Please Wait
10756
Pertanyaan ini mungkin dapat dijawab dengan menjelaskan filsafat kegaiban, masalah penantian (intizhâr), pengaruh dan keberkahan yang dapat diraup atas keberadaan Imam Zaman Ajf pada masa kegaiban. Disebutkan bahwa falsafah kegaiban Imam Zaman Ajf tujuannya adalah supaya tiada satu pun baiat yang menggelayut di pundak Imam Zaman atau supaya Imam terhindar dari bahaya pembunuhan. Jelas bahwa hikmah-hikmah seperti ini tidak menuntut sehingga Imam Zaman harus lahir sebelum kemunculannya.
Namun terdapat hikmah-hikmah lainnya yang dapat menjelaskan bahwa Imam Zaman Ajf itu hidup hingga sekarang dan manfaat dan pengaruh seperti ini tidak akan tampak sekiranya Imam Zaman itu tidak hidup atau belum lahir:
A. Salah satu tujuan kemunculan Imam Zaman adalah untuk mengubah dunia dan, menciptakan tatanan peradaban baru berdasarkan nilai-nilai ilahi. Hal ini tidak akan tercapai kecuali bahwa masyarakat dunia telah melihat dan merasakan pelbagai ragam pemerintahan dan peradaban. Mereka menyaksikan langsung pelbagai kegagalan pemerintahan dan peradaban tersebut dalam merealisasikan seluruh cita dan asa umat manusia sehingga mereka menantikan terbentuknya pemerintahan Imam Mahdi Ajf. Dengan demikian, tersedia ruang dan waktu sehingga umat manusia siap untuk menerima kemunculan pemerintahan Imam Mahdi Ajf.
B. Kegaiban Imam Zaman Ajf adalah media ujian bagi para hamba Tuhan. Apa yang menjelaskan kemestian kegaiban (ghaibah) adalah keharusan hidupnya imam yang hidup dan ghaib sehingga menjadi media untuk mengimplementasikan sunnah Ilahi yaitu ujian bagi para hamba Tuhan.
C. Di samping redaksi kegaiban Imam Zaman juga terdapat redaksi penantian (intizhâr). Intizhâr di samping menyebabkan pembangunan jiwa seseorang juga berguna bagi masyarakat. Dan dua persoalan ini kendati seseorang tidak meyakini imam yang hidup juga dapat dijelaskan. Akan tetapi pengaruh keyakinan terhadap imam yang hidup, yang sewaktu-waktu dapat muncul, semakin berlipat ganda dalam menghasilkan dua manfaat personal dan sosial-kemasyarakatan ini.
Manfaat dan Keberkahan Kehadiran Imam Zaman pada Masa Kegaiban
Pada sebagian riwayat, Imam Zaman Ajf pada masa kegaiban dicitrakan laksana surya di balik awan dan di antara manfaat surya ini adalah sebagai berikut.
1. Hidupnya panglima di tengah medan perang akan menimbulkan gelora semangat dan harapan kepada para serdadu. Karena itu hidupnya Imam Zaman adalah menumbuhkan harapan dan semangat bagi orang beriman.
2. Pengawasan imam yang hidup yang mencermati seluruh perbuatan para pengikutnya akan menumbuhkan faedah tarbiyah dan edukasi khusus bagi setiap orang dan akan membuat mereka menjalankan agenda pembinaan diri (self-construction).
3. Dalam silsilah para imam maksum dan washi, Imam Mahdi Ajf adalah pamungkas rangkaian imam maksum dan washi Ilahi. Para imam maksum dan washi Ilahi merupakan pemilik khazanah dan gudang ilmu-ilmu Ilahi. Mereka adalah penjaga rahasia-rahasia dan dalil-dalil agama Islam. Baik mereka lahir atau gaib, nampak atau tersembunyi. Dengan demikian, mereka meminggirkan peran orang-orang dungu dan jahil, dan mengeliminasi pelbagai bid’ah yang dimunculkan dalam agama Ilahi serta menjaga konsep-konsep perennial Islam dalam tetap bentuk aslinya. “Agama pamungkas” seiring dengan berakhir dan terputusnya wahyu menjadi sempurna dan memasuki arena kehidupan manusia secara menjuntai. Tugas besar Ilahi ini akan dapat terealisasi dengan kehadiran Imam Zaman Ajf.
4. Sebagian orang memiliki kemampuan untuk melesak terbang melintasi awan dan secara langsung memanfaatkan sinar surya (Imam Mahdi Ajf) dan secara perlahan dalam pancaran surya ini mereka membangun dan membina dirinya.
5. Kita meyakini bahwa Imam Zaman Ajf memiliki otoritas dan wilayah atas batin dan seluruh perbuatan kita. Dan, sejatinya, petunjuk (kebahagiaan dan penderitaan) berada di bawah kekuasaannya. Menyampaikan manusia kepada petunjuk (hidâyah) tersebut merupakan salah satu tugas Imam Maksum (Imam Mahdi Ajf) dan hal ini hanya dapat tercapai apabila Imam Zaman itu hidup.
6. Insan kamil (manusia sempurna) merupakan tujuan penciptaan semesta. Apabila suatu hari tidak terdapat manusia sempurna di muka bumi maka bumi beserta segala isinya akan binasa. Dan siapakah yang dapat mengklaim dirinya sebagai manusia sempurna selain Imam Maksum as?
7. Untuk merajut hubungan antara alam wahdat dzati dan katsrat mahdh, diperlukan sebuah penjalin berupa penampakan (mazhar) yang memiliki hubungan di samping dengan alam wahdat dzati juga dengan alam katsrat; yang menghimpun antara Hak dan khalq (ciptaan); antara Khaliq dan makhluk. Imam maksum merupakan tempat curahan (majra) emanasi (faydh) Ilahi di muka bumi. Demikianlah imam maksum (hujjah) yang harus ada dan hidup di muka bumi pada setiap zaman.
Pertanyaan ini mungkin, dari satu sisi, dapat dijawab dengan menjelaskan filsafat kegaiban, masalah penantian (intizhâr), pengaruh dan keberkahan yang dapat diraup atas wujud Imam Zaman Ajf pada masa kegaiban. Dan, dari sisi lainnya, dengan membahas persoalan bahwa apakah kehadiran Imam Zaman Ajf pada masa kegaiban memberikan banyak keberkahan dan manfaat?
Akan tetapi, sebelum kita membahas tentang falsafah, hikmah, dan manfaat penantian (intizhâr), kita harus mengingatkan bahwa sebab kegaiban merupakan rahasia dan misteri yang tidak kita ketahui.[1] Namun dengan bantuan riwayat dan akal, kita dapat memperoleh sebagian hikmah dan falsafah kegaiban dan penantian. Falsafah kegaiban dan penantian dapat dibagi menjadi dua bagian:
1. Yang berhubungan dengan Imam Mahdi Ajf
2. Yang berhubungan dengan masalah lain
Bagian pertama, yang berhubungan dengan Imam Mahdi Ajf:
A. Disebutkan dalam riwayat bahwa Imam Mahdi gaib supaya tidak ada baiat yang menggelayut di pundaknya.[2]
B. Terkadang falsafah kegaiban Imam Mahdi dalam riwayat disebutkan supaya beliau selamat dari bahaya pembunuhan.[3]
A. Kemunculan Imam Mahdi nantinya adalah untuk mengubah dunia dan memperbaiki segala sesuatunya. Mencerabut akar peradaban yang berpijak di atas pemaksaan dan kepalsuan. Kemunculan Imam Mahdi kelak adalah untuk membangun sebuah tatanan peradaban baru. Hal ini mustahil dapat dilakukan kecuali manusia telah mengalami dan melihat dengan mata kepala sendiri ragam pemerintahan dan peradaban. Dengan menyaksikan langsung pelbagai kegagalan pemerintahan dan peradaban tersebut dalam merealisasikan seluruh cita dan asa umat manusia, mereka menantikan terbentuknya pemerintahan Imam Mahdi Ajf. Dengan demikian tersedia ruang dan waktu bagi manusia sehingga mereka telah siap menerima kemunculan pemerintahan Imam Mahdi Ajf.
Bagian kedua yang berhubungan dengan masalah lain:
A. Ujian bagi para hamba Tuhan merupakan masalah yang dijelaskan sebagai falsafah dan hikmah kegaiban.
Imam Musa bin Ja’far as bersabda, “Tatkala putra kelima Imam Ketujuh (Imam Mahdi Ajf) gaib, jagalah agama kalian. Jangan biarkan ada orang lain yang mengeluarkan kalian dari agama. Wahai putraku! Shahib al-Amr (gelar lain Imam Mahdi Ajf) mau tak mau akan gaib sedemikian sehingga sebagian orang beriman akan murtad. Allah Swt akan menguji para hambanya dengan perantara kegaiban ini.”[4]
B. Penantian Imam Mahdi Ajf merupakan faktor untuk membangun dan membina diri.
Penantian (intizhâr) merupakan masalah yang menemui maknanya dalam pembahasan kegaiban. Apabila Imam Mahdi tidak gaib, maka penantian tidak ada artinya. Penantian akan datangnya pemerintahan hak sejatinya terangkai dari dua unsur, penafian (nafi) dan penetapan (itsbât), yaitu, merasa muak dengan kondisi yang ada dan kerinduan serta harapan terhadap kondisi yang lebih baik. Apabila dua sisi ini kokoh bersemayam pada diri dan jiwa manusia, maka hal ini akan menjadi sumber dua manfaat antara lain: Pertama, meninggalkan segala jenis korporasi dan koordinasi dengan pelbagai unsur kezaliman dan kerusakan (fasad). Kedua, menarik berbagai persiapan material dan spiritual untuk membentuk satu pemerintahan universal. Keduanya merupakan faktor penggerak dan pembangun manusia. Atas dasar itu, penantian Imam Zaman dipandang sebagai ibadah.”[5] Para penanti laksana orang-orang yang berdiri di bawah panji Imam Mahdi Ajf.[6]
Penantian merupakan revolusi yang tidak memberikan tempat bagi para pendosa dan kaum tiran. Hal ini meniscayakan bahwa para penanti sedemikian membangun jiwanya sehingga tidak tergolong dalam barisan pendosa dan kaum tiran. Apabila masalah ini ditambahkan dengan riwayat yang menjelaskan bahwa pada masa kegaiban, Imam Zaman Ajf secara berketerusan mengawasi dan memonitor kondisi para pengikutnya dan setiap minggunya melakukan pengawasan pada kondisi para pengikutnya.[7] Dari sini dapat disimpulkan bahwa pengaruh edukasi keyakinan kepada imam yang hidup dan hal ini tidak bermakna bagi imam yang baru akan lahir di masa datang dan membentuk pemerintahan tunggal semesta.
C. Penantian di samping membuat orang membina diri dan jiwanya juga akan membangun masyarakat. Penantian berfaidah secara personal juga bermanfaat secara sosial. Karena itu, program yang kita nantikan bukanlah pribadi, karena itu penanti sejati juga tetap berusaha untuk memperbaiki orang lain.
D. Penanti sejati tidak hanya tidak berputus asa dengan menyebarnya kejahatan, melainkan ia melihat dirinya sampai pada tujuan, karena itu ia tidak akan larut dan tenggelam dengan menyebarnya kejahatan.[8]
Kendati tiadanya putus asa dan tidak leburnya pada kejahatan dengan asumsi lahirnya Imam Zaman Ajf pada masa yang ditentukan dapat digambarkan, namun jelas bahwa dengan asumsi hidupnya beliau dan seterusnya dua pengaruh ini semakin luas dan semakin berketerusan.
Keberkahan Adanya Imam Mahdi Ajf pada Masa Kegaiban
1. Berseminya harapan: Keyakinan kepada imam yang hidup yang diharapkan sewaktu-waktu dapat muncul adalah sebagaimana hidupnya seorang panglima di medan perang yang menjadi penyebab munculnya harapan kemenangan di antara prajurit.
2. Manfaat tarbiyah dan pembinaan diri. Sebagaimana yang telah dijelaskan, dengan memerhatikan pengawasan yang dilakukan oleh Imam Zaman Ajf pada setiap minggunya terkait dengan seluruh perbuatan, tentu hal ini akan menyisakan pengaruh khusus pada diri setiap orang. Karena sebagian ayat seperti, Dan beramallah, maka Allah Swt akan menyaksikan perbuatanmu, dan Rasul-Nya dan orang-orang beriman (QS Al-Taubah [9]:106) dan banyak riwayat yang berkisah tentang penunjukan seluruh perbuatan baik orang-orang saleh dan para pendosa (di hadapan para maksum). Hal ini tentu akan meniscayakan adanya perhitungan (muhâsabah) dan pengawasan (murâqabah) atas seluruh perbuatannya. Orang-orang beriman yang menanti, memandang diri dan seluruh amal perbuatannya hadir di hadapan sosok mulia ini. Mukmin penanti tentu akan merasa takut jangan sampai membuat sosok mulia ini kecewa dan bersedih hati atas perbuatan yang dilakukannya atau tidak mendapat perhatian khusus beliau. Dengan demikian, ia akan menjaga seluruh amal dan perbuatannya. Ia akan berupaya keras untuk lebih mendekat dan menarik perhatian Imam Zaman dengan mempersiapkan dan membina dirinya semaksimal mungkin.[9]
3. Menjaga ajaran Ilahi: Amirul Mukminin Ali as, dalam sabdanya yang penuh cahaya dan ringkas, menegaskan keharusan adanya para pemimpin Ilahi pada setiap masa dan zaman: “Iya.. Sekali-kali bumi tidak akan pernah kosong dari orang-orang yang memelihara hujah Allah, baik secara terbuka dan terkenal ataupun, laten dan tersembunyi, agar hujah dan bukti-bukti Allah tidak disangkal.”[10]
Dengan berlalunya waktu dan bercampurnya seluruh kecenderungan, pemikiran pribadi seseorang pada masalah-masalah keagamaan, bermunculannya bid’ah dan terulurnya tangan-tangan para perusak terhadap konsep-konsep keagaman, hilanglah sebagian keutamaan dan pelbagai perubahan yang diinginkan justru terbukti merugikan.
Air segar wahyu telah diturunkan dari langit, dengan melintasi pelbagai pikiran, secara perlahan menjadi kelam dan gelap. Nilai petunjuk yang ditawarkannya telah sirna. Cahaya benderang wahyu ini, dengan melintasi kaca-kaca kegelapan pikiran, semakin kehilangan warna. Pendeknya, sedemikian orang-orang dungu dan jahil, dan bid’ah yang muncul dalam agama Ilahi sehingga untuk mengenal bentuk aslinya setiap orang akan berhadapan dengan selaksa kesulitan.
Dengan kondisi sedemikian, apakah tidak urgen, di kalangan Muslimin muncul seseorang yang menghidupkan konsep-konsep perennial Islam dalam bentuk aslinya dan menjaganya untuk masa depan umat manusia? Namun apakah wahyu samawi kembali akan turun kepada seseorang? Tentu saja tidak! Gerbang wahyu telah tertutup selama seiring berakhirnya silsilah kenabian (khâtamiyyah). Maka itu, bagaimana ajaran orisinal Islam tetap terjaga dalam bentuk aslinya dan mencegah pelbagai penyimpangan, perubahan dan khurafat serta memelihara ajaran samawi ini bagi generasi-generasi mendatang. Apakah masalah ini tidak dapat diselesaikan kecuali dengan media seorang Imam Maksum, baik secara terbuka dan terkenal, atau tersembunyi dan laten? (Agar hujah dan bukti-bukti Allah tidak disangkal). [11]
4. Pembinaan satu kelompok elit: Imam Zaman Ajf pada masa kegaiban adalah laksana surya di balik awan.[12] Keberadaan surya di balik awan tidak bermakna bahwa makhluk hidup tidak mendapatkan manfaat darinya. Atau sang surya tidak memberikan manfaat. Di antara keberkahan Imam Zaman pada masa kegaiban adalah bahwa sekelompok orang dapat melesak ke atas awan secara langsung mengambil manfaat dari sinar surya dan secara perlahan di bawah pancaran langsung surya ini ia membina dan membangun dirinya.
