Please Wait
10673
Dalam menjawab pertanyaan ini kami akan menyebutkan beberapa poin sebagai berikut:
- Definisi kata “din” (agama):
Agama (din) bermakna, patuh, tunduk, mengikut, taat, berserah diri dan perolehan ganjaran. Dalam al-Qur’an terkadang disebut sebagai aturan-aturan, dustur dan keputusan-keputusan yang dibuat manusia[1] dan terkadang digunakan untuk agama-agama batil. Misalnya sekumpulan aturan dan hukum yang dibuat oleh penguasa Qithbiyan atas Bani Israel[2] atau atas aturan-aturan para perompak dan para penyembah berhala Arab,[3] hal-hal ini disebut sebagai agama (din).
Dari sudut pandang al-Qur’an agama adalah seperangkat keyakinan, akhlak dan aturan yang berguna untuk pembinaan manusia dan pengelolaan pelbagai urusan sosial. Sejatinya, agama merupakan bahasa terang penciptaan dimana bagian fundamentalnya termasuk ilmu tentang manusia, alam semesta dan pengetahuan tentang metode dan pendekatan sampainya manusia kepada kebahagiaan abadi. Agama yang benar adalah agama yang ditata dan diatur oleh Allah Swt.[4] Karena hanya Dia yang mengetahui seutuhnya alam dan manusia dan aturan yang diterapkan berdasarkan pengetahuan valid tentang segala kemampuan dan potensi yang terdapat pada manusia.[5]
Dengan demikian yang kami maksud dengan agama adalah terkhusus agama-agama Ilahi yang dapat ditinjau pada tingkatan dan derajat yang beragam:
- Agama nafsul amr. Artinya apa yang terdapat pada ilmu Tuhan dan kehendak Rabbani untuk memandu manusia ke arah kebahagiaan. Karena substansi manusia adalah satu maka resep untuk meraih kebahagiaan juga adalah satu. Dan kesimpulannya universalitas agama dan tidak mengikut pada kondisi ruang dan waktu.
- Agama mursal (yang diturunkan). Artinya apa yang datang dari Tuhan untuk memandu manusia disampaikan kepada para rasul dimana pada satu sisi sumbernya adalah agama nafs al-amr dan atas alasan ini mengandung unsur-unsur universalitas. Dari sisi lain, sesuai dengan generasi dimana agama ini diutus kepada mereka. Dengan memperhatikan kondisi ruang dan waktu orang-orang yang diserunya (mad’u) maka ia mengandung unsur-unsur situasional dan kondisional.
- Agama maksyuf (yang disingkap). Artinya apa yang datang dari agama nafs al-amr atau agama mursal dengan merujuk kepada akal atau naql (Qur’an dan Sunnah) yang menjadi jelas bagi manusia.
- Agama yang terlembagakan. Artinya bagian dari agama yang disingkap yang menjadi umum dan terlembagakan dan berbentuk ajaran kolektif manusia.[6]
- Kata filsafat juga memiliki makna yang beragam: Cinta kepada pengetahuan, ilmu terhadap hakikat-hakikat segala sesuatu, usaha rasional dan argumentatif untuk memahami realitas-realitas alam eksistensi, ilmu universal.[7]
- Menjelaskan hubungan agama dan filsafat bergantung pada penentuan makna agama dan filsafat; misalnya apabila postulat kita maknai sebagai titik mula (starting point) penelitian dan agama bermakna fitri yaitu jalan untuk sampai kepada Tuhan kemudian mendefinisikan filsafat sebagai cinta kepada pengetahuan maka dapat kita katakan bahwa esensi filsafat memiliki kesatuan dengan esensi agama. Karena itu, postulat yaitu titik mula penelitian dan gerakan akan menjadi satu pada keduanya; filsafat dan agama.
Adapun apa yang dimaksud dengan postulat tunggal di sini memerlukan pembahasan yang terpisah (mencakup iman dan cinta kepada pengetahuan dan lain sebagianya).
Namun apa yang terdapat pada alam eksternal, filsafat keluar dari esensi aslinya disusul dengan terdegradasinya agama dari esensi fitrahnya menjadi etika-etika mazhab dan taklid. Sebagai hasilnya masing-masing mengambil jalan dan metodenya sehingga postulat dari keduanya berbeda satu sama lain.
