Please Wait
9007
Melalui salah satu dari website, saya mendapatkan informasi atas kesiapan Anda untuk menjawab masalah-masalah filsafat, oleh karena itu di sini saya akan mengajukan beberapa pertanyaan berikut:
1. Pertanyaan pertama adalah mengenai makna "aku". Dalam banyak aliran "aku" dikatakan sebagai sebuah eksistensi dengan nama "ruh" yang akan tetap abadi setelah mati, akan tetapi dalam ilmu fisika dikatakan bahwa "memori" terbentuk dari atom dan setelah mati atom-atom ini akan musnah, dengan demikian, ruh yang tertinggal tidak akan lagi memiliki atom memori, tentunya terdapat berbagai alasan untuk pernyataan ini. Pertanyaan saya adalah, bagaimana pendapat Islam mengenai hal ini? Tentunya saya menerima bahwa apa yang kita katakan sebagai ruh adalah sebuah eksistensi non-materi, sehingga ia tidak membutuhkan atom memori. Atom-atom memori dan unsur-unsur yang lain hanyalah dianggap sebagai faktor-faktor yang membantu pelaksanaan tugas-tugas ruh.
2. Pertanyaan kedua, apakah menurut Anda obyek-obyek dari ilmu manusia merupakan bagian darinya? Sehingga jika terdapat dua orang yang memiliki informasi tunggal tentang sesuatu, maka sesuatu tersebut berada pada keduanya? Jika demikian, lalu apa yang akan terjadi pada (misalnya) sebuah tindak kejahatan, manakah di antara keduanya yang akan mendapatkan hukuman?
3. Pertanyaan selanjutnya, di dalam ilmu fisik "garis lintasan" atau "lintasan ruang-waktu" untuk setiap eksisten dan entitas merupakan lintasan kosmos dari eksistensi tersebut, dan lintasan kosmos eksistensi ini bisa diperlihatkan dengan bantuan diagram miniscopy mungkin akan lebih baik jika "aku" di sini kita anggap saja sebagai sebuah contoh atau sebuah bentuk khas yang bertanggungjawab dalam strukturisasi atom-atom yang memasuki badan "aku". Dalam penjelasan diagram minoscopy ini, setiap manusia bisa dianggap sebagai pengait kosmos, apakah Anda sepakat dengan persoalan ini? Dan apakah sebenarnya contoh dan bentuk khas yang dimaksudkan? Apa sajakah karakteristiknya? Apakah dia materi? Di mana? Dari mana diarahkan? Memiliki akalkah dia? Ataukah terbentuk karena strukturisasi yang kebetulan? Dari jenis diagram ini bisa disimpulkan beberapa poin yang mengherankan dan mengagetkan. Poin pertama adalah tidak adanya satupun eksisten yang memiliki tubuh independen dan mandiri, hal ini dikarenakan anggota setiap tubuh berada dalam keadaannya untuk berpindah ke tubuh yang lain. Poin lainnya adalah seluruh eksisten di alam ini saling bergantung satu sama lain dan kesendirian sebuah eksisten yang manapun itu samasekali tidak bermakna, karena ia samasekali tidak akan mampu terwujud. Setiap peristiwa (bahkan dalam aktivitas bernafas dan makan) akan mengikat seluruh eksisten ke dalam sebuah koridor ikatan yang agung. Hal ini merupakan penjelas realitas yang tak terbantahkan bahwa alam merupakan sebuah eksisten keterikatan dan sebuah keterkaitan kosmos ruang yang sangat besar –dimana zaman dan masa termasuk di dalamnya- dan seluruhnya memiliki pengaruh dalam pembentukan nasib yang lainnya. Sebuah eksisten meskipun ia merasa dirinya sendiri dan terpisah dari yang lainnya tetapi ia tetap saja tidak akan bisa terpisah dari majemuk fakultas ini. Poin yang lainnya lagi adalah bahwa kita menganggap diri kita merupakan majemuk dari sel-sel dimana akhirnya akan divonis mati. Lebih baik kita menganggap diri kita sebagai bagian dari kaitan kosmos –ruang dan waktu - yang memiliki umur berbanding sejajar dengan alam. Dengan demikian kematian tidak akan menjadi hal yang seberapa berarti dan tidak ada alasan bagi kita untuk menganggapnya sebagai sebuah fenomena yang mengerikan. Jika anggota tubuh ini senantiasa tinggal di dalam kaitan kosmos, lalu apa yang dimaksud dengan kematian? Lebih baik kita mengaitkan nasib kita kepada nasib seluruh alam dimana sesuai dengan banyak keyakinan merupakan sebuah alam yang kekal dan kita menganggap diri kita azali dan kekal abadi.
