Please Wait
11486
Terdapat banyak ayat yang membicarakan tentang tertutupnya mata hati, penglihatan, dan pendengaran orang-orang kafir dan kaum munafik, kelompok sesat dan menyimpang, para pendosa dan tukang aniaya.
“Khatm” dan “thab’e’” bermakna mengakhiri, mencap, mencetak, menutup, mengunci sesuatu yang terolah dalam bentuk khusus. “Qalb” terkadang berarti bagian dan anggota khusus badan (hati jasmani). Dan terkadang digunakan untuk makna nafs, ruh, dan jiwa (kalbu ruhani dan maknawi).
Penutupan dan penguncian Ilahi atas hati (ruhani dan maknawi) pada sebagian manusia bermakna tidak terpandunya dan terkuncinya hati mereka untuk dapat memahami dan mencerap pengetahuan Ilahi serta tidak kembalinya mereka kepada kebaikan.
Tertutup dan terkuncinya mata hati, penglihatan dan pendengaran sebagian manusia oleh Tuhan merupakan hasil dari perbuatan ikhtiari (bebas) mereka setelah mendapatkan peringatan-peringatan berulang Ilahi dan tiadanya perhatian mereka terhadap peringatan-peringatan tersebut. Di samping itu, kendati mata hati, penglihatan, dan pendengaran mereka terkunci, namun terkunci dan tertutupnya mata hati, penglihatan dan pendengaran ini bergradasi dan memiliki tingkatan. Sekiranya sedemikian legam dan pekatnya perbuatan dosa dan pembangkangan mereka sehingga tertutup seluruh mata hatinya, maka sekali-kali mereka tidak akan kembali kepada kebaikan dan petunjuk. Meski kembalinya cahaya dan petunjuk bukan merupakan hal yang absurd dan mustahil namun sebelum ambang batas kematian, tetap ada kemungkinan terjadinya perubahan.
Sebagai kesimpulannya, kebebasan tetap tidak tercerabut dari mereka dan dengan kebebasan (ikhtiar) dimiliki mereka juga dapat mengamalkan perbuatan baik dan juga dengan kehendak dan tekad yang kuat – meski cukup pelik dan sukar – ia dapat mengubah jalannya, lalu meniti jalan petunjuk kemudian mengeruk manfaat dari panduan-panduan Ilahi sehingga dapat menggapai kesempurnaan puncak. Dengan kata lain, sekadar apa pun hati manusia ternoda dengan perbuatan dosa, terstempel, tertutup, dan terkunci, maka seukuran itu juga ia akan terpuruk, terdeprivasi dan terjauhkan dari pemahaman ayat-ayat Ilahi dan pemanfaatan petunjuk dan cahaya Tuhan. Terkuncinya mata hati tidak terkhusus pada orang-orang kafir dan kaum munafik saja.
Pertama-tama kita akan membahas ihwal terjemahan dua ayat al-Qur’an kemudian menjawab pertanyaan yang mengemuka terkait masalah ini.
1. “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci mata hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (Qs. Al-Baqarah [2]:6-7)
2. “Dan Allah telah mengunci mati hati mereka. Oleh karena itu, mereka tidak mengetahui (apa-apa).” (Qs. Al-Taubah [9]:93)
Makna khatam, thab’e, dan qalb: Khatm (terkunci atau berakhirnya sesuatu) lawan katanya adalah fath (terbuka atau dimulainya sesuatu) yang bermakna sempurnanya atau berakhirnya sesuatu. Rahasia khatm dalam bahasa kita disebut stempel. Stempel yang ditorehkan di akhir
Thab’e bermakna pestempelan, (makna yang dekat kepada makna khatm) mencetak, dan mencap sesuatu dalam bentuk khusus (koin atau dirham).[2]
Qalb dalam al-Qur’an disebutkan dalam makna yang beragam. Seperti hati, nafs, akal dan ilmu.[3] Namun secara umum dapat dikatakan bahwa manusia memiliki dua jenis kalbu. Kalbu jasmani dan kalbu ruhani (maknawi).[4]
Kalbu jasmani dalam terminologi fisiologi dan percakapan keseharian adalah sanubari yang bertugas merotasi dan menyuling darah. Dan berada di sebelah kiri dada manusia. Adapun kalbu ruhani adalah ruh dan jiwa manusia.[5]
Namun dalam terminologi akhlak, irfan, dan al-Qur’an kalbu bermakna yang kedua dan merupakan salah satu kanal untuk menerima ilham-ilham, wahyu-wahyu ilahi dan meraup makrifat serta menyaksikan pelbagai tajalli Tuhan. Dan juga merupakan tempat berlabuhnya afeksi, perasaan, niat dan kecendrungan-kecendrungan transendental manusia.
Sisi umum dua penggunaan istilah ini disebutkan demikian, “qalb” secara leksikal bermakna “bergolak dan berubah” dan karena kalbu jasmani ini bertugas untuk membolak-balik dan menyuling darah, maka disebut qalb. Dan juga karena afeksi dan niat manusia senantiasa berubah, berganti, dan bergejolak, maka tempat ini disebut sebagai kalbu.[6]
Khatm dan thab’e Ilahi atas mata hati; dalam al-Qur’an disebutkan sebagai tidak menerima petunjuk dan tertutupnya mata hati orang-orang kafir, kaum munafik dan para pembangkang disebut dengan redaksi yang beraneka ragam, seperti, khatm, thab’e, sharf, qufl, maradh, rain, dan sebagainya.[7]
Akan tetapi, terkunci dan terstempelnya hati, tidak terkhusus semata pada orang-orang kafir dan kaum munafik melainkan sekadar hati manusia ternodai dengan dosa, terstempel, terkunci, dan tertutup maka seukuran itu juga ia terdeprivasi untuk memahami ayat-ayat Ilahi.[8]
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan stempel dan cap atau mati hati artinya tertutup dan terkuncinya kanal ini dalam menerima iman dan makrifat serta ilham-ilham Ilahi. Dan bagaimana terkuncinya mata hati itu akan menjadi jelas dengan menukil riwayat berikut ini:
Zurarah menukil riwayat dari Imam Baqir As yang bersabda[9] “Tidaklah seorang hamba melainkan pada hatinya terdapat titik dan nuktah putih. Dan tatkala ia melakukan perbuatan dosa, maka nuktah dan titik hitam terlihat padanya. Lalu apabila ia bertobat nuktah hitam itu akan segera lenyap. Dan apabila ia melanjutkan perbuatan dosanya, maka nuktah hitam itu semakin bertambah legam sehingga menutupi nuktah putih itu. Dan tatkala titik putihnya tertutupi, pemilik hati itu sekali-kali tidak akan kembali kepada kebaikan. Dan inilah yang dimaksud dari firman Allah Swt “Dan tidak ada yang mendustakan hari pembalasan itu melainkan setiap orang yang melampaui batas lagi berdosa, yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata, “Itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu.” Sekali-kali tidak seperti yang mereka sangka. Sebenarnya seluruh amal yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka (seperti karat menutupi permukaan besi). Sekali-kali tidak seperti yang mereka sangka. Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari Tuhan mereka.” (Qs. Al-Muthaffifin [83]:14)
Faktor yang menyebabkan munculnya karat yang menutupi hati
Pada ayat-ayat al-Qur’an perkara-perkara di bawah ini disebut sebagai sebab-sebab yang berujung pada terkunci dan terstempelnya mata hati: Kufur[10], lalai dan melalaikan,[11] melanggar janji dan fasiq,[12] keras kepala dan mendistorsi kalam Ilahi, [13] menuruti hawa nafsu dan beramal bertentangan dengan ilmu[14], berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan tali silaturahmi.[15]
Terbentangnya pelbagai hijab dan tirai ini atas mata hati, pendengaran dan penglihatan merupakan hasil dari perbuatan ikhtiari manusia itu sendiri. Stempelan dan penguncian Ilahi merupakan hajaran (konsekuensi) tidak dilakukan semenjak semula (ibtida’i). lantaran antara amal perbuatan, niat dan pikiran manusia dan hasil-hasil yang mengikutinya terjalin hubungan niscaya, mesti dan merupakan sebuah hubungan yang tidak dapat dihindari dan lari darinya.
Namun penyandarannya kepada Tuhan disebabkan karena hubungan ini adalah hubungan antara sebab dan akibat antara perbuatan, niat dan pikiran manusia dan akibat dari ketiga hal ini merupakan qadha dan qadar hatmi (pasti) Ilahi dan tidak akan pernah berubah. Kecuali dengan ada faktor lain seperti, tobat atau kembali kepada Tuhan, atau datangnya bala dan musibah, atau pemilik jiwa sebagaimana para wali Tuhan yang berkesan pada orang tersebut dan secara perlahan membuatnya berubah dan menghilangkan karat dari hatinya dan berpotensi untuk mendapatkan petunjuk Ilahi.
Dengan kata lain, qadha dan qadar Ilahi tidak lain kecuali aturan-aturan yang berlaku di alam semesta. Keniscayaan munculnya akibat sebagai konsekuensi adanya sebab lengkap yang mengadakannya. Dan perbuatan-perbuatan ikhtiari manusia, kehendak, maksud dan niatnya merupakan bagian yang terpenting dari sebab lengkap untuk terwujudnya munculnya perbuatan-perbuatan yang dikehendakinya. Tatkala sebuah perbuatan dilakukan, akan berpengaruh pada ruh dan jiwa dan hal ini tidak dapat dihindari. Dengan demikian, apabila ia menyediakan penyebab penguncian dan penstempelan, sesuai dengan hukum eksistensial, maka pengaruh-pengaruhnya akan menjeratnya.
Dengan memperhatikan dari apa yang disampaikan di atas menjadi jelas bahwa:
1. Penguncian dan stempel atas hati merupakan hasil dari perbuatan ikhtiari manusia;
2. Penguncian mata hati yang berlaku berdasarkan sistem qadha dan qadar Ilahi adalah disandarkan kepada Tuhan;
3. Manusia yang berkarat mata hatinya, boleh jadi ia mengulang kesalahan-kesalahannya yang dilakukan di masa lalu, semakin ia mengulang kesalahan ini maka semakin berkarat pula hatinya;
4. Kendati kembalinya kepada jalan yang benar bagi manusia pendosa yang hatinya telah legam dan berkarat, adalah suatu hal yang sangat pelik,[16] namun bukan suatu hal yang mustahil. Dan kemungkinan ini senantiasa ada. Ia dapat dengan ikhtiar yang ia miliki dan dengan tekadnya yang kuat, berusaha untuk melenyapkan karatan ini.[17] Dengan kata lain, apabila jiwa dan hati orang kafir dan munafik sedemikian terkunci, terstempel, dan legam sehingga tidak tersisa nuktah putih di dalamnya, maka orang ini sesuai dengan redaksi al-Qur’an, tidak tersisa lagi harapan baginya untuk mendapatkan petunjuk,[18] dan ia dengan menyalahgunakan ikhtiarnya tidak menempatkan dirinya pada lintasan petunjuk dan cahaya serta menutup gerbang tobat bagi dirinya.[]
Sumber-sumber untuk telaah lebih jauh:
1. Abdullah Jawadi Amuli, Marâhil-e Akhlâq dar Qur’ân, Isra, cetakan ke-3, 1379,
2. Abdullah Jawadi Amuli, Mabâdi Akhlâq dar Qur’ân, Isra, cetakan ke-3, 1379,
3. Ruhullah Musawi Khomeini, Syarh Cihil Hadits, Muassasah Tanzhim wa Nasyr-e Atsar-e Imam Khomeini Qs, cetakan ke-12, 1376, Tehran.
4. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Ma’ârif-e Qur’ân, Dar Rah-e Haq, cetakan ke-2, 1368,
5. Penafsiran-penafsiran terkait dengan ayat, al-Baqarah (2):74 & 88; Qs. Al-An’am (6):25; Qs. Al-A’raf (7):101; Muhammad (47):24; Qs. Jatsiyah (45):23; Qs. Muthaffifin (83):14; Qs. Al-Zumar (39):12; Qs. Al-Maidah (5):3.
[1]. Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir Tasnim, jil. 2, hal. 223 dan seterusnya; Majma’ al-Bayan, jil. 1, hal. 129; Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 53.
[2]. Raghib Isfahani, Mu’jam Mufrâdat al-Faz al-Qur’ân, terkait dengan klausul khatm dan thab’e; Majma’ al-Bayan, jil. 1, hal. 130.
[3]. Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 54. Raghib Isfahani, Op Cit, terkait dengan klausul qalb; al-Mizân, jil. 2, hal. 223 & 224; Majma’ al-Bayan, jil. 1, hal. 130
[4]. Abdullah Jawadi Amuli, Op Cit, jil. 2, hal. 227 & 228.
[5]. Syahid Muthahhari, Tafsir Surah Hamd, hal. 79.
[6]. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Akhlâq dar Qur’ân, jil. 1, hal. 226-250. Taqi Misbah Yazdi, Ma’ârif Qur’ân, jil. 3, hal. 395-403.
[7]. Tafsir Tasnim, jil. 2, hal. 227.
[8]. Ibid, hal. 234.
[9]. Ushûl Kâfi, Kitâb al-Îmân wa al-Kufr, bâb al-Dzunub, hal. 13 & 20.
[10]. “Dan mereka (dengan niat mengejek) berkata, “Hati kami tertutup (dan tidak pernah memahami semua ucapanmu).” (Qs. Al-Baqarah [2]:88)
[11]. “Dan sesungguhnya Kami ciptakan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari bangsa jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi mereka tidak mempergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata (tetapi) mereka tidak mempergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) mereka tidak mempergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).” (Qs. Al-A’raf [7]:179)
[12]. Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik.” (Qs. Al-A’raf [7]:102); “Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempat-tempatnya dan (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya.” (Qs. Al-Maidah [5]:13)
[13]. “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.” Mereka berkata, “Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?” (Qs. Al-Baqarah [2]:67); “Musa menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk golongan orang-orang yang jahil.” Kemudian setelah (peristiwa) itu, hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi.” (Qs. Al-Baqarah [2]:74)
[14]. “Pernahkah kamu pernah melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (bahwa ia tidak layak lagi memperoleh petunjuk), serta Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan di atas penglihatannya? (Qs. Al-Jatsiyah [45]:23)
[15]. “Jika kamu sekalian berpaling (dari seluruh perintah itu), maka apakah gerangan yang dapat diharap dari kamu kecuali kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (Qs. Muhammad [47]:22)
[16]. Barangkali redaksi “sekali-kali tidak akan kembali kepada kebaikan” pada riwayat di atas menyinggung tentang kepelikan ini.
[17]. Abdullah Jawadi Amuli, Mabâdi Akhlâq dar Qur’ân, hal. 83-103.
[18]. Âsynâi ba Qur’ân, Tafsir Surah Hamd, hal. 79.