Sebagai contoh, filsafat karena hubungannya terlepas dari fitrah agama, maka pada akhirnya berusaha, berada pada tataran menetapkan atau menolak Tuhan dan menjadikan proposisi-proposisi pikiran (internal) sebagai postulatnya. Agama fitri secara asasi tidak meragukan keberadaan Tuhan. Agama menyatakan bahwa Tuhan lebih dekat dan lebih esensial dari manusia sendiri ketimbang kepada dirinya. Tujuan agama adalah bersua dengan Tuhan bukan menetapkannya. Mereka yang mengingkari Tuhan adalah orang-orang kafir yaitu orang yang menutupi hakikat.
Karena itu, sepanjang terma filsafat dan agama digunakan pada esensi aslinya maka keduanya memiliki kesatuan; akal dan agama adalah satu. Namun tatkala menyimpang dari esensinya maka keduanya saling berseberangan, seperti pertentangan antara para penyokong akal dan penyokong nukilan (naql).
Dewasa ini kebanyakan filsafat dan penelitian filsafat postulatnya bukan semata-mata berkisar ihwal Tuhan, bahkan berbicara tentang tiadanya Tuhan; karena Tuhan bukan merupakan perkara internal pikiran. Namun postulat agama – agama yang bermakna fitrah yang sejatinya berkaitan dengan hati manusia –adalah iman yang berpijak pada pengetahuan tentang Tuhan. Karena itu, kita menyaksikan adanya kontradiksi antara filsafat dan agama.
Dari satu sisi, agama adalah ikutan pikiran yang merupakan salah jenis filsafat analitik atau filsafat mental yang berada dalam bentuk lain dan dijelaskan dengan terma-terma lainnya. Akar jenis agama taklidi seperti ini bukan hati dan iman kalbu, melainkan semata-mata perkara mental (dzihni). Karena itu keduanya diragukan dan dalam terminologi al-Quran disebut sebagai “zhan”. “Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu buat-buat; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, sedang sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.” (Qs. Al-Najm [53]:23) [iQuest]
[1]. “Maka mulailah Yusuf (memeriksa) karung-karung mereka sebelum (memeriksa) karung saudaranya sendiri, kemudian dia mengeluarkan piala raja itu dari karung saudaranya. Demikianlah Kami tunjukkan jalan keluar kepada Yusuf. Yusuf tidak mungkin dapat mengambil saudaranya menurut undang-undang raja (Mesir), kecuali Allah menghendakinya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki, dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.” (Qs. Yusuf [12]:76)
[2]. “Dan berkata Firaun (kepada pembesar-pembesarnya), “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhan-nya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.” (Qs. Al-Ghafir [40]:26)
[3]. (Jika demikian), untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.” (Qs. Al-Kafirun [109]:6)
[4]. “Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong.” (Qs. Al-Nashr [110]:2); “Dan perangilah mereka itu sehingga tidak ada fitnah (syirik) lagi dan (sehingga) agama itu hanya semata-mata untuk Allah.” (Qs. Al-Baqarah [2]:193); “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah (kemusyrikan) dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (Qs. Al-Anfal [8]:39) “Katakanlah, “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan. Luruskanlah muka (diri)mu di setiap masjid (dan pada saat melaksanakan ibadah) dan sembahlah Allah dengan memurnikan agama(mu) kepada-Nya.” (Qs. Al-‘Araf [7]:29); “Perangilah orang-orang yang telah diberikan al-Kitab yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian, yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah). Dia-lah yang telah mengutus rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai. ” (Qs. Al-Taubah [9]:29 & 33); “Kekuasaan Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah adalah Tuhan Yang Maha Hak, sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah adalah batil, dan sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Qs. Al-Hajj [22]:62)
[5]. Abdullah Jawadi Amuli, Syari’at dar Aini Ma’rifat, hal. 93-97. Mahdi Hadawi Tehrani, Bawârha wa Pursesyhâ, hal. 16-17.
[6]. Diadaptasi dari Pertanyaan 111.
[7]. Diadaptasi dari Pertanyaan 9771.