Please Wait
38174
Iddah secara teknis dan terminologis jurisprudensial (fikih) adalah tarabbush (kondisi menanti) syar’i yang harus dijalani wanita setelah talak dan perceraian atau wafat untuk beberapa lama kemudian ia dapat memilih suami yang lain. Jenis-jenis iddah terdiri dari beberapa bagian. 1. Iddah talak. 2. Iddah wafat. 3. Iddah orang yang hilang (mafqud al-atsar). 4. Iddah kesalahan senggama. Dari kesemua jenis iddah ini, wanita harus menjalani masa penantian untuk beberapa lama.
Adapun sebab faktual adanya iddah, sebagaimana kebanyakan hukum-hukum fikih, merupakan rahasia-rahasia yang terpendam dalam urusan-urusan alam semesta yang tersembunyi bagi kita dan apa yang telah dikatakan – semisal terkait dengan masalah pembuahan, wilayah eksklusif pernikahan, menjaga personalitas wanita, penghormatan terhadap kerabat mantan suami dan lain sebagainya adalah di antara hikmah-hikmah yang terkandung di balik adanya iddah. Karena itu, apabila suami telah lama berpisah dari istrinya, atau berada dalam perjalanan (yang cukup lama) maka wanita (istri) harus tetap menjaga masa iddah.Iddah dengan kasrah ‘ain dan fath dal musyaddad derivatnya dari kata ‘a-da-d dan bermakna kelompok, menghitung, masa berduka wanita atas kematian suami, hari-hari haidh atau suci wanita. Secara terminologis, iddah bermakna tarabbush (masa penantian) syar’i yang harus dijalani wanita setelah talak dan perceraian atau wafat untuk beberapa lama kemudian ia dapat memilih suami yang lain.[1]
Terdapat beberapa hal yang menyebabkan terjadinya iddah. Di antaranya adalah wafat, ragam bagian talak, gugurnya akad karena adanya beberapa aib dan cela, infisâkh (gugur dengan sendirinya) seperti kemurtadan atau Islam atau menyusui, senggama secara keliru, selesainya masa atau hibahnya pada masa nikah temporal. Kesemua hal ini selain yang pertama (wafat) syaratnya adalah terjadi senggama.[2]
Karena itu terdapat beberapa jenis iddah sebagaimana berikut:
- Iddah talak
- Iddah wafat
- Iddah orang hilang
- Iddah kesalahan senggama
Berikut ini kami akan jelaskan beberapa jenis talak yang telah disebutkan:
Iddah Talak
Seluruh marja: Apabila ia melihat adat bulanan (darah haidh), setelah ditalak pada masa suci, maka ia harus bersabar sehingga melihat dua kali haidh dan kemudian suci. Tatkala ia melihat haidh yang ketiga maka iddahnya telah selesai. Apabila ia tidak melihat adat bulanan, namun berada pada usia wanita yang melihat adat maka ia harus menjaga iddahnya setelah tiga bulan.[3]
Nah berapa lamakah iddahnya apabila suami menalak istri yang tengah hamil?
