
Pendapat dan Pandangan Para Filosos ihwal Hubungan Jiwa dan Badan
Dengan mencermati tuturan-tuturan para filosof dalam masalah jiwa dan badan kita dapat membagi pandangan-pandangan filosof dalam masalah ini menjadi dua bagian. Monisme dan pluralisme; karena sebagian filosof mengingkari keberadaan jiwa dan meyakini bahwa pada diri manusia tidak terdapat realitas lain selain badan dan panca indra material dan elemental. Pandangan ini, pada masa kontemporer, disebut sebagai “teori identitas.” Sebagian filosof dalam masalah nafs (jiwa) dan badan membela teori “dualisme.” Demikian juga dapat dikatakan bahwa sebaik-baik uraian yang menjelaskan hubungan jiwa dan badan adalah apa yang diuraikan oleh Filsafat Hikmah yang memperkenalkan hubungan jiwa dan badan adalah “dualisme monisme.”
Bagaimanapun mengingat akar-akar pemikiran dan pandangan para filosof kuno dalam masalah hubungan antara jiwa dan raga dapat dijumpai pada pendapat dan pandangan para filosof kiwari karena itu dengan pendekatan pemikiran-pemikiran baru kita akan membahas masalah ini. Untuk menghemat ruang dan waktu, pada kesempatan ini, kami hanya akan mengemukakan dua pandangan yang terkenal dalam masalah ini:
Pandangan Dualisme
Semenjak dulu hingga sekarang, para filosof menafsirkan kebanyakan realitas manusia sebagai sebuah dualisme. Para filosof ini berpandangan bahwa manusia adalah entitas-entitas yang di samping itu hidup di alam yang sama-sekali fisikal; dunia yang terbentuk dari atom-atom material dan dekorasi di antara atom-atom tersebut serta hukum-hukum fisika yang mendominasi di dalamnya; namun manusia juga memiliki substansi yang tidak sejenis dengan materi. Substansi ini disebut sebagai nafs (jiwa) atau ruh.
Misalnya Plato berkata masing-masing dari kita memiliki ruh simple, Ilahi dan tidak berubah-rubah; dan sebuah raga yang memiliki rangkapan dan akan binasa; hal ini bermakna bahwa raga dan badan manusia semata-mata merupakan media bagi keberadaan kita di dunia materi ini; sebuah tingkatan yang transient (segera akan berlalu) dari perjalanan abadi ruh. Dengan ungkapan yang lebih akurat, Plato tidak berkata bahwa kita manusia adalah entitas yang memiliki ruh. Plato berkata bahwa kita dengan ruh adalah satu. Artinya masing-masing manusia memiliki ruh. Ruhlah yang membentuk esensi manusia.[3]
Bagaimanapun dalam filsafat baru, Descartes yang merupakan salah seorang filosof dualisme. Ia berdasarkan metodenya berkata, “Dari satu sisi saya memiliki gambaran yang khas (distinct) dan jelas (clear) tentang diriku, yaitu aku memiliki sesuatu yang berpikir dan non-ekstensif. Dari sisi lain, gambaran khas dari raga, semata-mata sebagai sesuatu yang ekstensif dan tidak berpikir. Berdasarkan hal ini, suatu hal yang pasti bahwa aku terpisah dari badanku dan aku dapat mengada tanpanya.”[4]
Sesuai dengan tuturan Descartes, tipologi esensial substansi materi (ekstensif ruang) yaitu memenuhi ruang; sementara tipologi esensial substansi jiwa adalah berpikir atau mengetahui. Yang dimaksud dengan berpikir, silsilah sempurna dari pelbagai kondisi, segala aktifitas kejiwaan, seperti melihat, merasa, memahami, menghukumi, meragukan disertai dengan berpikir dengan makna khususnya. Jarak dua tipologi dua substansi (jauhar) ini, mencegah tidak tersisanya pengaruh yang ditimbulkan oleh satu substansi atas substansi lainnya.
