Please Wait
Hits
13564
13564
Tanggal Dimuat:
2007/02/21
Kode Site
fa756
Kode Pernyataan Privasi
42781
Tema
Fikih|Hukum dan Yurisprudensi|Menggunjing, Menghina dan Memata-matai |غیبت و بهتان|Salat|بیشتر بدانیم
- Share
Ringkasan Pertanyaan
Apakah berbicara di belakang seseorang yang tidak melakukan salat bisa dianggap sebagai ghibah? Dan apakah orang musyrik bisa dighibah?
Pertanyaan
Apakah berbicara di belakang seseorang yang tidak melakukan salat bisa dianggap sebagai ghibah? Dan apakah orang musyrik itu bisa dighibah?
Jawaban Global
Syaikh Anshari Rah dalam mendefinisikan ghibah berkata, “Dari kumpulan berita dan kalimat para fakih dalam mendefinisikan ghibah, bisa disimpulkan bahwa ghibah adalah berbicara di belakang orang dengan kalimat dimana pendengar ghibah tidak menyukai dan keberatan dengan kalimat tersebut.”[1] Ghibah merupakan dosa besar yang dilarang secara keras dalam ayat-ayat dan riwayat.[2]
Berdasarkan riwayat dari para pembesar agama, hakikat ghibah adalah seseorang mengatakan sesuatu tentang orang lain yang tidak menyenangkan untuk didengar, baik mengenai kekurangan yang ada dalam dirinya, tubuh, agama, dunia, atau dalam sesuatu yang berkaitan dengannya.
Mengenai siapakah yang haram untuk dighibah, apakah seluruh Mukminin dan Muslim yang mempercayai Allah, hari kebangkitan dan terikat dengan Islam?
Banyak dari para ulama yang menjawab pertanyaan ini dengan menggunakan ayat-ayat dan riwayat mengenai ghibah, mereka mengatakan, “Asas dan dasar keharaman ghibah di belakang orang lain, adalah kehormatan seseorang yang diperoleh dari agama. Oleh karena itu mereka yang bukan Mukmin, karena ia tidak memasuki area iman dengan keinginannya sendiri, berarti ia tidak memiliki kehormatan, karena itu mengghibah mereka dianggap tidak bermasalah.”[3]
Perlu untuk diingat bahwa dalam perbuatan ghibah terdapat syarat-syarat standar dimana ghibah akan terwujud dengan terpenuhinya beberapa kententuan berikut ini, misalnya:
Berdasarkan riwayat dari para pembesar agama, hakikat ghibah adalah seseorang mengatakan sesuatu tentang orang lain yang tidak menyenangkan untuk didengar, baik mengenai kekurangan yang ada dalam dirinya, tubuh, agama, dunia, atau dalam sesuatu yang berkaitan dengannya.
Mengenai siapakah yang haram untuk dighibah, apakah seluruh Mukminin dan Muslim yang mempercayai Allah, hari kebangkitan dan terikat dengan Islam?
Banyak dari para ulama yang menjawab pertanyaan ini dengan menggunakan ayat-ayat dan riwayat mengenai ghibah, mereka mengatakan, “Asas dan dasar keharaman ghibah di belakang orang lain, adalah kehormatan seseorang yang diperoleh dari agama. Oleh karena itu mereka yang bukan Mukmin, karena ia tidak memasuki area iman dengan keinginannya sendiri, berarti ia tidak memiliki kehormatan, karena itu mengghibah mereka dianggap tidak bermasalah.”[3]
Perlu untuk diingat bahwa dalam perbuatan ghibah terdapat syarat-syarat standar dimana ghibah akan terwujud dengan terpenuhinya beberapa kententuan berikut ini, misalnya:
- Orang yang dighibah tidak ada dalam majelis,
- Yang dikatakan adalah aib dan kekurangan,
- Aib ini merupakan sebagian dari kekurangan yang tersembunyi,
- Akan muncul rasa tak senang dan keberatan saat mendengar apa yang dikatakan tentangnya.
