Please Wait
19296
Dengan memperhatikan adanya perbedaan dalam nukilan ini dan nama dua orang yaitu Khuzaimah bin Tsabit Anshari dan Abu Khuzaimah. Dari sisi lain, karena al-Quran harus dibuktikan dengan tawatur, riwayat-riwayat dan ucapan-ucapan ini tidak dapat dibenarkan dan dengan kesaksian satu orang atau dua orang al-Quran tidak akan dapat ditetapkan.
Di samping itu, dua ayat terakhir surah al-Taubah dengan kesaksian satu orang sebagai ganti dua orang tidak diterima, bahkan setelah kesaksian Khuzaimah, orang lain kemudian mengingat bahwa ayat ini adalah ayat al-Quran. Dari sisi lain, mengingat perhatian khusus Rasulullah Saw atas penghafalan al-Quran, bagaimana mungkin satu ayat mencukupi hanya didengarkan oleh satu orang bahkan apabila semua penulis wahyu juga telah gugur sebagai syahid, Imam Ali As masih ada sehingga dapat memberikan kesaksian! Karena itu nukilan dan kutipan seperti ini tidak dapat diterima.
Sebelum menjelaskan benar atau tidaknya apa yang dikemukakan dalam pertanyaan, pertama-tama dengan mencermati beberapa pandangan yang mengemuka dalam hal ini dalam buku-buku Quranic Studies (‘Ulum al-Quran) seputar masalah ini kita dapat memberikan penilaian yang lebih baik:
- Zaid bin Tsabit yang merupakan petugas pengumpul al-Quran berkata, “Abu Bakar berkata kepadaku, “Kau pada masa Rasulullah Saw bertanggung jawab menulis wahyu. Maka sekarang engkau memikul tanggung jawab untuk mengumpulkannya.” Saya pun menerima permintaan Abu Bakar tersebut dan mengumpulkan al-Quran dari lembaran-lembaran, kertas-kertas dan gulungan-gulungan serta dari dada-dada (hafalan) orang-orang hingga dua ayat terakhir surah al-Taubah saya temukan pada Abi Khuzaimah al-Anshari dan ayat tersebut adalah, “laqad jaakum rasulun min anfusikum…”[1]
- Kharija bin Zaid bin Tsabit menukil, “Saya mendengar dari ayahku bahwa ia berkata, “Tatkala saya mengopi mushaf saya menghilangkan sebuah ayat dari surah al-Ahzab yang saya dengar sendiri dari Rasulullah Saw. Setelah mencari-cari (di beberapa tempat) saya menemukannya pada Khuzaimah bin Tsabit al-Anshari dan kami gabungkan (ayat tersebut) dengan surah al-Ahzab yang berbunyi, “min al-mu’minin rijalun shadaqu ma ‘ahaduLlah ‘alaihi..”[2]
- Yahya bin Abdurrahman bin Khattab meriwayatkan, “Umar bin Khattab memutuskan untuk mengumpulkan al-Quran. Ia beridiri di tengah orang-orang dan berkata, “Barang siapa yang belajar al-Quran di sisi Rasulullah Saw maka bawalah al-Quran yang dipelajari tersebut dan orang-orang membawa al-Quran yang tertulis pada lembaran-lembaran dan kertas-kertas, namun Umar tidak menerima sepotong ayat dari siapa pun kecuali dua orang memberikan kesaksian bahwa ayat tersebut merupakan ayat al-Quran. Setelah Umar, Usman berkata kepada masyarakat, “Apabila ada pada setiap orang ayat atau ayat-ayat dari Kitabullah maka hadirkanlah. Namun ia juga tidak menerima satu pun omongan kecuali dengan kesaksian dua orang yang menyatakan dan membenarkan bahwa ayat tersebut merupakan ayat al-Quran. Pada saat itu, Khuzaimah bin Tsabit datang dan berkata, “Saya melihat dengan mata kepala sendiri Anda menyingkirkan dua ayat dari al-Quran dan tidak menulisnya.” Mereka berkata, “Dua ayat yang mana?” Kata Khuzaimah, “Saya sendiri belajar dari Rasulullah Saw dua ayat tersebut kemudian ia membaca dua ayat terakhir surah al-Taubah, “Laqad ja’akum rasulun min anfusikum ‘azizun ‘alaihi ma anittum..” Usman yang mendengar ayat ini dari Khuzaimah berkata, “Aku bersaksi bahwa dua ayat ini turun dari sisi Allah Swt. Baiknya menurut Anda ayat ini kita tempatkan pada surah mana dalam al-Quran?” Khuzaimah berkata, “Tempatkan dua ayat ini pada surah terakhir yang diturunkan kepada Rasulullah Saw! Demikianlah dua ayat ini digabungkan sebagai akhir surah al-Taubah dan mengakhiri surah tersebut dengan dua ayat yang dimaksud.[3]
