Please Wait
13244
Ada tiga pendapat yang menyatakan tentang bagaimana al-Qur'an dikumpulkan:
1. Al-Qur'an dikumpulkan semenjak pada zaman Rasulullah Saw dan dengan pengawasan secara langsung dari beliau meski bukan beliau sendiri yang menulis dan mengumpulkannya.
2. Al-Qur'an yang ada pada zaman sekarang ini dikumpulkan oleh Imam Ali As dan pengumpulannya beliau lakukan selepas Rasulullah Saw wafat. Imam Ali As melakukan hal ini ketika berdiam diri di rumah.
3. Al-Qur'an dikumpulkan setelah wafatnya Rasulullah Saw oleh sebagian sahabat Nabi Saw, selain Imam Ali As.
Para ahli sejarah berbeda pendapat terkait dengan bilangan mushaf-mushaf yang disiapkan (naskah-naskah yang disatukan sesuai dengan perintah Usman melalui komite penyatuan) dan dikirim ke beberapa wilayah Islam. Ibnu Abi Daud memandangnya terdiri dari enam naskah yang masing-masing dari enam naskah tersebut dikirim ke salah satu dari enam sentral penting Islam. Keenam sentral kota Islam ini adalah Mekkah, Kufah, Basrah, Syam, Bahrain, dan Yaman. Abi Daud mengimbuhkan bahwa di samping enam naskah ini, satu naskah juga disimpan di Madinah yang dinamai sebagai “um” atau “imam.”
Dengan demikian, naskah pertama al-Qur’an bernama um sesuai dengan pendapat para periset yang dikumpulkan pada masa Usman dan disimpan di Madinah.
Ada tiga pendapat yang menyatakan tentang bagaimana al-Qur'an dikumpulkan:
1. Al-Qur'an dikumpulkan semenjak pada zaman Rasulullah Saw dan dengan pengawasan secara langsung dari beliau meski bukan beliau sendiri yang menulis dan mengumpulkannya.[1]
2. Al-Qur'an yang ada pada zaman sekarang ini dikumpulkan oleh Imam Ali As dan pengumpulannya beliau lakukan selepas Rasulullah Saw wafat. Imam Ali melakukan hal ini ketika berdiam diri di rumah.[2]
3. Al-Qur'an dikumpulkan setelah wafatnya Rasulullah Saw oleh sebagian sahabat Nabi Saw.[3]
Mayoritas ulama Syiah menerima pendapat yang pertama, khususnya ulama-ulama kiwari yang meyakini bahwa al-Qur'an dikodifikasi pada masa Rasulullah Saw dan dilakukan di bawah pengawasan beliau.[4]
Sebagian lainnya menerima pandangan kedua dan memandang bahwa Imam Ali As yang mengkodifikasi al-Qur'an ini.[5]
Namun sebagian besar Ahli Sunah memilih pendapat ketiga. Kaum orientalis juga meyakini kebenaran akan pendapat belakangan ini, bahkan mereka menambahkan bahwa al-Qur'an yang dikumpulkan oleh Imam Ali As tidak mendapat perhatian dari para sahabat sendiri.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa sesuai dengan pendapat yang pertama dan kedua, pengumpulan al-Qur'an disandarkan kepada Allah Swt. Demikian pula dengan keberadaan surat-surat beserta urutannya yang juga merupakan Wahyu Allah Swt. Karena Rasulullah, sesuai dengan penjelasan al-Qur'an bahwa, "Dan dia tidak berbicara menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)." (Qs. al-Najm [53]: 2-3). Segala sesuatu yang disabdakan oleh Nabi Saw, khususnya dalam masalah keagamaan, mengikuti petunjuk wahyu, demikian pula para Imam, selepas wafatnya nabi, adalah penerus jalan risalah dan telah diangkat oleh Allah Swt dengan dibekali ilmu laduni.[6]
Kelompok yang menerima pendapat ketiga, a bukan saja tidak akan dapat menetapkan bahwa kedua hal ini bersumber dari Tuhan dan memiliki corak Ilahiah, entang kemunculan surah-surah dan urutannya yang ada di al-Qur'an, namun juga pada hakikatnya mereka mengingkari bahwa kedua hal ini bersumber dari Tuhan. Mereka berpandangan bahwa selera pribadi para sahabat turut andil dalam menentukan urusan ini. Karena pasca wafatnya Rasulullah Saw, tanpa melibatkan Ali bin Abi Thalib As, mereka berkumpul dan mengumpulkan al-Qur’an dari kondisi yang berserakan dan mengumpulkannya sesuai dengan bentuk yang ada sekarang ini.
