Please Wait
10479
Doa Samât atau syabbur merupakan salah satu doa paling popular yang mencakup Ism A’zhâm Tuhan dan memiliki makrifat agung, tinggi dan dalam pada bidang irfan.
Hal yang bisa disebutkan secara ringkas mengenai sebagian dari unsur-unsur penting doa Samât adalah pada doa ini telah diusahakan bahwa Allah Swt itu dibaca dan diseru dengan Ism A’zham (nama-nama teragung-Nya), dengan para nabi dan dengan tempat-tempat suci, tempat Allah Swt berbicara dengan para utusan-Nya dan menurunkan wahyu kepada mereka. Mayoritas ungkapan-ungkapan dan istilah-istilah doa ini dinukil dari ayat-ayat al Qur’an dan mengisyarah kepada ungkapan wahyu.
Perlu dikatakan bahwa mayoritas dari lafaz-lafaz yang disebutkan dalam al Qur’an, kata-kata wahyu dan ungkapan-ungkapan para Imam suci as – seperti: langit, bumi, ighlâq (tertutup), mafâtih (kunci-kunci), shirath (jalan), mizân (timbangan) dan lain-lain – itu dimaksudkan adalah hakikat-hakikat universal dan makna-makna global dimana pada masing-masing itu yang dimaksudkan adalah sebuah obyek (mishdâq) dari obyek-obyek mereka yang akan dijelaskan pada jawaban detil berikut ini.
Pengantar
Doa Samât atau Syabbur merupakan salah satu doa paling popular yang mencakup Ism A’zham Allah Swt (nama-nama teragung Allah Swt) dan mengandung makrifat agung, tinggi dan dalam pada bidang Irfan. Doa ini dinukil oleh Muhammad bin Utsman ‘Amri dari wakil khusus Imam Zaman Ajf dari Imam Baqir As dan Imam Shadiq As.
Membahas seluruh apa yang ada dalam doa ini bisa berujung pada penyusunan sebuah buku yang bertemakan Uraian Doa Samat yang tentu saja tidak akan dapat ditampung dan diwakili oleh dimana tulisan sederhana ini.
Dengan demikian, kami sarankan kepada Anda untuk merujuk kepada buku-buku yang sudah ada yang membahas dan menjelaskan tentang doa ini. Adapun penjelasan sederhana dan cukup ringkas mengenai sebagian hal-hal yang terdapat pada doa ini dapat dikatakan bahwa para Imam Maksum As membacanya dan bersumpah kepada Allah Swt dengan menggunakan Asma al-Husna (nama-nama terindah Tuhan) dan Ism ‘Azhâm (nama-nama teragung), dengan menyebut nabi-nabi dan utusan-utusan-Nya, para wali, dengan menyebut tempat-tempat suci, yang menjadi tempat Allah Swt berbicara dengan para nabi dan menurunkan wahyu untuk mereka, supaya pintu-pintu rahmat-Nya senantiasa terbuka untuk mereka.
Adalah hal yang menarik untuk diungkapkan bahwa mayoritas yang ada dalam doa ini itu diambil dari ayat-ayat al-Quran dan menyinggung kalam-kalam Ilahi.
Kebanyakan ungkapan-ungkapan para Imam Suci As – seperti: langit, bumi, ighlâq (tertutup), mafâtih (kunci-kunci), shirâth (jalan), mizân (timbangan) dan lain-lain – itu dimaksudkan adalah hakikat-hakikat universal dan makna-makna global yang mengacu pada sebuah obyek (mishdâq) dari obyek-obyek mereka. Sebagai contoh bahwa yang dimaksud mizân adalah hal apa saja ditimbang dengannya, baik hal itu sesuatu yang sifatnya empirik (mahsus) seperti timbangan ataupun sesuatu yang bersifat spiritual (ma’nawi) seperti ilmu Logika yang dengannya kita bisa menimbang-nimbang mana cara berpikir yang benar dan mana cara berpikir yang salah. Atau keadilan Ilahi dan agama hak yang dengannya kita bisa memilah mana keyakinan yang batil dan mana yang benar, dan juga mana akhlak yang terpuji dan mana yang tidak terpuji. Seperti firman Allah Swt: ”Allah-lah yang menurunkan kitab dengan benar dan (menurunkan) neraca (keadilan). Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat?.”[1] Dalam ayat ini mizan adalah sifat al Qur’an[2] atau sebuah agama[3] yang mencakup pengetahuan-pengetahuan (maarif) ilahi dan akidah-akidah kebenaran serta hukum Ilahi yang menjadi asas dan dasar kebahagiaan dan jalan yang lurus dalam penghambaan dan pengabdian (kepada Allah Swt).
