Please Wait
25803
Tuhan ada di tujuh petala langit dan bumi. Dia juga bersemayam di arsy dan dalam hati kita. Dengan kata lain, meski Tuhan tidak membutuhkan ruang dan waktu, Dia ada di setiap ruang dan waktu. Wujud-Nya dapat dirasakan di setiap waktu. Kesemua ucapan ini bukan merupakan ucapan sia-sia dan tidak bermakna, melainkan hal ini dengan sedikit cermat dapat dilakukan untuk memahaminya dengan benar – sedemikian sehingga tidak kontradiktif. Pada sebagian kecil perkara, untuk memahami keberadaan Tuhan di setiap ruang dan waktu itu memerlukan pemikiran, kontemplasi tinggi yang hanya dapat dilakukan oleh hamba-hamba khusus Tuhan.
Kemungkinan ini tetap ada bahwa seorang Muslim sejati dapat memahami keberadaan Tuhan melalui ciptaan dan makhluk-makhluk-Nya, tanpa ia harus berpikir ekstra keras untuk mengetahui dan membuang-buang waktu untuk memikirkan bagaimana wujud-Nya. Sebagaimana kita melalui cara-cara seperti ini dalam berhubungan dengan pengetahuan-pengetahuan manusia.
“Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran-Nya). Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dia-lah Yang Maha Awal dan Yang Maha Akhir, Yang Maha Zahir dan Yang Maha Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersamamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. Dan hanya kepada Allah-lah segala urusan dikembalikan. Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dan Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” (Qs. Al-Hadid [57]:1-6)
Setelah menerjemahkan ayat di atas, dalam menjawab pertanyaan di atas, pertama-tama kami akan menjelaskan sebuah riwayat kemudian memberikan analisa ringkas atas riwayat tersebut.
Hisyam bin Hakam yang merupakan salah seorang murid Imam Shadiq As, menukil bahwa seseorang bernama Abu Syakir Daishani, seorang penyembah dualism, berkata kepadaku bahwa dalam al-Qur’an Anda terdapat sebuah ayat yang menegaskan pemikiran kami yang berdasarkan penyembahan dualisme! Saya berkata, “Ayat yang mana?” Ia berkata, “Wa huwalladzi fi al-samâ ilahun wa fi al-ardh ilahun.”[1] Artinya Dia adalah Tuhan (yang disembah) di langit dan Dialah Tuhan (yang disembah) di bumi. (karena itu tampak ada dua tuhan). Saat itu aku tidak menemukan jawaban untuk aku sampaikan hingga aku mengabarkan hal ini kepada Imam Shadiq As pada hari-hari haji. Imam Shadiq As bersabda, “Tatkala Anda pulang, tanyalah kepadanya bahwa siapa nama Anda di kota Kufah? Maka ia akan menyampaikannya kepada Anda (namanya di kota Kufah)! Kemudian tanya lagi siapa nama Anda di kota Basrah ? Tentu ia akan mengulang nama yang sebelumnya telah disampaikan. Kemudian sampaikan kepadanya Tuhan kami juga demikian adanya! Dia adalah Tuhan (yang disembah) di langit dan Dia adalah Tuhan. Dia adalah Tuhan di laut dan Tuhan di di sahara. Dia adalah Tuhan (yang disembah) di mana pun!”[2]
Dengan memperhatikan riwayat yang telah dijelaskan harap Anda perhatikan dua poin berikut ini:
Poin pertama, riwayat lain yang menyoroti sebagian pertanyaan Anda yang menjelaskan nukilan dari Allah Swt, “Bumi dan langit tidak dapat memuatku. Namun aku termuat dalam hati hamba-Ku yang beriman.”[3]
Dengan asumsi bahwa hadis ini sahih,[4] pertanyaan Anda adalah bahwa apabila Anda berkata kepada sahabat Anda bahwa ia berada di hati Anda atau hatinya berdenyut untuk Anda makna dari ucapan sarat cinta ini bahwa Anda menempatkan jasmani fisiknya dalam hati Anda atau hati Anda menempati badannya dan mengalirkan darah ke seluruh anggota badannya? Tentu saja tidak demikian adanya. Kalimat seperti ini menunjukkan cinta yang melimpah Anda kepada sahabat Anda. Dengan demikian, apabila Tuhan menjelaskan bahwa Aku termuat dalam hati hamba-Ku yang beriman. Makna dari penjelasan Tuhan ini adalah bahwa hamba tersebut memiliki hubungan akrab dan lekat dengan Tuhannya, bukan bahwa Tuhan itu adalah jasmani yang menempati hati yang terangkum dalam ruang dan waktu, melainkan harus diketahui bahwa Dia adalah Pencipta ruang dan waktu yang memiliki tipologi material. Karena itu, tidak benar mencirikan dan mendeskripsikan Tuhan dengan tipologi seperti ini.