- Pembicara memiliki tujuan mencela dan menyalahkan,[4]
Pada pertanyaan di atas, untuk terwujudnya syarat kedua, mungkin terdapat dua keadaan:
- Orang yang tidak salat ini tidak memiliki kekhawatiran sedikitpun terhadap apa yang ia lakukan, dan ada kalanya ia juga menyarankan kepada orang lain untuk tidak salat, yang istilah fikihnya ‘ia melakukan fasik secara terang-terangan’ dan memperkenalkan dirinya kepada masyarakat dengan sifat ini.
Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa menyibak tirai malu dan harga dirinya, maka tidaklah haram mengghibahnya.”[5] Dari konteks riwayat ini bisa disimpulkan bahwa jika seseorang bangga dengan keburukan-keburukan yang ada pada dirinya dan tidak merasa malu sedikitpun, maka ia telah menghancurkan kehormatan dan kepribadiannya sendiri, dan perbuatan ini menyebabkannya boleh dighibah.
- Akan tetapi kadangkala orang tidak salat, akan tetapi sebenarnya ia sendiri merasa malu dengan perbuatannya, tak ingin harga dirinya hancur, dan ia juga bermaksud untuk melaksanakannya di masa mendatang sebagai gantinya. Dalam keadaan seperti ini, mengghibahnya tidak diperbolehkan, dan bahkan mungkin, menggibah orang seperti ini – dikarenakan keras kepala dan keangkuhannya- bisa memaksa mereka meninggalkan salat.
Sementara itu, mengenai keterwujudan syarat kelima, harus dikatakan bahwa pada banyak kasus, kadangkala perbuatan memperlihatkan aib seseorang (ghibah) ini bukan dengan maksud mencemooh, melainkan dilakukan untuk memperoleh suara kesepakatan umum untuk membimbing seseorang ke arah yang benar, seperti dewan medis yang membahas tentang kasus penyakit atau kekurangan tersembunyi yang dimiliki oleh seseorang,[6] dan hal ini dilakukan untuk mencari solusi dalam memperbaiki kondisi jasmaninya. Ringkasnya, dengan memperhatikan syarat seperti ini, kita memiliki izin ghibah dalam hukum-hukum syar’i. Namun apa yang penting adalah bahwa dalam keadaan ini harus diperhatikan tentang syarat-syarat amar makruf dan nahi munkar, dan mengamalkan sesuai dengannya.
Poin yang perlu diperhatikan adalah, kendati ghibah termasuk dosa-dosa moral dan sosial yang besar, demikian juga merusak dan akan diikuti dengan konsekuensi-konsekuensi yang berbahaya, namum pada kasus-kasus tertentu dimana di dalamnya terdapat kebaikan bagi manusia, dan terdapat tujuan yang sah dan masuk akal yang lebih bermanfaat daripada kerusakannya, atau tidak ada keburukan di dalamnya, maka secara syar’i hal ini diperbolehkan.
Sebagian dari hal-hal dimana ghibah diperbolehkan:
- Keluhan (dari seseorang yang telah dizalimi, dimana ia bisa menyampaikan kezaliman si zalim kepada orang lain),
- Nahi munkar (untuk menghindarkan dosa dan ketersesatan seorang pendosa, maka dosanya ini bisa disampaikan kepada orang-orang yang bertanggung jawab atau kepada orang-orang dekatnya),
- Bertanya (dalam rangka mencari informasi untuk pernikahan atau memberi tanggung jawab kepada seseoang, maka jawaban yang diberikan harus sesuai dengan hakikat yang ada dan menyampaikan kekurangan si fulan kepada mereka),
- Ilmuwan palsu (mereka yang ingin memanfaatkan orang lain dengan klaim-klaim yang tidak pada tempatnya),
- Terang-terangan dalam kefasikan (orang yang secara terang-terangan melakukan perbuatan haram).
Tentunya menurut pandangan para fukaha Syiah, mengenai ‘orang yang melakukan kefasikan secara terang-terangan’ harus dikatakan bahwa kebolehan mengghibahnya hanyalah pada dosa yang dilakukannya secara terang-terangan, bukan dosa-dosa yang ia lakukan secara sembunyi.[7] Karena jika tidak demikian, dikarenakan manusia bukanlah orang yang sempurna dan suci, dan mereka juga melakukan dosa-dosa, maka seandainya mengghibah orang yang terlibat dosa merupakan hal yang diperbolehkan, maka tidak akan ada orang yang memiliki harga diri lagi di dalam masyarakat.
