Please Wait
38144
Di antara ulama terdahulu (qudama) Syiah; yaitu hingga sebelum Ahmad bin Musa bin Thawus Hilli (abad ketujuh) semasa dengan Muhaqqiq Hilli dan penyusun kitab “Hal al-Isykâl fi Ma’rifat al-Rijâl” (Jamaluddin Sayid Ahmad Ibnu Thawus Hilli) yang mengemuka hanyalah satu terma dan terma itu adalah klasifikasi hadis menjadi hadis sahih dan nonsahih; artinya mereka menerima satu hadis dan memasukkannya dalam kitab-kitab mereka atau tidak menerima satu hadis dan menolaknya.
Hadis dalam terma kontemporer terklasifikasi menjadi hadis sahih, hasan, muattsaq dan dhaif. Sebuah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat sahih atau hasan atau muattsaq dinilai sebagai hadis dha’if (lemah). Ciri-ciri jenis-jenis hadis ini akan diurai pada jawaban detil.
Para fakih menerima sebagian hadis dhaif dengan beberapa syarat, di antaranya yang terdapat sepanjang sejarah bahwa apabila para fakih mengamalkan kandungan riwayat dan sebuah hadis meski dhaif, maka kita dapat beramal dengan hadis tersebut. Kaidah seperti ini disebut sebagai syuhrat ‘amali (popular dipraktikkan).
Hadis menduduki posisi setelah al-Quran sebagai sumber kedua agama Islam. Di antara ulama terdahulu (qudamâ) Syiah; yaitu hingga sebelum Ahmad bin Musa bin Thawus Hilli (abad ketujuh) semasa dengan Muhaqqiq Hilli dan penyusun kitab “Hal al-Isykal fi Ma’rifat al-Rijâl” (Jamaluddin Sayid Ahmad Ibnu Thawus Hilli) yang mengemuka hanyalah satu terma dan terma itu adalah klasifikasi hadis menjadi hadis sahih dan nonsahih;[1] artinya mereka menerima satu hadis dan memasukkannya dalam kitab-kitab mereka atau tidak menerima satu hadis dan menolaknya.
Dengan demikian, terma sahih dan nonsahih bagi mereka bermakna diterima atau tidak diterimanya satu riwayat bukan sebuah klasifikasi beberapa derajat terkait dengan hadis-hadis. Karena itu, dalam kitab-kitab seperti al-Kâfi dan Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih karya Syaikh Kulaini Rah dan Syaikh Shaduq Rah, para penulis menjelaskan bahwa hadis-hadis yang mereka terima dan dikumpulkan dalam kitab-kitabnya adalah hujjah bagi dirnya dan Allah Swt.[2]
Unsur-unsur Hadis (Matan dan Sanad)
Hadis adalah sebuah perkataan yang menjelaskan ucapan, perbuatan atau ketetapan dan penegasan para maksum.[3] Hadis terbentuk dari dua bagian, matan dan sanad.
Matan hadis; adalah sebuah teks yang menjelaskan perkataan, perbuatan atau ketetapan para maksum As, namun sanad hadis adalah sesuatu yang terbuat seiring dengan perjalanan waktu; karena para ahli hadis dan perawi, menukil dan meriwayatkan hadis-hadis antara satu dengan yang lain, nukilan orang-orang ini menyebabkan munculnya lingkaran lainnya bagi hadis yang kemudian disebut sebagai sanad. Misalnya tatkala kita mengamati kitab al-Kâfi dalam sebuah riwayat yang menyebutkan, “Muhammad bin Ya’qub meriwayatkan dari Ali bin Ibrahim dari ayahnnya dari Nufali dari Sakuni dan ia dari Imam Shadiq As yang bersabda, “….” Bagian hadis ini yang menyebutkan nama-nama perawi hadis dan sejatinya tidak termasuk bagian dari definisi teknis terminologis hadis, melainkan salah satu kemestian hadis, yang disebut sebagai sanad.
Klasifikasi Hadis
Klasifikasi dan pembagian hadis berdasarkan pada dua fokus; fokus pertama; sanad dan fokus kedua; berdasarkan matan hadis; artinya sebagian pembagian berkenaan dengan sanad dan sebagian lainnya bertalian dengan teks (matan) hadis. Namun sebagian pembagian sanad memiliki pengaruh langsung pada penilaian teks hadis; seperti pembagian hadis menjadi sahih, hasan, muattsaq, dhaif yang meski berdasarkan para periwayat hadis, namun terkadang disebut sebagai hadis (matan dan sanad).
