Please Wait
10177
Mengingat bahwa doa-doa yang disebutkan melalui jalur mazhab Syiah adalah doa-doa dari para Imam Maksum As yaitu Ahlulbait Rasulullah Saw. Sesuai dengan wasiat dan anjuran Rasulullah Saw untuk berpegang teguh kepada mereka dan mengikuti mereka adalah sama dengan menabur benih keselamatan. Di samping itu, sesuai dengan pengakuan Syiah dan Sunni, bahwa dalam munajat dan doa, mereka (para Imam Ahlulbait) merupakan teladan bagi manusia. Jelas bahwa doa-doa yang disebutkan dari mereka lebih dekat kepada realitas dan pengabulan. Hal ini merupakan kesempatan emas yang harus diraih oleh setiap Muslim.
“Dan Tuhan-mu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. (Qs. Al-Mukmin [40]: 60)
1. Doa adalah sejenis usaha untuk memperoleh kelayakan meraih saham yang lebih banyak dari emanasi nir-batas Ilahi. Dengan kata lain, manusia dengan perantara doa akan menemukan perhatian dan kelayakan ekstra untuk memahami emanasi Tuhan. Jelas bahwa usaha untuk menyempurna dan meraih kelayakan lebih, adalah identik dengan kepasrahan di hadapan pelbagai hukum penciptaan, bukan yang lain. Terlepas dari semua itu, doa adalah sejenis ibadah, ketundukan dan penghambaan. Manusia dengan perantara doa memperoleh perhatian baru kepada Allah Swt, dan sebagaimana seluruh ibadah memiliki efek edukatif, doa juga demikian adanya.
Pelbagai karunia Ilahi dibagi berdasarkan potensi-potensi dan kelayakan-kelayakan setiap manusia. Semakin besar potensi dan kelayakan setiap insan maka semakin besar saham karunia yang akan diterima dari Allah Swt.
Karena itu, kita saksikan, Imam Shadiq As, Imam Keenam Syiah, bersabda, “Terdapat beberapa maqam di sisi Allah Swt yang tidak akan dapat dicapai siapa pun kecuali dengan doa.”[1]
Seorang alim berkata, “Tatkala kita bermunajat kita menyambungkan diri dengan kekuatan tak-terbatas yang terdapat di seluruh semesta.” Ia juga berkata, “Dewasa ini ilmu terbaru yaitu Psikologi mengajarkan sesuatu yang diajarkan Rasulullah Saw; mengapa? Lantaran para psikolog menemukan bahwa doa, shalat dan iman kokoh kepada agama akan menyingkirkan setengah dari segala bentuk kerisauan, emosi, was-was, dan ketakutan kita.”[2]
2. Makna Sejati Doa
Setelah kita ketahui bahwa doa bertautan dengan gagalnya kemampuan kita bukan bertalian dengan kemampuan dan kekuatan. Dengan kata lain, doa mustajab (doa yang diterima) adalah doa yang mengandung muatan, “Ataukah Dzat yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, yang menghilangkan kesusahan.” (Qs. Al-Naml [27]: 62) Tatkala manusia didera kesulitan dan gagalnya pelbagai usaha dan upaya, menjadi jelas bahwa konsep dan pengertian doa adalah permohonan disediakannya faktor-faktor dan sebab-sebab yang berada di luar kemampuan manusia dari Sosok yang kekuatan dan kekuasaan-Nya tak-terbatas dan kemudahan atas segala urusan yang dihadapi manusia. Namun permohonan ini tidak hanya keluar dari lisan manusia, bahkan terlontar dari seluruh ekistensinya dan lisan dalam hal ini adalah representasi dan penerjemah seluruh atom eksistensi manusia dan anggota lahir badan dan batin dirinya. Hati dan ruh terjalin erat dengan Allah Swt dengan perantara doa. Laksana tetesan air bersambung dengan samudera maha luas dan tak-bertepi Ilahi.
Namun harap dicermati bahwa jenis lain dari doa juga dilakukan sehubungan dengan kemampuan dan kekuasaan. Doa seperti ini menunjukkan tidak mandirinya segala kekuatan dan kekuasaan yang kita miliki di hadapan kekuasaan dan kekuatan Allah Swt. Dengan kata lain, konsep doa seperti ini menyoroti hakikat bahwa sebab-sebab dan faktor-faktor natural apa pun yang dimilikinya bersumber dari Allah Swt dan mengikut titah Ilahi. Apabila kita mencari obat untuk menyembuhkan penyakit kita dan memohon kesembuhan, hal itu disebabkan oleh karena Tuhan memberikan efek penyembuhan pada obat tersebut.
Singkat kata bahwa doa adalah sejenis swa-informasi dan keterjagaan hati dan pikiran, serta hubungan batin dengan Sumber segala kebaikan dan kebajikan. Karena itu, kita membaca dari lisan Imam Ali As yang bersabda, “Allah Swt tidak mengabulkan doa orang-orang yang hatinya lalai.”[3]12
Dengan memperhatikan beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa doa adalah hubungan hati dan ruh yang dijalin oleh seseorang yang seluruh keberadaannya membutuhkan Sosok yang Mahakaya dan Tidak membutuhkan secara mutlak. Semakin besar hubungan ini maka semakin ideal nilainya (dengan syarat tetap berada dalam lingkup syariat).
Adapun sehubungan dengan doa-doa yang disampaikan melalui jalur Syiah adalah doa-doa yang diriwayatkan dari para Imam Syiah yaitu Ahlulbait Rasulullah Saw kepada Syiah. Dan sesuai dengan wasiat dan anjuran Rasulullah Saw untuk berpegang teguh kepada mereka dan mengikuti mereka adalah sama dengan menabur benih keselamatan.[4] Di samping itu, sesuai dengan pengakuan Syiah dan Sunni, bahwa dalam munajat dan doa, mereka (para Imam Ahlulbait) adalah para teladan manusia. Jelas bahwa doa-doa yang disebutkan dari mereka lebih dekat kepada realitas dan pengabulan. Hal ini merupakan kesempatan emas yang harus diraih oleh setiap Muslim. [iQuest]
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat Jawaban 2145 (Site: 2269) tentang Syarat-syarat Doa yang terdapat pada site ini.
[1]. Kulaini, Ushûl Kâfi, jil. 2, hal. 338, Bâb Fadhl al-Doa wa al-Hats ‘alaihi, Hadis 3, Cetakan Keempat, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.
[2]. Âyine Zendegi, hal. 152 dan 156, dikutip dari Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Cetakan Teheran, Cetakan Pertama, 1374 S.
[3]. Kulaini, Ushûl Kâfi, jil. 2, hal. 342, Bâb al-Iqbâl ‘ala al-Doa, Hadis 1. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 641 dan 643.
[4]. Dalam hadis masyhur Tsaqalain yang dikutip secara mutawatir dalam literatur-literatur hadis Syiah dan Sunni. Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Aku tinggalkan dua pusaka berharga di tengah kalian. Kitabullah dan Itrahku Ahlulbaitku. Kalian tidak akan tersesat sepeninggalku selamanya sepanjang berpegang teguh kepada keduanya hingga (kalian) menjumpaiku kelak di tepi telaga.” Shahih Tirmidzi, jil. 2, hal. 380. Musnad Ahmad bin Hanbal, jil. 3, hal. 17.