Naskah Pertama al-Qur’an
Sesuai dengan pendapat ketiga, pasca wafatnya Rasulullah Saw dan ditolaknya mushaf Ali, sebagian sahabat mengumpulkan al-Qur’an. Sahabat tersebut antara lain adalah Abdullah bin Mas’ud, Miqdad bin Aswad dan Abu Musa Asy’ari.[7]
Sahabat berdasarkan pengetahuan dan kelayakan mereka mengumpulkan dan menyusun ayat-ayat, surah-surah dan menyimpannya masing-masing pada mushaf khususnya. Sebagian yang tidak dapat melakukan hal ini meminta orang lain untuk disalinkan atau ayat-ayat dan surah-surah al-Qur’an dikumpulkan pada mushaf mereka. Dengan demikian dan dengan melebarnya wilayah pemerintahan Islam maka jumlah mushaf juga semakin bertambah.[8]
Para pengumpul mushaf-mushaf juga berjumlah banyak dan mereka tidak memiliki hubungan satu sama lain. Dari sudut pandang kelayakan, potensi dan kemampuan untuk melakukan hal ini tidak sama pada setiap orang. Karena itu, naskah berbeda masing-masing dari sisi metode, urutan, bacaan dan lain sebagainya. Perbedaan pada mushaf-mushaf dan bacaan-bacaan, memunculkan perbedaan di antara masyarakat. Ruang perbedaan sedemikian luas sehingga sampai pada sentral khilafah (Madinah), para guru al-Qur’an mengajarkan murid-murid mereka dengan cara yang berbeda-beda.
Perbedaan-perbedaan ini, telah membuat para sahabat memohon kepada Usman untuk menyatukan mushaf-mushaf yang ada. Pertama-tama Usman menugaskan sekelompok orang yang terdiri dari empat orang, Zaid bin Tsabit, Sa’id bin Ash, Abdullah bin Zubair, Abdurrahman bin Harits. Kemudian karena adanya penentangan sebagian sahabat maka delapan orang lainnya ditambahkan pada kelompok yang dibentuk Usman.
Pada masa ini, pendikteaan ayat-ayat dipimpin oleh sahabat besar Nabi Saw, Ubay bin Ka’ab. Kelompok ini mengumpulkan mushaf-mushaf dari pelbagai wilayah dan daerah Islam yang luas dan menyiapkan al-Qur’an dari wilayah-wilayah tersebut dan mushaf lainnya dibakar atau dibenamkan pada air panas sesuai dengan instruksi Usman.[9]
Para Imam Maksum As menyokong al-Qur’an yang ada dan menganjurkan tilawat berdasarkan apa yang ada. Misalnya Imam Ali As menyatakan persetujuannya dengan program seperti ini. Ibnu Abi Daud bin Ghafla meriwayatkan bahwa Ali As bersabda, “Demi Allah! Usman tidak melakukan apa pun terkait dengan mushaf (al-Qur’an) kecuali bermusyarawah denganku.”[10]
Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa Imam Ali As bersabda, “Sekiranya urusan mushaf-mushaf juga diserahkan kepadaku maka Aku akan melakukan sebagaimana yang dilakukan Usman.”[11]
Komite penyatuan mushaf-mushaf dari sisi Usman melalui tiga tingkatan dalam menjalankan tugasnya:
1. Mengumpulkan sumber-sumber sahih untuk menyiapkan mushaf tunggal dan penyebarannya di kalangan kaum Muslimin.
2. Membandingkan mushaf-mushaf yang telah siap dengan yang lain dengan tujuan supaya lebih meyakinkan atas benar dan tidaknya mushaf-mushaf tersebut.
3. Mengumpulkan mushaf-mushaf atau lembaran-lembaran yang tercatat al-Quran di dalamnya dan melenyapkan lembaran-lembaran lainnya di seluruh negeri-negeri Islam.[12]
Namun komite ini, pada tiga tingkatan ini tidak bekerja dengan cermat dan telah memandang enteng pekerjaan ini. Khususnya pada tingkatan kedua (membandingkan mushaf-mushaf) yang memerlukan kecermatan dan ketelitian ekstra. Pada tingkatan pengumpulan mushaf-mushaf dan pelenyapannya, Usman mengutus orang-orang ke negeri-negeri dan mengumpulkan mushaf-mushaf dan lembaran-lembaran yang tercatat al-Qur’an di dalamnya dan kemudian memerintahkannya untuk dibakar.[13]
Pada awalnya Usman mengira bahwa menyatukan mushaf-mushaf adalah pekerjaan mudah karena itu menugaskan sekelompok orang untuk mengumpulkan mushaf-mushaf yang ternyata tidak memiliki kecakapan yang memadai. Oleh itu, ia menugaskan sekelompok lainnya dengan meminta orang-orang laik dan mampu seperti Sayyid Qurra dan sahabat besar seperti Ubay bin Ka’ab.[14]
Dari sisi lain, Usman mengumumkan kepada seluruh kaum Muslimin bahwa barang siapa yang mendengarkan al-Qur’an, bagian mana pun, dari Rasulullah Saw baiknya menyerahkannya kepada komite.[15] Berdasarkan pengumuman ini, orang-orang membawakan lempengan-lempengan, tulang-tulang, kayu-kayu yang terukir al-Qur’an di dalamnya.
Para ahli sejarah berbeda pendapat terkait dengan bilangan mushaf-mushaf yang disiapkan (lembaran-lembaran yang disatukan sesuai dengan perintah Usman melalui komite penyatuan) dan dikirim ke beberapa wilayah Islam. Ibnu Abi Daud memandangnya enam naskah yang masing-masing dari enam naskah tersebut dikirim ke salah satu dari enam sentral penting Islam. Keenam sentral kota Islam ini adalah Mekkah, Kufah, Basrah, Syam, Bahrain, dan Yaman. Abi Daud mengimbuhkan bahwa di samping enam naskah ini, satu naskah juga disimpan di Madinah yang dinamai sebagai “um” atau “imâm.” [16]
Dengan demikian, naskah pertama al-Qur’an bernama um sesuai dengan pendapat para periset yang dikumpulkan pada masa Usman dan disimpan di Madinah.
Mushaf yang dikirim ke suatu tempat akan disimpan di sentral kota dan dari mushaf tersebut dibuatkan salinan sehingga dapat diakses oleh masyarakat setempat. Dan hanya bacaan mushaf-mushaf ini yang diakui secara resmi dan setiap naskah atau bacaan berbeda dengan mushaf-mushaf tunggal ini tidak resmi dan dinyatakan terlarang dan orang yang menggunakanya akan dihukum.[17]
Mushaf Madinah adalah mushaf yang dijadikan sebagai referensi secara umum. Apabila terdapat perbedaan di antar mushaf-mushaf yang dikirim ke daerah-daerah maka untuk menghilangkan perbedaan dan membenarkan mushaf maka yang menjadi ukuran standar adalah mushaf Medinah dan mushaf-mushaf yang lainnya dikoreksi sesuai dengan mushaf Madinah.[18] [IQuest]
[1]. Sayid Abdul Wahab Thaliqani, 'Ulumul Qur'ân, Hal. 83
[2]. Sayid Muhammad Ridha Jalali Naini, Târikh Jam' Qur'ân Karim, Hal. 87
[3]. Pendapat ini banyak diterima oleh kebanyakan Ahlus Sunah, ibid , hal. 19-51
[4]. Sayid Abdul Wahab Thaliqani, 'Ulumul Qur'ân, Hal. 83; Sayid Ali Milani, al-Tahqiq fii Nafii al-Tahrif 'an al-Qur'ân al-Syarif, hal. 41-42, dan hal. 46, Muhammad Hadi Ma'rifat, Shiyânat al-Qur'ân min al-Tahrif, hal. 34
[5]. Sayid Muhammad Ridha Jalali Naini, Târikh Jam' Qur'ân Karîm, Hal. 80
[6]. Diadaptasi dari Pertanyaan No. 71 (Site: 314)
[7]. Muhammad Hadi Ma’rifat, ‘Ulûm Qur’âni, hal. 125, Muassasah Farhang Tamhid, Cap-e Yaran, Qum, Cetakan Keempat, 1381 S.
[8]. ‘Ulûm Qur’âni, hal. 132.
[9]. ‘Ulûm Qur’âni, hal. 133. Muhammad Hadi Ma’rifat, Târikh Qur’ân, dari hal. 84 hingga 139, Teheran, 1357 S.
[10]. Jalaluddin Suyuthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, jil. 1, hal. 59, Cetakan Baru.
[11]. Ibnu al-Jazari, al-Nasyr fi al-Qirâ’ât al-‘Asyr, jil. 1, hal. 8, Cap Maktabah Mustafa Muhammad, Mesir.
[12]. ‘Ulûm Qur’âni, hal. 142.
[13]. ‘Ulûm Qur’âni, hal. 143.
[14]. Ibnu Hajar Askalani, Tahdzib al-Tahdzib fi Asmâ al-Rijâl, jil. 1, hal. 187, Majlis Dairat al-Ma’arif al-Nizhamiyah.
[15]. Sulaiman Sajistani, al-Mashâhif, hal. 24, Maktabat Rahmaniyah, Mesir.
[16]. Al-Mashâhif, hal. 34.
[17]. ‘Ulûm Qur’âni, hal. 146.
[18]. ‘Ulûm Qur’âni, hal. 146.