Kritik atas Teori Dualisme Jiwa
Dua hal yang termasuk sebagai problem asasi atas teori ini:
1. Sebagaimana dualitas jiwa dan raga merupakan suatu hal yang gamblang maka kesatuan manusia juga suatu hal yang jelas. Teori dualisme sama sekali tidak menyodorkan uraian untuk menghilangkan perbedaan dan pertentangan dua hal ini.
2. Raga dan badan adalah bersifat fisikal dan jiwa adalah sesuatu yang non-fisikal. Teori dualisme sama sekali tidak menyodorkan uraian dan penjelasan terkait dengan hubungan, pengaruh-mempengaruhi antara badan dan ruh.
Teori Filsafat Hikmah Badan adalah Tingkatan Turunan Jiwa
Berdasarkan Filsafat Hikmah (Hikmah Muta’âliyah) jiwa dan raga di samping terdapat dualisme di antara keduanya juga memiliki kesatuan (monisme); karena itu sejatinya teori Filsafat Hikmah dalam masalah jiwa (nafs) adalah dualisme; namun bukan dualisme Descartes yang memandang jiwa dan raga sebagai dua hal dan terpisah satu sama lain. Dualisme dalam pandangan Filsafat Hikmah jiwa dan raga di samping identik dengan perbedaan keduanya tetap memiliki persamaan; karena berdasarkan Filsafat Hikmah, jiwa karena universalitas dan fakultas eksistensial memiliki kesatuan yang tidak bertentangan dengan kemajemukan. Jiwa adalah sebuah entitas yang satu dalam kejamakan; dan jamak dalam kesatuan. Sebagai hasilnya, berdasarkan teori ini, terjalin hubungan terdalam antara (yaitu hubungan kesatuan dan bahwa badan merupakan salah satu tingkatan dari tingkatan jiwa) jiwa dan raga.
Ustad Allamah Hasan Zadeh Amuli dalam menjelaskan teori ini berututur, “Badan merupakan tingkatan turunan (nâzilah) jiwa dan jiwa adalah seluruh badan. Badan adalah penjasadan dan penjelmaan ruh, bentuk dan penampil seluruh kesempurnaan dan fakultasnya di alam ini.”[5]
Filsafat Hikmah dengan teori ini mampu dengan mudah menjawab kerumitan dan problematika yang dihadapi filsafat Barat. Namun problem yaitu kontradiksi antara dualism dan kesatuan dipecahkan dengan cara bahwa yang dimaksud dengan kesatuan jiwa (wahdat al-nafs) adalah kesatuan mutlak bayangan (wahdat haqqi zhillih)[6] yang tidak berlawanan dengan kejamakan; dan kesatuan mutlak hakiki (wahdat haqqihi) karena bersifat mutlak dengan itlâq maqsâmi maka ia tidak terikat lagi dengan itlâq.[7] Ia hadir pada muqayyad dan keluarnya multak dari itlâq dan menggunakan persyaratan (taqyiid) dan ta’yin (identifikasi) sedemikian sehingga tidak muncul kontradiksi ekstensial dan tidak saling berhadap-hadapan. Artinya padanya tidak terjadi hulûl dan tajâfi (tidak mendiami suatu ruang atau tempat tertentu sehingga dikatakan bersama dengan manifestasi-Nya); kejamakan adalah jelmaan dari kesatuan tersebut; bukan memiliki entitas yang terpisah dan berhadap-hadapan dengan kesatuan (wahid). Karena itu, berasaskan sistem manifestasi dan tajalli nafs dan badan di samping terdapat dualisme padanya keduanya juga memiliki kesatuan (monisme).
Demikian juga, Filsafat Hikmah dalam memecahkan kerumitan kedua menggunakan metode gerakan substansial dan jasmaniyat al-hudûts jiwa (nafs) dengan mengembalkan kausalitas kepada tajalli (manifestasi) dan tingkatan mampu menjelaskan hubungan antara jiwa dan raga dengan sebaik-baik penjelasan.