- Ubaid bin Umair berkata, “Umar tidak menulis satu pun ayat dalam mushaf kecuali dua orang ini memberikan kesaksian bahwa ayat tersebut adalah ayat al-Quran.”[4] Seseorang dari Anshar membawakan dua ayat ini, “laqad ja’akum rasulun min anfusikum..” Umar berkata, “Terkait dengan ayat tersebut saya tidak menginginkan saksi darimu; karena akhlak Rasulullah Saw sebagaimana apa yang disebutkan pada dua ayat ini.[5]
- Khuzaimah bin Tsabit menukil demikian bahwa saya membawakan ayat, “laqad ja’akum rasulun min anfusikum..” ke hadapan Umar dan Zaid bin Tsabit. Zaid berkata, “Apakah ada seseorang yang memberikan kesaksian kepadamu?” Saya berkata, “Demi Allah saya tidak tahu.” Umar berkata, “Saya memberikan kesaksian baginya terkait dengan ayat ini.”[6]
- Zaid bin Tsabit berkata, “Tatkala saya menulis mushaf, saya mendengar satu ayat dari Rasulullah Saw, saya tidak jumpai pada seseorang atau pada catatan. Kemudian saya menemukannya pada Khuzaimah bin Tsabit dan ayat tersebut adalah, “min al-mu’minin rijalun shadaqu…” dan karena Rasulullah Saw menerima kesaksian Khuzaimah sebagai ganti kesaksian dua orang dan menyebutnya sebagai “dzu al-syahadatin” saya juga menerima kesaksiannya seorang diri dan dengan kesaksian, saya menulis ayat tersebut.[7]
- Ibnu Asytah menukil dari Laits bin Sa’id, “Orang pertama yang mengumpulkan al-Quran adalah Abu Bakar dan penulisnya adalah Zaid bin Tsabit. Orang-orang yang menyimpan ayat-ayat al-Quran membawanya ke hadapan Zaid namun ia tidak menerimanya kecuali dengan kesaksian dua orang jujur, dapat dipercaya dan Zaid bin Tsabit tidak menemukan dua ayat terakhir surah al-Taubah, kecuali pada Khuzaimah, namun ia tidak memiliki saksi yang membenarkan ucapannya. Namun demikian Abu Bakar memerintahkan untuk menulis; karena Rasulullah Saw menerima kesaksiannya sebagai ganti kesaksian dua orang dan ayat tersebut ditulis. Umar juga membawakan ayat rajam namun karena ia tidak memiliki saksi, ayat tersebut tidak ditulis.[8]
Demikianlah beberapa riwayat sehubungan dengan proses pengumpulan al-Quran khususnya terkait dengan dua ayat terakhir surah al-Taubah.
Dengan mencermati riwayat-riwayat ini menjadi jelas bahwa sebagian dari riwayat tersebut menegaskan bahwa dua ayat ini dibawakan oleh Abu Khuzaimah namun riwayat-riwayat lain menyebutkan bahwa yang membawakan dua ayat tersebut adalah Khuzaimah bin Tsabit. Ibnu Abdulbar dalam hal ini berkata, “Khuzaimah dan Abu Khuzaimah adalah dua orang dan masing-masing merupakan orang yang terpisah dan di antara mereka tidak terdapat hubungan kekerabatan dan kekeluargaan sama sekali.[9]
Adapun terkait dengan pernyataan bahwa dua ayat tersebut merupakan ayat al-Quran riwayat-riwayat terbagi menjadi tiga bagian: Mengikut sebagian orang, bahwa dua ayat ini merupakan bagian dari ayat-ayat al-Quran hanya ditetapkan oleh kesaksian satu orang namun dalam riwayat lain ditambahkan dengan kesaksian Usman dan pada riwayat lainnya kesaksian Umar ditambahkan pada kesaksian orang pertama.
Poin yang patut mendapat perhatian adalah bahwa kaum Muslimin bersepakat dalam dua hal. Pertama bahwa tiada satu pun perkataan seseorang yang dapat ditetapkan sebagai al-Quran kecuali melalui jalan tawatur dan nukilan-nukilan yang mendatangkan keyakinan. Kedua bahwa tidak ada jalan bagi penambahan dalam al-Quran namun riwayat-riwayat kodifikasi yang menjadi obyek pembahasan kita berbeda dan bertentangan dengan dua masalah konsensus ini.
