Please Wait
10276
Memaafkan dan mengampunkan merupakan salah satu tipologi dan karakter manusia-manusia besar dan menunjukkan kebesaran jiwa seseorang. Dalam Islam, sifat ini digolongkan sebagai akhlak mulia; agama yang nabinya diutus untuk menyempurnakan akhlak dan juga memiliki budi pengerti yang agung.
Banyak ayat dan riwayat yang menegaskan kemuliaan budi pekerti ini. al-Quran dalam hal ini menyatakan, “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” Dan pada ayat lainnya, ”Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia terdapat permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” Dan firman Allah Swt lainnya, “Jika kamu menampakkan suatu kebaikan atau menyembunyikannya, atau memaafkan suatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa (meski Allah kuasa untuk membalas, namun Dia memaafkan dan mengampunkan).”
Demikian juga banyak riwayat dalam literatur dan ajaran-ajaran agama kita yang memotivasi manusia untuk memaafkan bahkan memaafkan itu merupakan salah satu tipologi dan karakter Ahlulbait As: Sirah dan ajaran kami Ahlulbait adalah memberikan maaf dan ampunan bagi orang yang menzalimi kami.” Pahala dan ganjaran manusia yang suka memaafkan berada di tangan Tuhan. Dalam riwayat kita membaca, “…pada hari perhitungan seseorang akan berseru, “Orang-orang yang memiliki hak pada Tuhan bangkitlah. Tiada orang yang akan bangkit kecuali orang-orang yang suka memaafkan. Apakah kalian tidak mendengar firman Allah Swt yang menyatakan, “Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.”
Karena itu, orang-orang beriman sejati adalah orang-orang yang berakhlak dengan akhlak Ilahi dan memaafkan orang-orang yang berbuat jahat kepadanya dan menzalimi dirinya. Tidaklah pantas bagi manusia melanggar batasan-batasan Ilahi dan melakukan perbuatan-perbuatan yang menyakiti orang; karena model perlakuan sepeti ini merupakan sejenis kezaliman dan dilarang Allah Swt: “Sesungguhnya Allah Swt tidak suka orang-orang yang berbuat zalim dan jahat.”
Memaafkan dan mengampunkan merupakan salah satu tipologi dan karakter manusia-manusia besar dan menunjukkan kebesaran jiwanya. Dalam Islam, sifat ini digolongkan sebagai akhlak mulia; agama yang nabinya diutus untuk menyempurnakan akhlak dan juga memiliki budi pengerti yang agung.
Masalah yang menjadi obyek pertanyaan adalah permusuhan, dendam dan kesumat itu pun dari seorang manusia beriman. Masalah ini dapat dikaji dalam dua bagian.
- Apa yang dimaksud dengan iman dan apa saja contoh-contohnya?
- Bagaimana sikap Islam dalam menghadapi permusuhan, dendam dan kusumat? Bagaimana cara mengobatinya?
