Please Wait
18091
Kedua aliran pemkiran Syiah dan Muktazilah memproklamirkan keadilan sebagai salah satu prinsip mazhabnya dan masing-masing meyakini tentang kebaikan dan keburukan rasional yang bermakna bahwa terdapat banyak hal dimana akal manusia dengan sendirinya dapat mengidentifikasi kebaikan atau keburukan perbuatan tersebut sekiranya tidak terdapat hukum dari sisi Allah Swt. Demikian juga, akal dapat mengidentifikasi kezaliman sebagai keburukan dan perbuatan tercela.
Atas dasar itu, Allah Swt tidak dapat melakukan keburukan ini dan tentu saja meniscayakan bahwa Allah Swt akan berbuat adil dalam perbuatan-Nya.
Namun demikian tetap ada perbedaan pada dua mazhab ini. Muktazilah berpandangan bahwa apabila seluruh perbuatan manusia kita sandarkan kepada Tuhan maka seluruh pahala dan hukum akan bertentangan dengan keadilan-Nya, mereka mempersoalkan tauhid perbuatan (af’âli). Namun Syiah tanpa menafikan tauhid perbuatan, memandang perbuatan manusia sebagai perbuatan mandiri, dengan penjelasan bahwa perbuatan manusia berada pada lintasan vertikal perbuatan Tuhan dan bukan pada lintasan horizontalnya (atau sejajar), tanpa harus mengabaikan keyakinan terhadap keadilan Tuhan dan berhasil keluar dari jalan buntu ini.
Perbedaan Muktazilah dan Syiah dalam masalah keadilan bersumber dari poin ini bahwa meski kedua mazhab ini menjadikan keadilan sebagai salah satu prinsip mazhabnya, namun Muktazilah untuk menetapkan keadilan telah mempersoalkan masalah tauhid af’âli (perbuatan).
Tauhid af’ali artinya adalah bahwa pelaku seluruh pekerjaan, baik dan buruknya, adalah dari Allah Swt dan selain-Nya tidak memiliki sisi kepelakuan atas setiap perbuatan dan pada hakikatnya sepanjang Allah Swt tidak berkehendak maka tiada satu pun kejadian yang akan terjadi.[1]
Sepertinya keburaman dan kesamaran ini mengemuka bagi Muktazilah bahwa apabila pelaku seluruh perbuatan baik dan buruk itu adalah Allah Swt maka ganjaran dan hukuman, surga dan neraka tidak akan sejalan dengan konsep keadilan? Karena itu, menurut mereka, kita tidak boleh menerima konsep tauhid af’âli dan perbuatan setiap orang hanya harus disandarkan kepada orang tersebut dan bukan kepada Allah Swt sehingga kita dapat menselaraskan ganjaran dan hukuman sesuai dengan konsep keadilan.
Namun Syiah meyakini bahwa konsep tauhid af’ali tidak berseberangan dengan kehendak dan keinginan manusia. Boleh jadi kehendak manusia terealisir pada jajaran vertikal kehendak Tuhan kendati tanpa kehendak Ilahi, manusia tidak akan dapat mewujudkan kehendaknya. Namun pada saat yang sama, kita dapat meyakini bahwa Allah Swt berkehendak dalam cakupan kekuasaannya yang luas secara vertikal, bukan pada lintasan horizontalnya, memberikan pelbagai wewenang kepada manusia sehingga berdasarkan hal ini, Allah Swt memberikan pahala dan hukuman kepada mereka.
Untuk telaah lebih jauh dalam masalah ini, kami meminta Anda memperhatikan beberapa poin yang ditulis dalam masalah ini sebagai berikut:
Kedudukan Keadilan dalam Keyakinan Muktazilah
Muktazilah meyakini sebagian perbuatan sejatinya termasuk sebagai keadilan dan sebagian lainnya adalah kezaliman. Misalnya tatkala Allah Swt memberikan pahala kepada orang-orang yang berbuat kebaikan dan memberikan hukuman terhadap para pendosa sejatinya sama dengan keadilan dan mustahil Tuhan berbuat sebaliknya, karena Allah Swt itu Mahaadil dan sekali-kali tidak akan melakukan kezaliman. Kezaliman tercela bagi Allah Swt.
Dalam konteks ini, mazhab Muktazilah adalah mazhab yang menerima konsep baik-buruk secara rasional dan esensial (husn wa qubh aqli wa dzati).
Sebagaimana yang ditulis oleh Ustad Muthahhari dalam hal ini, “Mereka meyakini bahwa prinsip baik dan buruk segala sesuatu karena telah menjadi kriteria dan pakem seluruh perbuatan manusia maka ia juga dapat menjadi kriteria dan pakem seluruh perbuatan Ilahi. Mereka berkata keadilan adalah baik secara esensial dan kezaliman adalah buruk secara esensial, Allah Swt yang merupakan Akal Nirbatas bahkan yang memberikan emanasi terhadap seluruh akal, sekali-kali tidak akan meninggalkan perbuatan yang dikenali baik oleh akal dan tidak akan mengerjakan perbuatan yang dikenali buruk oleh akal.