Dalil-dalil dan Jalan-jalan Menetapkan Teori Kesatuan Jiwa dan Raga
Dalil Pertama (Dalil Nurani):
Dengan mencermati beberapa hal gamblang dan terang dapat ditarik kesimpulan bahwa badan merupakan salah satu tingkatan jiwa:
A. Setiap orang dengan ilmu gamblang dan nuraninya mengetahui bahwa dalam dirinya terdapat dua jenis tipologi yang berbeda; pertama jenis tipologi kejiwaan (nafsani) dan kedua jenis tipologi jasmani.
B. Setiap orang mengetahui dengan jelas bahwa ia adalah satu identitas dan personalitas. Seluruh aktifitas dan efek eksistensial disandarkan pada identitas tunggal tersebut. Pelbagai akfititas yang telah dilakukan bertahun-tahun sebelumnya ia berkata bahwa aku mengerjakan hal tersebut sementara ia tahu bahwa skeleton badan selama ini telah sekian kali mengalami perubahan semenjak masa balita hingga masa dewasa, usia pertengahan, hingga mencapai usia senja. Karena itu, susunan jiwa dan raga adalah susunan persatuan (bukan gandengan) dan manusia adalah entitas ekstensif (mumtad) yang semenjak tingkatan puncak (rasionisasi) hingga tingkatan terendah (jasmani) seluruhnya adalah satu personalitas.[8]
C. Satu-satunya penjelasan rasional dan dapat diterima oleh akal dalam menjelaskan hubungan dua hal yang memiliki kesatuan dan persatuan adalah penjelasan tajalli (manifestasi), zhahir (nampak) dan mazhar (penampakan). Karena itu, hubungan jiwa dan raga juga haruslah merupakan salah satu jenis hubungan tajalli, zhahir dan mazhar, yang karena kehakikian dan kekuatan jiwa dan ruh, badan merupakan fakultas turunan jiwa. Dengan penjelasan ini menjadi terang bahwa kerumitan yang paling liar filsafat Barat bagaimana dapat menjadi jinak dan tenang di tangan Filsafat Hikmah.[9]
Dalil Kedua (Dalil Empirik atau Pengaruh Timbal-Balik Jiwa dan Raga):
Argumentasi ini terbentuk dari dua premis pendahuluan.
Premis pertama: Jiwa dan raga memiliki hubungan saling mempengaruhi di antara keduanya.
Premis kedua: segala sesuatu yang memiliki hubungan saling mempengaruhi satu sama lain memiliki kesatuan dan persatuan. Nampaknya premis pertama (minor) adalah suatu hal yang jelas bagi mereka yang mengetahui masalah-masalah psikologis bahkan bagi mereka yang tidak meyakini keberadaan jiwa (nafs), tidak mengingkari hubungan saling mempengaruhi pelbagai kondisi kejiwaan dan jasmani satu sama lain.
Adapun penjelasan premis kedua (mayor) harus dikatakan bahwa berdasarkan Filsafat Hikmaah, segala sesuatu yang terjalin hubungan saling mempengaruhi memiliki kesatuan dan persatuan. Kalau tidak demikian segala sesuatu yang memiliki kontra eksistensial tidak dapat memiliki hubungan saling mempengaruhi satu sama lain. Dengan kata lain, berdasarkan Filsafat Hikmah, kausalitas berpulang kembali kepada tajalli dan tasya’un; sebagai hasilnya hubungan sebab dan akibat dijelaskan dalam hubungan persatuan.
