Please Wait
9137
Allah Swt adalah Zat yang tidak membutuhkan secara absolut dan sama sekali tidak memiliki kekurangan, kelemahan dan kebutuhan pada entitas-Nya. Sebaliknya seluruh ciptaan dan makhluk membutuhkan Allah Swt. Dari sisi lain, Allah Swt adalah Mahapengasih dan Mahapemurah kepada seluruh hamba-Nya. Dia mencintai seluruh hamba-Nya. Dia menciptakan semesta dan segala karunia berikut pelbagai keindahannya bagi para hamba-Nya. Berdasarkan hal ini, seluruh perbuatan-Nya berpijak di atas hikmah. Di antara perbuatan-Nya adalah titah pengerjaan salat atau perbuatan-perbuatan lainnya yang berasaskan ada hikmah, kemaslahatan dan keuntungan bagi para hamba yang mengerjakan amalan-amalan dan perbuatan-perbuatan ini. Hikmah-hikmah seperti sampainya manusia kepada kesempurnaan, terjauhkannya manusia dari segala jenis keburukan dan kenistaan, mendekatnya manusia kepada Allah Swt dan lain sebagainya. [1]
Demikian juga, Allah Swt melarang manusia mengerjakan sebuah perbuatan dan mengingatkan para hamba-Nya supaya menjauhi perbuatan yang dilarang-Nya. Hal itu semata-mata karena kerugian dan keburukan yang terkandung di dalam perbuatan tersebut bagi para hamba. Dan boleh jadi tiada seorang pun yang mengetahui pelbagai kerugian dan keburukan dari sebuah perbuatan selain Allah Swt.
Di samping itu, seluruh azab dan hukuman yang dijanjikan pada hakikatnya merupakan konsekuensi dan hasil dari perbuatan haram itu sendiri atau karena meninggalkan perbuatan wajib yang dengan mengerjakan perbuatan haram atau meninggalkan perbuatan wajib akan dialami oleh manusia; sebagaimana seorang dokter yang melarang kita memakan makanan beracun dan berbahaya; karena memakan makanan seperti ini akan mengakibatkan pengaruh buruk pada badan manusia.
Alangkah indahnya al-Qur’an menarasikan hukuman-hukuman akhirat dan sebab-sebab universal pelbagai azab dengan satu pesan singkat dan padat, “ (Azab) yang demikian itu adalah disebabkan perbuatan tanganmu sendiri, dan sesungguhnya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Nya. ” [2]
Karena itu, hakikat dan fakta azab Ilahi adalah buah dari perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan oleh manusia sendiri. Dan supaya manusia mengetahui konsekuensi-konsekuensi segala perbuatannya dan supaya terdapat penekanan lebih terhadap tujuan-tujuan ini, maka Allah Swt mengungkapkan masalah-masalah seperti ini dalam untaian firman-Nya dalam al-Qur’an; karena boleh jadi orang-orang yang tidak terlalu menaruh harapan terhadap ganjaran (tsawâb) Ilahi setidaknya akan merasa takut dari azab kemudian memilih jalan yang mengandung kemaslahatan atau tidak mengerjakan perbuatan buruk.
Anggaplah hal ini laksana obat mujarab dan menyembuhkan bagi seorang pasien namun pasien tersebut menolak meminum obat tersebut. Meski pasien ini meminum obat tersebut atas permohonan ayahnya dan demi menghormati ayahnya kemudian merasakan pengaruh positif obat tersebut. Demikian juga apabila ia terpaksa meminum obat itu dengan harapan memperoleh hadiah dari ayahnya atau tidak mendapatkan hukuman darinya.
Karena itu, tujuan Allah Swt dari amalan-amalan ritual yang dikerjakan atau ditinggalkan manusia adalah demi kebaikan terhadap para hamba-Nya, bukan supaya Tuhan memperoleh keuntungan dari perbuatan-perbuatan para hamba-Nya. Karena secara umum kita ketahui bahwa Dia adalah Zat yang Mahakaya dan tidak membutuhkan kepada siapa dan apa pun.
Dari sisi lain, Allah Swt menganugerahkan segala karunia yang tak terhitung kepada manusia sehingga akal sehat menghukumi supaya kita berterima kasih dan menyampaikan ucapan puji syukur kepada yang memberikan segala karunia tersebut. Kalau kita ingin mencari obyek apresiasi dan kesyukuran itu maka salatlah merupakan salah satu bentuk manifestasi kesyukuran dan apresiasi kita kepada Allah Swt. Sedemikian sehingga orang yang meninggalkan salat maka sejatinya ia tengah membangkang satu tugas besar nuraninya dan dari sudut pandang akal ia adalah orang yang bersalah dan termasuk seorang pendosa sehingga layak untuk mendapatkan hukuman.
Apakah apabila seseorang yang mengajak Anda kepada sebuah perjamuan dan menjamu Anda, apakah ia memerlukan ucapan terima kasih dari Anda? Atau ucapan terima kasih merupakan tugas moral dan nurani Anda yang harus disampaikan kepadanya? Dan apabila orang lain mengetahui bahwa Anda tidak tahu berterima kasih atas perjamuan pemilik rumah apakah Anda akan tetap memiliki nilai dan martabat di hadapannya? Apakah kehinaan dan kerendahan di hadapan orang lain bukan merupakan azab yang terbesar bagi Anda? [IQuest]
[1] . Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Pertanyaan 7118 (Site: 7212), Indeks: Ibadah untuk Manusia atau Tuhan?
[2] . (Qs. Ali Imran [3]:182)
ذلِکَ بِما قَدَّمَتْ أَیْدیکُمْ وَ أَنَّ اللَّهَ لَیْسَ بِظَلاَّمٍ لِلْعَبیدِ.