Hadis dari sisi sanad terbagi menjadi dua khabar mutawâtir dan khabar wâhid. Mutawâtir adalah sebuah hadis yang banyak dinukil oleh orang-orang sedemikian sehingga kecil kemungkinan mereka berdusta atau bersekongkol untuk berbohong.[4] Namun hadis mutawâtir terbagi lagi menjadi dua bagian, mutawâtir lafzi dan mutawâtir maknawi.[5]
Adapun khabar wahid adalah sebuah kabar yang tidak sampai pada level tawâtur entah perawinya itu satu orang atau beberapa orang.[6]
Pembahasan utama kita adalah tentang sanad hadis dan itu pun sanad kabar wahid yang disebutkan memiliki pembagian yang beragam dan terkadang saling berimpitan satu sama lain. Ahlusunnah mengembangkan pembagian ini dan menambahkannya. Namun dalam hadis Syiah, pembagiannya tidak seperti ini yang akan disebutkan sebagian darinya di sini.
Pertama-tama dari sisi global pembahasan pembagian khabar wahid akan ditunjukkan dengan diagram; untuk melihat diagram silahkan Anda klik pada link terkait.
Khabar wâhid memiliki pembagian sebagaimana berikut:
- Khabar mursal: Khabar mursal adalah sebuah kabar dimana sebagian perawinya dalam silsilah sanad tidak disebutkan dan sanadnya terpotong hingga maksum disebabkan tiadanya sebagian periwayat.[7] Terkadang dalam sanad ini, satu atau terkadang beberapa periwayat tidak disebutkan. Namun apabila periwayat-periwayat hadis dikenal melalui satu jalan dan hanya tidak disebutkan pada hadis; seperti apa yang terdapat pada kitab “Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih” dan kitab-kitab “al-Tahdzib” dan “al-Ishtibshâr” dimana pada akhir kitab silsilah perawinya disebutkan. Dalam metode seperti ini, sanad tidak lagi menjadi mursal melainkan musnad.[8]
- Khabar musnad: Khabar musnad adalah sebuah kabar dimana seluruh periwayatnya disebutkan;[9] misalnya riwayat ini, “Ali bin Muhammad dari Sahl bin Ziyad dari Ibn Abi Bukair dari Muhammad bin Muslim yang berkata bahwa aku bertanya kepada Aba Ja’far.”[10]
Khabar musnad terdiri dari beberapa bagian:
- Berdasarkan pada disebutkannya nama maksum As pada sanad atau tidak disebutkannya nama maksum; bagian ini terbagi menjadi mudhmar dan musharrah. Mudhmar adalah kondisi dimana perawi bersambung dengan maksum As namun nama imam tidak disebutkan secara tegas dan mencukupkan diri dengan kata ganti (dhamir). Dalam kondisi seperti ini, periwayat berkata, “sa’altuhu” atau “qâla” atau “anhu”; hal ini bermakna “aku bertanya kepadanya” atau “ia berkata” atau “darinya” dan redaksi-redaksi lainnya yang tidak menyebutkan nama maksum;[11] seperti pada riwayat ini, “al-Husain bin Sa’id dari al-Hasan dari Zur’ata dari Sama’ata yang berkata, “Aku bertanya kepadanya tentang seorang pria yang memasukkan..”[12] Adapun riwayat yang menyebutkan nama maksum secara tegas di dalamnya disebut sebagai musharrah dimana kebanyakan riwayat kita seperti ini adanya; seperti misalnya Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Muhammad dari al-Hajjal dari Tsa’laba bin Maimun dai Ma’mar bin Umar yang berkata aku bertanya kepada Abu Ja’far…”[13]
