Please Wait
15874
Pendahuluan
Sebelum membahas tentang esensi akal kiranya kita perlu menyebutkan beberapa hal sebagai pendahuluan.
Redaksi akal merupakan salah satu terminologi yang terdapat pada setiap ilmu dan sesuai dengan setiap disiplin ilmu dan pandangan akal memiliki definisi khusus dan terdapat perbedaan dalam makna-makna ini secara terminologis yang acap kali menyebabkan timbulnya banyak kesalahpahaman tentang akal.
Namun pelbagai kerancuan dan keburaman tentang terminologi akal hanya berkenaan dengan pelbagai kerumitan spesialisasi ilmu bukan bermakna bahwa akal benar-benar memiliki keburaman secara esensial.
Dalam Islam, betapa besar nilai yang diberikan kepada akal dan makrifat (pengetahuan). Pada saat yang sama pelbagai deskripsi yang diuraikan tentang akal berseberangan dengan akal yang senantiasa mencari keuntungan dan egosentris yang melulu memfokuskan segala perhitunganya berdasarkan nafs ammarah. Bahkan definisi akal dalam Islam persis berhadap-hadapan dengan ego sentris nafsu manusia sebagaimana redaksi akal dalam bahasa Arab yang bermakna menjinakkan.[1]
Dari sisi lain, salah satu pembahasan terpenting dalam maarif Islam adalah kritik atas penalaran analogis (qiyâsi) dalam urusan-urusan agama. Khususnya dalam mazhab Syiah dan Ahlulbait, qiyâs (analogi) diperkenalkan sebagai mazhab Iblis[2] dan disebutkan bahwa agama tidak dapat dipahami dengan akal analogis.[3] Agama Tuhan di samping mencakup masalah syariat dan juga menyangkut realitas-realitas metafisis.
Karena itu, akal dalam pandangan al-Qur’an dan riwayat bukan akal kalkulatif dan juga bukan analogis. Keduanya meski dapat menjadi media bagi akal namun bukan akal secara keseluruhan. Karena itu, berulang kali al-Qur’an menyebutkan bahwa kebanyakan manusia tidak berpikir dan berasionisasi atau tidak memberdayakan akalnya padahal kita ketahui kebanyakan manusia mendasarkan seluruh perbuatannya berdasarkan perhitungan dan kalkulasi.
Pembahasan kontradiksi antara akal dan agama merupakan salah satu pembahasan penting khususnya di dunia Barat dan secara praktis berujung pada peminggiran agama dalam kehidupan keseharian mereka. Redaksi akal ini telah menjauh dari makna hakikinya dan celakanya betapa banyak urusan-urusan agama telah bercampur aduk dengan urusan-urusan non-real yang telah menimbulkan kontradiksi antara agama dan akal. Sementara dalam Islam, akal dan agama merupakan satu realitas tunggal dan sesuai dengan sebagian riwayat bahwa dimanapun akal berada maka agama akan senantiasa menyertainya.[4]
Sebagai pendahuluan pembahasan kami telah menyebutkan bahwa memandang akal sama dengan pemikiran analogis dan kalkulatif merupakan sebuah kesalahan filosofis dan gnostis; lantaran analogi dan kemampuan kalkulasi semata-mata merupakan sebuah media permukaan dan skin deep akal yang pekerjaan utamanya berkaitan dengan urusan kuantitas dan bilangan.
Namun untuk memahami pelbagai realitas sesuatu, baik dan buruk, petunjuk dan kesesatan, Tuhan dan manusia, kesempurnaan dan kebahagiaan dan lain sebagainya memerlukan cahaya yang berfungsi sebagai unsur Ilahiah yang terpendam dalam diri manusia. Unsur Ilahiah ini adalah akal manusia dalam artian sebenarnya. Sebagaimana sesuai dengan sabda Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As bahwa para nabi muncul untuk menyemai pelbagai khazanah akal manusia.”[5]
Kita ketahui bahwa kebanyakan keutamaan manusia didasarkan dengan pandangan kalkulatif terhadap pelbagai urusan dalam istilah non-logisnya. Demikian juga, konsep tentang Tuhan dalam pandangan pikiran adalah kuiditas yang berpikir yang secara praktis ekuivalen dengan ketiadaan. Lantaran Tuhan tidak memiliki kuantitas, kuiditas dan kualitas. Padahal cakupan akal fitri dan agamis lebih luas dan lebih menyeluruh daripada kemampuan kalkulatif manusia. Akal fitri dan agamis lebih banyak mencakup pemahaman dan pencerapan hati dan bahkan secara asasi akal, hikmah, fikih, pemahaman dan lain sebagainya seluruhnya disandarkan pada hati manusia dalam pandangan al-Qur’an atau diperkenalkan sebagai sebuah urusan yang dianugerahkan dari sisi Tuhan.[6]
Apa Hakikat Akal itu?