Seluruh Marja: Iddah wanita yang tengah hamil adalah hingga masa kelahiran atau gugurnya kehamilan wanita tersebut.[4]
Adapun pendapat para marja terkait dengan iddah pernikahan temporal (mut’ah) adalah sebagai berikut:
Seluruh marja (selain Ayatullah Fadhil): Iddah pernikahan temporal – setelah selesainya masa nikah mut’ah atau hibah masa nikah tersebut oleh suami – apabila ia melihat adat bulanan, maka hitungannya adalah seukuran dua haidh sempurna. Apabila ia tidak melihat adat bulanan maka masanya adalah empat puluh lima hari.[5]
Ayatullah Fadhil: Iddah pernikahan temporal – setelah selesainya masa atau hibah masa nikah tersebut oleh suami – apabila ia melihat adat bulanan, sesuai dengan ihtiyath wajib, maka masanya seukuran dua haidh sempurna dan apabila ia tidak melihat adat bulanan maka masanya adalah empat puluh lima hari. Dan apabila ia melahirkan atau keguguran maka iddahnya akan selesai.[6]
Iddah Wafat
Seluruh marja: Wanita harus menjaga iddah selama empat bulan sepuluh hari; apakah pernikahan yang dilakukannya adalah pernikahan permanen atau temporal; suaminya menggaulinya atau tidak. Bahkan wanita yang telah mencapai masa menopause atau gadis yang belum haidh (shagirah) juga harus menjaga iddah wafat dan apabila ia hamil maka ia harus menjaga iddahnya hingga melahirkan. Apabila sebelum masa empat bulan sepuluh hari berakhir, kemudian anaknya lahir, maka ia harus harus melanjutkan iddahnya hingga empat bulan sepuluh hari setelah kematian suaminya.[7]
Beberapa poin penting:
1. Standar perhitungan iddah adalah menggunakan bulan Hijriyah.[8]
2. Permulaan iddah wafat dilakukan tatkala istri mengetahui kematian suami. Namun hukum ini tidak terkhusus untuk gaibnya suami, melainkan juga termasuk kehadirannya. Oleh itu, karena kematiannya tidak diketahui oleh istri maka istri harus menjaga iddahnya segera setelah ia mengetahui kematian suaminya.[9]
3. Wanita yang berada pada masa iddah wafat maka diharamkan baginya untuk mengenakan pakaian warna-warni, bercilak dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang termasuk sebagai pekerjaan berhias.[10]
Iddah Orang Hilang (Mafqud al-Atsar)
Apabila seorang pria hilang dan ghaib sedemikian sehingga tidak terdengar lagi berita tentangnya dan tidak kelihatan lagi tanda-tandanya, hidup dan matinya tidak jelas, apabila ada harta yang tersisa darinya yang harus digunakan untuk keperluan biaya istrinya, atau memiliki wali yang bertanggung jawab untuk membiayai keperluan hidup istrinya, atau terdapat seseorang yang menanggung keperluan hidupnya secara gratis maka wajib bagi wanita untuk bersabar dan menanti serta sama sekali tidak dibenarkan baginya untuk menikah (dalam masa ini) hingga ia yakin bahwa suaminya telah meninggal atau suaminya telah menalaknya.
Namun apabila tidak tersisa harta peninggalan dari suaminya, atau tidak memiliki wali yang menyerahkan biaya keperluan hidup dan tiada seorang pun yang menanggung keperluan hidupnya secara gratis, maka ia dapat bersabar, dan apabila ia tidak bersabar dan ingin menikah (lagi), maka ia harus pergi ke hadapan seorang marja taklid dan marja taklid (hakim syar’i) memberikan kesempatan kepada wanita tersebut selama empat tahun dan dalam masa-masa ini suaminya akan dicari, apabila suaminya telah meninggal atau hidup-matinya tidak ketahuan atau apabila suami memiliki wali atau wakil maka marja taklid menginstruksikan kepadanya untuk menalak wanita tersebut dan apabila ia tidak melakukan hal itu maka marja taklid dapat memaksanya menalak wanita tersebut. Apabila suami tidak memiliki wali atau tidak bertindak apa-apa dan tidak mungkin memaksanya, maka marja taklid sendiri dapat menalak wanita tersebut. Lalu wanita tersebtu harus menjaga iddah selama empat bulan sepuluh hari kemudian setelah itu ia dapat menikah lagi.[11]
Apabila setelah mencari dan berakhirnya masa penantian (empat tahun), suaminya datang, apabila kedatangannya sebelum talak maka wanita tersebut adalah istrinya. Dan apabila kedatangan suami setelah pernikahan istrinya dengan pria lain maka suami pertama tidak memiliki hak terhadap wanita tersebut. Apabila suami datang di sela-sela masa iddah, maka suami dapat merujuk kembali kepada wanita itu, atau membiarkannya dalam kondisi seperti itu hingga masa iddahnya berakhir dan berpisah darinya. Namun apabila suami datang setelah berakhirnya masa iddah dan sebelum pernikahan maka ia tidak dapat merujuk kembali kepadanya.[12] Akan tetapi apabila tidak terjadi talak tiga maka ia dapat kembali menikah dengannya.
Iddah Kesalahan Senggama
Apabila seorang pria asing menggauli seorang wanita yang ia sangka sebagai istrinya, terlepas apakah wanita tersebut mengetahui bahwa ia bukan suaminya atau menyangka bahwa pria itu adalah suaminya maka wanita tersebut harus menjaga iddah.[13]
Masa iddah kesalahan senggama seperti iddah talak yang akan dijelaskan secara detil sebagaimana berikut:[14]
Sehubungan dengan kemestian menjaga iddah dan dalam menjawab pertanyaan bahwa dengan kemajuan ilmu pengetahuan, penggunaan obat-obatan (pil atau suntik) atau menggunakan media-media pencegahan kedokteran, yang secara pasti dapat mengantisipasi kehamilan wanita; apakah wanita harus tetap menjaga iddah? Jawaban para marja agung taklid adalah sebagai berikut:
Seluruh marja: “Iya. (Wanita) harus menjaga iddahnya.”[15]
Adapun sebab faktual adanya iddah, sebagaimana kebanyakan hukum-hukum fikih, merupakan rahasia-rahasia yang terpendam dalam urusan-urusan alam semesta yang tersembunyi bagi kita dan apa yang telah dikatakan – semisal terkait dengan masalah pembuahan, wilayah eksklusif pernikahan, menjaga personalitas wanita, penghormatan terhadap kerabat mantan suami dan lain sebagainya adalah di antara hikmah-hikmah yang terkandung di balik adanya iddah. Karena itu, apabila suami telah lama berpisah dari istrinya, atau berada dalam perjalanan maka wanita (istri) harus tetap menjaga masa iddah.
Namun dalam menjelaskan dalil-dalil dan hikmah-hikmah mengapa wanita harus menjaga iddah harus dikatakan bahwa:
1. Salah satu hikmah mengapa wanita harus menjaga iddah adalah untuk mencegah bercampurnya nutfah-nutfah dalam rahim wanita dan supaya anak yang lahir ketahuan identitasnya dan sebagai hasilnya ketahuan siapa saja yang mahram dengan anak ini sehingga tatkala bayi tersebut tumbuh besar ia mengetahui dengan siapa saja ia tidak dapat menikah demikian juga terkait dengan masalah warisannya.
2. Harap diperhatikan bahwa terdapat banyak kasus wanita menggunakan pil-pil anti hamil atau alat-alat kontrasepsi untuk mencegah terjadinya pembuahan nutfah namun demikian wanita tetap hamil.
3. Salah satu hikmah lain mengapa wanita harus menjaga iddah adalah bahwa apabila wanita segera menikah setelah suaminya meninggal maka hal ini tidak sesuai dengan kecintaan dan penghormatan kepada suami sebelumnya. Di samping itu, akan menciderai perasaan sanak kerabat suami sebelumnya. Menjaga kehormatan kehidupan rumah tangga bahkan pasca kematian suami merupakan suatu hal yang fitri dan karena itu senantiasa terdapat adab dan tradisi pada setiap suku yang dimaksudkan untuk keperluan seperti ini. Kendati terkadang tradisi seperti ini sedemkian ekstrem sehingga wanita praktis berada dalam kondisi terjepit dan terkungkung oleh tradisi. Ayat 234 surah al-Baqarah[16] menggugurkan seluruh khurafat dan kejahatan serta memberikan izin kepada wanita janda untuk menikah kembali setelah melalui masa iddah dan menjaga kehormatan pernikahan.[17]
4. Hikmah lainnya masalah ini adalah menjaga kedudukan, derajat dan kepribadian wanita di tengah masyarakat. Mengingat Islam sangat menaruh hormat dan nilai khusus terhadap kedudukan wanita dengan hukum-hukum seperti hijab, menjaga iddah dan lain sebagainya sehingga mampu mencegah terjadinya penyalahgunaan dan pencideraan kehormatan wanita.