- Berdasarkan jumlah periwayat yang terbagi menjadi mustafidha dan masyhur. Mustafidha adalah sebuah hadis dimana perawinya pada setiap tingkatan lebih dari dua orang atau lebih dari tiga orang, namun tidak mencapai level hadis mutawâtir (artinya lebih dari satu orang dan kurang dari level tawatur).[14] Adapun sehubungan dengan definisi hadis masyhur terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian menilai jenis hadis ini tidak berbeda dengan hadis mustafidha dan sebagian lainnya dalam membedakan antara hadis masyhur dan hadis mustafidha berkata bahwa pada hadis masyhur tidak mesti jumlah periwayat pada setiap tingkatan harus sama dengan jumlah periwayat mustafidha dan boleh jadi pada sebuah tingkatan terdapat hanya satu orang yang meriwayatkan hadis meski pada tingkatan-tingkatan lainnya terdapat beberapa periwayat yang menukil hadis tersebut. Sebagai contoh merea berkata, “Hadis “innamâ al-a’mâl binniyat” (Sesungguhnya amalan itu bergantung pada niatnya) yang pada tingkatan pertama terdapat satu orang yang meriwayatkan hadis ini. Dengan kata lain, hanya terdapat satu orang yang mengutip riwayat ini dari maksum As secara langsung dan tanpa perantara dan kendati pada tingkatan-tingkatan selanjutnya terdapat beberapa orang lebih yang menukil riwayat ini.[15]
-
Berdasarkan penilaian para periwayat: Orang-orang yang pada silsilah sanad kesemuanya tidak memiliki sifat yang sama dan tidak serupa satu dengan yang lainnya, sebagian dari mereka adalah orang-orang Syiah Imamiyah dan sebagian lainnya berasal dari firkah Syiah lainnya atau Ahlusunnah. Dari sisi lain, sebagian orang tsiqah dan dapat diandalkan, namun sebagian lainnya adalah para pendusta dan pembohong, sebagian lainnya kurang hafalannya dan sebagian lainnya kuat hafalannya dan seterusnya. Disebabkan oleh perbedaan-perbedaan ini pada para perawi hadis, hadis-hadis yang dinukil terbagi menjadi beberapa bagian:
- Shahih: artinya sebuah hadis yang sanadnya bersambung sampai kepada maksum As dan seluruh periwayatnya dalam sanad dan pada seluruh tingkatan adalah Syiah Imamiyah dan adil.[16]
- Hasan: adalah sebuah riwayat yang sanadnya hingga maksum As, perawi Syiah Imamiyah dan mamduh (terpuji) (tanpa penegasan atas keadilannya).[17]
- Mu’attsaq: Adalah sebuah riwayat yang pada sanadnya terdapat para periwayat yang meski merupakan orang-orang yang dapat diandalkan (muattsaq) (dalam hadis dan periwayatannya dapat diperhitungkan) namun memiliki akidah yang rusak; seperti Waqifiyah, Fathiyyah dan lain sebagainya. Hadis seperti ini terkadang juga disebut sebagai hadis qawi.[18]
- Dha’if: Artinya sebuah hadis yang sama sekali tidak memiliki sifat periwayat tiga jenis yang telah disebutkan sebelumnya.[19]
Sebagaimana yang tertuang pada diagram, khabar dhaif juga terbagi menjadi dua bagian, maqbul dan mardud. Khabar dhaif maqbul adalah sebuah hadis yang diterima oleh para fakih dan ahli hadis meski lemah dan mereka beramal terhadap kandungan hadis tersebut. Terkadang secara ringkas hadis seperti ini disebut sebagai hadis maqbul; seperti maqbulah Umar bin Hanzalah[20] yang disebutkan pada sanad riwayat berikut ini, “Muhammad bin Ya’qub dari Muhammad bin Yahya dari Muhammad bin al-Husain dari Muhammad bin Isa dari Shafwan bin Yahya dari Daud bin al-Hushain dari Umar bin Hanzalah yang berkata bahwa Aku bertanya kepada Abu Abdillah tentang dua orang dari sahabat kami.”[21] Dalam riwayat ini Muhammad bin Isa dan Daud dinilai sebagai periwayat lemah dan dari sisi lain tidak disebutkan tentang adanya pujian dan celaan terhadap Umar bin Hanzalah,[22] namun riwayat ini diterima oleh para fakih.
Khabar dhaif mardud adalah sebuah khabar lemah yang ditolak oleh ulama dan mereka memandang tidak dibenarkan beramal terhadap hadis tersebut.[23]
Dengan penjelasan yang telah diuraikan menjad terang bahwa dengan memperhatikan syarat-syaratnya kita apat beramal berdasarkan hadis dhaif sebagaimana para fakih beramal berdasarkan khabar dhaif maqbul.