Poin kedua, pada konteks ini, arasy Tuhan tidak dapat ditafsirkan sebagai sebuah tempat khusus yang diduduki Tuhan. Tuhan menjelaskan banyak redaksi kalimat terkait dengan arasy.[5] Sekali waktu, menyebut diri-Nya sebagai Tuhan pemilik arasy”[6] Pada ayat lainnya dengan menyebut dirinya “pemilik arasy.”[7] dan terkadang duduk di atas arasy.”[8]
Jelas bahwa kita tidak dapat menafsirkan “arasy” pada seluruh ayat di atas dengan satu penafsiran tunggal. Mengikut Allama Majlisi, redaksi “arasy”, harus diperhatikan konteks penggunaan kalimatnya. Dengan memperhatikan konteks penggunaan kalimatnya maka makna khusus (kalimat) itu dapat dipahami. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan tingkat tinggi tentang ketuhanan.”[9]
Atas dasar itu, dengan memperhatikan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang tidak seperti bahasa-bahasa lainnya, di samping ia memiliki makna primer dan hakiki ia juga memiliki makna sekunder dan kiasan, maka harus dicermati penggunaan redaksi “istawa ‘ala al-arsy” yang terdapat dalam al-Qur’an dan menjadi sumber ketidakjelasan Anda.
Beberapa makna dapat digambarkan atas kalimat “istawa ‘ala al-arsy” ini:
Dalam kamus-kamus Arab, terdapat beberapa makna penggunaan “istawa.” Di antaranya, duduk, naik ke atas, muncul, menguasai dan seterusnya…[10] Jelas bahwa seluruh makna ini tidak dapat menjadi dalil bahwa tempat dan kedudukan Tuhan disebut sebagai arasy!
Coba Anda cermati sedikit syair berikut ini yang digunakan dalam menafsirkan salah satu makna “istawa,”
Qad istawa Basyar ‘ala al-Irâq
Min ghairi shaif wa dam Mahrâq
Seseorang bernama Basyar telah menguasai Irak
Tanpa menggunakan pedang dan menumpahkan darah
Apakah penggunaan redaksi “istawa” pada syair ini menunjukkan bahwa panglima perang itu, menempati seluruh negeri Irak?
Tafsir seperti ini tidak dapat diterima sekali-kali oleh mereka yang belajar sastra Arab. Karena itu, dengan memperhatikan kaidah-kaidah sastra dan tafsir maka tafsir istawa ‘ala al-arasy yang disebutkan pada ayat-ayat di atas bermakna sebuah tempat yang diduduki Tuhan di dalamnya sekali-kali tidak dapat diterima.
Boleh jadi pertanyaan yang kemudian hadir dalam benak Anda, bahwa karena kita memandang Tuhan sebagaimana entitas-entitas dan makhluk-makhluk material lainnya, maka semestinya Dia harus mendiami ruang dan waktu lain selain hati dan arasy lalu bertanya dimanakah Dia gerangan berada?
Jawaban sederhana dan globalnya bahwa Tuhan bukan dari jenis materi sehingga Dia memerlukan tempat. Mengingat sepanjang sejarah, banyak orang berhadapan dengan keburaman ini dan bahkan orang-orang beriman juga banyak menyalahkan diri sendiri untuk dapat memahami secara akurat persoalan ini maka kami memandang perlu menyampaikan beberapa persoalan penting sebagai berikut:
Apabila kita melakaukan pelancongan terhadap al-Qur’an dan riwayat maka kita akan mendapatkan poin ini bahwa orang lebih banyak memperkenalkan Tuhan melalui jalan berpikir dan berkontemplasi serta bagaimana Tuhan mengelola alam semesta ketimbang menetapkan bagaimana Tuhan berikut tipologi-Nya itu kepada masyarakat.[11]
Suatu waktu Rasulullah Saw berhadapan dengan sebuah kelompok yang sedang berpikir. Rasulullah Saw bertanya kepada mereka, “Apa yang kalian pikirkan?” Mereka menjawab kami sedang memikirkan tentang ciptaan-ciptaan Tuhan! Sembari menyokong perbuatan mereka, Rasulullah Saw menganjurkan kepada mereka untuk melanjutkan cara seperti ini dan menghindar untuk memikirkan Tuhan itu sendiri.”[12]
Imam Askari As juga dalam menjawab pertanyaan salah satu sahabatnya tentang bagaimana Tuhan itu, pertama-tama menjelaskan bahwa Tuhan tidak menghendaki kalian untuk bertanya seperti itu. Kemudian Imam Askari memberikan penjelasan dalam kaitannya dengan Tuhan.[13]
Bagaimanapun tema ini tidak terkhusus pada masalah ini saja, melainkan juga termasuk pengetahuan manusia demikian adanya:
Meski kita meyakini adanya miliaran galaksi yang masing-masing mengandung jutaan bintang dan kita tidak memiliki secuil pun keraguan tentangnya namun apabila tanpa melalui pendahuluan-pendahuluan ilmu perbintangan dan bahkan dengan melaluinya sekali pun, apabila kita ingin konsentrasi memikirkan bagaimana penciptaan satu-satu galaksi-galaksi dan bintang-bintang tersebut maka kita berhadapan dengan sebuah dunia yang penuh ketakjuban dan keheranan sedemikian sehingga tidak ada pekerjaan yang kita lakukan, meski seluruhnya adalah ciptaan Tuhan yang tidak seorang pun punya hubungan dengannya, maka kita tidak akan memperoleh ilmu yang sempurna.[14]
Namun demikian, harap diperhatikan bahwa seluruh apa yang disampaikan di atas tidak bermakna bahwa hal ini merupakan larangan adanya riset dan berpikir tentang Tuhan secara keseluruhan, melainkan orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi, baik dari sisi keilmuan dan spiritualitas, dapat melakukan hal ini dengan memperhatikan syarat-syarat dalam hal ini.