Muktazilah meyakini bahwa akal manusia mampu mengidentifikasi baik dan buruk segala sesuatu secara mandiri terlepas dari adanya penjelasan Syari’ (baca: Tuhan). Misalnya akal mampu mengidentifikasi perbuatan-perbuatan baik secara esensial seperti berkata jujur, menjaga amanah, menjaga kesucian, takwa dan lain sebagainya. Demikian juga, akal mampu mengenal dengan baik perbuatan-perbuatan keji dan tercela secara esensial sebagian perbuatan seperti berkata dusta, berkhianat, berbuat kemungkaran dan lain sebagainya. Hal ini merupakan masalah yang menuntut masalah-masalah lain yang sebagiannya berkaitan dengan masalah Ketuhanan dan sebagian lainnya bertautan dengan manusia bahwa apakah penciptaan segala sesuatu memiliki maksud dan tujuan atau tidak?
Disebutkan bahwa untuk mendukung konsep keadilan, Muktazilah mengingkari konsep tauhid dalam perbuatan-perbuatan dan meyakini bahwa keniscayaan tauhid af’âli adalah manusia bukan menjadi pelaku atas perbuatan-perbuatannya, melainkan Tuhanlah yang menjadi pencipta perbuatan-perbuatan tersebut dan tentu saja hal ini bertentangan dengan konsep keadilan Ilahi. Demikian juga, Muktazilah menentang Asy’ariyyah yang mengingkari kebebasan dan ikhtiar manusia.
Karena itu, inti konsep keadilan dalam pandangan Muktazilah dapat dipahami, sebagaimana Syiah, yang menjadikan keadilan sebagai salah satu prinsip iman dan keyakinan dan keadilan merupakan prinsip kedua dari lima prinsip agama dalam mazhab Muktazilah.
Hanya saja Muktazilah mengorbankan konsep tauhid af’ali untuk menyelamatkan kosnep keadilan dan Asy’ariyyah mengorbankan keadilan dengan dalih ingin menyelamatkan tauhid af’ali; namun sejatinya Muktazilah tidak mampu menjelaskan dengan benar konsep keadilan dan juga Asy’ariyyah tidak mampu memaparkan dengan benar kerumitan tauhid af’ali.” Dengan ulasan singkat ini, kita dapat melihat perbedaan asasi Asya’riyyah dan Muktazilah sehubungan dengan masalah tauhid dan keadilan.
Keadilan dalam Pandangan Syiah Imamiyah
Ulama Syiah dengan inspirasi dari wahyu al-Qur’an dan sabda Rasulullah Saw serta Ahlulbait Rasulullah Saw menjadikan masalah keadilan sebagai prinsip kedua dari lima prinsip keyakinan Syiah. Mereka meyakini bahwa baik dan buruk perbuatan adalah masalah rasional dan bersifat esensial. Artinya bahwa sebagian perbuatan secara esensial adalah baik dan terpuji namun sebagian lainnya buruk dan tercela.
Akal manusia, terlepas dari hukum syara, dapat secara mandiri memahami baik dan burukny a sebagian perbuatan; seperti hukum akal atas baiknya berbuat adil dan buruknya berbuat zalim. Atas dasar itu, Allah Swt tidak akan memerintahkan kecuali kepada kebaikan dan perbuatan layak. Di samping itu, Allah Swt juga tidak melarang kecuali perbuatan-perbuatan buruk dan keji. Hukum-hukum syariat juga berputar pada poros pelbagai maslahat dan mafsadah yang terdapat pada seluruh ikutannya. Di atas prinsip inilah segala sesuatunya memiliki keburukan dan Syari’ tidak melarangnya karena perbuatan buruk dan keji tidak akan keluar dari-Nya sehingga dengan demikian hal ini meniscayakan bahwa Allah Swt itu adil.
Syahid Muthahhari dalam hal ini menulis, “Allah Swt menganugerahkan emanasi dan rahmat-Nya demikian juga musibah dan karunia-Nya berdasarkan pelbagai kelayakan esensial dan pada sistem penciptaan, berlaku emanasi dan rahmat, musibah, ganjaran dan hukuman khusus Ilahi. Meski dua mazhab Muktazilah dan Syiah pada kebanyakan masalah keyakinan memiliki kesamaan, karena itu, keduanya dikenal sebagai penganut aliran Adliyah; namun demikian terdapat juga beberapa perbedaan di antara dua mazhab ini; sebagai contoh, dalam mazhab Syiah, prinsip keadilan ditegaskan dalam maknanya yang menyeluruh tanpa menciderai konsep tauhid af’ali atau tauhid dzati. Karena itu, konsep keadilan diletakkan berdampingan di samping konsep tauhid.
