Please Wait
6871
Sebelum membahas masalah ini, kiranya kita perlu mencermati bahwa taklid harus berdasarkan beberapa kriteria dan pakem, bukan semata-mata berdasarkan anggapan dan asumsi yang kita buat sendiri. Kemudian mencari seorang alim untuk menyokong dan menjustifikasi anggapan dan asumsi kita. Jelas hal seperti ini tidak dapat disebut sebagai taklid.
Mengingat terdapat sebuah keburaman dan kerancuan dalam pertanyaan Anda, hal-hal yang kemungkinan menjadi obyek pertanyaan Anda, akan dibahas secara ringkas:
1. Apabila maksud pertanyaan Anda adalah apakah para juris yang menolak wilâyah fakih harus merubah pandangannya dan kemudian meyakini konsep wilâyah fakih? Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa juris yang memenuhi syarat-syarat ijtihad, apabila dengan menjaga prinsip-prinsip dan pakem-pakem inferensi (istinbâth) telah sampai pada sebuah teori atau pendapat, maka ia tidak dapat didesak untuk meninggalkan pendapatnya, melainkan teorinya hanya dapat ditantang dengan memanfaatkan pakem istinbâth tersebut dan apabila memungkinkan ia diyakinkan dengan logika ijtihadnya.
Pemimpin Agung Revolusi dalam hal ini menjelaskan bahwa apabila seseorang melalui argumentasi dan inferensi, wilâyah fakih belum lagi dapat ditetapkan baginya, maka di sisi Tuhan ia akan dimaafkan. Namun ia tidak dapat berbuat sedemikian sehingga menyebabkan munculnya perpecahan dan pertikaian dalam masyarakat Islam.”[1] Apa yang kita saksikan secara praktis pada perilaku para juris yang menolak teori wilâyah fakih[2] mereka berusaha mengantisipasi dan mencegah munculnya perpecahan di tengah masyarakat. Karena itu, mereka membicangkan masalah ini hanya pada forum-forum ilmiah saja.
2. Bahkan dengan anggapan bahwa masalah wilâyah fakih merupakan sebuah masalah teologi maka konsekuensinya taklid tidak memiliki makna. Para mukallid marja yang tidak menerima konsep wilâyah fakih atau dengan adanya penerimaan terhadap wilayah sedemikian, tetap dapat menelaah pendapat para alim, dengan dalih merujuk kepada seorang ahli dan menerima pendapat tersebut secara global. Meski dari sisi teori, seperti marjanya sendiri, tidak menerima wilâyah fakih.
Akan tetapi pada tataran praktis ia tidak dapat melakukan tindakan yang berujung pada perpecahan di kalangan umat Islam; karena apabila manusia menolak militer dan pada tingkatan yang lebih tinggi memerangi militer, maka ia harus memikirkan untuk membentuk pasukan militer yang lebih baik dari itu sebagai tujuannya.
Orang-orang yang menolak sistem marjaiyyah dan taklid, boleh jadi memperkenalkan model-model pemerintahan lainnya yang terdapat di luar negeri sebagai pemerintahan alternatif, namun beberapa marja yang tidak ingin membentuk pemerintahan, apakah para mukallidnya, bahkan apabila ia bukan pendukung pemerintahan juris, dapat berpikiran untuk memeranginya dan untuk tujuan apa ia memerangi hal tersebut?
3. Namun apabila pertanyaan Anda adalah bahwa para juris yang menerima inti teori wilâyah fakih namun sangsi dalam menentukan subyeknya, bagaimana taklif saya dalam menghadapi masalah ini?
Apabila kita meyakini bahwa setiap juris yang tidak menerima orang yang menjabat sebagai wali fakih maka ia dapat dengan bebas menolak instruksi-instruksi pemerintahan, maka konsekuensi loginya adalah munculnya anarki dan chaos dalam masyarakat; karena setiap fakih dan juris adalah hakim dan boleh jadi terdapat beberapa juris yang menentangnya.
Nampaknya sistem yang diadopsi dan dianut dalam Konstitusi Republik Islam Iran memiliki ruang bahwa apabila seorang fakih atau beberapa juris memprotes beberapa persoalan maka ia dapat memproses dan menindaknya melalui jalur hukum dan menyampaikan apa yang menjadi tuntutannya. [IQuest]
[1]. Sayid Ali Khamenei, Ajwiba al-Istiftâ’at, jil. 1, hal. 23, Masalah 64, Dar al-Naba linnasyr wa al-Tauzi’, 1415 H.
[2]. Akan tetapi harus diketahui bahwa inti wilayah fakih dalam artian yang lebih terbatas diterima oleh hampir seluruh juris Syiah. Perbedaan mereka terletak pada keluasan dan wewenang seorang wali fakih.