Terkait dengan makna iman harus dikatakan bahwa para ahli tafsir terkait dengan ayat, “Orang-orang Arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk’ karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.” (Qs. Al-Hujurat [49]:14) dalam membedakan antara Islam dan iman, berkata, “Sesuai dengan ucapan ayat, “Islam memiliki satu bentuk lahir yaitu manusia dengan menyatakan dua kalimat syahadat (syahadatain) maka ia adalah seorang Muslim dan seluruh hukum Islam berlaku padanya. Adapun iman adalah urusan batin dan kedudukannya di dalam hati tidak sekedar apa yang diucapkan melalui lisan. Menerima Islam boleh jadi memiliki motif dan tujuan yang beragam; seperti untuk mendapatkan keuntungan materil atau keuntungan pribadi. Namun iman bersumber dari motif-motif ruhani, pijakannya adalah ilmu dan makrifat serta buah dan hasil ketakwaan. Makna ini adalah makna yang dinyatakan Rasulullah Saw dalam sebuah ungkapannya yang indah, “Islam adalah perbuatan dan tindakan lahir namun kedudukannya di dalam hati.”[1] Hal ini juga sebagaimana dinyatakan dalam sabda Imam Shadiq As, “Islam adalah perbuatan dan tindakan lahir yang dengannya jiwa-jiwa terjaga, amanah-amanah diserahkan kepada pemiliknya, pernikahan menjadi boleh, namun pahala dan ganjaran adalah buah iman.”[2]
Boleh jadi pada sebagian riwayat, makna Islam dibatasi pada ekspresi lisan sementara iman adalah ekspresi lisan dan mengamalkan instruksi-instruksi Islam: Iman adalah pengakuan disertai dengan amalan. Namun Islam adalah pengakuan tanpa amalan.”[3]
Makna yang sama juga disebutkan dalam ungkapan berbeda dalam pembahasan Islam dan iman. Fudhail bin Yasar berkata, “Saya mendengar dari Imam Shadiq As yang bersabda, “Iman dalam makna sama dengan Islam, sementara (makna) Islam tidak demikian. Iman adalah bercokol di hati namun Islam menjadi penghalal pernikahan, warisan dan kekebalan nyawa (terlindungi).”[4]
Demikianlah perbedaan antara Islam dan iman tatkala kata Islam dan iman di letakkan bersandingan. Namun apabila masing-masing ingin digunakan secara terpisah, boleh jadi Islam juga disebutkan untuk iman; artinya kedua kata dimaksudkan untuk satu makna.[5]
Syaikh Muhammad Jawad Mughniyah Ra dalam tafsir Kasyif sehubungan dengan perbedaan antara Islam dan iman, mengutip ucapan Dr. Thaha Husain – pakar adab dan alim terhadap rahasia-rahasia ilmu Balagha, seperti ini, “Pada masa Rasulullah Saw terdapat orang-orang beriman (Mukmin) dan kaum Muslimin. Terdapat perbedaan antara Islam dan iman. Namun yang dimaksud dengan iman pada ayat 14 surah al-Hujurat (49)[6] adalah sesuatu yang kedudukannya di dalam hati; artinya meyakini sesuatu dari kedalaman jiwa disertai dengan keikhlasan terhadap apa yang diwahyukan Allah Swt kepada rasul-Nya. Hasil dari iman seperti ini adalah menerima dan menyambut seruan Allah Swt dan Rasul-Nya tanpa sangsi dan ragu.
Kemestian lainnya iman adalah rasa takut yang mendalam terhadap Tuhan tatkala mendengar nama-Nya dan merasa mantap hatinya disertai dengan pembenaran ketika mendengar ayat-ayat Ilahi. Iman akan bertambah dan berkurang. Namun Islam ketaatan lahir dengan mengerjakan segala yang diwajibkan dan menjauhi segala yang diharamkan, meski ia tidak sampai pada tingkatan iman. Boleh jadi manusia memeluk Islam disebabkan oleh takut, sebagimana sebagian pemimpin Quraisy yang memeluk Islam pada hari Fathu Makkah (Pembebasan Kota Mekah). Sebagian lainnya karena tamak memeluk Islam seperti orang-orang Arab yang disebutkan Allah Swt pada ayat 14 surah al-Hujurat.[7]
Karena itu dapat disimpulkan bahwa Mukmin sejati adalah seseorang yang menerima agama dengan segala nilai-nilai, instruksi-instruksi dan keyakinan-keyakinannya, kendati keyakinan-keyakinan dan instruksi-instruksi tersebut bertentangan dengan keinginan dan kecendrungan hawa nafsunya.
Dari pertanyaan yang diajukan dapat dipahami bahwa salah satu pihak yang bertikai adalah seorang yang congkak dan kukuh mempertahankan perbuatannya yang salah serta tidak memperhatikan ajaran-ajaran agama, ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang dinukil dari para Imam Maksum As dalam hal ini (memaafkan dan mengampunkan).