Untuk lebih jelasnya, tentang bagaimana pengaruh jiwa pada badan dapat menjadi dalil asas yang mengatakan bahwa badan merupakan tingkatan turunan jiwa? Untuk memudahkan pemahaman, mari kita menyebutkan sebuah contoh. Apabila seorang manusia kita timbang pada tingkatan usia tertentu kita dapat berkata bahwa ia pada bilangan usia seperti ini dan dengan timbangan ini ia dapat mengangkat beban tertentu atau melintasi jarak tertentu. Namun orang ini juga, dalam kondisi marah atau lagi jatuh cinta dapat mengankat beban itu dua kali lipat beratnya atau berapa jarak yang ia dapat tempuh. Sementara kita berkata timbangan berat badannya seukuran sebelumnya dan tidak mengalami perubahan. Lantas kegesitan dan kelincahan atau kemalasan dan gaya berat ini datangnya dari mana? Tentu kondisi ini tidak berasal dari badan karena dalam dua kondisi badannya adalah satu. Dan apabila jiwa berasal dari jenis raga. Dua benda secara bersamaan pada harus memiliki satu timbangan maka tentu saja perubahan ini bersumber dari jiwa rasional manusia dan badan merupakan tingkatan turunan jiwa rasional tersebut (nafs al-nathiqah).
Karena itu, keringanan, keberatan, titah untuk terbang dan mengangkat, kebaruan, kecantikan, kesinambungan dan ragam aktifitas raga yang berasal dari otak, media digesti, denyut jantung, tarik-menarik, kontraksi-ekspansi dan seluruh pencerapan harus bersumber dari jiwa yang memanifestasi pada lahir dan batin raga. Dan memiliki nama tertentu berdasarkan kondisi dan situasi.[10]
Kesimpulannya berdasarkan teori ini bahwa raga merupakan salah satu tingkatan dari tingkatan-tingkatan jiwa harus dikatakan bahwa pada hakikatnyat badan pada jiwa dan ruh bukan sebaliknya yaitu ruh pada badan.[11] Karena jiwa dan ruh memiliki universalitas dan kekuatan eksistensial dimana raga merupakan salah satu pancaran dari sinarnya. [IQuest]
[1]. Nampaknya maksud penulis adalah filsafat yang berkembang di Barat bukan Filsafat Hikmah.
[2]. Amir Diwani, Tarjameh wa Muqaddameh, Falsafe-ye Nafs, hal. 11 dan 12, Hart William Dei et all. Intisyarat-Soroush, Teheran, Cetakan Pertama, 1381 S.
[3]. Ibid, hal. 12 dan 13.
[4]. Falsafe-ye Nafs, hal. 13.
[5]. Ibid, hal. 14.
[6]. Pembagian ini adalah untuk membedakan antara penisbahan kesatuan mutlak kepada Zat Yang Maha Suci dan penisbahan itu kepada selain-Nya. Artinya kesatuan mutlak hakiki terkhusus kepada Zat Suci Tuhan, dan segala realitas selain-Nya menggunakan istilah kesatuan mutlak bayangan.
[7]. Itlaq dalam Filsafat Islam terbagi menjadi dua bagian: Itlaq qismi dan itlaq maqsami. Itlaq qismi adalah entitas universal dan non-material yang bersyarat dengan itlaq dan tidak dapat mewujud di luar alam pikiran. Itlaq qismi bersandar pada asumsi dan rekaan dan memiliki hasil ilmiah hanya pada sebagian urusan. Adapun itlaq maqsami sama sekali tidak bergantung pada satu pun syarat bahkan dengan syarat itlaq. Itlaq maqsami mencakup seluruh entitas yang memiliki saham keberadaan.
[8]. Hasan Hasanzadeh Amuli, Sarh al-‘Uyûn, hal. 215, Muassasah Intisyarat-e Amir Kabir, Cetakan Pertama, Teheran, 1371 S.
[9]. Hasan Hasanzadeh Amuli, Ma’rifat-e Nafs, Daftar-e Awwal, Dar Bistupanjum, hal. 69 dan 70 dengan adaptasi.
[10]. Ibid, Dars Bistusyisyum, hal. 71 dan 72, dengan adaptasi.
[11]. Hasan Hasanzadeh Amuli, Sarh al-‘Uyûn, hal. 218, Muassasah Intisyarat-e Amir Kabir, Cetakan Pertama, Teheran, 1371 S.