4. Dan pertanyaan terakhir adalah, jadi bagaimana kesimpulannya, akhirnya alam ini azali (tidak berpermulaan) ataukah tidak? Apakah dalam masalah ini keyakinan yang dimiliki oleh kebanyakan orang bisa dijadikan sebagai argumentasi yang bisa membawa keyakinan?
1. Dari perspektif Islam "aku" merupakan sebuah realitas yang berbeda dengan tubuh. Ayat-ayat seperti berikut ini merupakan penegas dan penjelas dari makna dan hakikat ini.
a. "Maka apabila Aku telah menyempurnakan penciptaannya, dan telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud."[1]
b. "Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain."[2]
c. "Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratul maut, sedang para malaikat menjulurkan tangannya (sembari berkata), “Keluarkanlah nyawamu. Pada hari ini kamu akan dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.”[3]
d. "Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri."[4]
e. "Demi jiwa manusia dan Dzat yang telah menyempurnakannya, lalu Dia Allah mengilhamkan kepadanya (jalan) kefasikan dan ketakwaannya."[5]
2. Sebagaimana yang dikatakan dalam Filsafat Aristotelian, manusia bukanlah tersusun dari materi dan ruh, melainkan ruh tersebutlah yang bersama dan mengiringi materi.
3. Ketika berbicara tentang kematian, al-Quran menggunakan kata tawaffa yang artinya memperoleh tanpa kekurangan. Ayat-ayat seperti ini merupakan penjelas terhadap poin bahwa hakikat dan realitas manusia tak lain adalah dimensi kenon-materiannya, dan dalam lingkup dimensi inilah dia tidak akan musnah melainkan akan diserahkan kembali oleh para petugas gaib kepada Tuhan tanpa adanya kekurangan.
4. Ruh adalah bersifat materi di awal penciptaannya di dunia ini (jasmaniyyatul huduts), dengan artian bahwa ia merupakan pelanjut bagi gerak menyempurnanya materi, hanya saja ia akan menjadi eksisten dan entitias non-materi.
5. Penerimaan terhadap proposisi lintasan gerak atau lintasan ruang dimana zaman dan penjelasannya bisa diperlihatkan dengan diagram minoscopy tidak akan membuktikan bahwa ruh merupakan bentuk khusus untuk strukturisasi atom-atom yang memasuki tubuh. Meskipun pembahasan secara ilmiah dan empirik sebagai prinsip pembahasan dan pembatalan serta pembuktiannya tidak akan menimbulkan kekacauan dalam kaidah umum Filsafat.
6. Kebergantungan seluruh eksisten alam ini dan efek saling mempengaruhi antara sesama merupakan persoalan yang dapat di terima, dan sistem keberadaan merupakan sistem sebab-akibat, akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa setiap sesuatu akan memberikan pengaruh kepada setiap sesuatu yang lain.
7. Jika yang dimaksud dengan keabadian materi adalah alam, maka kami tidak memiliki argumentasi akan keabadiannya, akan tetapi jika yang dimaksudkan adalah keagungan Ilahi, memang, keagungan Ilahi adalah kekal dan abadi, akan tetapi hal tersebut tidak meniscayakan pada kesenantiasaan alam materi.