Akal pada intinya adalah intelegensia dan koginisi manusia itu sendiri yang melakukan aktifitas pada setiap tingkatan pemahaman dan pencerapan. Swa kognisi ini semata-mata terkhusus untuk manusia dan hewan-hewan meski memiliki intelegensia namun mereka tidak memiliki sesuatu yang disebut “aku” dan pengetahuan terhadap dirinya sendiri. Dengan kata lain, akal adalah cahaya pengetahuan yang menguasai seluruh pilar pemahaman (inderawi, pelbagai konsepsi, pemikiran, ingatan dan lain sebagainya), intelegensia dan mencahayai kesemua ini.
Pengetahuan manusia ini terhadap keberadaannya dan sejatinya, menjadi saksi atas dirinya, merupakan konstelasi seluruh pemahaman yang terkhusus bagi manusia. Seseorang yang mengetahui dirinya sendiri berada di bawah pengaruh pengetahuan ini dalam menghadapi pelbagai urusan sebagai saksi yang sadar secara otomatis memiliki kekuatan pembeda, penilai dan hanya ketika manusia lalai ia tidak memiliki kemampuan ini. Sebagaimana akal dalam menghadapi pelbagai urusan kuantitas dan bilangan memiliki kemampuan untuk menghitung dan mengkalkulasi, dalam menghadapi pelbagai urusan moril, spiritual dan trasendental juga memiliki pemahaman transendental dan akan menuai hasil serta bersemi pada ragam tingkatannya.
Dengan penjelasan ini, akal manusia dan kehadirannya pada diri manusia pada setiap tingkatannya merupakan perkara fitri, gamblang dan esensial. Dan untuk menetapkan atau memberdayakannya tidak memerlukan pembahasan teoritis yang rumit dan njelimet.
Tidak bergunanya upaya dalam menetapkan logika akal disebabkan oleh sesuai dengan asumsi persoalannya “penetapan logis” semata-mata merupakan salah satu kemampuan dan media akal. Karena itu, akal untuk menetapkan dirinya tidak memerlukan medianya sendiri melainkan akal sadar dan tahu akan dirinya. Dan segala sesuatu akan ditetapkan dan menjadi terang dengan cahaya pemahaman dan kesadaran akal.
Untuk memahami kehadiran akal syarat yang diperlukan adalah tiadanya kelalaian terhadap diri sendiri dan sebab jauhnya manusia dari akal adalah tiadana kesadaran pada diri manusia dan teralineasi serta tertawannya pikiran oleh sebagian kecendrungan buta.
Sesuai dengan anggapan al-Qur’an, seluruh manusia memiliki akal namun karena buta hati maka manusia tidak mampu memberdayakannya: “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi supaya mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami hakikat atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar (seruan kebenaran)? Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada.“ (Qs. Al-Haj [22]:46) Pada ayat lainnya, al-Qur’an menyatakan, “Dan sesungguhnya Kami ciptakan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari bangsa jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi mereka tidak mempergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata (tetapi) mereka tidak mempergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) mereka tidak mempergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Qs. Al-A’raf [7]:179)
Beberapa Tingkatan Akal
Di sini kami akan menyinggung secara selintasan beberapa tingkatan akal dari sudut pandang pengetahuan agama.
Kami katakan bahwa akal dalam pengertian umum adalah swa-kognisi manusia yang merupakan cahaya keberadaan manusia. Karena itu, ragam tingkatan akal adalah ragam tingkatan swa-kognisi manusia tentang dirinya dimana swa-kognisi mencakup seluruh tingkatan pencerapan dan pemahaman serta media indrawi, fantasi, pikiran, ingatan dan lain sebagainya. Dan kesemua ini memiliki pencerapan dan pemahaman insani.