Demikian juga Juga pada sebagian ziarah-ziarah, Imam Ali As diperkenalkan sebagai “Mizân al-A’mâl” (parameter amal).[4]
Penjelasan Beberapa Frase dan Istilah
Al-A’azzi al-Ajal al-Akram: Artinya Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan (perantara) asmâ-Mu Yang Maha Agung, yang teragung, termulia dan terbesar.
Penyebutan ketiga sifat-sifat Ilahi ini pada permulaan doa sebagai pujian untuk-Nya, adalah menjelaskan bahwa yang disifati dengan sifat-sifat ini, yaitu Allah Swt merupakan sumber segala hajat dan puncak dari segala keinginan dan Dia Maha Penyayang dalam memenuhi seluruh hajat itu. Jadi sama sekali tidak ada kemuliaan yang dapat mendekati kemuliaan-Nya, karena Dia memberi nikmat sedemikian banyak yang tiada yang mampu menyamainya dalam memberi, setiap nikmat itu bersumber dari-Nya atau Dia yang membuat dan menciptakannya dan atau Dia yang menciptakan sebab-sebabnya dan mempermudah untuk meraih dan mencapai hal itu.
Oleh karena itu, yang dimaksud sifat mulia (akram) disini adalah pemberian dan anugerah-Nya itu di atas pemberian siapapun, karena setiap orang yang memberi kepada orang lain, itu karena untuk suatu tujuan sementara Allah Swt memberi bukan untuk apa-apa dan selain itu, pemberian orang lain itu juga pada dasarnya merupakan pemberian dan anugerah Allah Swt.[5]
Ism ‘Azhâm: Di antara pembahasan mengenai nama-nama Allah Swt yang banyak menarik perhatian orang dan ulama-ulama dalam bidang filsafat, irfan dan lain-lain[6] membahasnya secara detil, adalah tentang Ism ‘Azhâm Ilahi. Salah satu arif yang membahas secara tepat dan multidimensi tentang Ism ‘Azhâm adalah Imam Khomeini Ra. Beliau terkait dengan hakikat kegaiban Ism ‘Azhâm berkata, “Tidak ada seorang pun yang mengetahui hakikat kegaibannya Ism ‘Azhâm, kecuali Allah Swt sendiri.
Pembahasan lain Imam Khomeini Ra tentang Ism ‘Azham, berhubungan dengan masalah makam dan kedudukan lafaznya dimana beliau mengatakan: hakikat Ism ‘Azhâm berdasarkan lafaz dan ungkapannya, itu hanya diketahui oleh wali-wali yang telah ridha dan ulama-ulama yang dalam pengetahuannya (rasikhun) dan hal ini tidak diketahui oleh orang lain dan apa yang ada dan disebutkan tentang Ism ‘Azhâm dan atau kata-katanya dalam kitab-kitab kalangan ‘arif dan masyayikh, itu diambil dari riwayat-riwayat sahih dan atau merupakan mukasyafah (penyingkapan) dan riyadhat (penempaan) yang diraih oleh mereka ketika hendak meninggalkan dan pergi dari dunia.
