Please Wait
Hits
18931
18931
Tanggal Dimuat:
2013/12/25
Ringkasan Pertanyaan
Apakah dibolehkan menjual buah yang masih di atas pohon?
Pertanyaan
Apakah boleh menjual buah-buahan di atas pohonnya? Soalnya kalau tanaman jahe itu tidak boleh dengan alasan karena tidak jelas atau tidak tampak? Terima kasih
Jawaban Global
Terdapat empat kondisi yang dapat digambarkan terkait dengan buah yang masih di atas pohon:
- Tidak ada satu pun buah yang terlihat di atas pohon.
- Buah telah tampak dan kelihatan namun masih belum laik untuk dimakan dan diperjual-belikan (badwi al-salāh).[1]
- Buah telah kelihatan dan telah laik untuk dimakan serta diperjualbelikan namun belum sepenuhnya matang.
- Buah telah kelihatan dan juga telah melalui masa badwi al-salāh serta buahnya juga telah matang.[2]
Buah yang terkategorikan pada bagian keempat pastilah jual belinya sah,[3] namun pada tiga bagian lainnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan fukaha.
Dengan mengkaji literatur-literatur fikih dapat disimpulkan bahwa para fakih pada masa sebelumnya (qudama) mengklaim adanya konsensus (ijma) dalam menghukumi beberapa bagian dari empat bagian di atas, sementara fukaha pada masa kontemporer memberikan fatwa pada masalah yang sama berseberangan dengan konsesus yang diklaim oleh qudama.
Dengan memperhatikan aplikatifnya persoalan dan kebutuhan pengguna yang budiman supaya beramal sesuai dengan fatwa fukaha dan marja taklid kontemporer, karena itu kami tidak akan menjelaskan pandangan para fakih masa lalu terkait dengan persoalan ini.
Pada kesempatan ini kami akan menjelaskan pandangan para fakih masa kontemporer sebagai berikut:
Menjual Buah Sebelum Matang
Ayatullah-ayatullah agung, seperti Imam Khomeini, Ayatullah Khui, Ayatullah Wahid Khurasani dan Ayatullah Siistani berkata, “Tidak dibenarkan menjual buah sebelum matang dan tampak kelihatan, untuk satu masa petik tanpa disertai dengan sesuatu yang lain sebagai lampiran,[4] namun dibenarkan menjualnya untuk dua masa petik dan atau lebih dengan adanya sesuatu yang dilampirkan.[5]
Ayatullah Bahjat Rah berkata, “Tidak dibenarkan jual-beli buah yang masih di atas pohon sebelum nampak dan kelihatannya buah itu untuk satu masa petik atau dua masa petiks. Namun tidak ada masalah dan dibenarkan menjualnya untuk satu masa petik atau lebih dari satu masa petik disertai dengan lampiran.[6]
Ayatullah Shafi Gulpaigani berkata, “Menjual buah sebelum kelihatan dan nampak untuk satu masa petik tidak dibenarkan secara mutlak, entah dijual dengan lampiran atau tanpa lampiran, kecuali lampiran itu yang menjadi maksud utamanya dan buah itu mengikutinya. Demikian juga dalam menjualnya untuk dua masa petik juga, mengikut prinsip ihtiyath, disertai dengan lampiran.[7]
Ayatullah Makarim Syirazi berkata, “Mengikut prinsip ihtiyath menjual buah sebelum kelihatan buahnya harus disertai dengan sesuatu (sebagai lampiran).”[8]
Menjual Buah Setelah Matangnya
