Please Wait
9611
Menurut ulama Syiah, menerima dan menolak hadis-hadis harus berdasarkan pada kriteria dan standar yang jelas. Di antara kriteria yang paling penting dan asasi adalah kejujuran dan keadilan periwayat (râwi).
Demikian juga, sebagian ulama Syiah menjadikan iman periwayat (bermazhab Imamiyah) sebagai syarat diterimanya sebuah riwayat. Apabila Syiah beramal berdasarkan riwayat-riwayat Fathiyyah atau Waqifiyyah hal itu lantaran mereka menukil riwayat-riwayat pada masa perjuangan kedua firkah ini (sebelum mengalami penyimpangan akidah atau mendapatkan hidayah).
Namun menurut sebagian lainnya, sifat adil dan tsiqah (jujur dan dapat dipercaya) yang dimiliki periwayat telah memadai untuk diterima riwayatnya. Status mazhab periwayat sebagai Ahlusunnah, Waqifi atau Fathi hanya menurunkan derajat periwayatannya dari kondisi sahih (valid) menjadi muwatssaqah (dapat diandalkan) yang tetap saja dapat dijadikan sebagai sandaran. Atas dasar itu, mereka bersandar pada riwayat-riwayat standar dari para perawi yang dapat diandalkan dari kalangan Ahlusunnah (seperti Husain bin Alwan dan sebagainya).
Karena itu, para fukaha Syiah tidak memiliki keraguan dalam menerima dan mengamalkan riwayat-riwayat sahabat yang dapat diandalkan dan dipercaya (tsiqah) sebagaimana bahkan dalam mazhab Syiah Imamiyah sendiri terdapat ulama yang melemahkan para perawi yang tidak adil dan tidak menerima riwayat-riwayat yang dinukil para perawi dari kalangan mereka sendiri apatah lagi riwayat sebagian Fathi atau Waqifi yang tidak dapat diterima karena tiadanya kejujuran (witsâqah) pada diri mereka.
Menurut ulama Syiah, menerima dan menolak hadis-hadis memiliki selaksa kriteria dan standar yang jelas berkenaan dengan periwayat dan teks hadis. Demikian juga memiliki metode khusus untuk memilah ragam jenis riwayat (sahih, hasan, muwatstsaq, dhaif dan sebagainya) yang dibahas secara dalam disiplin ilmu Rijal (Biografi para periwayat) dan Dirayah Hadis (ilmu untuk mengetahui kondisi sanad dan matan riwayat). Kriteria yang paling penting dan asasi dari selaksa kriteria yang ada yang ditekankan oleh para ulama Rijal Syiah adalah kejujuran dan keadilan periwayat (râwi).
Sebagian ulama Syiah menjadikan iman perawi (bermazhab Imamiyah) sebagai syarat diterimanya sebuah riwayat [1] dan mereka beramal terhadap riwayat-riwayat yang dinukil oleh Fathiyyah atau Waqifiyyah tatkala kedua firkah ini masih mengusung perlawanan (sebelum mengalami penyimpangan akidah atau setelah mendapat petunjuk).
Meski demikian, terdapat sebagian ulama lainnya yang tidak menjadikan iman perawi (bermazhab Imamiyah) sebagai syarat. Menurut kelompok ini, apabila perawinya merupakan seorang adil dan tsiqah (jujur dan dapat dipercaya) maka riwayat yang dinukilnya adalah riwayat muktabar (dapat dijadikan sebagai sandaran).
Adapun status mazhab periwayat sebagai Ahlusunnah atau Waqifi atau Fathi hanya menurunkan derajat periwayatannya dari kondisi sahih (valid) menjadi muwatstsaqah (dapat diandalkan) yang tetap saja dapat dijadikan sebagai sandaran atas fatwa yang mereka keluarkan. Mereka bersandar pada riwayat-riwayat standar dari para perawi yang dapat diandalkan dari kalangan Ahlusunnah (seperti Husain bin Alwan dan sebagainya). Nama-nama sebagian orang ini disebutkan dalam kitab Fihrist dan Rijal Syiah sebagai orang-orang tsiqah. [2]
Karena itu, para fukaha Syiah tidak memiliki keraguan dalam menerima dan mengamalkan riwayat-riwayat sahabat yang dapat diandalkan dan dipercaya sebagaimana bahkan di kalangan mazhab Syiah Imamiyah sendiri terdapat ulama yang melemahkan para perawi yang tidak adil dan tidak menerima riwayat-riwayat yang dinukilnya, apatah lagi riwayat sebagian Fathi atau Waqifi yang tidak dapat diterima karena tiadanya kejujuran (witsâqah) pada mereka.
Atas dasar itu, berstatus Waqifi atau Fathi atau Ahlusunnah tidak berpengaruh dalam menjadikan sekumpulan riwayat itu sebagai sandaran atau tidak. Kriteria utama dalam menjadikan riwayat sebagai sandaran adalah kejujuran dan reliable-nya seorang perawi. Karena itu, seseorang seperti Syaikh Hurr Amili tetap menyebutkan riwayat-riwayat dalam kitabnya meski perawinya itu adalah seorang Fathi atau Waqifi.
Benar. Sebagian orang dari kelompok Fathi atau Waqifi, telah diseleksi dan riwayat-riwayat mereka tidak dapat diterima. Hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan firkah dan mazhab mereka. Di antara perawi itu juga, terdapat sejumlah perawi yang sama jumlah bilangan perawi Ahlusunnah yang dapat diperlakukan sama sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab (Rijal) ulama dan tidak digunakan sebagai sandaran.
Terkait dengan para sahabat Rasulullah Saw harus kami katakan bahwa tentu saja di antara mereka terdapat para wali Tuhan seperti Salman, Abu Dzar, Ammar dan lain sebagainya. Najjasyi memulai kitab Rijâl-nya menyebut salah seorang sahabat Rasulullah Saw dengan pujian dan sanjungan.
Karena itu, Syiah tidak membeda-bedakan dalam menerima dan menolak rwiayat-riwayat para sahabat, sebagaimana bahkan di kalangan Syiah Imamiyah sendiri terdapat orang-orang yang dilemahkan dan riwayat-riwayatnya tidak diterima, [3] riwayat-riwayat yang dinukil sebagian sahabat juga tidak diterima. [4] [IQuest]
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat indeks: Keadilan Sahabat, Fathiyyah dan Waqifiyyah. Pertanyaan 3023 (Site: 3422).
[1] . Silahkan lihat, Ja’far Subhani, Hadits Syinâsi, terjemahan Muhsin Ahmadwand, hal. 216, Cetakan Pertama, Qum, 1382.
[2] . Najjasyi, Rijâl, hal. 38, Maktaba Dawari. Disebutkan bahwa Husain bin Alwan sebagai seorang Ahlusunnah.
[3] . Seperti Abdul Aziz al-Abdi yang merupakan sahabat Imam Keenam (Imam Shadiq As) atau Mu’alla bin Khanis yang merupakan khadim (pembantu) namun Najjasyi memandangnya sebagai orang-orang lemah. Rijâl Najjâsyi, disebutkan nama-nama keduanya.
[4] . Silahkan lihat, Pertanyaan 3023 (Site: 3422), 2792 (Site: 3275), 7799 (Site: 8027), 2800 (Site: 3553), dan 2929 (Site: 3188).