Please Wait
Hits
10108
10108
Tanggal Dimuat:
2014/05/08
Kode Site
id23446
Kode Pernyataan Privasi
36742
- Share
Ringkasan Pertanyaan
Apa hukumnya sikat gigi di kamar mandi dan kolam renang?
Pertanyaan
Apakah sikat gigi di kolam renang akan menyebabkan sikat gigi? Karena ada riwayat yang menyatakan demikian, “Bersikatan di kamar mandi itu dibenci akan menyebabkan sakit gigi.” (Man La Yahdhuruhu al-Faqih 1/53).
Jawaban Global
Dalam agama Islam, setiap orang dianjurkan untuk memperhatikan kebersihan dan kesehatan badan.[1] Salah satunya adalah menyikat gigi yang banyak dianjurkan dalam ajaran-ajaran agama.
Sikat gigi pada masa Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As, meski menggunakan sebatang kayu dari pohon khusus, namun secara pasti, juga tetap dianjurkan menggunakan miswak dan sikat gigi-sikat gigi yang umum digunakan dewasa ini bahkan sebagian ulama meluaskan ruang lingkupnya dan berpandangan, “Menyikat gigi...mengoleskan sesuatu untuk membersihkan gigi dari kotoran, meski dengan jari akan tetapi lebih baik menggunakan kayu dari pohon Arak.”[2]
Terdapat banyak riwayat sehubungan dengan penggunaan miswak.
Sikat gigi pada masa Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As, meski menggunakan sebatang kayu dari pohon khusus, namun secara pasti, juga tetap dianjurkan menggunakan miswak dan sikat gigi-sikat gigi yang umum digunakan dewasa ini bahkan sebagian ulama meluaskan ruang lingkupnya dan berpandangan, “Menyikat gigi...mengoleskan sesuatu untuk membersihkan gigi dari kotoran, meski dengan jari akan tetapi lebih baik menggunakan kayu dari pohon Arak.”[2]
Terdapat banyak riwayat sehubungan dengan penggunaan miswak.
- Rasulullah Saw bersabda, “Sekiranya Aku tidak takut (akan) memberatkan umatku maka saya akan mewajibkan mereka bersiwak (menyikat gigi) setiap kali mereka salat.”[3] Akan tetapi pada sebagian literatur, pada bagian akhir riwayat, ungkapan, “pada waktu wudhu setiap salat.”[4]
Sebagian riwayat lainnya berisi anjuran untuk bersiwak sebagai berikut:
- Rasulullah Saw dalam menganjurkan Amirul Mukminin Ali As bersabda, “Wahai Ali! Janganlah engkau meninggalkan bersiwak yang menyebabkan bersihnya mulut, keridhaan Tuhan dan menjernihkan mata, membersihkan makanan yang tersisa di sela-sela gigi akan mengundang kecintaan para malaikat. Para malaikat bersedih hati dari bau mulut yang tidak dibersihkan dari slilit yang terdapat di sela-sela giginya.”[5]
- Dan juga diriwayatkan, “Dalam bersiwak terdapat 10 keutamaan: Membersihkan gigi dan mendatangkan keridhaan Tuhan, menambahkan 70 kebaikan. Bersiwak merupakan sunnah Rasulullah Saw. Menghilangkan kekuningan dan memutihkan gigi. Menguatkan gusi. Menghilangkan lendir dan menguatkan mata serta menimbulkan nafsu makan.”[6]
- Imam Shadiq As bersabda, “Dua rakat salat dengan bersiwak itu lebih utama daripada 70 shalat tanpa bersiwak lebih dahulu."[7]
Akan tetapi bersiwak di sebagian tempat seperti tempat pemandian hukumnya makruh dan dalilnya adalah beberapa riwayat berikut ini:
- Imam Baqir As bersabda, “Bersiwak di kamar mandi makruh; karena akan menyebabkan sakit gigi.”[8]
- Imam Shadiq As bersabda, “Jauhilah oleh kalian bersiwak di kamar mandi karena akan menyebabkan sakit gigi.”[9]
Riwayat kedua meski mengikut pandangan secara lahir menyinggung tentang keharamannya namun tatkala disandingkan dengan riwayat-riwayat lainnya demikian juga hukum mustahab mu’akkad supaya setiap orang bersiwak maka dapat disimpulkan hukum makruh dari perbuatan ini. Oleh itu, kumpulan riwayat ini dapat disimpulkan hukum makruh bersiwak (sikat gigi) di kamar mandi dan atas dasar itu banyak ulama yang menjelaskan hukum makruh dari perbuatan ini.[10]