Kesimpulannya, jika seseorang yang tidak melakukan salat memperlihatkan perbuatannya secara terang-terangan dan ia juga tidak merasa malu atau khawatir dengan perkataan orang, maka menyampaikan aib ini tidak menjadi masalah, atau tidak termasuk sebagai ghibah, atau masuk ke dalam pengecualian hukum keharaman, karena ia melakukan kerusakan secara terang-terangan.
Adapun terkait dengan pertanyaan bagian kedua Ayatullah Mahdi Hadawi Tehrani, berkata, “ Tidak, tidak ada ghibah untuk musyrik (yaitu dibolehkan mengghibahnya).” [iQuest]
Kesimpulannya, jika seseorang yang tidak melakukan salat memperlihatkan perbuatannya secara terang-terangan dan ia juga tidak merasa malu atau khawatir dengan perkataan orang, maka menyampaikan aib ini tidak menjadi masalah, atau tidak termasuk sebagai ghibah, atau masuk ke dalam pengecualian hukum keharaman, karena ia melakukan kerusakan secara terang-terangan.
Adapun terkait dengan pertanyaan bagian kedua Ayatullah Mahdi Hadawi Tehrani, berkata, “ Tidak, tidak ada ghibah untuk musyrik (yaitu dibolehkan mengghibahnya).” [iQuest]
[1]. Syaikh Anshari, Makâsib Muharramah, jil. 1, hal. 276.
[2]. “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Hujurat [49]: 12); “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela.” (Qs. Al-Humazah [104]: 1).
[3]. Muhammad Taqi Khalaji, Ghaibat, hlm. 128.
[4]. Lihatlah: Muhammad Mahdi Naraqi, Jâmi’ al-Sa’âdat, jil. 2, hal. 293; Syahid Tsani, Jâmi’ al-Maqâshid, cet. Alu al-Bait, jil. 4, hal. 27.
Syaikh Anshari dalam kitab Mâkasib mengatakan, Dari rangkaian yang telah dibahas berkaitan dengan ghibah (dalam keterwujudan ghibah), baik dari riwayat ataupun perkataan para fakih, dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Jika sesuatu yang dikatakan di belakang orang lain ini bukan kekurangan, maka hal ini tidak disebut sebagai ghibah, kendati pendengarnya dengan anggapannya sendiri meyakini bahwa ini adalah ghibah, b. Dan jika –sesuatu yang dikatakan di belakang orang – dengan mempertimbangkan keadaannya, baik secara syari maupun urfi adalah kekurangan atau aib, ketika hal ini tersebunyi bagi pendengar, sehingga pendengar ghibah menolak untuk membuka rahasia ini kepada orang lain, dan selain itu pengghibah juga berkehendak untuk memperlihatkan kekurangannya, maka perkataan seperti ini, secara yakin termasuk dalam kategori ghibah; dan c. Jika pengghibah –dalam masalah di atas- tidak berkehendak untuk memperlihatkan kekurangan, maka secara lahiriah juga dihukumi haram, karena pada dasarnya sama dengan mencari kekurangan Mukmin. Ringkasnya, dari segi akal dan nukilan, bahwa memperlihatkan apa yang bisa menyebabkan kehinaan dan kerendahan Mukmin itu secara umum adalah haram, tidak ada masalah di dalamnya. d. Jika perkataan yang diucapkan di belakang orang adalah kekurangan yang telah jelas bagi pendengarnya, dalam keadaan ini, ketika pengghibah tidak berniat untuk menghinanya, selain itu sifat tersebut juga tidak termasuk dalam sifat-sifat yang tercela, maka secara lahiriah tidak masuk kategori ghibah, karena pendengar ghibah tidak merasa keberatan, baik dari sisi lahiriah, dari sisi celaan pembicara, maupun dari sisi pemikiran. Dan jika merupakan sifat-sifat yang tercela, atau pembicara berniat untuk menyalahkan, maka tidak ragu lagi, hal yang seperti ini adalah haram. Dan bahkan, bentuk sebelumnya pun dikarenakan keharaman membuat gangguan, celaan, dan ... kepada Mukmin, maka hukumnya haram. Bagaimanapun, dalam