Salah satu ayat yang diturunkan untuk memotivasi dan mendorong manusia untuk memaafkan adalah ayat 40 surah al-Syura (26) yang menyatakan, “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.”
Ayat mulia ini memiliki pemahaman yang lebih tinggi dari sekedar menjawab kejahatan dengan kejahatan yang sama. Ayat ini ingin menegaskan bahwa manusia tidak boleh dan tidak memilik hak untuk membalas melebihi batasannya dan melakukan kezaliman serta kejahatan; karena Allah Swt tidak menyukai orang-orang zalim. Apabila teman kelas, tetangga dan lain sebagainya melakukan perbuatan-perbuatan buruk dan jahat mengganggu orang lain, maka bagiamana ia dapat menjadi seorang yang beriman padahal ia telah keluar dari batasan pembalasan?
Di samping itu, ayat ini beranjak lebih tinggi dari batasan dan menyatakan, “Memaafkan dan mengampunkan lebih baik dari membalas serta lebih banyak kemuliaannya. Tidak pantas bagi seorang yang beriman membalas kejahatan dengan kejahatan, melainkan memaafkan lebih baik dan pahala manusia-manusia yang memaafkan berada dalam tanggungan Allah Swt, “Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.” Karena itu, apabila manusia melakukan hal yang sama; membalas kejahatan dengan kejahatan dan membalas dengan melanggar batasan maka ia menjadi obyek ayat, “(Allah) tidak menyukai orang-orang yang zalim.”
Bagaimana mungkin Mukmin sejati dan tidak mengamalkan instruksi iman dan akhlak seperti ini, “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia terdapat permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Qs. Al-Fusshilat [41]:34); “Jika kamu menampakkan suatu kebaikan atau menyembunyikannya, atau memaafkan suatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa (meski Allah kuasa untuk membalas, namun Dia memaafkan dan mengampunkan).” (Qs. Al-Nisa [4]:149); “(yaitu) orang-orang yang menginfakkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Qs. Ali Imran [3]:134) Terdapat banyak ayat dalam hal ini yang menyeru manusia untuk memaafkan dan berbuat kebaikan dengan memberi maaf. Bukankah sifat-sifat dan ciri-ciri orang beriman harus berakhlak dengan akhlak Ilahi? Tatkala Allah Swt dengan segala keagungan dan kebesaran-Nya menutup mata dan mengampunkan dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan kita! Lantas mengapa orang beriman tidak berlaku yang sama? Apakah ia tidak berharap kepada rahmat Allah Swt pada hari Kiamat? Manusia yang sedemikian pendendam harus tahu bahwa pasti, tanpa ragu, Allah Swt akan membalas pada hari perhitungan dengan balasan yang pedih sebagaimana ia sedemikian pelik dan susah bersikap lunak terhadap orang lain. Masalah ini adalah masalah yang tidak terdapat keraguan di dalamnya.
Diriwayatkan dari Rasulullah Saw, “Barang siapa yang memaafkan kesalahan dan kekeliruan seorang Muslim maka Allah Swt akan memaafkan kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruannya di hari Kiamat.”[8] Dalam sebuah riwayat lainnya kita membaca, “Maafkanlah orang yang telah berbuat jahat kepadamu sebagiamana engkau suka ingin dimaafkan. Karena itu belajarlah maaf Tuhan terhadap dirimu.”[9] Lebih jelas dan lebih terang dari semua ini adalah firman Allah Swt yang menyatakan, “Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Nur [24]:22) Masih banyak lagi ayat-ayat dan riwayat-riwayat dalam masalah ini dan tentu bukan tempatnya di sini untuk menyebutkan satu persatu ayat-ayat dan riwayat-riwayat tersebut.