Dengan kata lain, seluruh kaum Muslimin berpandangan bahwa untuk menetapkan sebuah ucapan atau tuturan itu al-Quran tidak lain kecauli melalui tawatur, nukilan-nukilan yang banyak dan meyakinkan. Namun sehubungan dengan riwayat-riwayat kodifikasi al-Quran menunjukkan bahwa pada waktu pengumpulan al-Quran satu-satunya kriteria dan pakem untuk menetapkan sebuah ucapan atau tuturan itu adalah al-Quran, yang berada di tangan dan dengan perantaranya, ayat-ayat al-Quran selain yang telah diidentifikasi, adalah kesaksian dua orang Muslim dan terkadang seseorang yang kesaksiannya sebanding dengan kesaksian dua orang. Kemestian perkataan ini adalah bahwa al-Quran ditulis dengan kabar tunggal (khabar wahid) bukan melalui jalan tawatur! Apakah kaum Muslimin benar-benar dapat mengamalkan hal ini? Atau mengungkapkan hal ini? Kita tidak tahu validitas riwayat-riwayat yang menunjukkan penetapan al-Quran melalui kabar tunggal atau kesaksian dua orang atau satu orang, sesuai dengan ijma dan keyakinan seluruh kaum Muslimin yang menyatakan al-Quran tidak dapat ditetapkan kecuali melalui jalan tawatur dan jalan lain? Apakah definitifnya bahwa al-Quran harus ditetapkan melalui jalan tawatur bukan melalui kabar tunggal dan kesaksian dua orang tidak dapat menjadi dalil bahwa seluruh riwayat ini adalah riwayat dusta?[10]
Pandangan Valid tentang Kodifikasi al-Quran
Apa yang secara ringkas dapat dikatakan pada kesempatan ini adalah bahwa penyandaran pengumpulan al-Quran kepada para khalifah dan masa-masa pasca Rasulullah Saw merupakan sebuah perkara klaimitis dan kabur, keliru dan tanpa dasar yang bertentangan dengan al-Quran, sunnah, ijma dan akal. Para pendukung konsep distorsi tidak dapat melalui jalan ini, dapat menetapkan pandangan keliru dan tanpa dasar mereka, karena al-Quran telah dikumpulkan pada masa Rasulullah Saw sendiri dan sesuai dengan perintah dan pengawasan beliau.
Apabila, anggaplah kita menerima, bahwa Abu Bakar yang mengumpulkan al-Quran pada masa khilafahnya, maka proses pengumpulannya sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat-riwayat di atas tentu saja dusta; karena pengumpulan al-Quran berpijak di atas keyakinan dan qath. Artinya ayat-ayat al-Quran karena tawatur dan nukilan-nukilan yang banyak telah dikenal di kalangan kaum Muslimin. Dan ayat-ayat definitif dan telah dikenal di hati-hati kaum Muslimin dan mereka mengenal dan akrab denganya, telah dimasukkan dalam al-Quran dan dikumpulkan pada satu tempat.
Benar, tidak dapat diragukan bahwa Usman pada masa khilafahnya mengumpulkan al-Quran namun hal itu tidak bermakna bahwa surah-surah dan ayat-ayat al-Quran dikodifikasi dalam satu mushaf dan dihimpun dalam sebuah mushaf tunggal dari lembaran-lembaran yang berserakan. Makna pengumpulan al-Quran pada masa Usman bermakna bahwa ia menyatukan satu bacaan tunggal dan membakar seluruh al-Quran lainnya yang tidak sesuai dengan bacaan yang diinginkan. Dengan demikian, ia melarang segala bentuk bacaan yang beragam dan perbuatan ini secara terminologis disebut sebagai tauhid al-mashâhif (penyatuan mushaf-mushaf). [iQuest]
Untuk telaah Lebih Jauh silahkan lihat beberapa literatur berikut:
- Al-Bahr al-Muhith fi al-Tafsir, Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf Andalusi, jil. 5, hal. 535.
- Al-Bayân fi Tafsir al-Qurân, Sayid Abu al-Qasim Khui, hal. 240.
- Al-Mizân, Terjemahan Persia, Musawi Hamadani, jil. 12.
[1]. Hasyim Zadeh Harisyi, Bayân dar Masâ’il Qur’ân, hal. 303, Qum, Kitabpurusyi Najafi, Tanpa Tahun.
[2]. Bayân dar Masâ’il Qur’ân, hal. 304.
[3]. Bayân dar Masâ’il Qur’ân, hal. 305.
[4]. Bayân dar Masâ’il Qur’ân, hal. 306.
[5]. Bayân dar Masâ’il Qur’ân, hal. 307.
[6]. Bayân dar Masâ’il Qur’ân, hal. 308.
[7]. Bayân dar Masâ’il Qur’ân, hal. 312.
[8]. Bayân dar Masâ’il Qur’ân, hal. 320.
[9]. Bayân dar Masâ’il Qur’ân, hal. 323.
[10]. Bayân dar Masâ’il Qur’ân, hal. 324.