5. Penetrasi ruhani (pengajaran takwini melalui wilâyah takwini). Imam Zaman Ajf adalah sosok yang tiada bandingannya sehingga membuat orang-orang akan siap sedia di mana pun mereka berada, mereka tersedot pengaruh magnet khusus energi kuat dan pribadinya yang serba meliputi. Melalui jalan ini, Imam Mahdi Ajf dapat dengan langsung membina jiwa-jiwa mereka, meski jiwa-jiwa tersebut tidak begitu mengetahui perkara ini.
Imam Ajf dari sudut pandang batin memiliki wilâyah (otoritas) atas seluruh perbuatan manusia dan apa yang terkait dengan batin dan hakikat petunjuk (hati-hati dan seluruh perbuatan) adalah tersingkap bagi Imam Ajf. Karena itu, baik dan buruk hadir di sisinya. Jalan kebahagiaan dan penderitaan berada di bawah kekuasannnya. Karena itu, maqam imamah senantiasa disertai bimbingan (hidâyah). Dan bimbingan ini tidak bermakna sekedar menunjukkan jalan melainkan menyampaikan pada tujuan (ishâl ilal mathlûb). Karena menunjukkan jalan, menyampaikan pada tujuan, menyeru manusia kepada Tuhan merupakan pekerjaan seluruh nabi dan orang beriman.[13]
6. Tujuan penciptaan: Tujuan penciptaan laksana taman yang rimbun dan asri yang manusia merupakan pepohonan di taman ini. Mereka yang berada pada lintasan kesempurnaan adalah pepohonan dan cabang-cabang yang lebat dan dedaunan dari taman ini. Tujuan menyiram taman ini adalah supaya pepohonan menghasilkan buah bukan ilalang liar “Inna al-ardha yaritsuha ‘ibadiya al-shalihun.” (Sesungguhnya hamba-hamba-Ku yang saleh (akan) mewarisi bumi ini, (QS Al-Anbiya [21]:105) Apabila suatu hari, seluruh pepohanan menjadi kering dan orang-orang saleh dicerabut dari muka bumi, maka tidak tersisa lagi alasan untuk menyiram dan memberikan emanasi terhadap taman ini. Dan imam maksum, karena merupakan manusia sempurna, adalah simbol kelompok orang-orang saleh dan tujuan utama penciptaan. Karena itu mereka yang menjadi objek wicara hadis, “laulaka lama khalaqtu al-aflak” (Sekiranya kalau bukan karena kalian [Ahlulbait] maka sekali-kali aku tidak akan menciptakan semesta).[14] Atau dijelaskan, “Lau baqiyat al-ardhu bighair al-imam lasakhat.” (Sekiranya bumi tersisa tanpa imam maka ia akan hancur.”[15] Atau, “Biyumnihi razaq al-wara wa biwujudihi tsabatat al-ardhu wa al-sama.”[16] Artinya, dengan perantara keberkahan wujud Hujjah Ilahi sehingga manusia memperoleh rezeki dan lantaran keberadaannya sehingga bumi dan langit tetap tegak.”
7. Media emanasi: Dalam ranah ilmu irfan disebutkan bahwa Allah Swt (al-Haqq) berada pada tataran wahdat (Kesatuan) dalam makam penampakan-penampakan zati. Dan pada penampakan-penampakan katsrat, Dia menampilkan entifikasi-entifikasi (ta’ayyunât) khusus. Akan tetapi, wahdat tersebut tanpa katsrat dan katsrat tanpa wahdat hakiki. Karena itu keduanya memerlukan tajalli (penjelmaan) ketiga yang dapat menampilkan maqam yang menghimpun di antara keduanya (jamak) dan menampilkannya secara rinci. Tajalli ketiga tersebut adalah terminal antara alam rububiyah dan ubudiyyah; penghimpun antara Hak dan khalq (ciptaan). Dari satu sisi, berkenaan dengan alam natural (alam katsrat) dan dari sisi lain bertautan dengan alam wahdat (kesatuan), yaitu menjadi sebuah media di antara dua alam ini. Manusia sempurna (insan kamil) yang objek nyatanya adalah para imam maksum as, memiliki dua hubungan ini. Dan, atas dasar ini, mereka adalah media emanasi (faydh) bagi kita (katsrat mahdh) dan manifestasi rububiyah Tuhan. Dan apabila disebutkan bahwa: “Bihim yarzuqunaklah ‘ibadahu wa bihim yunzilu al-qatra min al-sama wa bihim tukhriju barakat al-ardh.” (Melalui perantara mereka Allah Swt menganugerahi rezeki kepada para hamba-Nya, dan menurunkan tetesan hujan dari langit serta mengeluarkan segala keberkahan bumi”[17], maka ucapan ini bukan merupakan pepesan kosong semata dan ucapan hiperbola. Dengan memerhatikan maqam ini, Imam Shadiq as bersabda, “Nahnu al-Asma al-husna”[18], kami adalah seluruh nama indah Tuhan. Dengan demikian, berlangsungnya mekanisme penciptaan dan penganugerahan emanasi (faydh) kepada selain Tuhan, petunjuk, tarbiyah dan pembinaan diri manusia dan seterusnya hanya dapat ditelusuri pada sosok imam yang hidup dan segenap makhluk mendapatkan manfaat dari keberadaannya serta melepaskan dahaga seluruh makhluk. [IQuest]
[1] Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 91.
[2] Bihâr al-Anwâr, jil. 51, hal. 152.
[3] Itsbât al-Hidâyah, jil. 6, hal. 437. Silahkan lihat, Dâdgastari-ye Jahân, hal. 146-149.
[4] Bihâr al-Anwâr, jil. 51, hal. 113.
[5] Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 122.
[6] Silahkan lihat, Hukûmat-e Jahâni Mahdi Ajf, Makarim Syirazi, hal. 99-101.
[7]Tafsir Burhan, terkait dengan ayat 105, surah al-Taubah; al-Qiyadat fi al-Islam, Rei yahri, hal-hal. 84-85.
[8] Silahkan lihat, Hukumat-e Jahani Mahdi Ajf, hal. 101-113
[9] Silahkan lihat kitab-kitab tafsir terkait ayat 106 surah al-Taubah; Al-Mizan, jil. 9, hal. 85; Tafsir Burhan, jil. 2, hal. 158; Ushûl al-Kâfî, jil. 1, hal. 219-220.
[10] Nahj al-Balaghah, Kalimat Hikmah, 147; Mizân al-Hikmah, jil. 1, hal. 167. Silahkan lihat juga, Ushûl Kâfî, jil. 1, hal. 178-180.
[11] Dari khotbah 146 Nahj al-Balâghah dapat disimpulkan bahwa Imam Zaman ajf akan berusaha membela Islam. Silahkan lihat, Hukumat-e Jahani Mahdi, ajf, Makarim Syirazi, hal. 226-229.
[12] Bihâr al-Anwâr, cetakan lama, jil. 13, hal. 129.
[13] Al-Mizân, jil. 1, hal. 275-276; Syiah dar Islâm (Shite in Islam), hal. 256, bagian keenam ihwal Makrifat Imam. Untuk telaah lebih jauh terkait pengaruh wilayah takwini dalam memandu dan memberikan petunjuk kepada manusia silahkan lihat, kitab al-Qiyâdah fii al-Islâm, Rey Syahri, hal. 74-78. Dengan menyebutkan sebuah riwayat dari kitab Ushûl Kâfî, jil. 1, hadis pertama, hal. 194, penulis berkata, “Surya di samping pendaran cahaya materialnya berpengaruh dalam menyempurnakan materi demikian juga surya maknawi (spiritual). Al-Qiyâdah fii al-Islâm, hal. 80.
[14] Hukûmat-e Jahâni Mahdi, hal. 268-269.
[15] Al-Kâfî, jil. 1, hal. 179; Mizân al-Hikmah, jil. 1, hal. 168.
[16] Hukumat-e Jahani Mahdi, hal. 268-269.
[17] Bihâr al-Anwâr, jil. 23, hal. 19.
[18] Nur al-Tsaqalaîn, jil. 2, hal. 103; Ushûl al-Kâfî, Kitab Tauhid, hadis 4.