Telah kami nyatakan bahwa akal adalah pengetahuan atas pelbagai pemahaman dan pencerapan ini bukan pencerapan dan pemahaman itu sendiri. Atas dasar itu, boleh jadi ungkapan al-Qur’an yang menyatakan bahwa manusia memiliki mata (pencerapan indrawi) namun tidak melihat. Manusia memiliki kemampuan untuk menghitung namun tidak berpikir. Memiliki ingkatan namun tidak mengambil pelajaran dan seterusnya. Adapun manusia berakal, ia memiliki pemahaman hidup terkait dengan seluruh pencerapan ini dimana pemahaman ini adalah indikasi tentang kehadiran pengetahuan lebih unggul pada diri manusia.
Akan tetapi akal kalkulatif dan komparatif yang digunakan untuk mengatur dan mengelola urusan duniawi adalah salah satu media akal yang dapat beraktifitas dengan baik pada tempatnya. Namun kehancuran akan terjadi apabila kemampuan kalkulatif ini ingin berjalan di luar fungsinya dan mengatur seluruh keberadaan manusia beradasarkan nafsu ammarah.
Dalam kondisi seperti ini, kemampuan kalkulatif yang mirip dengan akal dan bukan akal itu sendiri mendominasi keberadaan manusia dan mencegahnya untuk mentransendental dan mengingkari segala sesuatu selain perhitungan kuantitatif dan kalkulatif.
Setelah peringatan ini, terkait dengan tingkatan akal kami katakan bahwa serendah-rendah derajat akal adalah pengetahuan manusia terhadap panca indranya sendiri dimana manusia seukuran dengan pemanfaatan akal maka ia akan memahami makna dan pesan yang ada pada setiap yang ditangkap oleh panca indra. Dan pada tingkatan tertinggi akal mencakup pengetahuan terhadap pikiran, ingatan, ilmu, ibrah, dan hikmah. Kemudian dari jantung tingkatan ini, akal yang lebih unggul akan nampak yang mencakup seluruh tingkatan wahyu dan pelbagai pencerapan syuhudi (dalam artian universalnya) dan pada puncaknya, tingkatan kecintaan Ilahi dan pencerapan tauhid irfani sebagai derajat pamungkas dari tingkatan berseminya akal.
Karena itu, kita saksikan bahwa dalam terminologi al-Qur’an dan riwayat dikemukakan bahwa akal sebagai unsur penyelamat manusia. Dengan demikian, kita tidak menemukan adanya celaan dan kritikan terhadap akal dalam lisan al-Qur’an dan tuturan para maksum kecuali dalam masalah analogi (qiyâs) yang telah kami sebutkan bahwa analogi tidak bermakna akal dan hanya merupakan satu lapisan permukaan dari media-media akal.[7]
Beberapa Riwayat ihwal Esensi Akal
1. Imam Shadiq As ditanya tentang apa itu akal? Beliau bersabda, “Sesuatu yang dengannya Tuhan disembah dan firdaus direngkuh.” Perawi berkata, “Aku berkata, “Lantas yang dimiliki Muawiyah itu apa?” Imam Shadiq As bersabda, “Itu adalah kelicikan. Itu adalah pengelabuan. Hal itu adalah demonstrasi bahwa ia memiliki akal namun bukan akal.”[8]
2. Tatkala Allah Swt menciptakan akal, Allah Swt berfirman, “Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, Aku tidak mendapatkan satu makhluk pun sebelummu yang lebih aku cintai dan hanya kepadamu kuberikan segalanya secara sempurna yang Aku punyai di antara orang-orang yang Aku cintai.[9]
3. Jibril turun kepada Nabi Adam dan berkata, “Wahai Adam! Aku mendapatkan tugas untuk memberikan kepadamu pilihan atas salah satu dari tiga hal. Maka pilihlah salah satu darinya dan biarkanlah dua hal tersebut. Adam berkata “Apakah tiga hal tersebut?” Jibril menjawab, “Akal, sifat malu (hayâ) dan agama.” Adam berkata, “Aku memilih akal.” Jibril berkata kepada sifat malu dan agama untuk pergi dan melepaskan akal.” Keduanya berkata, “Wahai Jibril! Kami bertugas untuk senantiasa bersama akal di manapun ia berada.”[10]
4. Rasulullah Saw bersabda, “Allah Swt tidak mengarunai sesuatu lebih baik daripada akal. Karena tidurnya orang berakal pada malam hari lebih baik dari bangunnya orang jahil. Berdiamnya seorang berakal lebih baik dari perjalanan orang jahil (menuju haji dan jihad). Allah Swt tidak mengutus nabi dan rasul kecuali untuk menyempurnakan akal (sepanjang akalnya belum sempurna Allah Swt tidak akan mengutusnya). Akalnya lebih unggul daripada akal seluruh umatnya. Apa yang dimiliki oleh nabi lebih menjulang daripada ijtihad para mujtahid dan supaya hamba tidak menemukan kewajibannya dengan akalnya sendiri. Ibadah seluruh para hamba tidak akan mencapai keutamaan ibadah seorang berakal. Orang-orang berakal adalah para pemilik kecendiaan dan tentangnya Rasulullah Saw bersabda, “Hanya ulul albâb (orang-orang berpikir) yang mengambil pelajaran.”[11]
5. Imam Shadiq As bersabda: Allah Swt menciptakan akal dari cahaya surya dan dari sisi kanan arsy. Akal adalah makhluk pertama dari kalangan entitas-entitas cahaya.[12]
6. Tiada jarak antara iman dan kekufuran kecuali kekurangan akal.”[13] [IQuest]
[1]. Kitab al-‘Ain, jil. 1, hal. 159, Software Jami’ al-Ahadits.