Hakikat eksternal (haqiqat-e ‘aini) Ism ‘Azhâm adalah insan kamil yang merupakan khalifah Allah Swt di seantero jagad raya dan insan kamil itu adalah “hakikat Muhammadi” yang entitas permananennya (‘ain-e tsabit)-nya itu telah menyatu dengan Ism ‘Azhâm pada makam Ilahiyah serta entitas-entitas permanen (a’yân tsabitah) dan bahkan nama-nama Ilahi itu dianggap sebagai bentuk pengejawantahan dan manifestasi hakikat ini, karena entitas-entitas permanen (a’yân tsabitah) merupakan penampakan-penampakan dan entifikasi (ta’ayyun) dari nama-nama Ilahi dan esensi permanen hakikat Muhammadi dan entitas permanen (‘ain-e tsabit) hakikat Muhammadi adalah entitas permanen (‘ain tsâbit) Ism A’zhâm Allah Swt dan nama-nama serta sifat-sifat lain merupakan manifestasi-manifestasi dan cabang-cabangnya. Jadi seluruh fenomena alam penciptaan merupakan manifestasi dan penampakan dari Hakikat Muhammadi.[7]
Maghâliq dan mafâtih: Maghâliq adalah sesuatu yang dengannya pintu ditutup dan miftah (singular mafâtih) adalah sesuatu yang dengannya pintu yang tertutup itu dibuka. Maksudnya bahwa dengan perantara Ism A’zhâm maka ikatan-ikatan dan segala yang tertutup akan terbuka. Hal ini sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa maksud dari sama’ (langit), ardh (bumi), abwâb (pintu-pintu), mafâtih (kunci-kunci) dan maghâliq adalah hakikat-hakikat universal.
Maksud dari abwâb al-samâ’ (pintu-pintu langit) dalam doa ini adalah di antaranya mengisyarah kepada terbukanya pintu-pintu kedermawanan disebabkan karena rahmat dan turunnya keberkahan, dan atau mengisyarah kepada turunnya hujan dan diijabahnya doa dan atau merupakan bentuk kiasan dari dikabulkannya doa dan sampainya ia ke langit. Maksud dari terbukanya pintu-pintu bumi juga adalah kesempitan dan kesulitan-kesulitan serta penderitaan-penderitaan.[8]
Singkatnya bahwa makna beberapa paragraf pertama dari doa itu adalah wahai Tuhan-ku dengan penuh kerendahan jiwa, daku memohon kepada-Mu dan bersumpah kepada-Mu dengan nama-nama-Mu yang Zat-Nya Maha Agung dan sifat-sifat serta perbuatan-perbuatan-Nya adalah Maha Besar lagi Perkasa, dimana tidak ada sesuatu pun yang menyamai dan setara dengan sifat-sifat-Nya yang Agung itu. Ism A’zhâm mencakup serta menampung seluruh bentuk kebajikan dan kemuliaan, dimana dengan keagungan nama ini maka kapan saja Anda berdoa dan bersumpah dengannya, akan terbuka dan terselesaikan segala kesulitan dan derita yang menimpa siapa saja.[9] Oleh karena itu, maksud dari al sama’ (langit) pada frase-frase ini adalah alam non-material dan bukan alam atau dunia natural.
Majd: Majd mengandung arti kemuliaan yang lapang dan kebesaran yang agung dan majd berarti yang mulia dan yang pemurah (karim), dan ini merupakan suatu sifat yang khusus untuk Allah Swt, karena ia merupakan salah satu sifat Jalâl.[10] Maksud dari majd adalah Allah Maha Besar dan kebesaran jiwa-Nya (diri-Nya). “Bimajdika” itu bisa berarti bertawasul dengan kebesaran diri-Mu dan atau huruf “ba” untuk sumpah dan mengandung arti demi kebenaran kebesaran diri-Mu.
Muqaddasin dan Karubiyin: Maksud dari muqaddasin dan karubiyin adalah para malaikat yang sangat dekat dengan Allah Swt.
Ardhi Mishra Bitis’i Ayat: Frase ini mengikut (‘athf) kepada kata “kallamat” pada permulaan kalimat. Yakni demi kebesaran diri-Mu yang berbicara dengan Nabi Musa As di Muqaddasin dan di negeri Mesir, dimana ketika itu ia disertai dengan sembilan mukjizat dan tanda-tanda. Doa ini mengisyarah kepada firman Allah Swt yang artinya:”Dan masukkanlah tanganmu ke leher bajumu, niscaya ia akan keluar putih (bersinar) tanpa bercacat. (Kedua mukjizat ini) termasuk sembilan buah mukjizat (yang akan kamu bawa) kepada Fira'un dan kaumnya...”[11]
Tanda-tanda yang sembilan macam itu adalah:[12]
- Tangan yang putih (bersinar);
- Tongkat berubah menjadi ular raksasa;
- Angin topan yang menghancurkan musuh-musuh;
- Jarad (serangan belalang terhadap tanaman pertanian dan pepohonan);
- Qumal (sejenis hama yang merusak tanaman);
- Dhafadhi’ (serangan katak dari sungai Nil ke kehidupan orang-orang);
- Dam (penyebaran luas akan hidung berdarah atau sungai Nil berubah warna seperti warna darah);
- Kelaparan dan kekeringan;
- Laut terbelah menjadi dua.
Masjid Khaif: Khaif adalah lereng yang tidak bisa dirusak dan dibawa oleh banjir.[13] Dan khaif yang ada di Mina adalah letaknya seperti demikian. Dan mungkin masjid Khaif itu disebut demikian karena terletak di Mina. Nabi Muhammad Saw dan ribuan nabi lainnya pernah salat di tempat itu.[14]
Bi’ri Syiya’in atau Bi’ri Sab’in: Sebuah sumur yang Allah Swt ber-tajalli ketika menemui Nabi Ishak As dan tempat itu menjadi sebuah tempat dan yang suci. Dikatakan bahwa Nabi Ibrahim As yang menggali sumur tersebut dan ia memberi kambing kepada seseorang yang bernama Aba Malik yang menjaga sumur tersebut. Dengan demikian, sumur tersebut diberi nama bi’ri sab’in. Tajalli dan penampakan Allah Swt atas Nabi Ishak As di Bi’ri Syiya’in dimana disana diwahyukan kepada beliau untuk tidak pergi ke Mesir dan tinggal disana, melainkan pergi ke negeri yang Aku (Allah) katakan yang akan Aku lapangkan dan Aku berkati untukmu...”[15]
Thursina: Sebuah bukit yang berada di Syam (Suriah).
Rabawatil Muqaddasin: Yakni tanah-tanah yang tinggi dan bukit yang mana menjadi tempat turunnya wahyu kepada Nabi Musa as.[16]
Jabal Huritsa: Jabal Huritsa adalah sebuah bukit yang terletak di negeri Syam (Suriah) dimana Nabi Musa As untuk pertama kalinya berdialog dengan Allah Swt. Tentunya, dikatakan bahwa ia itu sebuah bukit yang terletak di Madyan, kota kaum Nabi Syu’aib yang terletak berhadapan dengan Tabuk, sebuah tempat di antara Madinah dan Syam dan di sana ada sebuah sumur yang Nabi Musa as mengambil air untuk putri-putri Nabi Syu’aib as.[17]
‘Amudin Nar: Mengikut kepada al-muqaddasin dan berposisi sebagai zharf (sebuah istilah dalam ilmu nahwu) bagi “kallamat” dan mengandung arti berdialog dengan Nabi Musa As pada kobaran api. Maksud dari itu adalah sebuah api yang disaksikan oleh Nabi Musa As di bukit Thursina dimana hal itu diinformasikan Allah Swt dalam al-Quran yang artinya: "Sesungguhnya aku melihat api, (maka berhentilah di sini). Aku kelak akan membawa kepadamu kabar darinya, atau aku membawa kepadamu suluh api supaya kamu dapat berdiang dan merasa hangat."[18]
Mungkin maksud dari kobaran atau suluh api adalah sebuah api yang pada malam hari bersama mereka dan menjadi penerang dan dengan pancaran cahanya, mereka bisa menemukan dan melihat jalan.
