Please Wait
10891
Dalam pertanyaan, Anda menyinggung satu burhan yang tidak dapat Anda pahami dengan baik maknanya. Dari sisi lain, muncul anggapan bahwa Anda menyangka dapat menyelaraskan dan mencocokkan sifat Allah Swt pada entitas-entitas material dan terbatas kemudian menghukumi bahwa Tuhan itu tidak ada.
Dengan demikian, perlu kiranya diperhatikan bahwa pertama: Kita akan mengenal dengan baik makna burhan kemustahilan (absurditas) tasalsul yang sebenarnya. Dan kedua, menjelaskan makna Tuhan yang sebenarnya dan menerangkan bahwa obyek (instanta luaran) Entitas seperti ini yang tidak dapat terhimpun pada satu entitas materi yang terbatas:
1. Yang dimaksud dengan tasalsul yang popular dikenal orang adalah silsilah rangkaian beberapa perkara yang tidak terbatas. Para filosof memandang tasalsul itu sebagai sesuatu yang absurd dan mustahil. Farabi berargumentasi dalam rangka menetapkan absurditas tasalsul bahwa pada sebab-sebab hakiki, rangkaian sebab-sebab dan akibat-akibat setiap sebab pada gilirannya adalah akibat bagi sebab lainnya. Terkait dengan seluruh silsilah ini dapat dikatakan bahwa semuanya bergantung pada sebab yang lain. Dan pada puncak silsilah, sebab lain harus ditetapkan sebagai bukan merupakan akibat dari sebab lainnya. Karena itu silsilah sebab ini mesti memiliki sumber dan titik-mula.
Teori kehakikan wujud (ashâlat wujud) dan ketergantungan esensial akibat kepada sebab, merupakan argumen lainnya yang dapat ditegakkan pada ujung sebab-sebab pemberi keberadaan. Apabila di balik silsilah sebab-sebab, dimana masing-masing dari sebab tersebut tidak identik dengan ketergantungan entitas mandiri yang mutlak, maka kemestiannya adalah munculnya pelbagai kebergantungan tanpa adanya sisi bergantung.
2. Tuhan, yaitu Entitas yang Qadîm dan Wâjib al-Wujud, tidak terdapat kebutuhan pada Zat-Nya dan seterusnya. Lantas bagaimana dapat dikatakan bahwa bumi (yang nota-bene merupakan sebuah fenomena dan benda) tidak membutuhkan entitas lainnya, padahal setiap entitas benda secara esensinya adalah membutuhkan; karena ia membutuhkan bagian-bagiannya dan sebagainya.
Dengan kata lain, dengan burhan kemustahilan tasalsul kita ingin menetapkan Wâjib al-Wujud dan Wâjib al-Wujud yaitu adanya entitas mandiri yang ada dengan sendiri-Nya (Swa-Ada) dan tidak memerlukan sebab bagi keberadaan-Nya. Tipologi entitas seperti ini tidak dapat ditetapkan bagi benda dan kebendaan seperti planet bumi; karena planet bumi adalah benda (jism) dan benda merupakan entitas kontingen (mumkin) dan entitas kontingen bergantung pada entitas Wajib.
Dalam pertanyaan, Anda menyinggung satu burhan yang tidak dapat Anda pahami dengan baik maknanya. Dari sisi lain, muncul anggapan bahwa Anda dapat menyelaraskan dan mencocokkan sifat Allah Swt pada entitas-entitas material dan terbatas, kemudian menghukumi bahwa Tuhan itu tidak ada.
Dengan demikian, kiranya perlu diperhatikan bahwa pertama: Kita akan mengenal dengan baik makna burhan kemustahilan tasalsul yang sebenarnya. Dan kedua, menjelaskan makna Tuhan yang sebenarnya dan menerangkan bahwa obyek (instanta luaran) entitas seperti ini tidak dapat terhimpun pada satu entitas materi yang terbatas.
