Please Wait
17820
Karâmah (kemuliaan) ialah jauh dari maksiat dan tidak tunduk kepada hawa nafsu. Setiap jiwa yang agung yang suci dari berbagai kotoran adalah karim (mulia). Karâmah berlawanan dengan kelemahan dan kehinaan. Untuk dapat mencapai puncak karâmah, seseorang harus senantiasa mengenakan pakaian takwa dan menjauhi segala larangan Allah Swt. Takwa itulah yang akan menjauhkan seseorang dari segala sesuatu yang mengarahkannya kepada perbuatan dosa.
Hal itu sesuai dengan ucapan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As: Barang siapa yang senantiasa bertakwa, ia akan selalu mendapatkan apa yang ia inginkan, Allah akan menempatkannya pada maqam karâmah (kedudukan mulia). Rumah milik Tuhan, atapnya adalah ‘Arsy Tuhan, penerangannya adalah keindahan Tuhan serta tetamunya adalah para malaikat, sahabat-sahabatnya dan teman duduknya adalah para Nabi Allah Swt.
Karâmah (kemuliaan) ialah jauh dari maksiat dan tidak tunduk kepada hawa nafsu. Setiap jiwa yang agung yang suci dari berbagai kotoran adalah karim (mulia)[1].
Hina lawannya adalah mulia[2]. La'âmat dan danâ'at memiliki makna yang sama, yaitu kehinaan. Karenanya danâ'at berlawanan dengan karâmah dan dani berlawanan dengan karim (pemilik keagungan).[3]
Karâmah dalam pandangan Imam Maksum As
Rasulullah Saw bersabda: Allah Swt adalah Maha Mulia dan Dia menyukai kemuliaan.[4]
Amirul Mukmin Ali As bersabda: Barang siapa memberi sebelum diminta, ia adalah orang yang agung.[5] Peristiwa yang tidak diinginkan tidak akan berpengaruh di dalam hati orang-orang yang memiliki kemuliaan.[6]
Orang mulia adalah orang yang menjauhi hal-hal yang diharamkan dan suci dari segala aib.[7]
Orang mulia adalah orang yang bebas dari segala yang membanggakan orang-orang terhina[8].
Orang mulia adalah orang yang menjaga harga diri dengan hartanya. Sementara orang yang hina menjaga hartanya dengan harga dirinya.[9]
Apabila seseorang memperkenalkan keagungan dan kemuliaan kepada ruhnya, maka dunia dan semua isinya ini akan kecil di matanya[10].
Jalan menuju kemuliaan
Dengan gambelang telah dijelaskan kontradiksi antara karâmat dan laamat dalam riwayat-riwayat para Imam maksum As. Karâmat adalah kemuliaan dan jauh dari kelemahan dan kehinaan, sebab ia merupakan sebuah sifat yang bernilai tinggi dan salah satu nama Allah yang Maha Haq. Sebaliknya, segala sesuatu yang menjauhkan seseorang dari kedekatan kepada Tuhan adalah pangkal dan sumber kehinaan dan kejahatan. Sesuai dengan sabda Rasulullah Saw; mencintai dunia merupakan sebab segala maksiat dan awal bagi segala dosa.[11] Karena itu, dunia disebut sebagai dunia karena ia lebih rendah dan tidak bernilai dibandingkan dengan yang lainnya.[12] Seperti yang telah dijelaskan di atas, danâ'at adalah lawan karâmat, dani lawan karim, Danâ'at, dani, dan dunia merupakan satu akar kata, karenanya, keagungan dan kemuliaan tidak akan didapati di dunia fana ini. Imam Ali As bersabda: Dunia membuat manusia hina dan rendah.[13] Karâmat adalah titik lawan dari kehinaan dan kerendahan. Untuk sampai kepada puncak tinggi karâmah, seseorang harus mempersenjatai dirinya dengan takwa agar terhindar dari dosa, cinta dunia dan hawa nafsu. Intinya, harus selalu menyandang senjata takwa. Imam Ali As bersabda: Kemuliaan itu tidak akan pernah dicapai tanpa ketakwaan.[14]
Sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Qur’an: Sesungguhnya orang yang paling agung di sisi Allah di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa.[15]
Sabda Amirul Mukminin As: "Kunci kemuliaan adalah takwa."[16]
Mengenal Takwa
Sabda Amirul Mukminin As: "Takwa itu menjauhkan seseorang dari segala perbuatan dosa."[17]
Beliau bersabda: "Sebagaimana takwa dan takut kepada Tuhan merupakan obat bagi penyakit hati, penerang hati, obat bagi penyakit badan, penyembuh luka-luka jiwa, pembersih noda-noda ruh, penerang kegelapan, keamanan dalam kekacauan, dan penerang bagi segala kegelapan kalian. Karenanya, hiasilah hatimu dengan ketaatan kepada Tuhan. Bukan hanya pakaian lahiriah. Jadikanlah jiwa sebagai kontrolmu, bukan jasad. Hingga dengan itu engkau dapat mengarahkan anggota badanmu dan ruh menjadi penuntun seluruh urusanmu. Taat kepada Tuhan adalah jalan menuju air kehidupan, cara memperoleh berbagai keinginan dan harapan, tempat berlindung kala sulit, lentera penerang kuburan, penenang hati pada masa ketakutan panjang di alam Barzakh dan jalan selamat pada masa-masa kesulitan hidup. Ketakwaan adalah merupakan sarana untuk menjaga diri dari berbagai peristiwa yang menghancurkan, tempat berlindung dari ketakutan dan dari panasnya api yang membara.
Karena itu, siapa yang memilih takwa, maka kesulitan akan jauh darinya, kepahitan menjadi manis, tekanan kesulitan dan kesedihan akan hilang. Kesulitan yang melilit dan melelahkan akan menjadi mudah, kemulian dan keagungan yang hilang darinya akan tercurah kepadanya sebagaimana curahan air hujan. Rahmat akan kembali serta nikmat-nikmat Tuhan setelah berlalu akan kembali tumbuh dan berkah yang sedikit akan menjadi banyak tercurah.[18]
Kemuliaan dan Ruh Tuhan
Al-Qur’an al-Karim memperkenalkan permata asli manusia sebagai eksistensi agung dan mulia, di mana bila manusia menjadi mulia, pada hakikatnya ia sedang menjalani jalan fitrahnya dan permata aslinya telah ia buka. Karena ketaatan dan gerak naik ruhani sejalan dengan sifat agung dasar manusia, karena itu, maksiat dan kejatuhan menjadi sesuatu yang terpaksa bagi manusias. Sedangkan karâmah (kemuliaan) tidak demikian, sebab sifat dasar manusia adalah mulia. Allah Swt berfirman; "Sungguh, Kami telah memuliakan manusia."[19] sebab proses penciptaannya berasal dari sumber-sumber yang mulia. Jika manusia seperti mahluk lain yang diciptakan dari tanah, maka karâmah baginya bukanlah sesuatu yang zati dan utama. Tetapi manusia, di samping memiliki sifat esensi, ia juga memiliki sifat far’i (cabang) . Sifat far’inya (fisiknya) akan kembali kepada tanah. Sementara esensinya akan kembali kepada Allah Swt. Allah Swt di dalam Al-Qur’an al-Karim menisbatkan ruh kepada diri-Nya sedangkan jasad yang berkaitan erat dengan tanah dan alam dinisbatkan kepada thin (tanah).[20] Allah tidak menyebut bahwa "Aku ciptakan manusia dari tanah dan ruh." Tetapi Dia berfirman: "Telah Aku “bentuk” manusia dari tanah kemudian aku tiupkan ruh-Ku kedalam dirinya." Ruh manusia berhubungan dengan Allah Swt sebagai pembimbingnya, karena itulah ia memiliki bagian kemuliaan. Dengan demikian bahwa Ruhullâh itu berarti ruh kemuliaan.[21]
Balasan bagi Orang-orang Mulia
Sesuai dengan sabda Amirul Mukminin Ali As: "Tuhan kalian telah memerintahkan kepada ketakwaan dan telah menciptakannya sebagai kebahagiaan bagi kalian dan hamba-hamba-Nya. Maka takutlah kepada Allah yang kalian senantiasa berada dalam perhatiannya, ikhtiar kalian berada di genggaman-Nya dan seluruh gerak -gerik kalian berada di bawah pengawasan-Nya.
Ia mengetahui apa yang kalian sembunyikan dan apabila kalian tampakkan, Dia aka mencatatnya. Untuk mencatat amal, terdapat Malaikat yang agung yang tidak akan pernah melupakan kebaikan dan kebatilan. Semuanya akan dicatat. Ingatlah kalian, siapa yang bertakwa dan menyelamatkan diri dari fitnah, dengan cahaya hidayah ia tinggalkan kegelapan dan senantiasa mencari jalan kebahagiaan abadi, maka Allah akan menempatkannya pada rumah kemuliaan-Nya, rumah khususnya milik-Nya. Atapnya adalah ‘Arsy Tuhan, penerangannya adalah keindahan Tuhan serta tamu-tamunya adalah para Malaikat, sahabat-sahabatnya dan teman duduknya adalah para Nabi Allah Swt."[22]
[1] . Karâmat dar Qur’an, Jawadi Amuli, hal.22
[2] . Fiqhu Lughah, Tsa’alibi an-Naisyaburi, hal. 139
[3] . Karâmat dar Qur’ân, Jawadi Amuli hal 22.
[4] . Muntakhab Mizânul Hikmah, Rey Syahri hadis 5493.
[5] . Ghurar al-Hikam wa Durar al-Hikam, Abdul Wahid Amudi, 1/365 hadis 1389
[6] . Ibid. 2/1 hadis 1555
[7] . Ibid. 2/4 hadis 1565
[8] . Ibid 2/44 hadis 177
[9] . Ibid. 2/154 hadis 2159
[10] . Ibid 5/451 hadis 9130
[11] . Ibid. hadis 2194
[12] . Ibid. hadis 2171
[13] . Ibid. hadis 2192
[14] . Nahjul Balâghah, hikmah ke 113
[15] . QS. Hujurat: 13
[16] . Muntakhab Mizân al-Hikmah, Rei Shahr, hadis 6664
[17] . Ibid. hadis 6683
[18] . Nahjul Balâgah, khutbah 198
[19] . QS. Isra: 70
[20] . QS. Shad 71-72
[21] . Karâmat dar Qur’ân, Jawadi Amuli, hal. 62
[22] . Nahjul Balâgah, khutbah 183