Please Wait
7423
Ayat ini merupakan salah satu ayat yang dijadikan sandaran untuk menetapkan keharaman suap. Keharaman tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Secara leksikal, su-h-t bermakna kehancuran, kebinasaan dan ketiadaan. Dan karena beberapa hal seperti mencari azab dan kehancuran, tiadanya keberkahan, menghilangkan marwah dan lain sebagainya disebut sebagai su-h-t dan suap (risywah) sesuai dengan beberapa riwayat merupakan salah satu obyek suht dan harta haram. Karena itu, makna su-h-t adalah segala sesuatu yang digunakan untuk memperoleh harta dengan cara tidak halal.
- Dengan memperhatikan beberapa riwayat dari para Imam Maksum As dalam menafsirkan ayat terkait, di antara obyek penting suht yang dapat dijelaskan adalah suap (risywah);
Dari Imam Shadiq As ditanya tentang suht dan beliau menjawab, “Suht bermakna suap dalam hukum.
- Dengan memperhatikan hal-hal di atas, para juris dan ahli tafsir dengan mengharamkan suap dan sogok bersandar pada ayat ini.
Dalam fikih Islam, secara global kehormatan suap telah diterima.
“Mereka amat suka mendengarkan (berita-berita) bohong lagi banyak memakan harta haram” (Qs. Al-Maidah [5]:42) Ayat ini merupakan salah satu ayat yang dijadikan sandaran oleh para juris dan ahli tafsir untuk menetapkan keharaman sogok.
Ayat yang disebutkan di atas adalah ayat yang mendeskripsikan ulama Yahudi yang salah satu karakternya adalah menerima suap dan sogok. Yang dimaksud dengan redaksi kata, “su-h-t” adalah suap dan ulama Yahudi menerima suap dari masyarakat untuk merubah hukum Tuhan.[1]
Redaksi kata “su-h-t” (dengan dhamma sin) derivasinya dari kata “sa-h-t” (dengan fatha sin) bermakna ketiadaan, kehancuran, dan kebinasaan.[2] Perbuatan ini diharamkan karena beberapa hal seperti mencari azab dan kehancuran, tiadanya keberkahan, menghilangkan marwah dan lain sebagainya disebut sebagai su-h-t.[3] Karena itu, makna su-h-t adalah segala sesuatu yang digunakan untuk memperoleh harta dengan cara tidak halal[4] dan dengan ungkapan lain haram.
Dengan memperhatikan beberapa riwayat dari para Imam Maksum As dalam menafsirkan ayat terkait, di antara obyek penting suht yang dapat dijelaskan[5] adalah suap (risywah);
Dari Imam Shadiq As ditanya tentang suht dan beliau menjawab, “Suht bermakna sogok dalam hukum.[6] Dan bahkan menurut sebuah hadis dari Imam Shadiq As, menyogok dalam hukum termasuk kekufuran terhadap Allah Swt.[7]
Karena pekerjaan-pekerjaan tercela dan tidak terpuji pada perbuatan suap dalam hukum dan setiap suap yang dilakukan untuk membatilkan kebenaran dan membenarkan kebatilan meniscayakan pekerjaan tercela dan haram; seperti dusta, memberikan kesaksian secara terpaksa, mengambil uang dari orang yang berhak dan menyerahkannya kepada yang tidak berhak, mendengarkan kesaksian palsu, tiadanya muruah dan lain sebagainya dank arena seluruh perbuatan tidak terpuji ini terdapat dalam perbuatan suap, Rasulullah Saw menjelaskan bahwa suap merupakan salah satu obyek terpenting suht. Kita tahu bahwa ayat yang disebutkan[8] menunjukkan keharaman suht dan memperoleh penghasilan dengan perantara suht[9] dan akibatnya adalah keharaman suap yang merupakan salah satu obyek terpenting suht juga berdasarkan ayat ini haram.