Tabut Syahâdah: Sebuah kotak yang dibawa Nabi Yusuf As dari Thurisina menuju bukit huritsa dimana pada siang hari awan putih menaunginya dan pada malam hari memancarkan sinar dan kobaran api. Dikatakan bahwa itu adalah suatu tabut yang Allah Swt kirim untuk ibu Nabi Musa As guna dihanyutkan di sungai. Kemungkinan tabut itu adalah merupakan warisan para nabi, dari sejak Nabi Adam As hingga penutup para nabi (Rasulullah Saw) dan saat ini berada di tangan Imam Zaman Ajf.[19]
Ghamâim al-Nur: Suatu awan putih yang muncul untuk Nabi Musa As di banyak tempat dan cahaya al Haq ber-tajalli padanya. Salah satunya di Thursina tatkala nampak awan putih di atas bukit dan dari atas awan itu Nabi Musa As mendengar kalam (firman) Allah Swt.[20]
Qubbah al-Rummân: Sebuah kubbah yang dibangun oleh Nabi Musa As dan Nabi Harun As atas perintah Allah Swt yang terletak di antara Khabaul Mahdhar yang di dalamnya tersimpan tabut syahadah dan tentunya bisa saja ia itu adalah qubbah al zaman dan maksud dari Qubbah al-Zaman itu adalah Baitul Maqdis. Nampaknya pendapat ini tidak benar, karena pada masa Nabi Musa As Baitul Maqdis itu belum dibangun dan belum punya wujud ekstrenal dan baru beberapa waktu kemudian ia dibangun oleh Nabi Daud As dan Nabi Sulaiman As.
Allamah Majlisi berkata, Qubbah al-Zamân itu dibangun oleh Nabi Musa As dan Nabi Harun As atas perintah Allah Swt di padang pasir dan menjadi tempat ibadah beliau.[21]
Jabal Fârân: Jabal Fârân adalah sebuah bukit di antara bukit-bukit yang terdapat di Mekkah yang dijadikan tempat munajat oleh Rasulullah saw.[22] Dan munculnya Tuhan di Sa’ir dan di Jabal Fârân bermakna sebagai berikut: Munculnya wahyu dan perintah serta nampaknya kehendak dan kekuasaan Allah Swt, sebagaimana wahyu yang diturunkan kepada Nabi Musa As di Thursina dan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Isa As di Sa’ir dan wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah Saw di bukit Faran.
Bait Eil: Sebuah rumah yang dibangun Nabi Yakub As dari batu ketika hendak pergi ke pamannya untuk menikah dengan putri pamannya, yang menjadi tempat ibadahnya dan bukan untuk tempat tinggal.[23]
Sa’ir: Sebuah bukit yang Allah Swt turunkan wahyu kepada Nabi Isa As.[24]
Mitsâq Ibrahim: sebuah berita gembira dimana pada usia yang cukup tua, Allah Swt menganugerahkan seorang putra bernama Ishak dan setelah itu Yakub kepada Nabi Ibrahim As. Imam Shadiq As bersabda: Maksud dari mitsâq ini adalah kepemimpinan (imamah) keluarga Rasulullah Saw yang telah dijanjikan Allah Swt kepada Nabi Ibrahim As. Abu Bashir berkata: Saya bertanya kepada Imam Shadiq As perihal firman Allah Swt: waja’alaha kalimatan baqiyatan fii ‘aqibihi (dan Allah Swt menjadikannya itu sebagai kalimat yang senantiasa ada setelah Nabi Ibrahim As), Imam Shadiq As bersabda: Hal itu adalah imamah yang telah Allah Swt tetapkan pada keturunan Imam Husain As.[25] Ada sebagian yang mengatakan bahwa maksud dari mitsâq Ibrahim adalah tablig dan risalah serta ajakan kepada tauhid dan jalan lurus.[26] [iQuest]
Untuk telaah lebih jauh tentang hal-hal yang ada dalam doa ini, Anda bisa merujuk ke buku-buku berikut ini:
- Syarh-e Du’a-e Samât, Sayid Ali Qadhi Thabathabai.
- Rawaih al-Nasâmat, Sayid Hasan Mir Jahani Thabathabai.
