Please Wait
20647
Yang dimaksud dengan gerakan (harâkah) adalah keluarnya sesuatu secara gradual dari alam potensi menuju alam aktual. Dan yang dimaksud dengan jauhar (substansi) adalah kuiditas yang tidak memerlukan obyek tatkala mewujud di dunia eksternal. Berbeda dengan 'aradh (aksiden) yang memerlukan obyek tatkala mewujud di dunia luaran. Seperti warna putih yang merupakan sebuah aksiden (aradh) dan supaya mewujud di dunia luaran warna putih ini harus mewujud pada sebuah obyek, akan tetapi jauhar (substansi) karena memiliki entitas mandiri ia tidak memerlukan obyek untuk dapat mewujud di dunia luaran.
Dengan penjelasan ini harus dikatakan bahwa yang dimaksud dengan al-harâkah al-jauhariyah (gerakan substansial) adalah bahwa sebagaimana seluruh aksiden (a'râdh) mengalami perubahan dan pergerakan, esensi (zat) dan substansi (jauhar) segala sesuatu juga memiliki gerakan (senantiasa bergerak). Artinya substansi (jauhar) detik demi detik senantiasa bergerak dan gerakan substansial (al-harâkah al-jauhariyah) ini adalah wujud substansi itu sendiri.
Mulla Shadra yang merupakan pelopor pandangan ini membeberkan dalil-dalil kuat dalam menetapkan pandangan ini; disebutkan bahwa mereka yang menerima dan mengamini gerakan pada seluruh aksiden (a'radh) dan kami tahu bahwa seluruh aksiden eksistensial tidak terpisah dari wujud jauhar dan karena itu lantaran gerakan aksiden merupakan akibat dari gerakan substansi (jauhar) maka pada jauhar sendiri terdapat gerakan.
Sebagian penafsir al-Qur'an menafsirkan ayat-ayat ini, "Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan seperti jalannya awan." (Qs. Al-Naml [27]:88) sebagai al-harâkah al-jauhariyah (gerakan substansial); artinya gunung-gunung pada gerakan substansial senantiasa berada dalam perubahan dan pergantian.
Pandangan yang beranjak dari gerakan substansial terkait dengan alam semesta boleh jadi memberikan ragam pengaruh bagi manusia dan menjadi sumber ilham dan pikiran. Pandangan yang hidup dan transendental ini tidak dapat dibatasi pada suatu hubungan dan kecendrungan tertentu. Di sini kami hanya akan menyebutkan sebagian pengaruh gerakan substansial dimana semakin memperdalam teori ini dari pelbagai sudut pandang kita dapat membuahkan hasil-hasil praktis yang tak terkira dan mengaplikasikannya dalam kehidupan keseharian:
Dengan menerima gagasan gerakan substansial (harakah jauhari) maka kita harus menerima bahwa keseluruhan semesta secara serentak dan seiring-sejalan berjalan menuju kesempurnaan. Dalam pandangan ini, gerakan menuju kepada kesempurnaan merupakan bagian dari fitrah dan alam natural dan seseorang yang menerima realitas ini, dengan mudah ia akan menemukan dirinya seiring sejalan dengan fitrah asli alam ini. Adapun orang yang belum mencapai pemahaman dan makrifat terhadap realitas ini maka ia akan memandang bahwa seluruh alam natural merupakan sekumpulan benda yang tidak berjiwa, tidak bergerak, tidak memiliki arah dan tujuan tertentu. Dan boleh jadi terkait dengan lintasan gerakannya dalam menuju kepada kesempurnaan mengikut pandangan kelirunya diabaikan dan dilupakan begitu saja.
Demikian juga, sesuai dengan pandangan ini, alam natural detik demi detik senatiasa mengalami dekonstruksi (khal'e) dan konstruksi (lubs). Wujudnya detik demi detik akan sirna dan kembali akan maujud dan emanasi wujud dari sisi Allah Swt detik demi detik akan muncul. Orang yang menerima pandangan ini akan menyaksikan kehadiran Sang Pemberi Wujud pada segala sesuatu dan tidak memandangnya sebagai sebab asumtif yang sekali saja menciptakan alam semesta kemudian membiarkan alam semesta begitu saja. Melainkan memandang-Nya sebagai Tuhan yang kepelakuan-Nya detik demi detik dan secara berketerusan hadir dan tampak nyata pada jantung setiap makhluk-Nya dan pada gerakan esensial tabiat.
1. Gerakan Substansial
Untuk menjelaskan gerakan substansial (al-harakah al-jauhariyah) kiranya kita perlu menjelaskan apa yang dimaksud dengan harakat (gerakan) dan jauhar (substansi).
Harakah (gerakan) dari tinjauan filsafat adalah perubahan gradual atau keluarnya sesuatu secara gradual dari alam potensial kepada alam aktual; artinya gerakan adalah perkara eksistensial dimana sesuatu melalui perantaranya secara gradual keluar dari kondisi potensial menuju kondisi aktual. Gradualnya gerakan ini bermakna bahwa bagian-bagian yang diasumsikan bagi wujudnya tidak dapat dikumpulkan pada suatu masa secara bersamaan, melainkan mewujud sepanjang waktu secara gradual.[1]
Jauhar merupakan sebuah kuiditas yang tidak memerlukan obyek untuk mewujud di dunia luaran. Jauhar terdiri dari lima bagian: 1. Maddah (matter). 2. Shurat (form). 3. Akal. 4. Nafs. 5. Jism (benda).[2]
Berbeda dengan aksiden (aradh) yang memerlukan obyek untuk mewujud di dunia luaran. Misalnya warna yang merupakan salah satu jenis aradh (aksiden) dan untuk mewujud di dunia luaran, maka pasti ia harus mewujud (menempel) pada satu obyek, lain halnya dengan substansi yang lantaran merupakan entitas mandiri seperti jism (benda) dimana untuk mewujud di dunia luaran ia tidak memerlukan obyek.
Adapun al-harakah al-jauhariyah (dengan penjelasan sederhana) bermakna bahwa asas dan dasar alam terbentuk dari substansi (jauhar) dan seluruh substansi senantiasa dan detik per detik secara dawam bergerak, bahkan sebab mengapa aksiden-aksiden sebuah substansi, seperti warna, berat dan sebagainya, mengalami perubahan hal itu disebabkan lantaran adanya gerakan pada zat jauhar yang senantiasa dalam kondisi bergerak. Dengan kata lain, gerakan substansial adalah wujud jauhar itu sendiri. Dan ia hanya memerlukan Pelaku Ilahi dan Pemberi Wujud. Pengadaan (penciptaan) jauhar adalah persis sama dengan pengadaan al-harâkah al-jauhariyah.
Adapun gerakan seluruh aksiden adalah mengikut pada gerakan substansi[3] dan segala perubahan pada aksiden adalah akibat natural substansinya; artinya kita tidak memiliki keraguan pada gerakan aksiden-aksiden satu substansi, akan tetapi sebab perubahan ini adalah karena adanya gerakan pada substansinya. Dengan demikian, pelaku natural perubahan ini harus seperti pelaku itu sendiri yang mengalami perubahan, karena itu subtansilah yang menjadi pelaku natural bagi gerakan-gerakan aksidental dan ia harus bergerak.
Sebelum Mulla Shadra pembahasan gerakan substansial belum lagi dikenal di kalangan filosof. Hanya sebagian ucapan-ucapan filosof Yunani yang dinukil yang dapat dicocokkan dengan gerakan substansial. Akan tetapi di kalangan filosof Islam, Mulla Shadra (Shadr al-Muta'allihin Syirazi) mengemukakan pembahasan al-harâkah al-jauhariyah dan menetapkannya dengan menyodorkan beberapa argumentasi.
Salah satu argumen dan dalil yang disodorkan oleh Mulla Shadra adalah bahwa seluruh aksiden tidak memiliki eksistensi mandiri dari obyek-obyeknya. Melainkan seluruh aksiden berasal dari wujud jauhar. Dari satu sisi ketika seluruh aksiden ini mengalami perubahan dan terjadi pergerakan di dalamnya maka hal itu memahamkan kepada kita bahwa jauhar juga memiliki gerakan. Karena segala jenis perubahan yang terjadi pada satu entitas, maka perubahan tersebut juga terjadi padanya. Hal itu merupakan perlambang dari perubahan pada esensi dan batinnya. Dan sebagai hasilnya gerakan aksidental merupakan petunjuk dari gerakan pada substansi dan demikianlah yang dimaksud dengan gerakan substansial.
Dari sisi lain, sebagian penafsir memaknai ayat, "Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan seperti jalannya awan." (Qs. Al-Naml [27]:88) sebagai al-harâkah al-jauhariyah (gerakan substansi). Mereka berkata bahwa seluruh entitas dengan substansinya bergerak menuju tujuannya sendiri-sendiri dan hal ini merupakan penjelas gerakan substansial.[4] Dengan kata lain, mereka menafsirkan ayat ini bahwa: Kalian menyangka gunung-gunung itu jamid (tetap pada tempatnya) padahal ia senantiasa bergerak dengan gerakan substansial. Lebih jauh, terdapat dalil-dalil lain dalam menjelaskan gerakan substansial yang disampaikan secara detil dalam kitab-kitab filsafat. Sekiranya Anda tertarik untuk menelaahnya lebih jeluk, kami persilahkan untuk merujuk pada kitab-kitab tersebut.[5]
2. Kedudukan dan Peran Gerakan Substansial dalam kehidupan
Dalam pandangan Mulla Shadra, seluruh entitas dan eksistensinya adalah in flux (mengalami perubahan terus menerus) dan seluruhnya memendam kerinduan terhadap mabda (sumber). Dan "substansi" wujud segala sesuatu yang senantiasa berubah dan bergerak serta perubahan pada seluruh aksiden dan bentuk lahirnya adalah bertitik-tolak dari subtansi (jauhar). Karena itu, seluruh alam natural merupakan sebuah alam yang terdiri dari gerakan, pencarian dan kerinduan terhadap sebuah entitas atau pelbagai entitas non-material yang merupakan ujung gerakan dan tempat berhenti dan diamnya; entitas-entitas non-material secara esensial merupakan pencipta perubahan terus menerus dan sebab seluruh gerakan di alam natural.
Dengan demikian, pada sebuah polar eksistensi, terdapat alam material dan natural. Dan pada polar lainnya terdapat alam non-material. Alam material senantiasa mengalami perubahan dan dalam pergerakan menuju alam non-material dan keseimbangan yang muncul darinya hingga tirai yang menyelimuti keindahan entitas atau seluruh entitas non-material tersingkap dan terangkat. Alam non-material juga merupakan sebab munculnya gerakan substansial (al-harakah al-jauhariyah) dan secara esensial menjadi penyebab munculnya gerakan dalam kerangka entitas material. Karena itu, keberadaan setiap entitas pada alam natural, pada pelbagai ragam tingkatan lintasannya, senantiasa mengalami transformasi antara gerakan dan diam, antara perubahan terus-menerus dan tetap hingga pada puncaknya ia mencapai kesempurnaannya pada alam meta-natural.
Teori ini yang memandang bahwa alam semesta bertitik tolak dari gerakan substansial dapat memberikan pengaruh pada pelbagai sisi dalam kehidupan manusia dan menjadi sumber insipirasi dan ilham dimana di sini kami akan sebutkan sebagai contoh beberapa sisi berikut ini:
A. Seluruh gerakan di alam semesta menuju kepada kesempurnaan
Dengan menerima konsep gerakan substansial maka kita juga harus menerima bahwa keseluruhan alam, secara serentak dan seiring sejalan bergerak menuju kesempurnaan. Dalam teori ini, gerakan menuju kesempurnaan merupakan bagian dari fitrah alam natural. Seseorang setelah memperoleh pengetahuan dan makrifat tentang hal ini secara otomatis akan menemukan dirinya dengan mudah berada dalam sebuah harmoni dengan fitrah asli semesta. Hari demi hari ia akan semakin tahu tentang gerakan intrinsik ini dan dari magnet ruh yang merupakan hasil dari pengetahuan tentang gerakan substansial dalam dirinya dan semesta. Adapun berkaitan dengan orang yang tidak memperoleh pengetahuan dan makrifat terhadap hakikat ini maka ia akan memandang seluruh alam natural sebagai sekumpulan benda yang tidak memiliki ruh, tidak memiliki gerakan, arah dan sasaran yang jelas. Dan boleh jadi, mengikut pandangan kelirunya, ia akan melupakan dan mengabaikan begitu saja terkait dengan lintasan gerakannya dalam menuju kesempurnaan. Dan memandang dirinya dalam lintasan ini sebagai entitas yang terpisah dari keseluruhan alam tanpa tujuan dan motivasi untuk menyempurna.
B. Kebutuhan dawam alam natural kepada Sang Pencipta
Salah satu dimensi penjelasan filosofis gerakan substansial adalah menyoroti bahwa setiap materi pada setiap detiknya, berubah dari sebuah bentuk menjadi bentuk yang lain. Dengan demikian, gerakan menyempurna pada substansi segala sesuatu akan terealisir.[6]
Atas dasar itu, gerakan adalah sekumpulan entitas yang senantiasa sirna dan punah dimana pada setiap detiknya muncul potensi yang baru dan aktual sebelumnya akan sirna. Dan proses ini senantiasa berlangsung demikian. Karena itu, alam semesta detik demi detik berada dalam kondisi dekonstruksi (khal'e) dan konstruksi (lubs). Wujudnya detik demi detik akan hancur dan sirna dan (setelah itu) emanasi wujud dari Allah Swt akan memancar kepadanya.[7] Akan tetapi lantaran kejadian ini berlansung dalam bentuk bersambung sehingga secara lahir kita membayangkan seluruh entitas di alam semesta sebagai entitas mandiri dan berdiri sendiri.
Menurut teori ini, alam semesta dan seluruh entitas yang ada di dalamnya sekali-kali tidak mandiri dan berdiri sendiri. Keduanya membutuhkan sebabnya masing-masing; sebuah kebutuhan yang memiliki akar pada jantung setiap entitas dan meliputi seluruh wujudnya. Orang yang menerima hakikat dan realitas ini sekali-kali, meminjam bahasa Shadra, tidak akan melupakan bahwa seluruh entitas di alam semesta kesemuanya merupakan entitas yang bergantung dimana masing-masing dari entitas tersebut mendapatkan wujud dari Sang Pemberi Wujud dan bahkan disebutkan bahwa keberadaan seluruh entitas ini adalah murni kebergantungan dan murni relasi ('ain al-rabth). Seseorang yang memandang alam semesta pada setiap detiknya membutuhkan keberadaan untuk mengada kembali dimana kebutuhan ini senantiasa bersama esensi dan substansinya. Pandangan ini tentu saja berbeda dengan orang yang memandang bahwa seluruh entitas hanya butuh pada pengadaan pertamanya saja dan setelahnya mandiri dan berdiri sendiri.
Orang yang menerima teori gerakan substansial ini akan menyaksikan kehadiran Sang Pemberi Wujud pada segala sesuatu dan tidak memandangnya sebagai sebab asumtif yang sekali saja menciptakan alam semesta kemudian membiarkan alam semesta begitu saja. Melainkan Tuhan yang kepelakuan-Nya detik demi detik dan secara berketerusan hadir dan tampak nyata pada jantung setiap makhluk-Nya dan padap gerakan esensi tabiat.
C. Tujuan gerakan substansial
Dalam mengelaborasi gerakan substansial dan melalui jalan seluruh entitas hingga sampai pada tujuannya harus dikatakan bahwa secara asasi gerakan menyempurna ini pada awalnya bermula dari materi awal (hyle) yang merupakan murni potensi dan sama sekali tidak memiliki aktualisasi. Kemudian materi murni ini untuk pertama kalinya menampakkan aktualisasi lemah pada dirinya dan berbentuk rangkapan dan kemudian berubah menjadi mineral (jamad). Pada kelanjutan gerakan gradualnya, ia memasuki alam tumbuhan dan setelah melintasi beberapa tingkatan, ia memiliki bentuk hewani dan melintas pada alam hewani dan selepas itu memasuki alam manusiawi yang memiliki ragam tingkatan dan derajat. Untuk melintasi tingkatan manusiawi ini, ia memerlukan ilmu dan amal dan setelah melintasi ragam dan banyak tingkatan di alam manusiawi secara gradual ia akan melesak meninggalkan alam manusiawi; karena entitas berada dalam keadaan menyempurna, maka ia tidak lagi memiliki kecendrungan untuk tinggal di alam ini sedemikian ia melaju sehingga menjadi akal universal. Dan pada akhirnya menggapai Tuhan.
Karena itu, dalam melintasi gerakan substansial dan keluarnya dari alam potensi menuju alam aktual seluruh kafilah substansi-subtansi material pada akhirnya menuju manusia dan manusia juga pada kelanjutan gerakan ini beranjak menuju alam non-material. Sebagaimana dikatakan: "Kamal al-'Alam al-Kauni an-Yuhdatsa minhu Insan."[8] Artinya kesempurnaan alam penciptaan adalah bahwa manusia (harus) diciptakan. Dengan kata lain, alam merupakan pabrik untuk memproduksi manusia. Dan tujuan sempurna manusia juga adalah untuk mencapai makam insan kamil.