Di samping itu, dalam kitab-kitab fikih penalaran terdapat sebuah ungkapan bahwa kelemahan riwayat dapat ditebus dengan amalan para sahabat (ulama Imamiyah). Atau disebutkan, “Syuhrat dapat menebus kelemahan riwayat.”[24] Yang dimaksud dengan syuhrat dalam hal ini adalah popular diamalkan. Dalam syuhrat amali, para fakih beramal dengan berpijak pada sebuah riwayat yang mengandung beberapa problematika di antaranya adalah kelemahan sanad sehingga beramal berdasarkan riwayat ini adalah sesuatu yang popular (masyhur) di kalangan fukaha (para fakih).[25]
Karena itu, kita dapat beramal dengan bersandar pada khabar dhaif maqbul dan khabar dhaif munjabar. [iQuest]
[1]. Ali Akbar Saifi Mazandarani, Miqyâs al-Riwâyat fi ‘Ilm al-Dirâyat, hal. 44, Muassasah Intisyarat Islami, Qum, 1421 H.
[2]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, Riset dan Koreksi oleh Ali Akbar Ghaffari, Muhammad Akhundi, jil. 1, hal. 8, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Keempat, 1407 H; Syaikh Shaduq, Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih, Riset dan Koreksi oleh Ali Akbar Ghaffari, jil. 1, hal. 3, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Cetakan Kedua, 1413 H.
[3]. Muhammad Yusuf Hariri, Farhangg-e Ishthilahât-e Hadits, hal. 38, Instiyarat Hijrat, Qum, 1381 S.
[4]. Abdul Hadi al-Fadhli, Ushul al-Hadits, hal. 72, Muassasah Umm al-Qura, Beirut, 1420 H.
[5]. Silahkan lihat, Indeks Kriteria Hadis Mutawatir Lafzi, Maknawi dan Ijmali, Pertanyaan 2412.
[6]. Ushul al-Hadits, hal. 82.
[7]. Farhangg-e Ishthilahât-e Hadits, hal. 121.
[8]. Ushul al-Hadits, hal. 175.
[9]. Ibid, hal. 97.
[10]. Al-Kâfi, jil. 3, hal. 411.
عَلِیُّ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ زِیَادٍ عَنِ ابْنِ أَبِی نَصْرٍ عَنِ ابْنِ بُکَیْرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا جَعْفَرٍ (ع)….
[11]. Ushul al-Hadits, hal. 100.
[12]. Muhammad bin Hasan Syaikh Thusi, Tahdzib al-Ahkam, jil. 10, hal. 49, Riset oleh Khurasan, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1407 H.
الْحُسَیْنُ بْنُ سَعِیدٍ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ زُرْعَةَ عَنْ سَمَاعَةَ قَالَ سَأَلْتُهُ عَنْ رَجُلٍ أَدْخَلَ ...
[13]. Al-Kâfi, jil. 3, hal. 412.
مُحَمَّدُ بْنُ یَحْیَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ الْحَجَّالِ عَنْ ثَعْلَبَةَ بْنِ مَیْمُونٍ عَنْ مَعْمَرِ بْنِ عُمَرَ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا جَعْفَرٍ (ع)
[14]. Farhangg-e Ishthilahât-e Hadits, hal. 123.
[15]. Ushul al-Hadits, hal. 99 dan 100.
[16]. Jamaluddin Husan Jabal ‘Amili (putra Syahid Tsani), Muntaqâ al-Jaman, jil. 1, hal. 4, Muassasah Nasyr Islami, Qum, 1362 S.
[17]. Ibid, hal. 4.
[18]. Ibid, hal. 4.
[19]. Ushul al-Hadits, hal. 108.
[20]. Silahkan lihat, Terjamahan dan Uraian Maqbulah Umar bin Hanzalah, Pertanyaan 22636.
[21]. Al-Kâfi, jil. 1, hal. 67.
مُحَمَّدُ بْنُ یَعْقُوبَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ یَحْیَى عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْحُسَیْنِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عِیسَى عَنْ صَفْوَانَ بْنِ یَحْیَى عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَیْنِ عَنْ عُمَرَ بْنِ حَنْظَلَةَ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ (ع) عَنْ رَجُلَیْنِ مِنْ أَصْحَابِنَا...
[22]. Ushul al-Hadits, hal. 131.
[23]. Ibid, hal. 131.
[24]. Sebagai contoh, silahkan lihat, Muhammad Hasan Najafi, Jawâhir al-Kalâm, jil. 43, hal. 273, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Tanpa Tahun.
[25]. Diadaptasi dari Pertanyaan Syuhrat Menebus Kelemahan Sanad, Pertanyaan 8574.