Please Wait
7343
Suatu hal yang pasti bahwa jenis pernikahan ini termasuk pernikahan legal pada masa Rasulullah Saw dan kita tidak memiliki dalil yang dapat diandalkan terkait dengan nasakh dan anulir hukum pernikahan ini pada masa Rasulullah Saw. Karena itu, sesuai dengan hukum pasti yang digunakan dalam disiplin ilmu Ushul Fikih pernikahan tersebut masih tetap sah berlaku.
Poin yang patut mendapat perhatian di sini adalah bahwa tiada seorang pun selain Rasulullah Saw yang memiliki hak untuk menganulir dan me-nasakh hukum-hukum. Hanya Rasulullah Saw yang dapat menganulir hukum-hukum sesuai dengan perintah Allah Swt. Pasca wafatnya Rasulullah Saw persoalan nasakh dan anulir telah tertutup sama sekali dan kalau tidak demikian maka siapa saja dapat melakukan ijtihad dan menganulir hukum-hukum Ilahi. Sedemikian sehingga tiada lagi yang bernama syariat abadi dan lestari yang akan tersisa. Pada dasarnya, ijtihad di hadapan sabda Rasulullah Saw adalah ijtihad di hadapan nash (ijtihâd fî muqâbil al-nash) yang sama sekali tidak memiliki nilai.
Kesepakatan pada umumnya ulama Islam bahkan termasuk bagian pokok agama bahwa pernikahan temporal pada masa permulaan Islam adalah termasuk perbuatan yang legal dan pembahasan tentang petunjuk ayat terkait, “Maka istri-istri yang telah kamu nikahi secara mut’ah di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah dosa bagimu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al-Nisa [4]:24) menandaskan legalitas hukum pernikahan mut’ah. Karena para penentang meyakini bahwa legalitas hukum telah ditetapkan melalui sunnah Rasulullah Saw dan bahkan kaum Muslimin mengamalkannya pada masa permulaan Islam. Ucapan terkenal Umar, “Mut’atân kânatâ ‘ala ahdi Rasulillah wa ana Muharramahumâ wa mu’âqib ‘alaihimâ; mut’ah al-nisâ wa mut’ah al-haj.”[1] Dua mut’ah yang terdapat pada masa Rasulullah Saw aku haramkan dan (akan) menghukum orang yang mengerjakan keduanya, mut’ah para wanita dan mut’ah haji (jenis khusus haji).”[2] adalah dalil jelas atas adanya hukum ini pada masa Rasulullah Saw. Namun para penentang hukum ini, mengklaim bahwa hukum mut’ah ini selepas itu telah dinasakh dan diharamkan.
Perlu untuk diperhatikan bahwa klaim riwayat-riwayat tentang nasakh hukum yang dimaksud sangat berbeda-beda. Sebagian berkata Rasulullah Saw sendiri yang menganulir hukum ini karena itu penganulirnya adalah sunnah dan hadis Rasulullah Saw. Sebagian lainnya berkata bahwa penganulirnya adalah ayat talak, “idza thallaqtum al-nisa’a fathalliquhunna li’iddatihinna.” (Hai nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu idah mereka, Qs. Thalaq [56]:1) padahal ayat ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan ayat yang menjadi obyek bahasan; karena ayat ini membahas tentang talak sementara pernikahan mut’ah tidak memiliki talak dan perpisahan di antara suami dan istri adalah berakhirnya masa pernikahan mereka.
Karena itu inti legalnya jenis pernikahan ini adalah pasti pada masa Rasulullah Saw dan tidak terdapat dalil yang dapat diandalkan terkait dengan anulir dan nasakh-nya. Oleh itu, sesuai dengan aturan pasti yang tercatat dalam disiplin ilmu Ushul Fikih[3] maka hukum pernikahan ini tetap legal dan berlaku sepanjang masa.
Poin yang patut mendapat perhatian adalah bahwa tiada seorang pun selain Rasulullah Saw yang memiliki hak untuk menganulir dan me-nasakh hukum-hukum. Hanya Rasulullah Saw yang dapat menganulir hukum-hukum sesuai dengan perintah Allah Swt. Pasca wafatnya Rasulullah Saw persoalan nasakh dan anulir hukum telah tertutup sama sekali lantaran kalau tidak demikian maka siapa saja akan dapat melakukan ijtihad dan menganulir hukum-hukum Ilahi. Dan tentu tidak akan ada yang bernama syariat abadi dan lestari yang akan tersisa bagi umat. Pada dasarnya, ijtihad di hadapan sabda Rasulullah Saw adalah ijtihad di hadapan nash yang sama sekali tidak memiliki nilai.