Ayatullah Shafi Gulpaigani, Ayatullah Agung Wahid Khurasani, Imam Khomeini, Ayatullah Agung Khui, Ayatullah Bahjat berkata, “Menjual buah setelah matangnya, apabila telah badwi al-silâh atau dijual untuk dua masa petik atau disertai dengan lampiran, dibolehkan dan tidak ada masalah.”[9]
Namun menjualnya tanpa adanya salah satu syarat yang telah disebutkan, terdapat perbedaan kecil di antara fukaha; sebagian[10] berkata boleh menjual buah tersebut mengikut pendapat yang lebih kuat dalam hal ini. Namun penjualan ini hukumnya makruh dan sebagian lainnya[11] berkata, “Boleh menjual buah tersebut mengikut pendapat yang lebih kuat namun berdasarkan ihtiyâth baiknya tidak menjual buah tersebut.[12]
Ayatullah Agung Makarim Syirazi berpadangan bahwa jual-beli buah-buahan setelah matangnya tidak memerlukan tiga syarat yang telah disebutkan bahkan meyakini bolehnya melakukan jual-beli buah-buahan setelah matang dan tumbuhnya biji sedemikian sehingga pada umumnya sehat dan selamat dari penyakit.[13] [iQuest]
[1]. Artinya tatkala buah mengikuti kebiasan dan tradisi yang berkembang di masyarakat telah tiba masanya layak untuk dimakan, meski pada masa-masa awalnnya, Sayid Abul Qasim Musawi Khui, Minhâj al-Shâlihin, jil. 2, hal. 62, Nasyr Madinah al-‘Ilm, Qum, Cetakan Dua Puluhdelapan, 1410 H; Husain Wahid Khurasani, Minhâj al-Shâlihin, jil. 3, hal. 74, Madrasah Imam Baqir As, Qum, Cetakan Kelima, 1428 H.
[2]. Sayid Abdul A’la Sabzawari, Muhaddzab al-Ahkâm fi Bayân al-Halâl wa al-Harâm, Riset dan edit oleh, Muassasah al-Manar, jil. 18, hal. 60, Muassasah al-Manar, Daftar Ayatullah, Qum, Cetakan Keempat, 1413 H.
[3]. Muhaddzab al-Ahkâm, jil. 18, hal. 60.
[4]. Sesuatu yang dilampirkan di sini bisa berupa pohon, buah yang lain dan sejenisnya.
[5]. Sayid Ruhullah Musawi Khomeini, Zubdah al-Ahkâm, hal. 150-151, Sazeman Tablighat Islami, Cetakan Pertama, 1404 H; Minhâj al-Shâlihin (lil Khui), jil. 2, hal. 62; Minhaj al-Shâlihin (lil Wahid), jil. 3, hal 74; Sayid Ali Siistani ; al-Masâil al-Muntakhabah, hal. 307, Daftar Ayatullah Siistani, Qum, Cetakan Kesembilan, 1422 H.
[6]. Muhammad Taqi Bahjat, Wasâil al-Najâh, hal. 485, Intisyarat Syafaq, Qum, Cetakan Kedua, 1423 H.
[7]. Luthfullah Shafi Gulpaigani, Hidâyah al-‘Ibâd, jil. 1, hal. 339, Dar al-Qur’an, Qum, Cetakan Pertama, 1416 H.
[8]. Nasir Makarim Syirazi , Risâlah Taudhih al-Masâil, hal. 326, Intisyarat Madrasah Imam Ali bin Abi Thalib As, Qum, Cetakan Kedua, 1424 H
[9]. Hidâyah al-‘Ibâd (lil Shafi), jil. 1, hal. 339; Minhâj al-Shâlihin (lil Wahid), jil. 3, hal. 74; Zubdah al-Ahkâm, hal. 150-151; Minhâj al-Shâlihin (lil Khui), jil. 2, hal. 62; Wasilah al-Najâh, hal. 485
[10]. Imam Khomeini dan Ayatullah Bahjat.
[11]. Ayatullah Agung Shafi, Ayatullah Agung Khui, Ayatullah Wahid.
[12]. Hidâyat al-‘Ibâd, jil. 1, hal. 339; Zubdah al-Ahkâm, hal. 150-151; Minhâj al-Shâlihin (lil Khui), jil. 2, hal. 62; Wasilah al-Nâjah, hal. 485; Minhâj al-Shâlihin (lil Wahid), jil. 3, hal 74.
[13]. Risâlah Taudhih al-Masail (Makarim), hal 326.
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar