Please Wait
15293
Wahdat Islamiyah tidak bermakna menyatukan mazhab-mazhab atau men-Syiah-kan orang Sunni atau me-Sunni-kan Orang Syiah, melainkan bermakna ittihad (persatuan) dan keutuhan para pengikut ragam mazhab dalam Islam. Seluruh kaum Muslimin selagi mereka berbeda satu dengan yang lainnya mereka dapat bersandar pada hal-hal yang disepakati secara umum (common) di hadapan musuh-musuh Islam dan membentuk barisan tunggal serta mengantisipasi infiltrasi dan penetrasi para musuh dan dominasi para penjajah atas kaum Muslimin.
Wahdah Islamiyah
Wahdah Islamiyah tidak bermakna menyatukan seluruh mazhab yang ada. Wahdah semacam ini bukan hanya tidak dapat diwujudkan namun juga bukan hal yang dituntut dari konsep wahdah. Yang dimaksud dengan wahdah adalah kebersamaan kaum Muslimin dan persatuan para pemeluk ragam mazhab dengan adanya perbedaan mereka di hadapan musuh-musuh Islam dan orang-orang asing.
Makna sebenarnya wahdah (kesatuan) Syiah dan Sunni adalah bahwa terdapat banyak hal-hal yang disepakati secara umum di antara kedua mazhab. Kedua mazhab harus berupaya untuk saling mendekati dan fokus pada hal-hal yang disepakati secara umum. Untuk menjaga dan memajukan Islam keduanya harus saling bahu-membahu dan tolong-menolong satu dengan yang lain. Karena keduanya memiliki satu musuh (common enemy). Musuh-musuh Islam adalah musuh-musuh bagi keduanya. Dalam berhadapan dengan musuh-musuh ini dan untuk mengantisipasi penyalahgunaan mereka dari segala perbedaan ini maka sepantasnya keduanya bersandar pada hal-hal common (musytarak) sehingga mereka dapat membentuk barisan tunggal dan membela diri diri di hadapan musuh-musuh yang merupakan musuh keduanya, Syiah dan Sunni.
Syiah dan Sunni, semenjak berabad dalam ragam masalah telah memiliki perbedaan pendapat dan hal ini, terkadang dilontarkan oleh para penyebar fitnah, melainkan perbedaan yang banyak dalam sejarah, dan boleh jadi salah satu sebab kelemahan kaum Muslimin dewasa ini di hadapan invasi dan agresi para penjajah Barat adalah terlalu fokus pada ikhtilaf (perbedaan) yang ada..
Syiah dan Sunni keduanya adalah Muslim dan dalam masalah keyakinan, hukum, akhlak dan sebagainya memiliki banyak kesamaan. Namun keduanya juga memiliki perbedaan yang tidak dapat diingkari. Hanya saja perbedaan ini tidak boleh berujung pada kebencian dan permusuhan dan menciderai asas persatuan dan persaudaraan Islam.
Allamah Syarafuddin al-Musawi berkata: "Politik telah menjadi sebab perbedaan Syiah dan Sunni, namun hal itu juga harus menjadi sebab persatuan Syiah dan Sunni."[1] maksudnya adalah bahwa politik kolonialisme dan konspirasi asing yang membedakan mazhab-mazhab Islam di antaranya adalah Syiah dan Sunni. Karena itu, politik Islam juga harus digunakan guna berhadap-hadapan dengan musuh bersama.
Wahdah dan Perdebatan Ilmiah
Wahdah Islamiyah tidak bermakna meninggalkan atau memakzulkan pembahasan-pembahasan dan perdebatan-perdebatan ilmiah antar dua mazhab ini. Dengan menjaga wahdah dan kesatuan langkah juga dalam domain-domain ilmiah perdebatan ilmiah dapat dilaksanakan; sedemikian sehingga musuh-musuh juga tidak dapat menyalah gunakan perdebatan ilmiah ini. Jelas bahwa untuk sampai pada persatuan, pertama-tama faktor-faktor perpecahan dan hambatan persatuan harus disingkirkan, dan kedua belah pihak mengenal secara baik akidah dan pemikiran antara satu dengan yang lain, dan hal ini, hanya dapat terlaksana dengan pembahasan dan diskusi ilmiah di antara ulama. "Ittihad" (persatuan) tidak bermakna penafian kebebasan berpikir dan penilitian, pencarian kebenaran dan tuntutan terhadap keadilan. Persatuan yang ideal adalah persatuan yang tercipta dalam frame nilai-nilai ini.
Apabila pembahasan-pembahasan dan perdebatan-perdebatan ilmiah ini dilaksanakan dengan metode ilmiah dan menunaikan etika-etika berdebat[2], bukan hanya tidak menjadi sebab perpecahan dan keretakan antara dua mazhab, melainkan akan bermuara pada pengenalan secara benar, pendekatan (taqrib) dan sebagai hasilnya adalah persatuan (ittihad). Oleh karena itu, perdebatan-perdebatan ilmiah bukan hanya tidak menjadi penyebab keretakan dan perpecahan namun sebaliknya akan menuai persatuan di kalangan umat.
Wahdah dalam lintasan Sejarah
Dengan menelaah sejarah Islam kita dapat menemukan bukti-bukti yang banyak tentang wahdat, kesatuan langkah dan buah dari wahdat tersebut di kalangan mazhab-mazhab Islam dan bukti-bukti sejarah ini kita jadikan sebagai teladan dan paragon pada masyarakat Islam.
Sirah Baginda Ali As merupakan sebaik-baiknya teladan untuk merajut persaudaraan dan kesatuan di kalangan umat Islam. Beliau untuk menjaga keutuhan dan kesatuan kaum Muslimin, tidak hanya mengabaikan haknya sendiri, bahkan beliau juga turut bekerja sama dengan para penentangnya.
Para pembesar dari kedua mazhab Syiah dan Sunni telah meletakkan batu pertama untuk wahdah ini. Orang-orang seperti Ayatullah Burujerdi, Imam Khomeini, Allamah Syarafuddin, Sayid Jamaluddin Asadabadi (Syaikh Afgani), Imam Musa Shadr dari kalangan Syiah dan Syaikh Syaltut, Muhammad Abduh dan para pembesar Sunni lainnya dapat jadikan sebagai contoh dalam menebarkan bibit persatuan dan persaudaraan di kalangan kaum Muslimin. Mereka telah menempuh langkah-langkah yang berpengaruh bagi persatuan dalam dunia Islam.
Dengan merujuk pada sejarah kita juga menemukan bukti-bukti yang bertebaran dari kerjasama dan kesatuan antara Syiah dan Sunni. Sebagai contoh Shahib bin 'Ibad Syiah, yang merupakan menteri di masa dinasi Abbasiyah, mengangkat Qadhi 'Abdul Jabbar yang merupakan ulama Ahlusunnah sebagai Qâdhi al-Qudhât (Hakim Agung).
Di antara kaum Muslimin terdapat banyak persamaan dan ruang untuk persatuan yang dengan menjadikan persamaan tersebut sebagai sentral maka persatuan di kalangan kaum Muslimin dapat diraih; al-Qur'an, Sunnah, Imam Ali As, masalah Mahdawiyat, kecintaan kepada Ahlulbasit As, pembelaan terhadap bangsa Palestina, perlawanan terhadap Amerika dan Israel, merupakan hal-hal yang disepakati secara umum di kalangan kaum Muslimin.[]