« عقلت البعیر عقلا شددت یده بالعقال أی الرباط»
[2]. Al-Kulaini, al-Kafi, jil. 1, hal. 58, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365.
« أَوَّلَ مَنْ قَاسَ إِبْلِیسُ حِینَ قَالَ خَلَقْتَنِی مِنْ نَارٍ وَ خَلَقْتَهُ مِنْ طِینٍ فَقَاسَ مَا بَیْنَ النَّارِ وَ الطِّین»
[3]. Ibid, hal. 57.
« إِنَّ أَصْحَابَ الْقِیَاسِ طَلَبُوا الْعِلْمَ بِالْقِیَاسِ فَلَمْ یَزْدَادُوا مِنَ الْحَقِّ إِلَّا بُعْداً إِنَّ دِینَ اللَّهِ لَا یُصَابُ بِالْقِیَاسِ»
[4]. Ibid, jil. 1, hal. 11.
« هَبَطَ جَبْرَئِیلُ عَلَى آدَمَ ع فَقَالَ یَا آدَمُ إِنِّی أُمِرْتُ أَنْ أُخَیِّرَکَ وَاحِدَةً مِنْ ثَلَاثٍ فَاخْتَرْهَا وَ دَعِ اثْنَتَیْنِ فَقَالَ لَهُ آدَمُ یَا جَبْرَئِیلُ وَ مَا الثَّلَاثُ فَقَالَ الْعَقْلُ وَ الْحَیَاءُ وَ الدِّینُ فَقَالَ آدَمُ إِنِّی قَدِ اخْتَرْتُ الْعَقْلَ فَقَالَ جَبْرَئِیلُ لِلْحَیَاءِ وَ الدِّینِ انْصَرِفَا وَ دَعَاهُ فَقَالَا یَا جَبْرَئِیلُ إِنَّا أُمِرْنَا أَنْ نَکُونَ مَعَ الْعَقْلِ حَیْثُ کَانَ قَالَ فَشَأْنَکُمَا وَ عَرَجَ»
[5]. Nahj al-Balaghah, hal. 43, Intisyarat-e Dar al-Hijrah, Qum.
« وَاتَرَ إِلَیْهِمْ أَنْبِیَاءَهُ لِیَسْتَأْدُوهُمْ مِیثَاقَ فِطْرَتِهِ وَ یُذَکِّرُوهُمْ مَنْسِیَّ نِعْمَتِهِ وَ یَحْتَجُّوا عَلَیْهِمْ بِالتَّبْلِیغِ وَ یُثِیرُوا لَهُمْ دَفَائِنَ الْعُقُول»
[6]. Apa yang telah diturunkan Allah kepadamu, yaitu al-Kitab (Al-Qur’an) dan hikmah.” (Qs. Al-Baqarah [2]:231); “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi supaya mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami hakikat atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar (seruan kebenaran)?” (Qs. Al-Hajj [22]:46)
[7]. Dengan demikian menjadi jelas bahwa penentangan sebagian ulama dan para arif (urafa) terhadap akal sejatinya merupakan sebuah reaksi atas definisi akal yang berkembang yang semata-mata membatasi definisi akal sebagai akal kalkulatif dan imaginatif
[8]. Kulaini, al-Kâfi, jil. 1, hal. 12, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.
[9]. Ibid, hal. 10.
[10]. Ibid.
[11]. Ibid, hal. 13.
[12]. Ibid, hal. 20.
[13]. Ibid., hal. 28.