Dalam mazhab Syiah, prinsip keadilan, kehormatan akal, kepribadian merdeka dan bebas manusia, sistem yang bijaksana yang belaku di alam semesta telah ditetapkan tanpa menciderai tauhid dzati atau tauhid af’ali. Kebebasan manusia dapat ditetapkan dan ditegaskan tanpa menampakkan manusia sebagai mitra dalam kepemilikian Ilahi dan kehendak Ilahi tunduk pada kehendak manusia. Qadhâ dan qadar Ilahi di alam semesta telah dibuktikan tanpa berujung pada deterministiknya manusia di hadapan qadhâ dan qadar Ilahi.”
Adapun maksud Muktazilah terkait dengan konsep keadilan lebih berpijak pada tauhid sifati bukan pada tauhid af’ali; karena mereka meyakini bahwa tauhid af’ali bertentangan dengan keadilan. Muktazilah memaknai tauhid sifati sebagai terlepasnya zat dari segala sifat dan tidak mampu menetapkan keidentikan sifat Tuhan dengan zat-Nya. Berbeda dengan tauhid sifati Syiah yang bermakna identiknya sifat dengan zat dan juga tauhid af’âli Syiah berbeda dengan tauhid af’âli Asya’riyyah. Tauhid af’âli Asy’ariyyah bermakna bahwa tiada satu pun makhluk yang memiliki efek, kecuali seluruhnya secara langsung berasal dari Allah Swt. Karena itu, pencipta langsung seluruh perbuatan para hamba juga adalah Tuhan dan hamba bukan pencipta dan pelaku perbuatannya sendiri.
Namun tauhid af’âli Syiah bermakna bahwa berlaku sistem kausalitas dan setiap efek tatkala ia bersandar (qâ’im) sendiri dengan sebab dekatnya (qarib) juga pada saat yang sama bersandar (qâ’im) pada Tuhan dan keduanya terjadi dalam lingkup vertikal bukan secara horizontal. Dengan demikian, tauhid dalam pandangan Syiah mencakup tauhid dzati, ‘ibâdi, sifati dan af’âli yang selaras dan sejalan dengan prinsip keadilan Ilahi.
Ulama Syiah Imamiyah berkat ilham dari wahyu samawi dan kemampuan berpikir, berasionisasi tentang ajaran-ajaran Islam, doa-doa yang dimiliknya dan riwayat-riwayat argumentatif khususnya khutbah-khutbah Imam Ali As sebagai penggagas pertama pembahasan rasional yang jeluk dalam ajaran-ajaran Islam, mampu dengan menjaga keutuhan dan persatuan Islam, wilayah dan keyakinan pasti Islam (di hadapan pelbagai kesamaran [syubha] baru dan kontemporer orang-orang kafir melawan Islam) membela secara ilmiah, argumentatif dan kokoh.
Atas dasar itu, kebanyakan filosof Islam adalah berasal dari mazhab Syiah dan mampu melanjutkan aliran filsafat Islam Syiah sebagaimana para sejarawan Sunni mengakui bahwa akal Syiah semenjak dahulu adalah akal filosofis, yaitu pemikiran Syiah semenjak dahulu adalah pemikiran argumentatif dan rasional.
Karena itu, ulama Syiah, berkat pengaruh ajaran-ajaran dan emanasi-emanasi para Imam Maksum As, mampu memahami kedudukan dan signifikansi prinsip keadilan Ilahi dalam sunnah dan sirah Ilahi para pengajar aliran wahyu dan juga menetapkannya bagi orang-orang sedunia.
Dengan demikian, prinsip keadilan dalam mazhab Syiah memiliki kedudukan yang tipikal karena pasca wafatnya pengajar wahyu, Muhammad Mustafa Saw, murid unggulnya yaitu Imam Ali bin Abi Thalib As adalah Imam Pertama Syiah yang keduanya merupakan kristalitasi keadilan, persamaan dan pencari kesempurnaan. Apabila keadilan dari konsep mentalnya terealisir dalam tataran luaran, maka yang pertama adalah Muhamamd Saw dan kemudian Ali bin Abi Thalib As. Apabila esensi dua model sempurna umat manusia ini tersebar maka yang tersebar adalah keadilan; karena keduanya merupakan sunnah Ilahi dimana keadilan mendidih pada seluruh wujudnya, sebagaimana Allah Swt berfirman terkait dengan sirah Rasulullah Saw, “Terdapat pada diri Rasulullah Saw bagi kalian teladan sempurna..” [iQuest]
Pesan dari ayat ini bahwa bukan hanya sirah Rasulullah Saw teladan namun juga mengingatkan kepada seluruh manusia bahwa mereka harus belajar dari sirah Rasulullah Saw karena beliau adalah model dan teladan sempurna bagi seluruh manusia pada setiap masa.[2] [iQuest]
[1]. “Dan kamu tidak mampu untuk berkehendak kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al-Insan [76]:30); “Dan kamu tidak dapat berhendak kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam.” (Qs. Al-Takwir [81]:29)
[2]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Definisi Keadilan Takwini dan Tasyri’i.