Demikian juga kata wabah meski bermakna penyakit yang menyebar, namun juga bermakna penyakit secara mutlak.[11] Bahkan sebagian ulama memaknai wabah ini sebagai rontoknya gigi. “Bersiwak di kamar mandi akan merontokkan gigi-gigi.”[12]
Dalam mengurai dalil dari inferensi hukum seperti ini kita dapat mempertimbangkan beragam hikmah di antaranya bahwa kamar mandi pada masa lalu berbentuk umum dan tentu saja digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat; karena itu penggunaan airnya untuk bersiwak dan masuknya air ke mulut boleh jadi berpotensi menyebarkan ragam penyakit. Hikmah ini juga diterapkan terkait dengan kolam renang atau pemandian dan semisalnya. Karena itu, tidak diizinkan untuk bersiwak di kolam renang-kolam renang dan tempat-tempat yang digunakan oleh masyarakat secara umum. [iQuest]
Demikian juga kata wabah meski bermakna penyakit yang menyebar, namun juga bermakna penyakit secara mutlak.[11] Bahkan sebagian ulama memaknai wabah ini sebagai rontoknya gigi. “Bersiwak di kamar mandi akan merontokkan gigi-gigi.”[12]
Dalam mengurai dalil dari inferensi hukum seperti ini kita dapat mempertimbangkan beragam hikmah di antaranya bahwa kamar mandi pada masa lalu berbentuk umum dan tentu saja digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat; karena itu penggunaan airnya untuk bersiwak dan masuknya air ke mulut boleh jadi berpotensi menyebarkan ragam penyakit. Hikmah ini juga diterapkan terkait dengan kolam renang atau pemandian dan semisalnya. Karena itu, tidak diizinkan untuk bersiwak di kolam renang-kolam renang dan tempat-tempat yang digunakan oleh masyarakat secara umum. [iQuest]
[1]. Silahkan lihat, Kerapian dan Kebersihan Para Pria untuk Sang Istri, Pertanyaan 18699; al-Quran dan Kesehatan Fisik, Pertanyan 30004; Kebersihan dan Perawatan dalam Hadis Nabawi, Pertanyaan 2122; Rahasia Kesehatan Fisik, Pertanyaan 4616.
[2]. Silahkan lihat, Sayid Muhammad Kazhim Thabathabai Yazdi, al-‘Urwah al-Wutsqâ (al-Muhassyâ), penyusun, Ahmad Muhsini Sabzawari, jld. 1, hlm. 351, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Cetakan Pertama, 1419 H.
[3]. Muhammad Yakub Kulaini, al-Kâfi, Riset dan edit oleh Ali Akbar Ghaffari dan Muhammad Akhundi, jil. 3, hal. 22, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, Cetakan Keempat, 1407 H; Ahmad bin Muhammad Burqi, al-Mahâsin, riset oleh Jalaluddin Muhaddtis, jil. 2, hal. 561, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Qum, Cetakan Kedua, 1371 H.
«لَوْ لَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِی لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاکِ عِنْدَ کُلِّ صَلَاةٍ»
«لَوْ لَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِی لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاکِ عِنْدَ کُلِّ صَلَاةٍ»
[4]. Hasan bin Fadhl Thabarsi, Makarim al-Akhlâq, hal. 50, Syarif Radhi, Qum, Cetakan Keempat, 1412 H; Syaikh Shaduq, Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih, riset dan edit oleh Ali Akbar Ghaffari, jil. 1, hal. 55, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Cetakan Kedua, 1413 H; Muhammad Taqi Majlisi Awall, Raudha al-Muttaqin fi Syarh Man Lâ Yahduhuruh al-Faqih, Riset dan edit oleh Sayid Husain Musawi Kermani, Ali Panah Isytihardi dan Sayid Fadhlullah Thabathabai, jil. 1, hal. 177, Muasssah Farhanggi Islami Kusyanpur, Qum, Cetakan Kedua, 1406 H.