8. Keyakinan sebagian besar kelompok dalam satu masalah tidak bisa menjadi argument untuk mendapatkan keyakinan atasnya. Keyakinan seperti ini mungkin saja dapat menyebabkan munculnya sangkaan atau keyakinan psikologis dalam diri seseorang, akan tetapi hal ini sama sekali tidak akan pernah menyebabkan kepastian dan keyakinan logis dan argumentatif yang menafikan setiap kemungkinan yang berlawanan.
Jawaban Detil
Dalam pertanyaan Anda terkandung beberapa masalah dan poin yang akan kami coba jelaskan untuk masing-masing persoalan dengan memisahkan permasalahan antara satu dengan yang lain.
1. Dengan mencermati teks agama dan melakukan analisa tentang "aku", kami akan menyimpulkan dan meringkaskan pendapat Islam sebagai berikut:
a. Dalam perspektif Islam "aku" merupakan sebuah realitas yang berbeda dari tubuh, dan pendapat ini dibenarkan oleh sekelompok filosof yang menyatakan bahwa "aku" merupakan sebuah substansi yang kosong dari materi dan merupakan sumber gerak, perasaan, dan pemikiran.[6] Beberapa ayat seperti al-Hijr (14): 29, al-Mukminun (23): 14, al-An'am (6): 93, al-Hasyr (59): 19, dan asy-Syams (91): 7-8, menjelaskan realitas ini dengan baik.
b. Sebagaimana yang dikatakan dalam Filsafat Aristotelian manusia tidaklah tersusun dari jasmani (materi) dan ruh[7], melainkan ruh itulah yang mengiringi dan bersama materi.
Al-Quran ketika berbicara tentang kematian, menggunakan kata tawaffa[8] yang berasal dari kata dasar wafa yang bermakna diperolehnya sesuatu tanpa adanya kekurangan, seperti pada kalimat tufiyatul mal yang berarti "Saya memperoleh kekayaan tanpa kekurangan". Ayat-ayat semacam ini menjelaskan poin bahwa hakikat dan realitas manusia tak lain adalah dimensi kenon-materiannya dan dalam cakupan dimensi inilah sehingga ia tidak dapat musnah, dan oleh para petugas gaib ia akan dikembalikan kepada Tuhan tanpa adanya kekurangan.
Pada surah as-Sajdah (32) ayat ke 11, Tuhan berfirman, "Katakanlah, “Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Tuhan-mulah kamu akan dikembalikan." Pada ayat ini, dengan melihat adanya dua kata "kamu" dan bukan "sebagian dari kalian" maka dapat disebutkan bahwa hakikat manusia (kamu) tak lain adalah qabidhul arwah (pengurung ruh-ruh), jika tidak demikian maka tubuh dengan segala perlengkapannya akan musnah secara bertahap dan tidak akan bisa dikembalikan ke suatu tempat.[9]
c. Ruh merupakan jasmaniyyatul huduts, yaitu merupakan pelanjut gerak menyempurnanya materi. Poin yang termaktub pada ayat ke 14 surah al-Mukminun yang menjelaskan tentang tahapan penciptaan, bisa dijadikan sebagai sandaran tentang masalah ini,[10] yaitu bahwa pada hari pertamanya manusia adalah materi dan jasmani, dan ia akan menjadi non-materi karena adanya perubahan material, kemudian akan ditemukanlah ciptaan lainnya yang tidak mirip dengan kesempurnaan-kesempurnaan yang ada sebelumnya, melainkan akan berubah menjadi sebuah material tanpa ruh dengan bentuk sebuah eksisten dan entitas yang mampu memahami.
d. Dalam perspektif Islam ruh merupakan sebuah persoalan non-material.