5. Di samping itu boleh jadi terdapat sebab-sebab lainnya yang belum jelas dan ketahuan bagi kita. Karena falsafah faktual hukum-hukum demikian juga rahasia jumlah akurat hari-hari ini misalnya mengapa empat bulan sepuluh hari? Mengapa bukan satu atau dua hari, kurang atau lebih? Apabila kita telah meyakini bahwa Allah Swt Mahabijaksana dan segala perbuatan yang dilakukan-Nya serta hukum-hukum yang diberikan kepada para hamba-Nya berasaskan hikmah dan kebijaksanaan dan berpijak pada akal sehat maka kita tidak dapat menawar-nawar lagi dalam hukum yang ditetapkan Allah Swt. Dan dengan memperhatikan hikmah, ilmu dan kekuasaan mutlak Ilahi, kita harus menerima kebanyakan hukum-hukum Ilahi secara taken for granted karena pertama hakikat penghambaan dan ibadah, setelah meyakini Allah Swt dan sifat-sifat rububiyah-Nya dan kebenaran agama dan hukum-hukumnya berada pada penyerahan diri secara totalitas dan ketaatan murni tanpa tedeng aling-aling. Kedua, instruksi-instruksi agama dengan bentuk seperti ini merupakan instruksi-instruksi yang paling sempurna.[18][IQuest]
[1]. Lughat Nâme Dekhâda, jil. 33, hal. 130.
[2]. Tahrir al-Wasilah, jil. 2, hal. 345, Masalah 8.
[3]. Taudhih al-Masâil Marâji’, Masalah 2511 dan 2512. Ayatullah Wahid, Taudhih al-Masâil, Masalah 2575 dan 2576.
[4]. Ibid, Masalah 2514 dan Ayatullah Wahid, Taudhih al-Masâil, Masalah 2578.
[5]. Ibid, Masalah 2515; Ayatullah Wahid, Taudhih al-Masâil, Masalah 2579 dan Kantor Ayatullah Agung Khamenei.
[6]. Ibid, Masalah 2515.
[7]. Ibid, Masalah 2517 dan Ayatullah Wahid, Taudhih al-Masâil, Masalah 2581.
[8]. Tahrir al-Wasilah, jil. 2, hal. 338, Masalah 2.
[9]. Ibid, jil. 1, hal. 340, Masalah 8.
[10]. Taudhih al-Masâil Imam Khomeini, Masalah 2518.
[11]. Tahrir al-Wasilah, jil. 2, hal. 340, Masalah 11.
[12]. Ibid, jil. 2, hal. 343, Masalah 23.
[13]. Taudhih al-Masâil Imam Khomeini, Masalah 2536.
[14]. Tahrir al-Wasilah, jil. 2, hal. 344, Masalah 1. Ahkâm-e Khânewâdeh, Markaz-e Tahqiqat-e Islami Nemanyandegi Wali Faqih dar Sepah, Bahar 1375 S, Software Ganjine Ma’arif.
[15]. Ayatullah Fadhil, Jâmi’ al-Masâil, jil. 1, Pertanyaan 1618; Ayatullah Makarim, Istifta’ât, jil. 2, Pertanyaan 1120 dan 1121. Taudhih al-Masâil Maraji’, Masalah 2511; Shafi, Jâmi’ al-Ahkâm, jil. 2, Pertanyaan 1313; Ayatullah Nuri, Taudhih al-Masâil, Masalah 2506; Ayatullah Tabrizi, Istifta’ât, Pertanyaan 1712; Ayatullah Wahid, Taudhih al-Masâil, Masalah 2520; Imam Khomeini, Istifta’ât, jil. 3, Iddah Thalaq, Pertanyaan 64 dan Kantor Ayatullah Khameni, Bahjat dan Siistani.
[16]. “Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri-istri, hendaklah para istri itu menjalankan masa idah selama empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu lakukan.”
[17]. Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 2, hal. 193, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Cetakan Pertama, 1375 S.
[18]. Diadaptasi dari Paigah-e Ittila’ Rasani Nahad Nemayandegi Maqam Mua’zzham-e Rahbari dar Danesygah-ha, Baksy-e Pursesy wa Pasukh, dengan sedikit perubahan.