Please Wait
26714
Berkata jujur dan memerangi dusta sangat mendapat perhatian ekstra dalam ajaran-ajaran Islam sedemikian sehingga dalam banyak hal berdusta disebut sebagai perbuatan yang lebih nista dari minuman keras. Namun dengan demikian, kapan saja ketika tidak berdusta menyebabkan timbulnya kerugian dan bahya yang lebih besar dari berdusta seperti membunuh orang tak berdosa, atau serangan musuh ke negeri-negeri Islam, perpecahan dan permusuhan di antara orang-orang beriman dan lain sebagainya maka berdusta dalam hal ini dibolehkan. Namun apabila manusia dapat melakukan tauriyah (menyamarkan maksud) dan tidak menyebabkan ia berdusta maka ia wajib melakukan tauriyah.
Berkata jujur dan memerangi dusta sangat mendapat perhatian ekstra dalam ajaran-ajaran Islam sedemikian sehingga dalam banyak hal berdusta disebut sebagai perbuatan yang lebih nista dari minuman keras. Imam Shadiq As bersabda, “Janganlah kalian memandang ruku dan sujud seseorang karena boleh jadi merupakan kebiasaan bagi mereka, sedemikian sehingga apabila ditinggalkan mereka akan bersedih. Namun perhatikanlah perkataan jujur dan sikap amanah yang mereka miliki.”[1] Artinya perkataan jujur dan sikap amanah adalah standar kebaikan dan iman seseorang.
Dalam sebuah hadis dari Imam Baqir As disebutkan, “Allah Swt meletakkan gembok-gembok bagi setiap keburukan dan kejahatan dan kunci seluruh gembok tersebut adalah minuman keras (karena penghalang utama segala keburukan dan kekejian adalah akal sementara minuman-minuman keras menciutkan kerja akal). Kemudian Imam Baqir As menghimbuhkan, “Dusta lebih buruk daripada minuman keras.”[2] Hubungan dusta dan dosa-dosa lainnya, dari sudut pandang ini, bahwa manusia pendosa tidak dapat menjadi orang yang berkata jujur karena dengan berkata jujur akan membuatnya ketahuan dan untuk menutupi perbuatan dosanya biasanya ia bersandar pada dusta. Dengan kata lain, dusta akan membukakan gerbang bagi manusia untuk berbuat dosa sementara berkata jujur akan menutup gerbang tersebut.[3]
Salah satu kerugian terbesar dusta adalah musnahnya modal kepercayaan. Kita ketahui bahwa modal yang paling utama sebuah masyarakat adalah saling mempercayai sesama anggota masyarakat. Dan faktor terpenting yang dapat memusnahkan modal ini adalah dusta, khianat dan perbuatan curang. Satu dalil mendasar atas signifikansi berkata jujur dan meninggalkan dusta dalam ajaran-ajaran Islam adalah masalah ini. Namun dengan demikian terkait dengan beberapa kondisi darurat (sangat urgen diperlukan) dibolehkan untuk berkata dusta. Namun kebolehan ini seukuran kondisi darurat dan selama kondisi darurat ini ada, tidak lebih. Yang dimaksud dengan kondisi darurat di sini adalah kebutuhan yang sangat tinggi untuk berkata dusta untuk mengantisipasi pelbagai kerugian yang lebih besar seperti terancamnya jiwa manusia atau keselamatannya atau mencegah serangan musuh ke negeri-negeri Islam atau mengantisipasi perpecahan di antara saudara Muslim dan secara umum hal-hal yang muatan dosanya lebih besar.