[5]. Hasan bin Ali Ibnu Syu’bah al-Harrani, Tuhaf al-‘Uqul ‘an Âli al-Rasul Saw, Riset dan edit oleh Ali Akbar Ghaffari, hal. 14, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Cetakan Kedua, 1404 H.
«یَا عَلِیُّ عَلَیْکَ بِالسِّوَاکِ فَإِنَّ السِّوَاکَ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ وَ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ وَ مَجْلَاةٌ لِلْعَیْنِ وَ الْخِلَالُ یُحَبِّبُکَ إِلَى الْمَلَائِکَةِ فَإِنَّ الْمَلَائِکَةَ تَتَأَذَّى بِرِیحِ فَمِ مَنْ لَا یَتَخَلَّلُ بَعْدَ الطَّعَام»
«یَا عَلِیُّ عَلَیْکَ بِالسِّوَاکِ فَإِنَّ السِّوَاکَ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ وَ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ وَ مَجْلَاةٌ لِلْعَیْنِ وَ الْخِلَالُ یُحَبِّبُکَ إِلَى الْمَلَائِکَةِ فَإِنَّ الْمَلَائِکَةَ تَتَأَذَّى بِرِیحِ فَمِ مَنْ لَا یَتَخَلَّلُ بَعْدَ الطَّعَام»
[6]. Syaikh Shaduq, al-Khishâl, Riset dan edit oleh Ali Akbar Ghaffari, jil. 2, hal. 449, Daftar Intisyarat Islami, Cetakan Pertama, 1362 S; Syaikh Hurr Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 2, hal. 12, Muassasah Alu al-Bait As, Qum, Cetakan Pertama, 1409 H.
[7]. Al-Kâfi, jil. 5, hal. 74; Syaikh Hurr al-Amili, Hidâyah al-Ummah ila Ahkam al-Aimmah (Muntakhab al-Masail), jil. 1, hal. 127, Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Masyhad, Cetakan Pertama, 1412 H.
[8]. Makârim al-Akhlâq, hal. 49; Muhamma Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 73, hal. 136, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cetakan Kedua, 1403 H.
«یُکْرَهُ السِّوَاکُ فِی الْحَمَّامِ لِأَنَّهُ یُورِثُ وَبَاءَ الْأَسْنَان»
«یُکْرَهُ السِّوَاکُ فِی الْحَمَّامِ لِأَنَّهُ یُورِثُ وَبَاءَ الْأَسْنَان»
[9]. Syaikh Shaduq, ‘Ilal al-Syarâ’i, jil. 1, hal. 292, Kitabpurusyi Dawari, Cetakan Pertama, 1385 S; Wasail al-Syiah, jil. 2, hal. 26.
«إِیَّاکَ وَ السِّوَاکَ فِی الْحَمَّامِ فَإِنَّهُ یُورِثُ الْوَبَاءَ فِی الْأَسْنَان»
«إِیَّاکَ وَ السِّوَاکَ فِی الْحَمَّامِ فَإِنَّهُ یُورِثُ الْوَبَاءَ فِی الْأَسْنَان»
[10]. Muhammad Baqir Mir Damad Astarabadi, Syari’ al-Najâh fi Ahkam al-‘Ibâdah, Riset dan diedit oleh Sayid Muhammad Jawad Jalali dan Sayid Mahdi Thabathabai, hal. 135, Muassasah Dair al-Ma’arif Fiqh Islami Bar Madzhab Ahlubait As, Qum, Cetakan Pertama, 1426 H.
[11]. Khalil bin Ahmad Farahidi, Kitâb al-‘Ain, Riset dan edit oleh Mahdi Makhzumi dan Ibrahim Samarai, jil. 8, hal. 418, Hijrat, Qum, Cetakan Kedua, 1410 H; Muhammad bin Mukarram Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, jil. 2, hal. 189, Dar al-Fikr lil Thiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, Dar Shadir, Beirut, Cetakan Ketiga, 1414 H.
[12]. Muhammad Taqi Isfahani (Majlisi Awwal), Lawâmi’ Shahib Qarâni, jil. 2, hal. 31, Muasassah Ismailiyan, Qum, Cetakan Kedua, 1414 H.
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar