Please Wait
8466
Hadis semacam ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadis primer manapun dan bahkan kami tidak menemukan konteks riwayat seperti ini dalam kitab-kitab hadis. Di samping itu terdapat beberapa hal yang dapat dikritiki atas hadis ini:
- Tidak adanya kesesuaian antara kejahatan dan bentuk serta cara taubat darinya.
- Niat dalam amal perbuatan sama sekali tidak dihiraukan.
- Hal ini tidak relevan dengan makam dan kedudukan Imam Sajjad As dan Bunda Zaenab As.
Pada kajian dan studi yang popular di tengah-tengah umat adalah bahwa terkadang kita berpapasan dengan beberapa masalah yang dengan penuh kesalahan disandarkan dan dinisbatkan kepada para Imam Maksum As dan dikategorikan sebagai bagian dari hadis-hadis beliau.
Kendati salat Ghufailah termasuk salah satu salat sunnah yang banyak disebutkan keutamaannya dalam riwayat para Imam Makshum As,[1] dan dengan alasan inilah para fakih memandangnya sebagai perbuatan yang dianjurkan (mustahab).[2]
Adapun permasalahan yang disebutkan dalam pertanyaan di atas tentang keutamaan salat ini merupakan hal yang tidak bisa dibenarkan dan tidak sahih. Perlu dicamkan bahwa permasalahan semacam ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadis yang primer dan standar bahkan dengan konteks seperti ini tidak pernah nampak dalam satu kitab hadis manapun.
Nah, terlepas dari apakah persoalan di atas terdapat dalam kitab-kitab riwayat atau tidak, pada konteks dan kandungan yang serupa dengan riwayat ini sangat patut diperdebatkan (debatable).:
- Tidak adanya kesesuaian antara kejahatan dan bentuk serta cara taubat darinya: salah satu permasalahan yang disepakati dan diterima oleh kalangan orang-orang berakal (‘uqala) dan juga merupakan prinsip-prinsip dasar yang diakui syari’at, adalah kesesuaian antara kejahatan dan hukuman demikian juga kesesuaian antara kejahatan dan taubat kejahatan tersebut. Sebagai contoh, jika seseorang mengambil harta orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam syari’at, taubatnya itu adalah mengembalikan harta yang telah diambilnya kepada pemiliknya atau berusaha dengan cara apapun untuk meminta kerelaan pemiliknya. Jika mengunjing seseorang, maka taubatnya itu adalah dengan memberitahukan kepada orang yang digibah dan meminta supaya dihalalkan dan atau ia meminta ampunan dan memohon kebaikan untuk orang yang digunjing itu kepada Allah Swt. Jika membuat harga diri orang lain tercemar, maka taubat dari dosa besar ini adalah dengan mengembalikan dan memperbaiki nama baiknya dan masih banyak lagi contoh-contoh lain yang bisa disebutkan untuk menjelaskan permasalahan ini. Tentunya dalam beberapa hal, Allah Swt tidak mengazab dosa-dosa besar dikarenakan melakukan sebuah amal yang relatif kecil, namun dalam pertanyaan di atas bahwa dikarenakan tidak adanya kesesuaian antara kejahatan dan hukuman maka tidak ada jalan untuk membenarkannya.
Bagaimana mungkin seseorang yang tangannya telah dilumuri darah dengan membantai dan membunuh Imam kaum Muslimin dan putra Rasulullah Saw dapat dimaafkan dan diampuni dosa-dosanya gara-gara hanya dengan melakukan salat Ghufailah? Bagaimana mungkin seseorang yang telah merusak kota Nabi saw (Madinah al-Munawwarah) dan menghalalkan wanita-wanita orang untuk dijamah pasukannya, atau seseorang yang telah merusak Ka’bah, dapat dimaafkan dan diampuni dosa-dosanya gara-gara hanya dengan melakukan salat Ghufailah?
- Pada lanjutan hal yang serupa dengan riwayat ini, terdapat beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa Yazid, telah berkali-kali bermaksud melakukan salat ini guna bertaubat dari perbuatannya kejinya, akan tetapi karena sakit yang diderita yang ada diseputar perutnya, maka ia tidak pernah berhasil melakukannya.
Dalam beberapa hadis tsiqah dan bisa diterima, disebutkan seperti ini: Niat manusia untuk melakukan berbagai perbuatan baik, lebih baik dan lebih mulia dibanding sebuah perbuatan yang hendak dilakukannya, atau yang telah dilakukannya,[3] artinya bahwa betapa banyak umat manusia yang tidak punya kemampuan melakukan perbuatan baik, namun ia berniat melakukannya, maka niat semacam ini lebih mulia dan lebih baik dibanding sebuah perbuatan yang hendak dilakukannya. Nah, lantas mengapa pada riwayat ini – dimana seseorang sudah punya niat untuk bertaubat dari dosa-dosanya, namun ia tidak berhasil melakukan amal dan perbuatan khusus (misalnya salat Ghufailah) – niat dalam dirinya itu tidak diterima dan tidak bisa membuatnya selamat? Benar! Ada kemungkinan sebagian dosa-dosa yang sedemikian rupa yang jika seseorang terjerumus di dalamnya maka ia akan kehilangan keinginan untuk bertaubat. Terdapat beberapa riwayat (yang menuntut pembahasan detil) yang menyinggung sebagian dosa-dosa yang apabila seseorang melakukannya, maka ia akan kehilangan kehendak dan iradah untuk bertaubat, salah satu di antaranya adalah “bid’ah dalam urusan agama.”[4]
Bid’ah dalam urusan agama tidak hanya akan membuat pelakunya menjadi sesat, akan tetapi juga membuat orang banyak tersesat dan melenceng dari hakikat dan kebenaran kemudian terjerumus dalam kegelapan.
Pertanyaan lain bahwa pada dasarnya apakah dapat dibenarkan mencela seseorang gara-gara sebuah penyakit? Bagaimana mungkin dalam hukum-hukum Fikih seperti puasa, haji dan lain sebagainya, kita menganggap istita’at (kemampuan dari segi fisik) itu sebagai syarat pelaksanaan kewajiban-kewajiban ini – dimana jika seseorang sakit dan tidak bisa berpuasa dan puasa baginya itu cukup berbahaya, maka tidak hanya puasa menjadi wajib baginya, bahkan berpuasa dalam kondisi ini dianggap hal yang haram baginya – sementara dalam hal yang sifatnya mustahab (salat Ghufailah), orang yang dikarenakan menderita sakit (tidak mampu dan itupun diluar kehendaknya) sehingga tidak bisa melakukan salat mustahab tersebut, tidak mendapat ampunan dan maghfirah?
- Serupa dengan riwayat ini, terdapat sebuah permasalahan yang dinisbatkan serta disandarkan kepada Hadrat Zaenab As yang tidak layak serta tidak sesuai dengan maqam dan kedudukan beliau, yaitu pasca ucapan Imam Sajjad As kepada Yazid yang berisi bahwa dengan melakukan salat Ghufailah taubatnya (Yazid) atas perbuatannya membunuh Imam Husain As akan diterima. Di sini Hadrat Zaenab As seolah memprotes Imam Sajjad As dengan berkata: “Apakah Anda ingin memaafkan orang yang telah membunuh ayah Anda?”
Bagaimana mungkin Hadrat Zaenab As yang merupakan anggota keluarga wahyu dan orang memiliki makrifat agung terhadap maqam dan kedudukan imamah bersikap seperti ini dan memprotes imamnya seperti layaknya masyarakat awam?! Benar bahwa terkadang Imam Maksum As atau salah satu wali Allah Swt melakukan suatu perbuatan yang mungkin kelihatannya dan secara lahiriah bertentangan dengan syari’at dan agama, maka pada kondisi ini, hal semacam ini tidak hanya tidak bermasalah, bahkan itu merupakan hal yang bisa diterima. Di antaranya di sini bisa disebutkan tentang protes Nabi Musa As kepada Nabi Khidhir As pada peristiwa perjalanan mereka berdua. Sebagai contoh ketika Nabi Khidhir As membunuh seorang bayi laki-laki, Nabi Musa As protes kepada Nabi Khidhir As bahwa tidak boleh membunuh seorang manusia tanpa ada alasan atau dalil.
Akan tetapi terkait dengan protes yang disandarkan serta dinisbatkan kepada Bunda Zaenab As, disana digambarkan bahwa beliau itu memprotes salah satu perbuatan Imam Sajjad As yang mana pertama: betapa banyak hal yang diharapkan dari Imam Maksum As dimana ia membimbing manusia paling celaka itu menuju kabaikan dan taubat. Kedua: Imam Sajjad As, sebagai imam dan sebagai wali (wali al-dam) Imam Husain As, berhak memaafkan pembunuh ayahnya.
- Kritikan lain adalah jawaban yang diberikan Imam Sajjad As kepada Bunda Zaenab As; Imam As berkata: salat Ghufailah dapat menyelamatkan Yazid, akan tetapi kamu tidak perlu khawatir, ia tidak akan pernah berhasil dan sukses menunaikannya!
Hal ini sebuah bentuk pemikat, karena seseorang menyampaikan permintaan kepada Imam Maksum As sehingga dengan melakukan hal itu ia dapat diampuni dan dengan melihat ketidakmampuan orang itu, Imam Maksum As pun menganjurkannya untuk melakukan amal yang sama sekali ia tidak akan pernah bisa melaksanakannya. Jika Yazid menyesali segala perbuatannya, maka betul-betul terdapat peluang Imam Sajjad As membimbingnya melakukan sebuah perbuatan yang dengan melakukan hal itu ia bisa mendapat keselamatan.
Selain itu, kita tahu bahwa Yazid tidak pernah menyesali perbuatannya membantai Imam Husain As dan sahabat-sahabatnya dan pada tahun-tahun berikutnya kejahatan-kejahatannya bertambah parah dengan meletuskan perang Harrah dan tidak ada dalil dan alasan Imam Sajjad memberi bimbingan dan petuntuk taubat pada seseorang yang masih saja bersikeras untuk melakukan berbagai kejahatan dan dengan hal ini, Imam Sajjad As hendak memperbaiki pandangan masyarakat umum terhadap Yazid. [iQuest]
[1]. Sayid Ibnu Thawus telah menyebutkan beberapa riwayat terkait dengan keutamaan salat ini dalam kitab Falah al Sa’il. Silahkan lihat, Falah al-Sâ’il, hal. 244, Intisyarat-e Daftar-e Tablighat-e Islami, Qum, Tanpa Tahun.
[2]. Muhammad Fadhil Langkarani, Kitab Shalat, hal. 54, Qum, 1408 H.
[3]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 2, hal 84, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1374 S.
[4]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 69, hal. 216, Muassasah al-Wafa’, Beirut, 1404 H.