Kami ingin mengakhiri pembahasan ini dengan satu poin bahwa memaafkan dan mengampunkan adalah ciri-ciri kebesaran jiwa dan orang-orang besar. Orang yang tidak mudah memaafkan orang lain memiliki kelemahan personalitas. Alangkah indahnya sabda Imam Shadiq As, “Sirah dan ajaran kami Ahlulbait adalah memaafkan dan mengampunkan orang-orang yang menzalimi kami.”[10] Apakah pantas manusia melupakan nilai-nilai dan ganjaran-ganjaran ini dan dengan mengerjakan perbuatan-perbuatan buruk dan tercela ia membantu nafsu ammarahnya? Nafsu yang menyeru manusia untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan buruk dan tercela. Apakah masuk akal manusia berpaling dari ganjaran Ilahi yang disediakan Allah Swt bagi manusia-manusia yang mudah memaafkan? Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Apabila Anda marah maka akhirkanlah kemarahan Anda dengan maaf dan ampunan. Pada hari Kiamat seseorang akan berseru, “Orang-orang yang memiliki hak pada Tuhan bangkitlah. Tiada orang yang akan bangkit kecuali orang-orang yang suka memaafkan. Apakah kalian tidak mendengar firman Allah Swt yang menyatakan, “Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.”[11] Jangan kita lupa bahwa setan memiliki tangan panjang dalam menciptakan makar, tipuan, was-was, dan bisikan pada orang-orang beriman dan dalam kisah Yusuf dan sikapnya menghadapi saudara-saudaranya adalah pelajaran besar dalam memaafkan dan menghadapi tipuan-tipuan setan.
Allah Swt, dalam menjelaskan bagaimana sikap Nabi Yusuf terhadap saudara-saudaranya ketika bertatap muka dengan mereka, berfirman, “Yusuf berkata, “Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampunimu, dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang. Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah baju itu ke wajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku. Tatkala kafilah itu telah keluar (dari negeri Mesir), ayah mereka berkata, “Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf, sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal.” Keluarganya berkata, “Demi Allah, sesungguhnya kamu masih berada dalam kekeliruanmu yang dahulu.” Tatkala pembawa kabar gembira itu telah tiba, maka ia meletakkan baju gamis itu ke wajah Ya‘qub, lalu dia dapat melihat kembali. Ya‘qub berkata, “Tidakkah aku katakan kepadamu, bahwa aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak mengetahuinya.” Mereka berkata, “Hai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).” Ya‘qub berkata, “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Maka tatkala mereka masuk ke (tempat) Yusuf, Yusuf merangkul ibu bapaknya dan berkata, “Masuklah kamu ke negeri Mesir, insya Allah kamu dalam keadaan aman.” Dan ia menaikkan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf. Dan Yusuf berkata, “Hai ayahku, inilah takbir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan. Dan sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku, ketika Dia membebaskanku dari penjara dan ketika membawamu dari dusun padang pasir (ke sini), setelah setan merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Lembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Yusuf [12]:92-100) [iQuest]
[1]. Thabarsi, Majma’ al-Bayân, jil. 9, hal. 138.
[2]. Kulaini, al-Kâfi, jil. 2, Bab anna al-Islam yuhqin bihi al-dam, Hadis 1 dan 2.
[3]. Ibid.
[4]. Ibid, Bab anna al-Imân..... al-Islâm
[5]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 22, hal. 210-211.
[6]. “Orang-orang Arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk’ karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu. Jika kamu taat kepada Allah dan rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
[7]. Muhammad Jawad Mughniyah, Tafsir al-Kasyif, jil. 7, hal. 125.
[8]. Mizân al-Hikmah, Harf ‘Ain, hal. 367 sesuai nukilan dari Kanz al-‘Ummâl, Hadis 7019
[9]. Ibid, hal. 377.
[10]. Mizân al-Hikmah, Harf ‘Ain, hal. 367.
[11]. Bihâr al-Anwâr, jil. 74, hal. 182.