Di sini kita akan menjelaskan, sebagai pendahuluan, bahwa yang dimaksud dengan tasalsul dalam terma filsafat adalah berurutnya satu rangkaian tak terbatas. Dan kaum filosof memandang tasalsul sebagai suatu hal yang absurd karena lingkaran-lingkarannya memiiki urutan hakiki dan perhimpunan dalam wujud.[1]
Untuk menetapkan absurditas tasalsul, filosof menyodorkan sebuah argumen yang akan disinggung sebagian darinya berikut ini:
Farabi dalam argumen (burhan) yang dikenal dengan nama asad akhshar berargumen sebagai berikut: “Apabila kita berasumsi bahwa pada rangkaian entitas-entitas, masing-masing lingkarannya bergantung pada yang lainnya sedemikian sehingga lingkaran sebelumnya tidak ada, maka lingkaran yang bergantung padanya juga tidak akan ada. Keniscayaan hal ini adalah bahwa seluruh rangkaian ini bergantung pada entitas lainnya; karena asumsinya adalah bahwa seluruh lingkaran ini memiliki tipologi bergantung seperti ini dan mau-tak-mau entitas yang berada di puncak rangkaian ini harus diasumsikan ada dan keberadaannya tidak bergantung pada yang lain. Dan sepanjang entitas puncak tersebut tidak ada maka konsekuensinya lingkaran rangkaian tersebut juga tidak akan pernah ada. Karena itu rangkaian seperti ini semenjak permulaan tidak dapat bersifat nir-batas dan dengan kata lain tasalsul dalam rangkaian sebab-sebab adalah mustahil (absurd).
Mulla Shadra dalam Filsafat Hikmah (Hikmah Mutâ’aliyah) menyuguhkan sebuah argumen (burhan) untuk menetapkan kemustahilan tasalsul dalam rangkaian sebab-sebab. Ulasan burhan tersebut adalah, bahwa sesuai dengan konsep kehakikian wujud (ashâlat wujud) dan relasionalnya, wujud akibat terkait dengan sebab pengadanya, setiap akibat terhadap sebab pengadanya adalah hubungan (rabth) dan kebergantungan itu sendiri dan sama sekali tidak memiliki kemandirian pada dirinya. Apabila sebab yang diasumsikan adalah akibat bagi sebab yang lebih atas, maka kondisi yang sama seperti ini akan dimilikinya. Karena itu apabila kita mengasumsikan sebuah rangkaian sebab dan akibat bahwa masing-masing dari sebab adalah akibat dari sebab lainnya, maka ia akan memiliki rangkaian kebergantungan dan keterikatan. Jelas bahwa wujud yang bergantung tanpa adanya wujud mandiri yang menjadi tempat bergantung, tidak mungkin akan pernah terwujud. Karena itu, mau-tak-mau di balik rangkaian hubungan dan kebergantungan ini, sudah seharusnya terdapat sebuah wujud mandiri yang menjadi sebab mengadanya seluruh rangkaian sebab-akibat ini. Dengan demikian, rangkaian ini tidak dapat dipandang tidak memiliki permulaan dan tanpa entitas mandiri yang bersifat mutlak.[2]
Dengan penjelasan berikut ini uraian Mulla Shadra di atas akan menjadi lebih terang: Kita membutuhkan sebuah entitas yang bukan akibat dari sebab lain dan juga tidak bergantung pada entitas selainnya. Entitas tersebut harus mandiri dan bersifat mutlak. Dan hal ini yang kita sebut sebagai Tuhan atau Wâjib al-Wujud dalam terminologi filsafat.
Dengan kata lain, inti dari persoalan ini adalah bahwa seluruh entitas tidak dapat terwujud pada puncak rangkaian lingkaran dan akibat-akibat. Entitas ini tidak dapat bergantung dan membutuhkan sehingga menjadi sandaran bagi entitas-entitas lainnya.
Nah, sekarang mari kita bertanya, bagaimana tatkala Anda sampai pada dugaan atau kesimpulan sementara bahwa planet bumi yang bercirikan benda dan merupakan wujud mumkin (kontingen), namun tidak membutuhkan esensinya sendiri? Apakah semata-mata qadim (eternal, tidak tercipta) akan mengeluarkannya dari kontingen secara esensial dan tidak menjadi huduts (tercipta) secara esensial?
Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Entitas terbagi menjadi dua. Wajib (necessity) dan kontingen (mumkin). Entitas wajib adalah entitas qadim secara esensial. Adapun entitas kontingen terbagi menjadi dua. Qadim zamâni dan hadits zamâni. Segala sesuatu yang menjadi kriteria kebutuhan sesuatu terhadap sebab disebut sebagai imkan dzati bukan huduts dzati;[3] artinya sesuatu karena pada tingkatan esensinya tidak memiliki sebab untuk mengada, membutuhkan sebab bukan karena tidak berada pada satuan waktu dan mengada kemudian.[4]
2. Segala sesuatu yang berasal dari benda dan memiliki ciri kebendaan tidak dapat menjadi Wajib dan menjadi tempat sandaran seluruh kontingen (mumkinat);[5] artinya ia tidak memiliki kontingen dan huduts dzâti meski ia merupakan qadim zamâni. Menjadi benda (jism) meniscayakan keterbatasan dan kebutuhan yang banyak sebagaimana kebutuhan benda terhadap bagian-bagiannya. Sementara Wajib adalah Nir-Akhir dan tidak memiliki batasan. Tidak terbatas dan bersifat simple. Dia tidak terbentuk dari bagian-bagian luaran (khârij) dan dalaman (dzihn, mental). Batasan dan keterbatasan ekuivalen dengan ketertundukan dan keakibatan sementara Wajib al-Wujud adalah Wujud Mutlak dan Nir-Batas.[6]
Kesimpulannya, bahwa dengan burhan kemustahilan tasalsul, kita ingin menetapkan Wâjib al-Wujud, yaitu adanya entitas mandiri yang ada dengan sendiri-Nya dan tidak memerlukan sebab keberadaannya yang tidak mandiri bergantung kepada keberadaan entitas yang lain. Dan tipologi ini tidak dapat ditetapkan bagi benda dan kebendaan seperti planet bumi; karena planet bumi adalah benda (jism) dan benda merupakan entitas kontingen (mumkin) dan entitas kontingen bergantung pada Entitas Wajib.
Akhir kata, kiranya kami memandang perlu menyebutkan bahwa untuk menetapkan wujud Tuhan terdapat banyak argumen yang disuguhkan oleh filosof dan teolog. Untuk telaah lebih jauh, kami persilakan Anda merujuk pada beberapa indeks berikut ini:
1. Pertanyaan 8515 (Site:8551), Indeks: Mengenal Tuhan.
2. Pertanyaan 1286 (Site: 1330), Indeks: Dalil-dalil Wujud dan Proses Penciptaan Tuhan.
3. Pertanyaan 1041 (Site: 1105), Indeks: Fitrah dan Pengenalan Tuhan. [IQuest]
[1]. Silakan lihat, Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Âmuzesy Falsafeh, jil. 2, hal. 80, Cetakan Kedua, Sazeman-e Tablighat-e Islami, 1366 S.
[2]. Perbedaan antara dua argumen (burhan) ini adalah bahwa pada burhan pertama pada kemutlakan sebab-sebab hakiki berlaku sebab-sebab yang secara niscaya harus ada bersama akibat. Namun burhan kedua terkhusus sebab-sebab eksistensial yang memberikan keberadaan dan pada sebab-sebab lengkap juga berlaku. Karena mencakup sebab-sebab eksistensial yang memberikan keberadaan. Silahkan lihat, Âmuzesy Falsafeh, jil. 2, hal. 81-82.
[3]. Huduts Zamâni artinya sesuatu yang didahului oleh ketiadaan secara urutan waktu dan sebagai kebalikannya adalah huduts dzati; artinya bahwa sesuatu itu memiliki sebab. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, Nihâyat al-Hikmah, hal-hal. 231-233, Muassasah al-Nasyr al-Islami, Qum.
[4]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai/Murtadha Muthahhari, Ushul Falsafeh, jil. 5, hal. 150.
[5]. Silahkan lihat, Syaikh al-Rais Abu Ali Sina/Nashiruddin Muhammad Hasan bin Thusi, Syarh al-Isyârat, jil. 3, hal. 60-61, Cetakan Kedua, Daftar Nasyr al-Kitab, 1403 H.
[6]. Nihâyat al-Hikmah, hal. 276-278.
الفصل الرابع فی أن الواجب تعالى بسیط غیر مرکب من أجزاء خارجیة و لا ذهنیة