Harap Anda perhatikan riwayat di bawah ini:
“Imam Sajjad As ditanya tentang makrifatullah. Beliau menjawab bahwa di akhir zaman akan datang orang-orang yang jeli dan berpikir sublim mengetahui dengan baik tafsiran surah Tauhid dan juga ayat-ayat surah al-Hadid yang menyinggung tipologi Tuhan (ayat-ayat yang dijelaskan pada pendahuluan di atas).” [15]
Dengan kata lain, apabila bukan karena mereka, ayat-ayat ini tidak akan diturunkan. Kaum Muslimin yang semasa dengan Rasulullah Saw dan para Imam Maksum tidak mampu memahami makna hakiki ayat-ayat ini!
Atas dasar itu, meski kami tidak melarang secara mutlak pemikiran akurat, subtil dan sublim tentang Tuhan berikut tipologi wujud-Nya namun harus dikatakan orang-orang beriman secara umum tidak diminta untuk bersikap jeli dan teliti dalam hal ini. Mereka juga rata-rata tidak mampu untuk melakukan hal itu. Hanya bagi orang-orang yang telah menyiapkan pelbagai pendahuluan yang lumayan pelik memiliki hubungan maknawi yang kuat dengan Tuhan. Selain itu, masuknya orang lain dalam hal ini tidak akan memberikan kegunaan dan faidah bagi mereka kecuali kebingungan dan ketercengangan. [IQuest]
[1]. (Qs. Al-Zukhruf [43]:84)
[2]. Muhammad Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 1, hal. 128, hadis 10, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.
[3]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 55, hal. 39, Muasssah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
[4]. Karena riwayat ini tidak memiliki sanad-sanad muktabar yang dapat dijadikan sebagai sandaran.
[5]. Terkait dengan makna arasy dan kursi, kami persilahkan Anda melihat Pertanyaan No. 245 (Site: 2004) dan No. 60 (Site: 296).
[6]. (Qs. Al-Taubah [9]:129); (Qs. Al-Anbiya [21]:22); (Qs. Al-Mukminun [23]:86 & 116); (Qs. Al-Naml [27]:26); (Qs. Al-Zukhruf [43]:82), Rabb al-Arsy ‘amma yashifun.
[7]. (Qs. Al-Ghafir [40]:15); (Qs. Al-Buruj [85]:15); (Qs. Al-Isra [17]:42); (Qs. Al-Ankabut [29]:20).
[8]. (Qs. Al-A’raf [7]:54); (Qs.Yunus [10]:3); (Qs. Al-Ra’ad [13]:3) (Qs. Thaha [20]:5); (Qs. Furqan [24]:59); (Qs. Al-Sajdah [32]:4); (Qs. Al-Hadid [57]:4)
[9]. Bihâr al-Anwâr, jil. 55, hal. 31.
[10]. Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, jil. 14, hal. 414.
[11]. (Qs. Ali Imran [3]:191); (Qs. Yunus [10]:24); (Qs. Al-Ra’ad [13]:3); (Qs. Al-Nahl [16]:11 dan 69); (Qs. Al-Rum [30]:21); (Qs. Al-Zumar [35]:42); (Qs. Al-Mulk [67]:3-4) dan puluhan ayat lainnya.
[12]. Warram bin Abi Firas, Majmû’e Warrâm, jil. 10, hal. 250, Intisayarat-e Maktabat al-Faqih, Qum, tanpa tahun.
[13]. Bihâr al-Anwâr, jil. 3, hal. 260, hadis 10.
[14]. Al-Kâfi, jil. 1, hal. 103, hal. 12.
[15]. Ibid.