Tentunya bahasan bahwa kematian dan hilangnya otak serta syaraf-syaraf yang akan menghambat kecerdasan duniawi manusia merupakan bahasan yang dapat diterima, akan tetapi hal ini tidaklah bermakna bahwa ruh dan pemahaman-pemahaman khayal serta imajinasinya pun akan menghilang dan musnah, karena dengan adanya gerak substansial sebenarnya ruh telah sampai pada kenon-materian alam mitsal, dan akan tetap ada setelah mati, bahkan akan memiliki eksisten yang lebih kuat dari eksisten yang sebelumnya dimiliki di dunia ini. Kelebihan dari bahasan ini adalah bahwa otak dan sebagainya dianggap sebagai media ruh, dimana tanpa adanya alat dan sarana seperti ini, aktivitas-aktivitas ruh pada dunia materi ini tidaklah mungkin untuk dilakukan. Para filosof mengemukakan berbagai argumentasi tentang kenon-materian ruh ini, dimana karena keterbatasan ruang telah menyebabkan kami menunda pembahasannya, dan kami hanya akan mengisyarahkan pendapat-pendapat Islam dalam masalah ini.
Surah As-Sajdah (32) ayat ke 10 dan 11 mengandung makna penting bahwa meskipun setelah mati, tubuh kalian akan hilang dan berserakan di dalam tanah, akan tetapi ada sesuatu dari kalian yang tidak akan pernah hilang dan senantiasa terjaga, dan sesuatu tersebut tak lain adalah ruh kalian dimana malaikat maut bertugas untuk mengambilnya.
Atau pada surah Az-Zumar ayat ke 42, dimana Tuhan berfirman, "Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya".
Kini harus dikatakan, apakah eksisten materi seperti ini, yaitu bahwa setelah mati akan tetap terjaga, tidak akan berserakan dan…, tentu saja eksisten materi tidaklah seperti ini, dan jikapun terdapat sesuatu dari tubuh yang akan tetap tinggal setelah mati, sesuatu tersebut adalah anggota tubuhnya. Bagaimana ruh dapat dianggap sebagaimana tubuh yang bercerai berai tersebut, sementara pada ayat-ayat lain telah dinisbatkan kepada manusia akan adanya serangkaian perbuatan-perbuatan penting seperti halnya bercakap dengan para malaikat, harapan, permintaan, dsb setelah kematian?[11] Apakah anggota tubuh yang bercerai berai di alam, layak untuk mengemban persoalan-persoalan seperti ini? Oleh karena itu harus dikatakan bahwa seluruh realitas manusia tak lain dan tak bukan adalah ruh itu sendiri yang setelah kematiannya berada dalam kewenangan malaikat maut dan tetap dalam keadaan terjaga, … dan halini merupakan argumentasi atas kenon-materiannya.[12] Sementara itu, musnah dan hilangnya memori yang merupakan sebab yang tidak hakiki bagi ruh di alam ini, tidak akan memberikan goncangan terhadap ruh dan terhadap masalah-masalah ingatan dan memorinya.
2. Dalam Hikmah Muta'aliyah dikatakan bahwa a'lim (subyek yang mengetahui), ma'lum (obyek diketahui) dan 'ilm (pengetahuan) dari aspek ma'lum bidzat (essential known, obyek yang hadir dalam pikiran manusia secara hakiki) adalah suatu realitas yang tunggal (ketiganya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan). Yakni boleh jadi ma'lum bil'aradh (accidental known, obyek hakiki yang berada di luar diri manusia) atau obyek eksternal sesuatu adalah tunggal, akan tetapi ma'lum bidzat atau apa-apa yang diketahui oleh manusia (di alam pikirannya) akan bervariasi dari sisi orang yang memahaminya.[13]
Diterimanya proposisi garis lintasan atau lintasan ruang-waktu dan penjelasannya dengan diagram minoscopy tidak membuktikan bahwa ruh merupakan bentuk khas untuk sturukturisasi atom-atom yang memasuki tubuh, dan selain itu, menjelaskan rincian-rincian yang lebih banyak dalam masalah diagram minoscopy dan keterkaitan kosmos manusia. Meskipun bahasan ilmiah dan empirik sebagai prinsip tematik, dan pembatalan atau penetapannya tidak akan menciptakan gangguan pada kaidah-kaidah umum Filsafat.
3. Apa yang dimaksud dengan pernyataan bahwa tidak satupun eksisten memiliki tubuh yang mandiri?
Jika yang dimaksudkan di sini adalah tubuh dimana ruh akan keluar darinya, berada dalam putaran makanan dan akan menjadi makanan untuk tubuh yang lain, maka menerima poin ini tidak akan membuktikan kesimpulan yang telah Anda ambil. Dan jika maksud Anda adalah reinkarnasi, yaitu jiwa di dunia ini berasal dari tubuh dan akan berpindah ke tubuh lainnya yang merupakan subyek dari tubuh pertama, misalnya jika seekor binatang mati, maka jiwanya akan berpindah ke binatang lainnya atau ke selain binatang, berarti pembahasan ini telah terbuktikan pada tempatnya tersendiri dimana seluruh bagian-bagian reinkarnasi ini telah terbukti batal.[14]
4. Kebergantungan eksistensi-eksistensi alam ini dan peletakan pengaruh pada sesamanya merupakan sebuah persoalan yang bisa diterima, dan pada wacana-wacana Filsafat dikatakan bahwa sistem keberadaan merupakan sistem sebab-akibat, dimana tidak ada satupun akibat yang akan muncul sebelum sebabnya, demikian juga tidak ada satupun sebab yang ditemukan muncul setelah akibatnya. Meskipun kedua faktor ini datang secara bersamaan, namun tetap saja keawalan sebab senantiasa terjaga, dan ini bukanlah berarti bahwa setiap sesuatu memberikan efek pada setiap sesuatu.
5. Jadi, tahapan keberadaan tidaklah sebagaimana butiran-butiran tasbih yang bisa diawalkan atau diakhirkan, melainkan sebagaimana rangkaian angka yang tidak ada satupun dari bagian-bagiannya yang bisa diawalkan atau diakhirkan dalam proporsinya terhadap kedudukannya yang seharusnya.
Dalam Irfan pun dikatakan bahwa tajafi (ruang yang benar-benar kosong yang tidak ada satupun eksistensi di dalamnya) adalah mustahil dan masing-masing nama Tuhan berada dalam posisi dan tingkatan khasnya yang kemudian dikenal dengan asma-asma Ilahi, dan seluruh eksisten merupakan tanda-tanda Ilahi dan masing-masing merupakan manifestasi dari asma-asma Ilahi.[15]
6. Bagaimana diperhitungkannya sebagian dari keterikatan kosmos ruang-waktu bisa dijadikan sebagai dalil bahwa kita tidak divonis dengan kematian? Hanya sekedar tertinggalnya anggota-anggota tubuh, dan sebagainya, tidak akan bisa menjadi dalil atas keabadian manusia, kecuali apabila dikatakan bahwa sosok manusia berada pada ruh-nya, padahal ruh adalah non materi, dan perubahan serta pergantian tubuh materi serta keterputusan anggota-anggota tubuh materi tidak memiliki pengaruh dalam keabadian ruh, dan dari sisi inilah manusia tidak akan mati, melainkan melakukan perjalanan dari tingkatan satu ke tingkatan lainnya.
7. Dengan asumsi diterimanya pernyataan bahwa nasib kita berkaitan erat dengan nasib seluruh alam, maka ketidakngerian kematian tidak bisa diambil sebagai kesimpulan. Ketiadaan kengerian atas kematian lebih disebabkan karena manusia mengetahui identitas dan kepribadiannya yang akan tetap tertinggal setelah mati, dan bukannya masing-masing anggota tubuhnya yang akan tertinggal.