Dalam Shahih Tirmidzi (salah satu kitab sumber terkenal Ahlusunnah) demikian juga Daruquthni[4] disebutkan demikian, “Seseorang dari warga Syam (Suriah) bertanya kepada Abdullah bin Umar tentang haji tamattu. Ia secara tegas menjawab bahwa perbuatan ini adalah halal dan baik. Warga Syam itu berkata, “Ayah Anda melarang orang melakukan perbuatan ini.” Abdullah bin Umar marah dan berkata, apabila ayahku melarang perbuatan ini dan Rasulullah Saw memberikan izin atas hal tersebut, apakah aku harus meninggalkan sunnah Rasulullah Saw atau mengikut ucapan ayahku? Bangunlah dan menjauhlah dariku.” Riwayat seperti ini juga terdapat pada Shahih Tirmidzi terkait dengan pernikahan mut’ah sebagaimana riwayat yang kita baca di atas yang dinukil dari Abdullah bin Umar.
Demikian juga, dari “Muhadhârat” Raghib diriwayatkan bahwa salah seorang Muslim melangsungkan pernikahan mut’ah dan orang-orang bertanya kepadanya, siapakah yang telah mengambil kehalalan perbuatan ini? (baca: mengharamkan) katanya, “Umar.” “Baiklah.” Imbuhnya. Aku juga berkata demikian, karena Umar berkata, “Rasulullah Saw menghalakannya dan aku mengharamkannya. Aku menerima legalitas perbuatan ini dari Rasulullah Saw namun tidak menerima pengharamannya dari siapa pun.”
Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah Anshari yang berkata, “Kami pada masa Rasulullah Saw melakukan mut’ah dengan mudah dan hal ini berlanjut terus hingga Umar menahan Amru bin Harits untuk tidak melakukan perbuatan ini (secara keseluruhan).
Dalam hadis yang lain, dalam kitab “Muwatthâ’” karya Imam Malik dan “Sunan Kubra” Baihaqi menukil dari Urwat bin Zubair bahwa seorang wanita bernama Khulah binti Hakim pada masa Umar mendatanginya dan menyampaikan bahwa salah seorang Muslim bernama Rabi’ah bin Umayyah telah melakukan mut’ah. Ia berkata, “Apabila sebelumnya saya telah melarang perbuatan ini maka saya akan merajamnya (namun semenjak sekarang saya akan mencegah siapa pun untuk tidak melakukannya).
Dalam kitab Bidâyat al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd Andalusi juga kita membaca bahwa Jabir bin Abdullah Anshari berkata, “Pernikahan temporal pada masa Rasulullah Saw, masa khilafah Abu Bakar dan sebagian masa khilafah Umar adalah suatu hal yang biasa dan kemudian Umar melarangnya.”[5]
[1]. Dalam Kunuz al-‘Irfân, jil. 2, hal. 158, hadis yang disebutkan diriwayatkan dari Tafsir Qurthubi dan Thabari dengan redaksi yang mirip dengan redaksi hadis yang dinukil di atas. Pada Sunan Kubra Baihaqi, jil. 7, Kitab Nikah juga disebutkan. Sesuai nukilan dari Tafsir Nemune, Nashir Makarim Syirazi, jil. 3, hal. 336-341, Cetakan Pertama, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1374 S.
[2]. Yang dimaksud dengan mut’ah haji yang diharamkan oleh Umar adalah haji tamattu’ harus dilupakan. Haji tamattu’ adalah pertama-tama ia masuk ke dalam kondisi ihram (muhrim) dan setelah menunaikan haji umrah, ia keluar dari kondisi ihram” (dan seluruhnya bahkan hubungan seksual dihalalkan baginya). Dan kemudian setelah itu kembali muhrim dan menunaikan ritual haji semenjak 9 Dzulhijjah. Pada masa jahiliyyah perbuatan ini tidak dipandang sah dan orang-orang merasa heran pada orang pada hari-hari haji yang memasuki Mekkah dan belum lagi menunaikan haji mereka mengerjakan umrah dan keluar dari kondisi ihram. Namun Islam secara lugas membolehkan masalah ini dan hal ini ditegaskan pada ayat 196 surah al-Baqarah (2).
[3]. Isyarat terhadap kaidah tiadanya nasakh (‘adam naskh). Artinya apabila kita ragu dalam hukum permanen syariat apakah telah dinasakh atau tidak maka prinsipnya adalah tiadanya nasakh.
[4]. Tafsir Qurthubi, jil. 2, hal. 762, terkait ayat 195 surah al-Baqarah. Sesuai nukilan dari Tafsir Nemune, jil. 3, hal. 338.
[5]. Tafsir Nemune, Nashir Makarim Syirazi, jil. 3, hal. 336-341. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Terjemahan Persia al-Mizân, Muhammad Husain Thabathabai, jil. 4, hal. 431-434, penerjemah Sayid Muhammad Baqir Hamadani, Daftar Intisyarat Islami Jame’e Mudarrisin Hauzah Ilmiyah Qum, 1374 S, Cetakan Kelima.