pandangan Syaikh Anshari, niat mencari kekurangan tidak memiliki intervensi dalam konteks ghibah, yaitu jika pun pengghibah tidak berniat mencari kekurangan, tetap akan membenarkan terjadinya perbuatan ghibah (Syaikh Anshari, Makâsib Muharramah, jil. 1, hal. 278-286). Akan tetapi menurut pandangan Imam Khomeini Rah, Niat mencari kekurangan memiliki intervensi dalam pengertian ghibah, oleh karena itu jika saat menyampaikan kekurangan orang lain tidak ada niat mencari kekurangan, maka tidakbisa disebut ghibah, dan secara tematis keluar dari ghibah (Imam Khomeini, Makâsib al-Muharramah, jil. 1, hal. 402, 409, Narm Afzâr Jâmi’ al-Fiqh)
Syaikh Anshari dalam kitab Mâkasib mengatakan, Dari rangkaian yang telah dibahas berkaitan dengan ghibah (dalam keterwujudan ghibah), baik dari riwayat ataupun perkataan para fakih, dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Jika sesuatu yang dikatakan di belakang orang lain ini bukan kekurangan, maka hal ini tidak disebut sebagai ghibah, kendati pendengarnya dengan anggapannya sendiri meyakini bahwa ini adalah ghibah, b. Dan jika –sesuatu yang dikatakan di belakang orang – dengan mempertimbangkan keadaannya, baik secara syari maupun urfi adalah kekurangan atau aib, ketika hal ini tersebunyi bagi pendengar, sehingga pendengar ghibah menolak untuk membuka rahasia ini kepada orang lain, dan selain itu pengghibah juga berkehendak untuk memperlihatkan kekurangannya, maka perkataan seperti ini, secara yakin termasuk dalam kategori ghibah; dan c. Jika pengghibah –dalam masalah di atas- tidak berkehendak untuk memperlihatkan kekurangan, maka secara lahiriah juga dihukumi haram, karena pada dasarnya sama dengan mencari kekurangan Mukmin. Ringkasnya, dari segi akal dan nukilan, bahwa memperlihatkan apa yang bisa menyebabkan kehinaan dan kerendahan Mukmin itu secara umum adalah haram, tidak ada masalah di dalamnya. d. Jika perkataan yang diucapkan di belakang orang adalah kekurangan yang telah jelas bagi pendengarnya, dalam keadaan ini, ketika pengghibah tidak berniat untuk menghinanya, selain itu sifat tersebut juga tidak termasuk dalam sifat-sifat yang tercela, maka secara lahiriah tidak masuk kategori ghibah, karena pendengar ghibah tidak merasa keberatan, baik dari sisi lahiriah, dari sisi celaan pembicara, maupun dari sisi pemikiran. Dan jika merupakan sifat-sifat yang tercela, atau pembicara berniat untuk menyalahkan, maka tidak ragu lagi, hal yang seperti ini adalah haram. Dan bahkan, bentuk sebelumnya pun dikarenakan keharaman membuat gangguan, celaan, dan ... kepada Mukmin, maka hukumnya haram. Bagaimanapun, dalam pandangan Syaikh Anshari, niat mencari kekurangan tidak memiliki intervensi dalam konteks ghibah, yaitu jika pun pengghibah tidak berniat mencari kekurangan, tetap akan membenarkan terjadinya perbuatan ghibah (Syaikh Anshari, Makâsib Muharramah, jil. 1, hal. 278-286). Akan tetapi menurut pandangan Imam Khomeini Rah, Niat mencari kekurangan memiliki intervensi dalam pengertian ghibah, oleh karena itu jika saat menyampaikan kekurangan orang lain tidak ada niat mencari kekurangan, maka tidakbisa disebut ghibah, dan secara tematis keluar dari ghibah (Imam Khomeini, Makâsib al-Muharramah, jil. 1, hal. 402, 409, Narm Afzâr Jâmi’ al-Fiqh)
[5]. Jâmi’ as-Sa’âdât, jil.2, hal. 322.
[6]. Ibid, hal. 321.
[7]. Lihatlah, Muhammad Taqi Bahjat, Jâmi’ al-Masâil, jil. 2, hal. 404.
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar