Please Wait
8421
Orang-orang yang melakukan bid’ah atas nama agama tentu tidak akan rela melepaskan bid’ah tersebut apa pun taruhannya. Sebagai contoh dalam hadis disebutkan bahwa orang-orang Kufah meminta kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As untuk memilihkan seorang imam bagi mereka dalam mengerjakan shalat nafilah berjamaah pada bulan Ramadhan (salat tarawih) yang merupakan sebuah bid’ah dalam ibadah. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As tidak menerima permintaan itu dan mengabarkan kepada mereka bahwa perbuatan itu adalah bid’ah. Mendengar jawaban Imam Ali As, mereka meninggalkannya dan memilih sendiri seorang imam dari mereka dan berseru lantang bahwa, “Engkau telah melarang kami menjalankan sunnah para pendahulu.”
Sehubungan dengan nikah mut’ah terdapat banyak penentangan dari para Imam Maksum As dan Ali As terkait dengan pelarangan Khalifah Kedua. Imam Ali As mengabarkan masyarakat akan pelbagai bahaya yang akan ditimbulkan akibat larangan seperti ini.
Sebagaimana yang Anda ketahui bahwa selepas wafatnya Rasulullah Saw terdapat banyak bid’ah yang bermunculan; misalnya diskriminasi antara Arab dan non-Arab (Ajam) dalam pembagian harta baitul mal, puasa dalam perjalanan, membasuh kaki dalam wudhu, melaksanakan shalat tarawih secara berjamaah pada bulan Ramadhan, mengharamkan mut’ah haji dan mut’ah wanita dan lain sebagainya. Bid’ah-bid’ah ini, seiring dengan perjalanan waktu, mengemuka sebagai sunnah di kalangan umat khususnya orang-orang awam. Mereka mengerjakan perbuatan ini sebagai bagian dari ritual agama dan tidak rela meninggalkan perbuatan tersebut.
Sebagai contoh dalam hadis disebutkan, orang-orang Kufah datang kepada Amirul Mukminin meminta supaya dipilihkan seorang imam bagi mereka dalam mengerjakan shalat nafilah berjamaah pada bulan Ramadhan (shalat tarawih) yang merupakan sebuah bid’ah dalam ibadah. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As tidak menerima permintaan itu dan mengabarkan kepada mereka bahwa perbuatan itu adalah bid’ah. Mendengar jawaban itu, mereka meninggalkan Imam Ali As dan memilih sendiri seorang imam dari mereka. Amirul Mukminin Ali As mengutus putranya Imam Hasan As kepada mereka.[1] Mereka berteriak lantang bahwa, ‘engkau telah melarang kami menjalankan sunnah para pendahulu’. Padahal mereka tahu bahwa perbuatan itu adalah bid’ah dan Rasulullah Saw telah melarangnya.[2] Karena Rasulullah Saw bersabda, “Ayyuhannas! Shalat nafilah pada malam Ramadhan adalah bid’ah. Janganlah kalian mengerjakan shalat nafilah berjamaah pada bulan Ramadhan. Sunnah yang sedikit lebih baik dari bid’ah yang banyak. Ketahuilah bahwa setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.”[3]
Imam Ali As setelah tiba masa pemerintahannya, terkait dengan mengapa beliau tidak membenarkan sebagian hal yang dilakukan pada masa khalifah-khalifah sebelumnya, bersabda, “Sekiranya saya ingin mengembalikan pelbagai penyimpangan dan harta-harta yang dirampas serta baitul mal yang dijarah ke tempatnya semula, para serdadu yang berada dalam barisan lasykarku akan menghunus pedang mereka di hadapanku dan orang-orang akan berpikir bahwa sayalah sebenarnya yang bertindak bertentangan dengan sunnah dan Kitabullah; sebagai contoh Umar menjadikan shalat nafilah di bulan Ramadhan sebagai sunnah padahal hal itu bukan sunnah. Setelah Umar dan pada masa pemerintahanku, orang-orang datang kepadaku, “Hendaknya Anda menentukan seorang imam jamaah bagi kami sehingga pada bulan Ramadhan kami mengerjakan shalat-shalat nafilah secara berjamaah.” Saya berkata kepada mereka, “Shalat-shalat nafilah tidak dikerjakan secara berjamaah,” namun mereka pergi sambil berteriak, “Wa Ramadhana...wa..” (Duhai Ramadhan..duhai...). Di antara sunnah keliru yang berakar pada masa Umar adalah pelarangan mut’ah yang sekarang ini tidak mungkin mencabut pelarangannya.”[4]
Namun terkait dengan masalah nikah mut’ah, terdapat banyak penentangan dari para Imam Maksum As dan Ali As terkait dengan pelarangan Khalifah Kedua dan mengabarkan masyarakat akan pelbagai bahaya larangan seperti ini. Sebagai contoh dalam hadis sahih disebutkan bahwa Imam Ali As bersabda, “Dan aku keluarkan perintah bahwa mut’ah haji dan mut’ah wanita adalah halal.”[5] [iQuest]
[1]. Allamah Hilli, Nahj al-Haq wa Kasyf al-Shidq, Penerjemah Persia Ali Ridha Kuhansal, hal. 298, Nasyir Asyura, Masyhad, 1379, Cetakan Pertama.
[2]. Abu al-Fath Karajaki, Kumrei, Kanz al-Fawâid wa al-Ta’ajjub, Muhammad Baqir, Ganjineh Ma’arif Syiah, terjemahan Persia Kanz al-Fawâid wa al-Ta’ajjub, jil. 2, hal. 303, Nasyir Capkhane Firdausi, Teheran, Cetakan Pertama; Thusi, Tahdzib al-Ahkam, jil. 3, hal. 70, Cap Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Keempat, 1365 S. Nahj al-Haq wa Kasyf al-Shidq, Penerjemah Persia Kuhansal, hal. 298.
[3]. Ganjineh Ma’ârif Syiah, terjemahan Persia Kanz al-Fawâid wa al-Ta’ajjub, jil. 2, hal. 303.
[4]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 34, hal. 172.
[5]. Kulaini, Raudha al-Kâfi, Penerjemah Kumrei, jil. 1, hal. 105, Kitabfurusyi Islami, Cetakan Pertama, Teheran, 1382 H. ‘Alam al-Huda Khurasani, Nahj al-Khitâbah, Sukhânân Payâmbar Saw wa Amirul Mukminin As, jil. 2, hal. 128, Nasyir Kitabkhane Shadr, Cetakan Kedua, Teheran, 1374 S.