Kita harus menyebut poin ini bahwa kendati berkata dusta dipandang boleh dalam syariat pada hal-hal yang sifatnya darurat dan untuk mengenyahkan kerugian yang lebih besar dan tidak dapat ditolerir. Namun apabila terdapat sebuah jalan sehingga bahaya dapat ditampik tanpa harus berkata dusta maka ia harus memilih jalan tersebut. Salah satu jalan tersebut adalah tauriyah. Tauriyah adalah sebuah ucapan yang mengandung dua makna di baliknya. Pertama makna lahirnya dan nyata yang dapat dipahami dengan mudah oleh pendengarnya. Dan kedua, makna puncak dan latennya yang tidak dipahami oleh pendengarnya. Apabila manusia untuk menyingkirkan bahaya dari dirinya atau dari seorang Muslim sehingga mau-tak-mau harus memilih menggunakan tauriyah atau berkata dusta maka yang harus ia pilih adalah tauriyah.
Dalam kondisi darurat yang mengkondisikan seseorang untuk berkata dusta, maka tidak ada bedanya apakah bahaya tersebut mengarah kepada dirinya atau kepada saudara mukmin lainnya. Imam Ridha As bersabda, “Sesungguhnya seseorang yang berkata jujur tentang saudaranya sesama Muslim kemudian menjerumuskannya; maka ia tergolong sebagai seorang pendusta di hadapan Allah Swt. Dan sesungguhnya seseorang yang berkata dusta tentang saudaranya sehingga dengan dusta tersebut ia menyingkirkan bahaya yang mengancamnya; maka ia tergolong sebagai orang-orang yang berkata jujur di hadapan Tuhan.”[4]
Imam Shadiq As bersabda: Pada hari Kiamat, setiap dusta akan disidang kecuali tiga perkara: Pertama seseorang yang mengecoh (musuh) dalam medan perang dusta (tipuan) ini akan dicabut darinya; kedua, tatkala dusta yang menyebabkan “ishlah dzat al-bain” (memecahkan persoalan dan menciptakan perdamaian di antara sesama Muslim dan...”[5]
Rasulullah Saw mewasiatkan Baginda Ali As: Sesungguhnya Allah Swt mencintai dusta yang mengandung kemaslahatan dan kebaikan dan membenci perkataan jujur yang berujung pada kerugian dan keburukan.”[6]
Namun menjaga kadar dan mizan dusta diperlukan untuk menciptakan kemaslahatan dan setiap orang tidak boleh melewati batasan mizan ini; karena melewati batasan mizan ini akan menyebabkan manusia terjerembab dalam perbuatan dusta dan Imam Shadiq As bersabda, “Orang-orang yang mengadakan perbaikan (mushlih) tidak memiliki naluri untuk berdusta.”[7] Apa yang dapat dipahami dari riwayat sebelumnya adalah bahwa manusia dengan dalih ingin memperbaiki masyarakat dan menciptakan perdamaian di antara sesama Muslim tidak boleh berkata dusta sesukanya dan tanpa batasan; melainkan ia harus menjaga batasan-batasannya.[8] [IQuest]
[1]. Al-Qummi, Safinat al-Bihâr, klausa “shi-d-q.” Al-Kâfi, jil. 2, hal. 104, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 H.
ان اللَّه عز و جل جعل للشر اقفالا، و جعل مفاتیح تلک الاقفال الشراب، و الکذب شر من الشراب.
[3]. Ayatullah Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 2, hal. 413.
. قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ع یَقُولُ کُلُّ کَذِبٍ مَسْئُولٌ عَنْهُ صَاحِبُهُ یَوْماً إِلَّا کَذِباً فِی ثَلَاثَةٍ رَجُلٌ کَائِدٌ فِی حَرْبِهِ فَهُوَ مَوْضُوعٌ عَنْهُ أَوْ رَجُلٌ أَصْلَحَ بَیْنَ اثْنَیْنِ یَلْقَى هَذَا بِغَیْرِ مَا یَلْقَى بِهِ هَذَا یُرِیدُ بِذَلِکَ الْإِصْلَاحَ مَا بَیْنَهُمَا أَوْ رَجُلٌ وَعَدَ أَهْلَهُ شَیْئاً وَ هُوَ لَا یُرِیدُ أَنْ یُتِمَّ لَهُمْ.
ان الله احب الکذب فی الصلاح و ابغض الصدق فىالفساد.