Para ahli tafsir (mufassir) juga dalam menafsirkan ayat ini sebagai suap; sebagai contoh Allamah Thabathabai mengkaji dan membahas ayat ini dan menulis, “Akkalu lisshut artinya memakan sesuatu yang melenyapkan agamanya dan Rasulullah Saw bersabda, “Setiap daging yang tumbuh akibat dari suht atau haram maka api lebih pantas untuknya.” Risywah (suap) juga disebut sebagai suht. Karena itu setiap harta haram yang diperoleh disebut sebagai suht dan konteks ayat ini menandaskan bahwa yang dimaksud dengan suht adalah suap (risywah).”[10]
Poin penting yang harus dijelaskan adalah bahwa apabila orang yang menyerahkan suap dan dengan perantara itu ia memperoleh sesuatu yang batil maka ia telah mengerjakan perbuatan haram dan apabila berada pada tataran memenuhi hak seseorang yang tidak dapat dilakukan kecuali dengan menyerahkan suap maka ia tidak melakukan perbuatan haram. Adapun orang yang menerima suap maka ia telah melakukan perbuatan haram. Terlepas apakah ia menghukum dengan kebenaran atau kebatilan. Menghukum untuk orang yang menyerahkan suap atau orang yang menentangnya.[11][iQuest]
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat beberapa indeks terkait:
Hukum Menyerahkan Suap, Pertanyaan 16481 (Site: id16225)
Hukum Suap, Pertanyaan 6688 (Site: 6959)
[1]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’an, jil. 5, hal. 341, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Cetakan Kelima, 1417.
[2]. Sayid Ali Akbar Qarasyi, Qâmus Qur’ân, jil. 3, hal. 237, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Keenam, 1371 S. Ridha Mihyar, Farhang Abjadi Farsi-Arabi, hal. 72, Tanpa Tempat, Tanpa Tahun. Mubarak bin Muhammad Jazri Ibnu Atsir, al-Nihâya fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, jil. 2, hal. 345, Muassasah Mathbu’ati Ismaliyan, Qum, Cetakan Pertama, Tanpa Tahun.
[3]. Fakhruddin Tharihih, Majma’ al-Bahrain, jil. 2, hal. 204, Riset oleh: Sayid Ahmad Husaini, Kitabpurusyi Murtadhawi, Teheran, Cetakan Ketiga, 1375 S. Muhammad bin Mukarram Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, jil. 2, hal. 41, Nasyr Dar Shadir, Cetakan Ketiga, 1414 H.
[4]. Majma’ al-Bahrain, jil. 2, hal. 204, jil. 2, hal. 41; Miqdad bin Abdullah Siwari Hilli, Kanz al-‘Irfân fi Fiqh al-Qur’ân, jil. 2, hal. 12, Qum, Cetakan Pertama, Tanpa Tahun.
[5]. Dalam sebuah riwayat dari Rasulullah Saw beberapa hal berikut tergolong sebagai obyek-obyek suht, anjing, minuman keras, bangkai, mahar wanita pezina, suap dalam hukum dan gaji penyihir. Syaikh Shaduq, Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih, jil. 4, hal. 363, Intisyarat Jami’ah Mudarrisin, Qum, 1413 H.
[6]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 5, hal. 127, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ (ع): قَالَ: سَأَلْتُهُ عَنِ السُّحْتِ فَقَالَ: الرِّشَا فِي الْحُكْمِ.
[7]. Al-Kâfi, jil. 5, hal. 127.
[8]. Kanz al-‘Irfân fi Fiqh al-Qur’ân, jil. 2, hal. 12.
[9]. Fadhil Kazhimi, Jawad bin Sa’ad Asadi, Masâlik al-Afhâm ila Ayat al-Ahkâm, jil. 3, hal. 9, Tanpa Tempat, Tanpa Tahun.
[10]. Al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 5, hal. 341.
[11]. Kanz al-‘Irfân fi Fiqh al-Qur’ân, jil. 2, hal. 13