Pada saat itulah seseorang akan memahami realitas ini bahwa seluruh silsilah substansi material (jawâhir) berada pada gerakan untuk menyempurnakan dirinya dengan kerinduan fitri bergerak hingga mencapai tujuannya yaitu manusia. Setelah menerima hakikat ini, kedudukan hakiki dan unggulnya di alam natural kembali ia akan temukan dan tidak akan melintasi jalan ke belakang. Gerakan menyempurna ini akan semakin laju dan sebagai kelanjutan gerakan substansial setelah sampai pada manusia, beranjak menuju alam malakut dan Keindahan Mutlak. Sejatinya dapat dikatakan bahwa seluruh alam material dengan segala entitas di dalamnya seluruhnya merupakan juru bicara kisah gerakan substansial manusia yang senantiasa bergerak dari materi awal (hyle) hingga menggapai Tuhan. Sebagaimana Rumi yang memandang seluruh lintasan ini sebagai jalan menuju Allah Swt dengan gubahan syairnya:
Aku mati dari mineral dan menjadi tumbuhan
Aku mati dari tumbuhan kemudian menjadi hewan
Aku mati dari hewan kemudian menjadi manusia
Lalu mengapa aku takut apabila aku mati beringsut
Aku berlalu sebagai manusia
Membawa empat sayap dan bulu bak malaikat
Setelah itu, berkoar lebih menjulang dari malaikat
Mengapa engkau tidak dapat membayangkan
Aku akan menjadi seperti itu
Lalu aku tiada setelah tiada[9] bak dentang organ
Aku berkata Inna liLlahi rajiun[10]
Kami cukupkan hingga di sini pembahasan gerakan substansial ini, meski dengan semakin memperdalam teori ini dari pelbagai sudut pandang kita dapat membuahkan hasil-hasil praktis yang tak terkira dan mengaplikasikannya dalam kehidupan keseharian. [IQuest]
Untuk telaah lebih jauh ihwal gerakan substansial kami persilahkan Anda melihat dua indeks berikut ini:
1. Gerakan Substansial, jawaban atas Pertanyaan 1826 (Site: 1800)
2. Takamul Barzakhi, jawaban atas Pertanyaan 5925 (Site: 6124)
[1]. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Âmuzesy-e Falsafeh, jil. 2, hal. 285 – 293, Nasyr-e Bainal Milal, Cap-e Haftum, Qum, 1386 S.
[2]. Muhammad Husain Thabathabai, Nihâyat al-Hikmah, hal. 207; Silahkan lihat: Pertanyaan 785 (Site: 844), Indeks: Substansi dan Aksiden (Jauhar dan Aradh).
[3]. Âmuzesy-e Falsafeh, jil. 2, hal. 334; Murtadha Muthahari, Maqalat-e Falsafi, jil. 1, hal. 286, Intisyarat-e Shadra.
[4]. Sayid Muhammad Baqir Musawi Hamadani, Terjemahan Persia al-Mizân, jil. 15, hal. 578, Cap-e Jame-e Mudarassin.
[5]. Diadaptasi dari jawaban Pertanyaan 1826 (Site: 1800) pada site ini.
[6]. Shadr al-Din Muhammad Syirazi (Mulla Shadra), al-Syawâhid al-Rububiyah, hal.
08, Intisyarat-e Bunyad-e Hikmat Islami, Teheran 1382 S.
[7]. 'Azizullah Salari, Khalq-e Mâdâm dar Negâh Ibn 'Arabi wa Muqâyasa-ye An ba Harâkat-e Jauhari Mulla Shadra, Fashl Name Andisye Dini, Danesygah-e Syiraz, Paiz 1384.
[8]. Al-Muhaqqiq al-Sabzewari, Syarh al-Manzhumah, jil. 4, hal. 314, Nasyr-e Nab.
[9]. Jelas bahwa yang dimaksud tiada dalam bait syair ini adalah tiada yang telah disinggung Rumi pada bait-bait sebelumnya yang bermakna posisi meninggi (posisi rendah menanjak menuju posisi yang lebih tinggi).
[10]. Matsnawi Ma'nawi, Daftar-e Sewwum, hal. 1512.