- Âb-e Hayat dar Syarh-e Du’ay-e Samât, Mulla Abdurrasul Madani Kasyani.
- Bihâr al-Anwâr, Allamah Majlisi, jil. 87, hal. 101-127.
[1]. (Qs. Al-Syura [42]:17).
[2]. Husaini Hamadani, Sayid Muhammad Husain, Anwâr-e Derakhsyân, jil. 15, hal. 37, Riset oleh Muhammad Baqir Behbudi, Kitabpurusyi Luthfi, Teheran, cet. 1, 1404 H.
[3]. Sayid Muhammad Husain, Thabathabai, al-Mizân, jil. 18, hal. 38 dan 39, Daftar-e Intisyarat-e Islami, Qom, Cetakan Kelima, 1417 H.
[4]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihar al-Anwâr, jil. 97, hal. 287, Muassasah al Wafa’, Beirut, 1404 H.
[5]. Silahkan lihat, Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune; Thabarsi, Majma’ al-Bayân, Ayat 3 surat al-‘Alaq.
[6]. Silahkan lihat, jikan up alam salat)n salat sebagaimana salat Rasulullah Saw maka mereka harus lebih teliti dan cermat. Sayid Muhammad Husain, Thabathabai, al-Mizân, Terjemahan Persia, Sayid Muhammad Baqir Musa Hamadani, jil. 8, hal. 464, Daftar-e Intisyarat-e Islami, Qum, 1370 S.
[7]. Silahkan lihat, Imam Khomeini, Syarh-e Du’ay-e Sahar, hal. 188-201.
[8]. Sayid Hasan Mir Jahani Thabathabai, Rawâih al-Nasâmat dar Syarh-e Du’ay-e Samât, hal. 141, Shadr, Tehran, Cetakan Ketiga, 1370 S.
[9] . Rawâih al-Nasâmat dar Syarh-e Du’ay-e Samât, hal. 142.
[10]. Majma’ al-Bahrain, jil. 3, hal. 143, kata “Majd”.
[11]. (Qs. Al-Naml [27]:12)
[12]. Silahkan lihat, tafsiran-tafsiran ayat berikut, Qs. Al Isra’ (17):101; (Qs. Al-Naml (27):12.
[13]. Khaif adalah tempat yang rendah dari bukit dan lebih tinggi dari tempat mengalirnya air, kamus bahasa Dehkhuda, kata Khaif.
[14]. Kulaini, al-Kâfi, jil. 4, hal. 59, hadits 4, Darul Kutub al Islamiyah, Tehran, 1365 Syamsi.
[15]. Rawâih al-Nasâmat dar Syarh-e Du’ay-e Samât, hal. 394.
[16]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihar al-Anwâr, jil. 87, hal. 123.
[17]. Rawâih al-Nasâmat dar Syarh-e Du’ay-e Samât, hal. 348.
[18]. (Qs. Al-Naml [27]:7).
[19]. Rawâih al-Nasâmat dar Syarh-e Du’ay-e Samât, hal. 334-337.
[20]. Ibid, hal. 334.
[21]. Ibid, hal. 408-420.
[22]. Majma’ al Bahrain: jil. 6, hal. 294, kata Farn.
[23]. Rawâih al-Nasâmat dar Syarh-e Du’ay-e Samât, hal. 399.
[24]. Majma’ al-Bahrain, jil. 3, hal. 331, kata Sa’ar.
[25]. Bihâr al-Anwâr, jil. 25, hal. 260.
، "عَنْ أَبِي بَصِيرٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ع عَنْ قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَ جَعَلَها كَلِمَةً باقِيَةً فِي عَقِبِهِ، قَالَ هِيَ الْإِمَامَةُ جَعَلَهَا اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ فِي عَقِبِ الْحُسَيْنِ ع بَاقِيَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ"
[26]., Mulla Abdurrasul Madani Kasyani, Âb-e Hayat dar Syarh-e Du’ay-e Samât, Koreksi oleh Muhammad Husain Madani, hal. 145, Bustan-e Ketab, Qum, Cetakan Pertama, 1389 S.