8. Karena Anda bertanya, apakah alam ini abadi ataukah tidak, maka jika yang Anda maksudkan dengan alam itu adalah alam materi, maka kami tidak memiliki dalil dan argumentasi terhadap keabadiannya, dan karena majemuk alam ini bukanlah sesuatu yang keluar dari bagiannya dan pada sisi lain setiap bagian adalah terbentuk dan berawal dari ketiadaan, maka majemuknya pun adalah bersifat hadits (keberadaanya di awali dengan ketiadaannya, yakni dahulu tiada dan kemudian berwujud di alam materi ini). Akan tetapi apabila yang dimaksud adalah keagungan Ilahi, maka harus dikatakan bahwa keagungan Ilahi dan anugerah-anugerah-Nya adalah abadi, akan tetapi keniscayaannya bukanlah pada kesenantiasaan alam tabiat.[16]
9. Akan tetapi, mengenai pertanyaan apakah keyakinan kebanyakan orang bisa dijadikan argumen yang memberikan keyakinan? Maka jawabannya adalah tidak, karena hanya dengan sejumlah banyak yang memberikan kesepakatan dalam sebuah topik, bisa jadi hal ini akan menyebabkan munculnya sangkaan atau kepercayaan psikologis dalam diri seseorang, akan tetapi persoalan seperti ini sama sekali tidak akan menyebabkan kepastian atau keyakinan secara logis dan argumentatif yang tidak akan menimbulkan penafian setiap kemungkinan yang berlawanan. Terutama karena terdapat begitu banya bahasan mengenai prinsip proposisi atau teori lintasan kosmos.[]
[1] . Qs. Al-Hijr (14):29.
[2] . Qs. Al-Mukminun (23): 14.
[3] . Qs. Al-An'am (6): 93.
[4] . Qs. Al-Hasyr (59): 19.
[5] . Qs. Asy-Syams (91): 7-8.
[6] . Syarh al-Isyârat, Ibnu Sina, jil. 2, hal. 289-308.
[7] . Silahkan lihat teori Plato mengenai ruh dan jiwa, Târikh-e Falsafeh-ye Yunân wa Rum, jil. 1, Capleston, hal. 239-248; demikian juga tentang teori Aristoteles, Ibid, hal. 373-378.
[8] . Penjelasan ini disebutkan 14 kali di dalam al-Quran.
[9] . Pada surah Al-Zumar, ayat ke 42 difirmankan, "Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya ..." dan pada surah Al-An'am ayat ke 60 dijelaskan bahwa, "Dan Dia-lah yang menidurkanmu ..." , tentunya poin bahwa manusiataklain adalah ruh bisa pula dipahami dari ayat-ayat al-Quran yang lainnya, misalnya pada surah al-Insan ayat ke 1 yang menjelaskan, "Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum berbentuk sesuatu yang dapat disebut?", dengan memperhatikan ayat ini bisa dikatakan bahwa meskipun sebelum ditiupkan ruh, terlebih dahulu manusia melewati tahapan-tahapan seperti nutfah, gumpalan daging dan sebagainya, akan tetapi ketika itu belum berbentuk sesuatu yang bisa disebut.
[10] . Di antara filosof , Mulla Shadra dengan ilham dari ayat ini dan ayat-ayat yang lain memaparkan teori berikut tentang jiwa (ruh), silahkan lihat: Asfar, jil.8, hal. 230; Syawâhid Ar-Rububuyyah, hal. 221-223.
[11] . Silahkan lihat, An-Nisa (4): 97; As-Sajdah(32):10-11.
[12] . Untuk informasi lebih lengkap rujuklah: Kitâb Ashâlat-e Ruh az Nadzar-e Qurân, Ja'far Subhani, hal. 16-46.
[13] . Untuk informasi lebih jeluk silahkan lihat: Âmuzesy Falsafah, jil.2, Misbah Yazdi, hal. 230-240; Syarh Manzumah, Syahid Muthahhari, jil. 2, hal. 9-58.
[14] . Tentunya, reinkarnasi dapat diasumsikan dengan dua bentuk lain yang tidak batal dan ayat-ayat al-Quran memperbolehkannya, yaitu: a. Perpindahan jiwa dari tubuh ini ke tubuh ukhrawi dimana tubuh ukhrawi ini diperoleh oleh jiwa ini di dunia sesuai dengan sifat-sifat dan etika yang sebelumnya, b. perwujudan batin dan revolusi bentuk lahiriah ke dalam bentuk batiniah.
[15] . Tahrir Tamhid Al-Qawâid, Ayatullah Jawadi Amuli, hal. 234-416.
[16] . Qabisat, hal. 32; Ta'liqah bar Nihâyatul Hikmah, jil. 2, Misbah Yazdi, hal. 404-405; Nihâyatul Hikmah, Allamah Thabathabai, hal. 323-326.